Pak Ruslan menyalakan rokoknya. Ia baru saja memesan makanan dan minuman. Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul 14:47. Lelaki muda yang ia tunggu sudah memberikan kabar akan segera tiba via pesan singkat. Setelah pertemuan yang tak sengaja di ATM tempo hari, ia jadi menyimpan nomor mantan tunangan putrinya itu. Sesuatu yang hampir tak pernah ia lakukan. Bahkan nomor menantunya sendiri tak ia simpan.
Seorang lelaki tampan dan berpakaian rapi muncul di pintu rumah makan. Ia melambaikan tangan pada Pak Ruslan yang membalasnya dengan senyum merekah. Rangga memesan makanan pada seorang pekerja dan berjalan ke arah Pak Ruslan.
“Sehat, Om?” sapa Rangga sambil menyalami pria yang hampir menjadi mertuanya itu.
“Sehat, Ngga. Kamu sehat? Orang tuamu sehat semua?” tanya Pak Ruslan.
“Alhamdulillah, semua sehat, Om. Tante sehat, Om?” Rangga duduk di hadapan Pak Ruslan.
“Ya, begitulah, Ngga. Sebelum Adelia menikah, ia
Pukul enam belas tiga puluh enam menit, terdengar suara pintu mobil ditutup. Adelia segera bangkit dan melongokkan kepala. Pandangannya menembus jendela kaca ruang tamu.“Itu Mama, Vid! Lho, Papa juga ikut,” seru Adelia. Ia segera berlari hendak membukakan pintu untuk orang tuanya.“Del!” teriak David.“Apa?” Adelia sedikit menoleh ke arah suaminya.“Inget, kamu lagi hamil. Jangan lari begitu!” tegur David sambil bangkit dari duduknya. Adelia meringis dan menepuk dahinya sendiri. Lalu berjalan pelan membuka pintu.“Assalamualaikum....” seru Pak Ruslan dan Bu Ratri kompak. Senyum kedua orang tua Adelia ini mengembang begitu lebar.“Walaikumsalam....” senyum Adelia tak kalah lebar. Ia berusaha membusungkan perutnya semaksimal mungkin. Lalu berjalan pelan menyambut orang tuanya. David lalu muncul dan merangkul istrinya. Bu Ratri begitu bahagia melihat pasangan suami istri i
“Kamu ini kenapa nggak langsung dibuang sih?” gerutu David.“Maaf, Sayang ... kalo malem aku takut lama-lama di kamar mandi,” sahut Adelia muram.Mereka berdua lalu kembali ke halaman belakang selepas mengunci pagar dan pintu utama. Wajah mereka segera berganti mode menjadi ceria setelah tadi sempat tegang dan kesal.“Oh iya, Vid. Papa ada join usaha sama teman, customer Papa sih sebenarnya. Kami bikin rumah makan baru. Semacam kafe kekinian gitu. Nah, hari ini grand opening. Kita dateng yuk?” ajak Pak Ruslan.“Wah, boleh juga, Pa. Kebetulan aku mau join juga sama teman, mau buka kedai kopi gitu. Mungkin bisa aku tanya-tanya nanti ke temen Papa,” sahut David antusias. Adelia menatap David dengan tatapan penuh tanya. Suaminya belum cerita apa pun perihal ini.“Abis isya kita berangkat ya?”“Siap!”Adelia mengerlingkan mata pada suaminya. Ia tersen
David dan Adelia sampai di tempatnya tadi. Pak Ruslan dan Bu Ratri memandang kedatangan mereka dengan tatapan penuh tanya. David melihat Papa Mertuanya dengan penuh curiga. Memang benar tadi yang dilihatnya. Pak Ruslan baru saja kembali, tampak dari napasnya yang belum teratur.“Gimana, Vid? Del?” tanya Bu Ratri. Raut wajahnya penuh kecemasan.“Ya nggak gimana-gimana, Ma. Cuma diminta sampel urin aja. Hasilnya nanti di kasih tau katanya,” jelas Adelia. Ia lalu duduk di kursinya semula, begitu juga David.“Papa udah bicara sama si Don, kalo begini caranya pengunjung pasti bubar, tuh lihat! Tadi padahal rame banget,” gerutu Pak Ruslan.David dan Adelia hanya saling pandang. Kata-kata Pak Ruslan sudah mereka prediksi sebelumnya. Dalam hati pasangan suami istri ini sungguh tak tenang, apalagi Adelia. Ia memang duduk dan bergelayutan pada suaminya, namun benaknya sangat takut apabila benar Papanya dalang dibalik peristiwa in
“Vid, masih di sekolah?” tanya Adelia lewat sambungan telepon. Sudah pukul tiga sore dan suaminya belum pulang. Kegiatan belajar mengajar seharusnya sudah selesai sejam lalu.“Ini baru jalan dari sekolah, Del. Tadi ada murid yang kena cairan asam, jadi aku antar dulu ke puskesmas terdekat. Sorry nggak ngabarin,” jawab David sambil menjepit gawai diantara telinga dan pundak kirinya.David tak pernah menghitung sudah berapa kali ia berbohong pada Adelia demi bertemu sekedar berkomunikasi dengan gadis yang tengah sibuk di belakangnya ini. Janjinya untuk membantu Anjani menyulap rumah peninggalan orang tuanya menjadi kedai kopi harus terlaksana. Ia pun rela menginvestasikan tabungan yang rencananya akan dijadikan uang muka membeli rumah pada usaha yang akan Anjani kembangkan.Sudah satu jam ia berada di sini. Di sisi gadis yang hari ini terlihat tak memiliki perasaan lebih padanya. Pipi gadis berkacamata ini tak lagi merona saat Davi
Adelia menuruti perintah Papanya untuk segera duduk. Wajah pria tempatnya dulu bermanja itu begitu dingin tanpa senyuman. Digenggamannya terdapat gawai enam inci yang ia usap-usap layarnya. Adelia menunggu dengan sabar dan penuh kekhawatiran kata-kata yang akan keluar dari mulut pria itu.“Papa sudah pesan makan? Atau minum?” Adelia mencoba mencairkan suasana.“Nanti saja, ada yang ingin Papa tanyakan sama kamu,” ujar Pak Ruslan datar. Ia lalu meletakkan gawainya di meja.Jantung Adelia seperti tak lagi kuat menerima denyut yang semakin cepat. Darahnya terpompa cepat membuat titik-titik keringat sudah muncul di dahinya. Bahkan telapak tangannya sudah basah sejak tadi. Ia ingin menawarkan atau berkata sesuatu untuk mengalihkan perhatian, namun lidahnya seolah tercekat di tenggorokan.“Kemarin Papa ketemu Rangga,” ujar Pak Ruslan.Adelia melipat keningnya. Netranya menatap aneh wajah Papanya dan telinganya berusaha
“Jadi muridmu baik-baik saja?” tanya Adelia setelah beberapa saat tak bersuara. Sedang David seperti memberikan waktu untuk istrinya diam.Mata Adelia masih bersemu merah. Pipi kirinya masih terasa panas, meski kini tak sepanas hatinya. Dua hantaman telak menghujam hati yang seharusnya tengah berbunga. Tamparan Papanya di pipi saja sudah terasa sakit di hati. Ditambah dengan kenyataan suaminya masih saja berhubungan dengan gadis tetangganya itu.“Hmm, ya, dia baik-baik aja,” jawab David. Sesekali ia melirik ke arah Adelia. Istrinya itu belum menunjukkan perubahan mimik wajah yang spesifik.“Oh ya? Siapa namanya?” lanjut Adelia.“Hmm ... Adrian, ya Adrian namanya,” jawab David meragu.“Kamu yakin Adrian? Bukan Anjani?”David segera menoleh ke kiri. Istrinya itu terus memandang kosong jalan di hadapan mereka. Seolah tak pernah menyebut nama sakral itu. Kedua lengannya menyilang di dad
Pukul tiga lima puluh pagi, David masih belum mampu memejamkan mata. Meski sudah ia basuh tubuhnya dengan wudhu dan mengadu kepada Rabbnya, ia tetap tak bisa tidur. Semalaman istrinya mengurung diri di dalam kamar. Sejak pukul sebelas malam ia tak melihat lagi tanda online di aplikasi penyelia pesannya pada kolom pesan Adelia. Ribuan sesal muncul di hati David.Entah mengapa ia begitu peduli dengan Anjani. Ia sampai rela berbohong demi menutupi keberadaannya di rumah gadis itu. Dan ia kini sama seperti tupai, jatuh meski pandai melompat. Mengapa tak juga ia berpikir potensi ketahuan keluarga Adelia saat ia di rumah Anjani kemarin siang. Sungguh gadis itu telah mengalihkan logikanya.Belum lagi perihal sandiwara istrinya yang belum ia tanyakan pasti ujungnya. Adelia begitu fokus pada kesalahan suaminya, mungkin baginya itu hal utama. Namun tersingkapnya sandiwara besar itu jelas akan memperunyam urusan atau bahkan berpotensi menghancurkan hubungan mere
Adelia terbangun karena perutnya lapar dan gerah. Kipas angin di kamarnya tak mampu menyejukkan udara. Ia lirik suami di sebelahnya, masih terlelap dengan dengkur yang mendesis. Ia raih gawai di atas nakas. Sudah jam sebelas tiga puluh. Pantas saja cahaya dari atas kusen jendela sudah begitu terang. Sepanjang malam tak tidur membuat mereka membalas waktu tidur sampai tengah hari.Perlahan Adelia bangkit, sisa-sisa tangisnya semalam masih terasa di kelopak mata. Pandangannya terasa kurang sempurna. Gontai ia berjalan keluar dari kamar. Ia tak peduli hari ini David ada jam mengajar atau tidak, kesehatan suaminya lebih penting.Adelia membuka lemari esnya, mencari apa ada yang bisa diolah cepat untuk mengisi lambungnya yang kosong. Ia pindai seluruh isi lemari es. Ia raih dua butir telur dan segera mengecek tempat menanak nasi.“Kok nggak bangunin?” tanya David sambil meraih botol air minum dari lemari es.“Eh, udah bangun? Ada jam nggak ha
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi