"Dokter Meysa" panggil Miranda lirih lalu memberi isyarat kehadiran Saga dan Arana. "Iya" jawab dokter Meysa sambil tersenyum ramah pada Saga dan Arana. "Ada yang ingin bertemu dengan kamu." Beritahu nya pada Rendra, "Kamu pasti senang bertemu dengan mereka." Meysa lalu bangkit dan mempersilahkan. Saga dan Arana untuk duduk di kursi berhadapan dengan Rendra. "Jangan menyentuh anggota tubuh pasien" pesan Dokter Meysa memperingatkan. "Iya Dok" jawab Saga setelah membantu Arana duduk. . "Rendra lihatlah siap yang datang?" Instruksi Dokter Meysa. Rendra mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk. Menatap Saga dan Arana bergantian. "Keysa Arana" gumamnya memandang sendu pada Arana. "Hai Rey," sapa Arana dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Rendra tersenyum lebar, "Akhirnya kamu mengenaliku" Mendengar panggilan lama Arana padanya membuat hati Rendra menghangat. "Aku mencintaimu dengan seluruh jiwaku, hingga tanpa sadar aku kehilangan diriku sendiri saat kau pergi" tutur Rendra
Rendra tersenyum, "Tentu saja. Kamu pasti mencintainya...." Rendra terdiam memandang Saga intens. Dokter Meysa memberi isyarat agar perawat mendekati Rendra berjaga jika Rendra marah dan lepas kendali. Sedang dirinya sudah bersiap dengan suntikan yang sudah selalu siap di dalam saku jasnya.Saga sendiri sudah merentangkan tangannya didepan tubuh Arana dengan pandanganya siaga tertuju pada Rendra didepannya yang di pisahkan oleh meja persegi yang cukup besar. "Kamu pasti bisa menjaganya lebih baik dari pada aku." Saga tercengang, menatap tepat pada mata hitam milik Rendra. Untuk beberapa detik sampai dia merasa yakin dengan ucapan adiknya itu. "Jagalah dia! Jangan sampai dia terluka lagi." pungkas Rendra bersamaan dengan butiran bening mengalir dari sudut matanya. "Pasti." Saga mengangguk. "Aku pasti akan menjaganya, kamu tidak perlu khawatir."Rendra tersenyum lalu kembali menundukkan kepalanya, memegang pensil menggambar sebuah awan di atas kertas putih yang ada di atas meja. "
Arana bersama Lastri sedang di ruang tengah rumahnya. Sibuk dengan persiapan acara empat bulanan kehamilannya besok. "Na, kue yang buat besok sudah di pesan?" tanya Lastri tanpa mengalahkan perhatiannya pada tumpukan undangan di pangkuannya. "Sudah Bu." jawab Arana sambil memeriksa ponselnya. "Ingetin lagi Catering nya, jangan sampai lupa besok jam 7 pagi harus sudah diantar makanannya" "Iya, Bu. Ini lo aku kirim pesan sama pihak catering nya." "Oh iya, kamu sudah telfon Bunda kamu belum?" Lastri menoleh pada Arana yang duduk di sebelahnya. "Ibu aja yang telfon." sahut Arana tanpa mengalihkan fokusnya pada benda pipih di tangannya. Lastri menghela nafas pelan. "Kamu harus bisa memaafkan nya. Kamu sudah mau jadi seorang Ibu. Kamu pasti mencintai anak kamu kan? Sama seperti Bunda kamu, dia sangat menyayangimu" Lastri memiringkan tubuhnya lalu mengelus rambut panjang perempuan yang sudah dirawat dan dibesarkannya seperti anaknya sendiri. "Tidak baik menyimpan kebencian terlalu l
Acara di tutup dengan do'a dari sang ustad dan diamini oleh semua orang yang hadir. Setelahnya di bagikan suvernir berupa mukena untuk undangan wanita dan sarung untuk undang pria tidak lupa di di berikan pula mukena di salam wadah besek yang di bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tas. Setelah semua sana agak sepi, Ryan dan Mamnya mendekati Arans dan Saga."Arana," sapa Ryan. "Ryan. Mama Laras, apa kabar?" Arana mengulurkan tangannya menyalami Ryan lalu sedikit membungkuk untuk memeluk Laras yang duduk di kursi roda. "Alhamdulillah Mama sehat." jawab Laras, "Selamat ya untuk kehamilan kamu. Semoga ibu dan bayinya sehat, lancar nanti dalam persalinannya" Laras mendo'akan. "Amiin. Makasih Ma" ucap Arana dengan senyum mengembang di wajahnya. "Terima kasih sudah datang" Saga mengulurkan tangannya ke Ryan. "Sama-sama. Selamat untuk kehamilan Arana. Semoga lancar saat persalinan nanti" Ryan menyambut jabat tangan tangan Saga serta mendo'akan kebaikan untuk sahabatnya. Saga ber
"Arana. Kiara mau bicara sama kamu" kata Aditama setelah beberapa saat hanya diam. Aran mengalihkan pandangan nya pad Kiara pada Aditama, "Silahkan. Bicara saja" jawabnya cuek. "Aku mau minta tolong sama kamu" Kiara membuka mulutnya setelah sejak datang hanya diam. Arana tak menjawab, hanya menatap datar pada Kiara yang juga menatapnya. "Cabut gugatan atas suami aku!" Tanpa basa basi Kiara mengatakan permintaannya. Mendengar nya Ratih menutup matanya sembari menghela nafas panjang. Menyesalkan sikap Kiara yang tidak meminta maaf atas semua kesalahannya terlebih dulu. Namun, Kiara langsung mengatakan permintaan nya dengan nada angkuh dan memerintah. "Soal itu bicaralah pada Kak Raka, aku sama sekali tidak tahu menahun soal perusahaan." ujar Arana tetap dengan ekspresi tenang sekalipun emosinya susah terpancing dengan gaya bicara Kiara. "Bukannya Kak Raka kamu yang memberi kuasa? Dia pasti menurut apa katamu" Kiara mulai memaksa. "Itu kamu tahu, jika aku sudah memberikan hak kua
Pov Arana"Mas, bebaskan Duta. Jual saja sahamnya aku tidak menginginkan nya." pintaku dengan air mata yang sudah tidak bisa ku tahan lagi. Aku tidak bisa lagi melihat tatapan terluka Bunda. Sepertinya dia begitu sedih melihat keadaan Mbak Kiara. Bagi Bunda Mbak Kiara adalah putri kesayangannya tentu saja hatinya hancur melihat keadaan Kiara sekarang. "Iya. Jangan menangis." Mas Saga memeluk ku, "Apapun akan aku lakukan buat kamu. Tapi jangan menangis aku gak bisa lihat kamu nangis" bisik Mas Saga di telingaku. Mas Saga mengurai pelukannya lalu mengusap kedua pipiku. "Aku mau ke kamar." pintaku yang langsung di iyakan oleh Mas Saga. Kak Raka yang sejak tadi di sampingku ikut berdiri memegangi lenganku agar tidak terjatuh, Kaki ku sedikit lemas. Kulihat Bapak menatapku cemas, aku tersenyum agar dia tak perlu khawatir. Saat aku ingin berbalik baru aku menyadari keberadaan Bunda. Aku pikir Bunda sudah pergi bersama Ayah dan Mbak Kiara, ternyata Bunda masih disini sambil menatapku i
Pov Saga. Sudah tiga hari ini Arana menempati kamar VIP di rumah sakit. Dia sudah merengek minta pulang. Namun belum aku kabulkan, selama dokter belum menyatakan dia benar-benar sudah sehat. Dokter mengatakan keadaannya belum pulih benar, tensi nya masih sangat rendah untuk ukuran orang normal. Apalagi sekarang dia sedang hamil dan kandungannya lemah, karena itu Dokter menyarankan untuk Arana dirawat beberapa hari dulu di rumah sakit. Setiap hari Ibu selalu datang untuk ikut menjaga Arana. Tapi saat malam beliau pulang dan datang lagi keesokan harinya. Mama juga tidak pernah absen menjenguk Arana, Mama datang sebelum pergi menemani Rendra menjalani terapi. Bunda Ratih dan Ayah Adi bukannya tidak pernah datang tapi sengaja aku melarangnya untuk masuk. Aku meminta pengertian mereka agar bisa membiarkan Arana lebih tenang dulu. Ayah Adi mengerti, setelahnya dia tidak datang lagi hanya menelfon atau mengirim pesan menanyakan keadaan Arana. Namun sebaliknya dengan Bunda Ratih, dia te
"Mbak Arana tolong maafin Bunda ya." Pria kecil itu memandang Arana penuh harap. "Aku sering lihat Bunda melamun terus tiba-tiba nangis kalau di tanya kenapa? Bilangnya ingat sama Mbak Arana." kata Zidan bercerita. "Bunda bilang kalau Bunda nyesel, biar Mbak Arana maafin Bunda." Zidan menggoyang-goyangkan tangan Bundanya. Arana memandang sendu pada Bunda Ratih dan Zidan. Aku yakin penjelasan Zidan sedikit melunakkan hatinya. "Semua orang butuh kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik" bisik Saga di samping telinganya. "Tidak ada yang salah dengan memaafkan" ucap saga memeluknya dari samping. Dengan mata yang berkaca-kaca dia mengangguk, "Iya. Maafin Arana juga Bunda" ucapnya setelah berperang dengan hatinya. Ratih memandang Arana seperti tidak percaya. "Kamu mau maafin Bunda" tanya Ratih dengan air mata yang sudah merembes di pipinya. "Beneran mau maafin Bunda" ulangnya. "Iya Bunda." jawab Arana lalu tersenyum."Makasih sayang. Bo leh Bunda pe luk kamu?" pinta Ratih ragu -ragu.