Pov Arana"Mas, bebaskan Duta. Jual saja sahamnya aku tidak menginginkan nya." pintaku dengan air mata yang sudah tidak bisa ku tahan lagi. Aku tidak bisa lagi melihat tatapan terluka Bunda. Sepertinya dia begitu sedih melihat keadaan Mbak Kiara. Bagi Bunda Mbak Kiara adalah putri kesayangannya tentu saja hatinya hancur melihat keadaan Kiara sekarang. "Iya. Jangan menangis." Mas Saga memeluk ku, "Apapun akan aku lakukan buat kamu. Tapi jangan menangis aku gak bisa lihat kamu nangis" bisik Mas Saga di telingaku. Mas Saga mengurai pelukannya lalu mengusap kedua pipiku. "Aku mau ke kamar." pintaku yang langsung di iyakan oleh Mas Saga. Kak Raka yang sejak tadi di sampingku ikut berdiri memegangi lenganku agar tidak terjatuh, Kaki ku sedikit lemas. Kulihat Bapak menatapku cemas, aku tersenyum agar dia tak perlu khawatir. Saat aku ingin berbalik baru aku menyadari keberadaan Bunda. Aku pikir Bunda sudah pergi bersama Ayah dan Mbak Kiara, ternyata Bunda masih disini sambil menatapku i
Pov Saga. Sudah tiga hari ini Arana menempati kamar VIP di rumah sakit. Dia sudah merengek minta pulang. Namun belum aku kabulkan, selama dokter belum menyatakan dia benar-benar sudah sehat. Dokter mengatakan keadaannya belum pulih benar, tensi nya masih sangat rendah untuk ukuran orang normal. Apalagi sekarang dia sedang hamil dan kandungannya lemah, karena itu Dokter menyarankan untuk Arana dirawat beberapa hari dulu di rumah sakit. Setiap hari Ibu selalu datang untuk ikut menjaga Arana. Tapi saat malam beliau pulang dan datang lagi keesokan harinya. Mama juga tidak pernah absen menjenguk Arana, Mama datang sebelum pergi menemani Rendra menjalani terapi. Bunda Ratih dan Ayah Adi bukannya tidak pernah datang tapi sengaja aku melarangnya untuk masuk. Aku meminta pengertian mereka agar bisa membiarkan Arana lebih tenang dulu. Ayah Adi mengerti, setelahnya dia tidak datang lagi hanya menelfon atau mengirim pesan menanyakan keadaan Arana. Namun sebaliknya dengan Bunda Ratih, dia te
"Mbak Arana tolong maafin Bunda ya." Pria kecil itu memandang Arana penuh harap. "Aku sering lihat Bunda melamun terus tiba-tiba nangis kalau di tanya kenapa? Bilangnya ingat sama Mbak Arana." kata Zidan bercerita. "Bunda bilang kalau Bunda nyesel, biar Mbak Arana maafin Bunda." Zidan menggoyang-goyangkan tangan Bundanya. Arana memandang sendu pada Bunda Ratih dan Zidan. Aku yakin penjelasan Zidan sedikit melunakkan hatinya. "Semua orang butuh kesempatan kedua untuk menjadi lebih baik" bisik Saga di samping telinganya. "Tidak ada yang salah dengan memaafkan" ucap saga memeluknya dari samping. Dengan mata yang berkaca-kaca dia mengangguk, "Iya. Maafin Arana juga Bunda" ucapnya setelah berperang dengan hatinya. Ratih memandang Arana seperti tidak percaya. "Kamu mau maafin Bunda" tanya Ratih dengan air mata yang sudah merembes di pipinya. "Beneran mau maafin Bunda" ulangnya. "Iya Bunda." jawab Arana lalu tersenyum."Makasih sayang. Bo leh Bunda pe luk kamu?" pinta Ratih ragu -ragu.
Di sisi Lain.Aditama sedang bersiap berangkat kekantor setelah mendapatkan telfon dari Raka ketika Dara, cucunya menangis histeris karena kedua orang tuanya bertengkar. "Ada apa sayang? Kenapa menangis?" tanya Aditama sambil menggendong cucu kesayangannya. "Mami sama Papi bentak bentak sama lempar barang, Dara takut kek." adu gadis kecil di gendongan Aditama itu. "Sudah jangan nangis ya! cucu kakek yan cantik nanti jadi jelek kalau nangis terus." bujuk Aditama. "Dara sama suster dulu. Kakek mau lihat Papa sama Mami dara dulu" katanya lalu menyerahkan Dara pada suster nya. Di ruang tengah sudah terdengar suara teriakan Kiara, "Kamu sudah bikin aku malu, Mas. Jujur sama aku, uang dari jual sahamku Mas pakai buat apa?" teriakan Kiara di iringi barang di banting. PYAAAARRRR"Kamu bisa gak ngomong gak usah pakai teriak-teriak, pusing aku dengarnya" balas Duta dengan meninggikan suaranya. "Kalau Mas jawab pertanyaan aku dengan jujur, aku gak akan teriak." Kiara menatap tajam suami
Sudah satu minggu Arana keluar dari rumah sakit. Setiap hari Ratih datang ke rumah jatmiko untuk bertemu dengan Arana, setelah mengantar Zidan ke sekolah. Setiap kali datang Ratih selalu membawakan makanan kesukaan Arana. Pagi ini Saga dan Arana duduk di bangku panjang di belakang rumah. Saga duduk dengan melipat kakinya memangku laptop yang sejak tadi dipandanginya. Sesekali Saga mengelus kepala dan perut buncit Arana yang duduk di sebelahnya sambil memakan buah jeruk. "Mau lagi jeruknya" tanya Saga tanpa mengalihkan fokusnya dari laptop di pangkuannya. "Gak Mas. Sudah kenyang" jawab Arana sembari melihat beberapa pekerja kebun memanen hasil kebun Bapaknya. Sekarang kebun Bapak Arana bertambah luas. Saga membeli tanah yang ada di samping kanan kiri kebun Jatmiko dan di atas namakan Jatmiko sebagai hadiah untuk Jatmiko dan Lastri. Jatmiko mempekerjakan beberapa orang untuk membantunya dan Lastri mengurus kebunnya. Tiga orang laki-laki dan dua orang ibu-ibu. "Assalamualaikum." sa
"Sayang kamu kenapa?" Saga mengikuti Arana masuk ke kamar. Arana duduk di sofa kamar tetap dengan kebisuannya yang membuat Saga bingung. Saga meletakkan laptopnya di meja belajar milik Arana. "Mas ada salah sama kamu? Kalau ada yang kamu gak suka, bilang. Jangan diam saja." Saga berlutut didepan Arana. "Mas beneran gak tau kalau kamu gak bicara sayang" ucapnya selembut mungkin. "Kamu marah karena Mas cuekin kamu?" tanya Saga lagi, meraih tangan Arana lalu di genggamnya, "Maaf tadi ada kerjaan yang harus segera di selesaikan"Arana tak menyahut tetap diam dan membuang muka kearah lain. Saga menghela nafas panjang, dia harus ekstra sabar menghadapi Arana yang sedang sensitif. Beberapa hari ini Arana jadi lebih gampang marah dan tersinggung. Sangat berbeda dengan Arana yang biasanya, tenang dan pengertian. Saga menghela nafas lagi."Aku minta maaf ya!" ucap Saga lalu ikut duduk disebelah Arana. "Maaf sudah buat kamu marah" Saga menarik tubuh Arana agar menghadap kearah nya. "Iya Mas
Saga mempercepat kecepatan mobilnya. Tak menghiraukan klakson dan umpatan orang yang dia salip. TIIN TIIIIIIINNNNN. "Brengsek,!!" umpat Saga saat mobilnya hampir saja menabrak pengendara motor yang tiba-tiba muncul menyebrang di depannya. "Sial.." Saga memukul stir mobilnya menatap kesal pada pengendara yang mengangguk-angguk meminta maaf. Saga mulai menjalankan mobilnya kembali dengan kecepatan lebih santai karena jarak rumahnya sudah dekat. "Assalamu'alaikum." ucap Saga melangkah masuk. "Sudah pulang Ga?" tanya Lastri yang duduk di ruang tengah bersama Ratih yang terlihat cemas. "Iya Bu" jawab Saga mencium tangan kedua wanita parah baya itu. "Arana belum bangun Bu?" tanyanya. "Belum Ga. Kamarnya di kunci dari dalam" jawab Lastri. "Sepertinya dia marah sama Bunda, karena ngomongin Kiara terus tadi" sahut Ratih dengan wajah sedih. "Kalau Bunda yang ketuk pintunya dia gak mau jawab" sambungnya. Saga menghela nafas lelah. Hari ini dia bebannya sangat banyak. "Arana memang kada
Pov Arana.Sejak kemarin aku tidur di kamar Kak Raka. Aku masih sakit hati dengan perkataan Mas Saga yang mengatakan aku seperti anak kecil dan berpikiran sempit. Aku merasa tidak pantas untuk menjadi pendampingnya. Aku istrinya tapi kenapa dia tidak berbicara dulu denganku jika dia ingin membantu Ayah menyelesaikan masalah Mbak Kiara. Mengapa harus di sembunyikan dariku? Apa Mas Saga pikir aku begitu jahat sehingga tak mengizinkan dia membantu Ayah. Ya, aku akui beberapa hari ini aku begitu sensitif dan mudah sekali marah. Namun itu bukan alasan menganggap aku anak kecil yang tidak pantas di ajak tukar pikiran dan mendengarkan keluh kesahnya.Sejak dulu Mas Saga memang seperti itu, tidak pernah mengatakan masalahnya padaku. Dia selalu Menyimpan masalahnya sendiri tanpa sedikit pun ingin berbagi masalah dengan ku. Itu membuatku merasa menjadi orang bodoh dan tidak penting untuk nya. Bahkan sekedar menjadi tempat nya berkeluh kesah saja tidak bisa. Setidak berguna itu kah aku? Bunda
Tiga tahun setelah nya. "Aksara tidak boleh lari-larian di dalam rumah." seru Arana memberi peringatan pada Putri semata wayangnya yang berlarian mengejar Endharu anak dari Raka. "Hati-hati nanti jatuh sayang...!" Miranda menyahut dari dapur sambil membawa puding coklat yang dia buat tadi pagi untuk cucu kesayangannya. "Mas anak kamu itu lo, nanti jatuh." gerutu Arana pada Saga yang hanya diam saja melihat putrinya berlarian. "Kalau aku yang menegurnya, dia akan langsung menangis, lebih baik kamu saja yang menegurnya." ujar Saga pelan dengan pandangan tak lepas dari Aksara. Arana menghela nafas panjang, putrinya itu memang sagat pintar. Setiap kali Saga menegurnya dia akan langsung menangis dan membuat Saga tidak tega. Namun jika Arana yang menegurnya tidak akan di hiraukan olehnya karena bagi Aksara mendengar omelan Arana adalah hal yang biasa. Berbeda dengan Saga yang jarang mengomel tapi ekspresi wajahnya akan sangat menakutkan jika sedang marah. Dengan malas Arana beranjak
Arana dan Aksara sudah cantik dengan gaun ala princess berwarna pink soft yang di desain sendiri sama Arana. Sedangkan Saga sangat tampan dengan memakai kemeja yang berwarna senada dengan gaun yang di pakai istri dan anaknya. Saga melipat lengan kemejanya keatas sampai ke sikunya, memperlihatkan lengan kekarnya. Saga menggendong Aksara dengan Arana disampingnya berdiri didepan kue ulang tahun menerima ucapan selamat dan kado dari para tamu undangannya. Nampak Jordan diantar para tamu bersama anak dan istrinya yang sudah di boyongnya pulang kembali dari kota B. "Selamat ulang tahun Aksara" ucap Mutiara istri Jordan sambil tersenyum pada juniornya di kampus dulu. "Mbak Mutia," pekik Arana dengan wajah sumringah, "Ya Alloh Mbak. Apa kabar?" Arana menanyakan kabar seniornya dulu setelah dia mengurai pelukan nya. "Puji Tuhan, saya baik Arana." jawab Mutiara, "Meskipun telat selamat ya untuk kelahiran putri kamu dan Saga." ucap Mutiara memberi selamat pada Arana, "Iya Mbak terima kasih
Hari ini semua orang sedang sibuk menyiapkan ulang tahun Aksara, putri pertama Sagara Bagaskara sekaligus cucu pertama dari keluarga Bagaskara. Bima dan Miranda sudah pulang kembali dari Madrid sejak dua hari yang lalu, namun tidak dengan Rendra, mereka tetap meminta Rendra untuk tinggal disana sampai kuliah Kedokteran nya selesai. Arana sedang duduk di sofa ruang tengah sedang sibuk dengan kertas-kertas bon mengecek apa ada yang kurang untuk acara ulang tahun Aksara yang akan di adakan besok pagi. Tidak jauh dari Arana duduk, nampak Miranda sedang menggendong Aksara sambil sesekali menimang cucu pertamanya tersebut. "Ma Aksara sudah bisa jalan. Gak perlu di gendong terus nanti Mama capek" Arana mengingatkan mertua nya agar tidak memanjakan putrinya dan membuatnya didrinya kelelahan."Gak papa ya Aksara, Oma gak capek kok. Aksara masih ingin di gendong oma Mama" jawab Miranda sambil mencium pipi chubby Aksara. "Oh ya Na. Caterina buat besok sudah siap semua kan?" tanya Miranda masi
"Suami, atau Mantan suami?" tanya Gibran dengan nada sinis, "Atau mungkin calon mantan suami. Aku dengar perceraian kalian sudah diproses sejak dua tahun yang lalu." "Maaf, Seperti nya Kak Gibran salah faham" sahut Arana berusaha menengahi sambil menggenggam tangan Saga yang sudah mengepal kuat. "Kamu tidak perlu berbohong lagi Ara. Aku sudah tahu semuanya, kamu di paksa menikah dengan dia kan?" kata Gibran pelan dan menatap Arana sendu. "Gibran," tegur Gio Saga yang sejak tadi mengamati kejadian di depannya "Jangan bicara sembarangan! Pak Saga tolong maafkan kelancangan Adik saya." Gio berdiri dan menarik adiknya agar menjauh dari Arana. Saga berdiri dan menarik Arana agar menempel padanya. "Ajari Adikmu sopan santun." ujar Saga sinis. "Iya maafkan saya yang kurang bisa mendidik Adik saya." jawab Gio sambil menunduk sopan. "Ck.. " Gibran berdecak kesal. "Jadi yang tadi kalian hanya bersandiwara menjadi suami istri yang romantis." cibir istri Gio. Mendengar kalimat kakak ipar
Saga dan Arana sampai di sebuah hotel berbintang tempat rekan bisnis Saga menggelar resepsi pernikahannya. "Wah,, Resepsi nya mewah sekali ya Mas," Arana memandang penuh kekaguman ketika mereka memasuki ballroom yang sudah di hias sedemikian rupa sehinga terlihat mewah dan berkelas. "Kamu suka?" tanya Saga menoleh pada sang istri yang di tangannya melingkar manis di lengan Saga. Arana menggeleng, "Tidak," jawabnya sambil matanya memandang pada pelaminan pengantin yang begitu megah. Saga tersenyum tipis mendengar jawaban istrinya itu. Bahkan Arana tidak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. Saga sudah sangat memahami Arana, dia wanita yang sederhana dan sangat pengertian. Tidak ada satu pun barang mewah yang pernah Arana beli. Baju, tas, sepatu, sandal yang Arana pakai adalah brand dalam negri yang harganya hanya ratusan ribu. Jika ada barang mewah yang Arana miliki itu adalah Saga yang membelinya. "Istriku memang berbeda," bisik Saga lalu mengecup rahang Arana sekilas. Arana
Hari ini Saga akan mengajak Arana ke acara resepsi pernikahan rekan bisnisnya. Untuk pertama kalinya Arana meninggalkan putrinya di rumah bersama Lastri. Sejak pulang dari menjenguk Kiara Lastri tidak pulang ke rumahnya. Dia sengaja menginap untuk menemani Arana karena Ratih sedang sibuk menjaga Kiara dan Dara. Arana memperhatikan penampilan yang memakai dress putih dengan panjang sedikit di bawah lutut melalui cermin yang ada di kamarnya. Wajahnya tersenyum puas melihat tampilannya sendiri. "Kamu canti sekali, sayang," puji Saga yang baru keluar dari ruang ganti. Saga berjalan mendekati Arana yang berdiri didepan cermin. Memeluknya melingkarkan tangan kekarnya di perut ramping Arana. Saga sedikit membungkukkan tubuhnya karena tinggi bedan mereka yang berbeda. CUP... Saga mencium rahang Arana. "Cantik, Kamu makin cantik jika wajahmu memerah karena malu" bisik Saga sembari memandangi wajah Arana dari pantulan cermin. Arana tersipu malu, "Mas, sekarang makin pinter gombal ya?" sah
Saga sedang menuruni tangga dengan Aksara di pelukannya. Dia membawa bayi kecil itu duduk di sofa ruang tengah sembari menunggu Arana menyiapkan makan malam bersama Bi Sarti. Arana hanya akan mengerjakannya pekerjaan rumah jika Saga ada di rumah untuk menjaga Aksara. Saga sendiri sudah mewanti-wanti Arana agar tidak meninggalkan putri mereka sendirian. Mengingat perkembangan Aksara yang semakin hari semakin lincah dan menggemaskan. Saga mengajak Aksara berbicara dan bercanda. Meski hanya celotehan yang tidak jelas namun bagi Saga itu obat mujarab untuk rasa penat dan lelahnya setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya kantor. "Mas, ayo makan!" seru Arana dari meja makan. "Iya, Mama" jawab Saga melangkah mendekati meja makan. "Bi, tolong ambilkan baby bouncer nya Aksara" pinta Arana pada Bi Sarti setelah wanita paruh baya itu meletakkan sepiring ayam goreng lengkuas buatannya tadi. "Sebentar ya sayang, Bibi sedang mengambilkan mu baby bouncer" Arana mengambil Aksara dari pangk
Arana meminta izin pada Kiara dan Lastri untuk keluar lebih dulu melihat putrinya Aksara. Saat sampai di luar kamar Arana langsung menuju teras samping rumah Aditama. Arana mendudukkan dirinya di kursi panjang dekat kolam renang. Dia menangis tersedu-sedu melepaskan air mata yang sudah di tahannya semenjak tadi setelah melihat kondisi Kiara. Arana merasa sangat sedih melihat keadaan saudara perempuannya yang sangat mengenaskan karena ulah suaminya. Duta laki-laki yang sangat di cintai Kiara semenjak masih kuliah dulu. "Sayang, kamu kenapa?" Saga menyusul Arana sambil menggendong Aksara yang sudah terbangun. "Mas," sahut Arana mengusap kasar air matanya. "Sini biar Aksara sama aku, mungkin dia haus" Arana mengulurkan tangannya mengambil Aksara dari gendongan Saga. "Haus Nak?" tanya Arana saat melihat Aksara menarik-narik baju di bagian dad* Arana. "Sepertinya dia memang haus dan lapar. Dia sudah bangun sejak tadi" sahut Saga sambil membersihkan bekas air mata di pipi mulus Arana.
Setelah Saga sampai di rumah mereka segera berangkat Ke rumah Aditama bersama dengan Jatmiko dan Lastri. Mereka sengaja menunggu Saga agar bisa berangkat bersama-sama untuk menjenguk Kiara. Selama perjalanan Aksara tampak begitu senang dan ceria. Ini pertama kalinya Aksara di ajak keluar rumah. Aksara duduk di pangkuan Lastri di kursi belakang. Aksara mengoceh sambil mata kecilnya melihat kearah jendela. Jatmiko dan Lastri sibuk meladeni celotehan bayi kecil yang menggemaskan tersebut. Sedang Arana memandang lurus ke depan sedang melamun."Sayang. Kenapa diam saja?" Saga menyentuh tangan Arana sambil pandangannya tetap fokus pada jalanan di depannya. Arana menoleh, "Gak papa cuma lagi mikirin Mbak Kiara saja." jawab Arana jujur mengutarakan kegelisahan nya. "Dia pasti sangat menderita Mas" tuturnya sedih. "Kamu terlalu baik sayang. Padahal dia sudah berulang kali menyakiti kamu, tapi kamu tetap saja memikirkan dia." sahut Saga sambil menggenggam tangan Arana dengan tangan kirinya.