Sudah dua hari Anjani tak menghubungi David. Tak ada notifikasi apa pun yang berasal dari pembimbing magangnya itu di gawainya. Anjani sengaja, ia ingin menjadikan hari ini spesial. Mungkin saja ini hari terakhirnya bertemu dengan David mengenakan jas almamater dan melihat lelaki itu mengajar di sekolah. Tiga bulan berlalu, cukup banyak hal terjadi di setengah waktu siangnya di sekolah. Apalagi di hati, banyak kejadian yang merobohkan kembali tatanan hatinya.
Pukul tujuh kurang lima belas menit, Anjani tiba di sekolah. Rekan-rekan sesama mahasiswa magang hampir semuanya sudah hadir. Mereka sudah menyiapkan cinderamata untuk sekolah dan untuk pembimbing masing-masing. Sudah tak ada lagi kegiatan mengajar, mereka hanya berbincang ringan dengan guru-guru dan beberapa murid. Umumnya ke murid, karena kesan terdalam ada pada mereka.
Tapi tidak untuk Anjani. Ia masih menanti kehadiran David yang tak berkabar dengannya sejak dua hari lalu. Bingkisan untuknya sudah ia siapkan d
“Apa? Kakak udah nikah? Sama Kak Adelia? Kapan?”Kedua mata Anjani berbinar-binar. Ia tersenyum dan begitu antusias. David mulanya meragu, tapi tak ada alasan lain selain mengatakan yang sebenarnya terjadi pada Anjani. Lagi pula ia hanya sebentar, Adelia menunggunya di mobil. Lelaki itu terlihat tak percaya dengan apa yang ia lihat. Anjani tidak hancur. Bahkan kelakarnya untuk menjadi istri David setelah lulus kuliah tadi seolah tak ada artinya.“Iya, kami sekarang suami istri, Jani.”Kedua insan itu saling terpaku. David sudah menyiapkan banyak iba untuk Anjani, ia juga sudah merelakan bila gadis itu nantinya tak akan lagi ada di hidupnya. Kini prioritasnya hanya Adelia, perempuan yang dua hari lalu ia nikahi. Sungguh berat menerima kenyataan ini.Anjani memandang kosong tatap lelaki di hadapannya. Kening lelaki itu mengernyit hingga ada lekukan di antara kedua alis matanya. Kenyataan pahit ini memang tak bisa ia hindari. Harapan
Anjani tak dapat berbuat banyak. Ia biarkan saja tubuhnya di rengkuh lelaki beristri itu. Tangis David semakin menjadi-jadi. Kini air matanya sudah meleleh, menetes di jas almamater milik Anjani. Gadis itu terenyuh, ia dapat rasakan gerakan tubuh David yang cepat karena isaknya. Kedua tangan Anjani bergerak dan perlahan membelai lembut punggung David.Sesuatu yang besar pasti sudah terjadi antara lelaki di pelukannya dan Adelia. Jika memang mereka saling mencinta dengan tulus, tak mungkin David menangis seperti ini. Dari awal mantan pacar tiga menit dan dua harinya ini memang tak berniat untuk mengakhiri hubungan dengannya. Ada hal yang disembunyikan David darinya. Hal itu pula yang menyebabkan lelaki ini datang ke rumah jam enam pagi hanya untuk memutuskan hubungan. Kini tiba-tiba menikah namun tak rela melepaskan gadis yang bukan siapa-siapanya.“Sudah, Kak. Jangan sampai ada yang liat kondisi kita ini, apa lagi murid.” Anjani melepaskan pelukan David.
Anjani masuk ke dalam kamarnya. Ia letakkan tas dan goodie bag berisi hadiah dari David dan Niko. Dilepaskan jas almamater dan ia lemparkan ke dalam basket pakaian kotor di sudut kamar. Gadis cantik itu segera mengganti kemeja putih dan midi skirt-nya dengan pakaian yang lebih ringan. Teriknya siang sudah cukup membuat perjalanan pulangnya begitu berat. Meski tak lebih berat dari menata ulang hatinya lagi.Ia raih dua buah kotak berbungkus kertas kado dari dalam goodie bag. Ia ambil yang berukuran lebih kecil, dari Niko. Anjani bahkan tak tahu kalau selama ini remaja kelas XII SMA itu memperhatikannya. Teman-teman sesama magang atau siswi-siswi memang sering membicarakan mantan ketua OSIS ini. Sepak terjangnya mungkin tak bisa dianggap remeh. Namun bagi Anjani, Niko sama sekali tak terlihat. Kharisma David begitu besar hingga menutup seluruh penglihatannya.Perlahan ia buka kertas kado itu. Sesekali ia melirik ke arah hadiah dari David. Senga
Pukul enam belas dua puluh tiga menit, wanita bertubuh pendek itu tergopoh-gopoh membawa kumpulan anak kunci di tangannya. Ia tersenyum singkat mendapati tatapan mata David dan Adelia yang mulai kehilangan kesabaran. Buru-buru ia memasukkan anak kunci dan memutarnya dua kali. Pintu utama rumah tipe 45 itu terbuka. Cukup bersih untuk rumah yang tidak ditinggali. Adelia masuk sambil menggapit lengan suaminya. Ia melihat tiap sudut rumah sambil mengernyitkan kening, kode ia tak suka dengan rumah ini. Padahal ini sudah rumah keenam yang mereka kunjungi. Wanita tadi dengan cepat membuka seluruh akses pintu setiap ruang agar lebih mudah untuk diperiksa dan dieksplorasi. Mata sepasang pengantin baru ini mendadak berbinar saat wanita itu membuka pintu akses ke halaman belakang. Hampir sama seperti rumah orang tua David, ada tiga anak tangga menuju halaman belakang. Bedanya jika di sana adalah akses menuju sumur, di sini boleh dibilang akses menuju spot favorit. Sejenak David
David menyelesaikan masbuknya. Ia sandarkan tubuhnya pada tiang bulat di tengah Masjid. Tangannya menengadah dan bibirnya melantunkan doa-doa untuk kedua orang tua dan pujian untuk Allah. Namun otaknya terus memikirkan Adelia yang tak kunjung kembali pada mood baik sejak meninggalkan calon rumah kontrakan mereka. David memejamkan mata mendongakkan kepalanya. Ada sesal yang kini terasa telah menempuh jalan ini. Tapi percuma, karena waktu tak mungkin bisa kembali. Gawai di sling bag David bergetar. Ada rasa enggan meraih telepon pintar itu. Ia tak ingin merusak koneksinya yang masih tersambung pada Tuhannya lepas sholat magrib tadi. Namun David kebali teringat wajah muram istrinya. Bisa jadi itu panggilan atau pesan dari Adelia. David meraih gawainya dari dalam tas. Benar, pesan dari Anjani. Mengirim pesan yang kini terasa seperti ancaman. Padahal kemarin pesan dari gadis berkacamata itu begitu menggembirakan. Tak ada yang penting, hanya pesan seorang
Perempuan cantik itu segera menghambur keluar saat David menghentikan mobilnya. Ia berlari kecil menuju tepi halaman parkir hotel. Sejenak ia berjalan pelan dan memastikan tempatnya berdiri sudah aman. Beberapa detik ia tampak merentangkan tangannya, memejamkan mata menghirup dalam-dalam udara malam tepi jurang itu. Namun ia segera mendekap dirinya sendiri, angin malam lebih tangguh dari pada kecantikannya.David menghela napasnya dalam. Jika bukan permintaan perempuan yang baru ia nikahi itu, ia tak mungkin ke tempat ini lagi. Ia sadar, kini ada hati yang wajib ia jaga bukan hanya merawat hatinya sendiri. Jika dulu sampai ada dua gadis yang ia coba gembirakan, kini tidak akan mungkin. Dengan 24 jam sehari bersama Adelia, tak mungkin rasanya ia masih mengurusi hati perempuan lain.Adelia menoleh ke arah David. Wajahnya tampak berseri-seri meski tubuhnya seolah mengecil menahan dingin. Ia melambaikan tangannya, meminta David untuk segera menjumpainya di sana. Dengan gon
Adelia terpaku melihat suaminya berlalu begitu saja setelah menyerahkan gawai miliknya. David keluar dari kamar hotel yang baru saja mereka masuki. Tak ada pesan apa pun yang terucap dari bibir David. Lelaki itu seperti tertampar kenyataan pahit oleh istrinya sendiri. Sejak tadi ia sudah merelakan hatinya berantakan karena terpaksa ke tempat ini. Namun panggilan telepon di gawai istrinya menjadi puncak dari emosi yang tak bisa lagi dikondisikan.Gawai itu masih berdering dan terpampang nama Rangga di sana. Getarannya tak lebih kuat dari jantung Adelia yang sadar telah membuat hati suaminya terluka. Ia biarkan gawai itu terus berdering. Perempuan itu mengenakan lagi hijabnya yang baru beberapa menit lalu ia tanggalkan. Menyusul David adalah satu-satunya hal yang ia pikirkan sekarang.“Aku udah pesenin makan, nanti kalau ada yang nganter ke kamar terima aja ya? Aku keluar dulu,” pesan David.Adelia berusaha membalas dengan menanyakan keberadaan suaminy
“Sayang ... sarapan dulu,” bisik Adelia di telinga suaminya.David menggeliat di dalam selimut. Perlahan ia membuka matanya. Sejenak matanya berkeliling mencoba memastikan dimana ia berada. Lalu ia merubah posisinya saat sudah menyadari ia berada di kamar hotel. Cahaya matahari pagi sudah terpendar dari lebarnya kaca jendela meski tak langsung menerpanya. David menyipitkan mata, kepalanya masih terasa berat. Kantuknya belum betul-betul hilang.Adelia duduk di sisinya sambil mengusap lengan dan kaki menggunakan lotion. Ia sudah mandi dan berpakaian rapi. Aroma segar sabun mandi tercium dengan jarak sedekat ini. Perempuan itu sedang menyadari tengah di perhatikan oleh suaminya. Ia sedikit melirik dan melanjutkan aktivitasnya mengikat rambut panjangnya.“Mau kemana?” tanya David.“Kerja,” jawab Adelia singkat.“Astaga, cutimu sudah habis ya?” Adelia mengangguk.Emosi David sudah tampak mereda sete