Beranda / Romansa / Bulu Perindu / Sebuah Awal II

Share

Sebuah Awal II

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Anjani tak dapat berbuat banyak. Ia biarkan saja tubuhnya di rengkuh lelaki beristri itu. Tangis David semakin menjadi-jadi. Kini air matanya sudah meleleh, menetes di jas almamater milik Anjani. Gadis itu terenyuh, ia dapat rasakan gerakan tubuh David yang cepat karena isaknya. Kedua tangan Anjani bergerak dan perlahan membelai lembut punggung David.

Sesuatu yang besar pasti sudah terjadi antara lelaki di pelukannya dan Adelia. Jika memang mereka saling mencinta dengan tulus, tak mungkin David menangis seperti ini. Dari awal mantan pacar tiga menit dan dua harinya ini memang tak berniat untuk mengakhiri hubungan dengannya. Ada hal yang disembunyikan David darinya. Hal itu pula yang menyebabkan lelaki ini datang ke rumah jam enam pagi hanya untuk memutuskan hubungan. Kini tiba-tiba menikah namun tak rela melepaskan gadis yang bukan siapa-siapanya.

“Sudah, Kak. Jangan sampai ada yang liat kondisi kita ini, apa lagi murid.” Anjani melepaskan pelukan David.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bulu Perindu   Tanda Cinta

    Anjani masuk ke dalam kamarnya. Ia letakkan tas dan goodie bag berisi hadiah dari David dan Niko. Dilepaskan jas almamater dan ia lemparkan ke dalam basket pakaian kotor di sudut kamar. Gadis cantik itu segera mengganti kemeja putih dan midi skirt-nya dengan pakaian yang lebih ringan. Teriknya siang sudah cukup membuat perjalanan pulangnya begitu berat. Meski tak lebih berat dari menata ulang hatinya lagi.Ia raih dua buah kotak berbungkus kertas kado dari dalam goodie bag. Ia ambil yang berukuran lebih kecil, dari Niko. Anjani bahkan tak tahu kalau selama ini remaja kelas XII SMA itu memperhatikannya. Teman-teman sesama magang atau siswi-siswi memang sering membicarakan mantan ketua OSIS ini. Sepak terjangnya mungkin tak bisa dianggap remeh. Namun bagi Anjani, Niko sama sekali tak terlihat. Kharisma David begitu besar hingga menutup seluruh penglihatannya.Perlahan ia buka kertas kado itu. Sesekali ia melirik ke arah hadiah dari David. Senga

  • Bulu Perindu   Permintaan Pertama

    Pukul enam belas dua puluh tiga menit, wanita bertubuh pendek itu tergopoh-gopoh membawa kumpulan anak kunci di tangannya. Ia tersenyum singkat mendapati tatapan mata David dan Adelia yang mulai kehilangan kesabaran. Buru-buru ia memasukkan anak kunci dan memutarnya dua kali. Pintu utama rumah tipe 45 itu terbuka. Cukup bersih untuk rumah yang tidak ditinggali. Adelia masuk sambil menggapit lengan suaminya. Ia melihat tiap sudut rumah sambil mengernyitkan kening, kode ia tak suka dengan rumah ini. Padahal ini sudah rumah keenam yang mereka kunjungi. Wanita tadi dengan cepat membuka seluruh akses pintu setiap ruang agar lebih mudah untuk diperiksa dan dieksplorasi. Mata sepasang pengantin baru ini mendadak berbinar saat wanita itu membuka pintu akses ke halaman belakang. Hampir sama seperti rumah orang tua David, ada tiga anak tangga menuju halaman belakang. Bedanya jika di sana adalah akses menuju sumur, di sini boleh dibilang akses menuju spot favorit. Sejenak David

  • Bulu Perindu   Memori

    David menyelesaikan masbuknya. Ia sandarkan tubuhnya pada tiang bulat di tengah Masjid. Tangannya menengadah dan bibirnya melantunkan doa-doa untuk kedua orang tua dan pujian untuk Allah. Namun otaknya terus memikirkan Adelia yang tak kunjung kembali pada mood baik sejak meninggalkan calon rumah kontrakan mereka. David memejamkan mata mendongakkan kepalanya. Ada sesal yang kini terasa telah menempuh jalan ini. Tapi percuma, karena waktu tak mungkin bisa kembali. Gawai di sling bag David bergetar. Ada rasa enggan meraih telepon pintar itu. Ia tak ingin merusak koneksinya yang masih tersambung pada Tuhannya lepas sholat magrib tadi. Namun David kebali teringat wajah muram istrinya. Bisa jadi itu panggilan atau pesan dari Adelia. David meraih gawainya dari dalam tas. Benar, pesan dari Anjani. Mengirim pesan yang kini terasa seperti ancaman. Padahal kemarin pesan dari gadis berkacamata itu begitu menggembirakan. Tak ada yang penting, hanya pesan seorang

  • Bulu Perindu   Dua Memori

    Perempuan cantik itu segera menghambur keluar saat David menghentikan mobilnya. Ia berlari kecil menuju tepi halaman parkir hotel. Sejenak ia berjalan pelan dan memastikan tempatnya berdiri sudah aman. Beberapa detik ia tampak merentangkan tangannya, memejamkan mata menghirup dalam-dalam udara malam tepi jurang itu. Namun ia segera mendekap dirinya sendiri, angin malam lebih tangguh dari pada kecantikannya.David menghela napasnya dalam. Jika bukan permintaan perempuan yang baru ia nikahi itu, ia tak mungkin ke tempat ini lagi. Ia sadar, kini ada hati yang wajib ia jaga bukan hanya merawat hatinya sendiri. Jika dulu sampai ada dua gadis yang ia coba gembirakan, kini tidak akan mungkin. Dengan 24 jam sehari bersama Adelia, tak mungkin rasanya ia masih mengurusi hati perempuan lain.Adelia menoleh ke arah David. Wajahnya tampak berseri-seri meski tubuhnya seolah mengecil menahan dingin. Ia melambaikan tangannya, meminta David untuk segera menjumpainya di sana. Dengan gon

  • Bulu Perindu   Karena Sebuah Panggilan Telepon

    Adelia terpaku melihat suaminya berlalu begitu saja setelah menyerahkan gawai miliknya. David keluar dari kamar hotel yang baru saja mereka masuki. Tak ada pesan apa pun yang terucap dari bibir David. Lelaki itu seperti tertampar kenyataan pahit oleh istrinya sendiri. Sejak tadi ia sudah merelakan hatinya berantakan karena terpaksa ke tempat ini. Namun panggilan telepon di gawai istrinya menjadi puncak dari emosi yang tak bisa lagi dikondisikan.Gawai itu masih berdering dan terpampang nama Rangga di sana. Getarannya tak lebih kuat dari jantung Adelia yang sadar telah membuat hati suaminya terluka. Ia biarkan gawai itu terus berdering. Perempuan itu mengenakan lagi hijabnya yang baru beberapa menit lalu ia tanggalkan. Menyusul David adalah satu-satunya hal yang ia pikirkan sekarang.“Aku udah pesenin makan, nanti kalau ada yang nganter ke kamar terima aja ya? Aku keluar dulu,” pesan David.Adelia berusaha membalas dengan menanyakan keberadaan suaminy

  • Bulu Perindu   Gangguan Kebetulan

    “Sayang ... sarapan dulu,” bisik Adelia di telinga suaminya.David menggeliat di dalam selimut. Perlahan ia membuka matanya. Sejenak matanya berkeliling mencoba memastikan dimana ia berada. Lalu ia merubah posisinya saat sudah menyadari ia berada di kamar hotel. Cahaya matahari pagi sudah terpendar dari lebarnya kaca jendela meski tak langsung menerpanya. David menyipitkan mata, kepalanya masih terasa berat. Kantuknya belum betul-betul hilang.Adelia duduk di sisinya sambil mengusap lengan dan kaki menggunakan lotion. Ia sudah mandi dan berpakaian rapi. Aroma segar sabun mandi tercium dengan jarak sedekat ini. Perempuan itu sedang menyadari tengah di perhatikan oleh suaminya. Ia sedikit melirik dan melanjutkan aktivitasnya mengikat rambut panjangnya.“Mau kemana?” tanya David.“Kerja,” jawab Adelia singkat.“Astaga, cutimu sudah habis ya?” Adelia mengangguk.Emosi David sudah tampak mereda sete

  • Bulu Perindu   Kode Gagal

    Entah Melisa mengerti atau tidak dengan kode yang David berikan. Ia buru-buru mengikat rambutnya ke belakang dan mengancingkan kemejanya hingga dekat ke leher. Lalu ia memeluk tasnya. Ia sudah siap dengan pengakuan dadakan kepada Adelia dalam sambungan panggilan video. David meraih gawainya dan mengarahkannya pada Melisa.“Oh, ini ada pekerja hotel. Nebeng aku sampai bawah. Katanya anaknya sakit, dia harus pulang tapi ojek nggak ada yang mau jemput ke atas,” terang David.“Halo, Mbak. Maaf saya nebeng sama suaminya. Soalnya saya nggak punya pilihan lain. Anak saya sendirian di rumah,” tutur Melisa dengan wajah memelas.“Oh, iya, Mbak. Nggak apa, suruh suami saya anterin Mbaknya sekalian. Jauh nggak rumahnya?” tanya Adelia dari seberang. Sandiwara mereka berdua cukup kuat untuk mengelabui Adelia.“Dekat Universitas Utama, Mbak. Nggak apa saya sampai bawah aja, Mbak. Naik ojek lebih cepat. Biasanya jalan ke arah rum

  • Bulu Perindu   Bertemu Mama

    Adelia menghela napasnya dalam-dalam. Belum genap tiga hari rumah ini ia tinggalkan, tapi rasanya ia pulang bagai anak perantauan. Mobil yang mengantarnya sudah berlalu, namun ia masih saja memandang rumah bercat putih itu dari luar pagar. Halaman dan carport saksi ia tumbuh besar bermain di atasnya tak banyak berubah. Perlahan ia buka pagar dengan mendorongnya.Seorang wanita bertumbuh gempal keluar dari dalam rumah. Ia terlihat ragu untuk menyapa Adelia. Matanya menyipit seolah mencoba mengenali anak bungsu majikannya itu.“Betul, Bik. Saya Adelia, Mama ada, Bik?” seru Adelia sembari tersenyum. Ia langsung saja membuka sepatunya.“Oh, Mbak Adel. Ibu ada, Mbak. Mari masuk, Ibu sudah menunggu,” Wanita itu setengah membungkukkan badannya dan mempersilahkan Adelia masuk.Aroma dalam rumah ini tak pernah Adelia temukan dimanapun. Aroma yang selalu membuat perasaannya tenang, sekaligus membuatnya selalu ingin pulang. Ruang tamu sudah k

Bab terbaru

  • Bulu Perindu   Batal (TAMAT)

    Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada

  • Bulu Perindu   Dukungan

    “Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb

  • Bulu Perindu   Tetap Hidup

    “Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug

  • Bulu Perindu   Ijinkan Aku Pergi

    “Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir

  • Bulu Perindu   Permohonan

    Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka

  • Bulu Perindu   Harapan Mantan Mertua

    Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal

  • Bulu Perindu   Sebuah Perpisahan

    Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu

  • Bulu Perindu   Seminggu Lagi

    Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka

  • Bulu Perindu   Long Macchiato

    Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi

DMCA.com Protection Status