Esoknya. Pukul 5 pagi Arana terbangun dari tidurnya. Memandang ke sekelilingnya lalu menghela nafas saat menyadari semua yang dialaminya bukan mimpi. "Ternyata bukan mimpi" gumamnya beranjak bangun menuju kamar mandi. Sekitar lima menit Arana keluar sari kamar maen di lalu melaksanakan kewajiban nya di pagi hari yaitu sholat shubuh. Arana berserah diri dengan segala ketetapan Tuhan atas hidupnya. Tangannya menengadah memohon rasa sabar dan tawakkal tetap tertanam di jiwa dan hatinya. Memohon kebaikan ujung dari cobaan yang saat ini di hadapinya. Untaian-untaian do'a terlantun sendu bersamaan dengan tetesan air mata mengalir dikedua pipinya. Tetes demi tetes air matanya mengiringi setiap lantunan do'a yang mengalun lirih dari bibirnya."Ampuni aku atas segala dosaku. Berkahilah aku dengan rasa sabar di setiap kesusahan ku. Jadikanlah aku orang yang berserah diri kepadaMu. Ya Alloh.. jadikanlah kebaikan akhir dari semua ini." mohon Arana dalam do'a nya. "Tidak ada kekuatan melebi
Pagi ini Arana dan Saga sarapan dengan tenang. Arana memakan sarapannya dengan diam. Ia sama sekali tak menyahut atau memprotes ketika Saga memberitahu semua barang-barang nya akan sampai sore nanti. Saga, melirik curiga ke Arana yang tak bergeming ketika ia mengatakan gaji terakhir dan uang pesangonnya akan di transfer ke rekeningnya bulan depan. 'Kenapa dia hanya diam saja? kenapa dia sama sekali tidak marah mendengar jika sudah tidak bekerja lagi Apa yang dia rencanakan?' Saga membatin. Begitu selesai Sarapan tetap dengan kediamannya Arana langsung beranjak lalu naik ke kamarnya di lantai dua.Saga mengedikkan bahunya, "Mungkin dia sudah menyerah bertengkar denganku terus" Saga tidak ambil pusing dengan sikap Arana yang memang seperti itu jika dia marah atau kesal Arana akan bersikap acuh tak acuh bahkan terkadang dia bersikap seperti orang yang tak saling kenal. Setelah selesai sarapan ia berangkat kerja setelah sebelumnya berpesan pada Bibi agar mengawasi Arana dan menelfon j
Arana pov "Ma, makan dulu ya!" aku membawa nampan berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya juga segelas air putih untuk mama Laras mamanya Ryan. "Cintya Arana? Kamu sudah datang nak?" sapanya saat melihatku memasuki kamarnya. "Mama kangen sama kamu Na. Ryan bilang kamu pasti datang. Ryan memang gak pernah bohong"Mama laras memelukku setelah ku letakkan nampan yang kubawa di meja. Sudah dua minggu aku tinggal disini, tapi mama Laras selalu mengatakan hal yang sama saat melihatku di pagi hari. Mama Laras mengalami gangguan mental sejak putri keduanya meninggal 6 tahun yang lalu. Adik Ryan itu bernama cintya. Dia meninggal karena dianiaya oleh papanya sendiri saat mabuk. Papa Ryan mengamuk memukuli Mama Laras dan cintya yang masih berumur 7 tahun. Karena kejadian itu Cintya meninggal dan Mama Laras kakinya patah. Sebenarnya Mama Laras sudah mencoba untuk melindungi Cintya tapi ia hanya seorang wanita yang tidak dapat menyaingi kekuatan pria yang sedang mabuk. Setelah
Arana pov. Rumah sakit Bakti husada, di sinilah kami sekarang. Berlari menuju ruang ICU dimana ayah di rawat.Setelah mendengar kabar ayah mengalami serangan jantung aku dan Ryan segera pulang ke kota asal kami. Dari bandara kami langsung menuju ke rumah sakit. Kak Raka yang melihat kedatangan kami langsung berdiri. "Arana," panggilnya begitu kami sampai di depan ruangan ICU. "Bagaimana keadaan ayah Kak?" tanyaku saat kami sudah berhadapan. "Masih di ruangan ICU. Tunggu beberapa jam baru bisa memastikan kondisinya stabil. Kemarin sempat membaik tapi tadi pagi drop lagi" jelas Kak Raka. "Lepas!" suara dari belakang kak Raka "Lepas mas, biar aku ngomong sama dia" Mbak Kiara menarik tangannya yang dipegang Duta, suaminya. Dia mendatangiku dengan tatapan sinis nya. "Ayah kritis" ketusnya menatapku tajam, "Dan itu karena kamu" dia mengacungkan jari telunjuknya ke arahku. "Gara-gara kamu perusahaan ayah terancam bangkrut. Kamu yang bikin masalah tapi kita yang harus menanggungnya" sun
Arana keluar dari ruang ICU. Lalu berjalan menuju Raka. "Kak, tolong tunggu disini sampai aku kembali" pintanya ke Raka. "Kamu mau kemana?" "Bicara dengan Saga"Arana mengalihkan pandangannya ke Ryan yang ada di sebelahnya."Pulanglah, kasihan Mama Laras. Setelah semuanya selesai aku akan menelfon mu" ujarnya. Setelahnya Arana meminta berbicara dengan Saga. Tanpa berkata apa-apa Saga berjalan menuju kantin rumah sakit di ikuti Arana dibelakangnya."Bicaralah!" kata Saga saat melihat Arana yang diam saja sejak mereka duduk di kantin rumah sakit. "Apa yang kamu mau?" tanya Arana tanpa memandang Saga. "Apa begitu caranya berbicara?" cibir Saga kesal. "Katakan apa yang kamu mau!" Arana mengulangi kalimatnya sambil menatap datar ke Saga yang juga menatap nya. "Aku mau kita kembali bersama" kata Saga tanpa basa basi. "Satu tahun cukup?" sahut Arana. "Maksudmu?" Saga mengerutkan dahinya. "Aku tidak tahu alasanmu ingin kembali bersama. Tapi seperti yang aku bilang hubungan kita suda
Sagara pov. "Arana!!" Jantung rasanya hampir copot melihat dia tergeletak dengan baju yang berlumuran darah di toilet. "Tidak, jangan seperti ini" Dengan gemetaran aku menepuk-nepuk pipinya pelan. Ya Tuhan tolong jangan sampai terjadi sesuatu padanya. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu padanya. "Arana bangun sayang." Aku mengendong nya lalu berlari ke ruang UGD. "Dokter tolong istri saya" Aku meletakkan Arana di ranjang pasien. Seorang dokter dan dua orang perawat segera mendekat. Aku berdiri agak menjauh karena perawat melarang ku mendekat dan aku menurut tidak ingin mengganggu mereka yang sedang memberi tindakan medis pada Arana. Tidak disuruh keluar saja aku sudah berterima kasih. "Istri anda sekarang sudah tidak apa-apa. Luka di tangannya tidak terlalu parah. Hanya saja tekanan darahnya istri anda sangat rendah dan juga kekurangan cairan. Sepertinya dia tidak makan sejak kemarin." Dokter menjelaskan. "Alhamdulillah"Aku merasa sangat lega mend
"Apa kamu akan memaksa, jika aku bilang tidak mau?"jawab Arana. "Kenapa?" Saga mengurungkan niatnya keluar kamar lalu berjalan mendekati Arana yang duduk di sisi ranjang. Bukannya menjawab Arana malah menunduk diam membisu sambil menautkan kedua tangannya bingung harus menjawab apa. "Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak mau. Istirahat lah aku berangkat kerja sekarang" Saga mengelus rambut Arana lalu melangkah keluar. Arana mengerutkan dahinya, merasa aneh dengan sikap Saga. Dia pikir mereka akan berdebat seperti sebelumnya. "Apa aku tidak salah dengar? Kenapa tidak memaksa" gumamnya "Mungkin kepala habis terbentur tembok" Arana mengedikkan bahunya cuek. •••Jam 4 sore Saga sampai di rumah. Dengan langkah lebar dia menaiki tangga menuju ke kamar mencari Arana. "Arana" panggilnya sambil membuka pintu kamar. "Apa?" jawab Arana yang sedang duduk di sofa sambil memegang sebuah novel yang sejak tadi dia baca. "Fhyuhh," Saga menghela nafas lega. Lalu menjatuhkan tubuhnya di atas
"Bawa mama masuk ke kamar Sus!" perintah Ryan tegas ke perawat Mamanya. Arana dan Saga sontak menoleh ke arah ruang tamu pada asal suara. "Ryan." pekik Arana "Maaf" ucapnya merasa tidak enak. Melihat wajah bersalah Arana Ryan mengangguk, "Tidak apa-apa." ujarnya mengerti. "Halo. Kenalkan aku Sagara Bagaskara, suami Arana" Saga mengulurkan tangan ke Ryan setelah sebelumnya berjalan mendekati Ryan. "Aku Ryanza Putra Admajda, sahabat Arana" Ryan menyambut tangan Saga. "Sahabat? Hanya sahabat" ucap Saga sinis. Memberi peringatan secara terselubung, bahwa mereka hanya bersahabat tidak lebih. "Tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa" sahut Ryan tak kalah sinis. Saga dan Ryan saling melempar tatapan tajam dan penuh permusuhan. Menyadari situasinya Arana segera menengahi. "Kamu tunggu disini sebentar!" suruh Arana ke Saga. Lalu tanpa menunggu jawaban Saga, Arana menarik tangan Ryan masuk ke kamar Mama Laras. Ada rasa cemburu merayapi hatinya melihat Keakraban Ryan dan Arana.
Tiga tahun setelah nya. "Aksara tidak boleh lari-larian di dalam rumah." seru Arana memberi peringatan pada Putri semata wayangnya yang berlarian mengejar Endharu anak dari Raka. "Hati-hati nanti jatuh sayang...!" Miranda menyahut dari dapur sambil membawa puding coklat yang dia buat tadi pagi untuk cucu kesayangannya. "Mas anak kamu itu lo, nanti jatuh." gerutu Arana pada Saga yang hanya diam saja melihat putrinya berlarian. "Kalau aku yang menegurnya, dia akan langsung menangis, lebih baik kamu saja yang menegurnya." ujar Saga pelan dengan pandangan tak lepas dari Aksara. Arana menghela nafas panjang, putrinya itu memang sagat pintar. Setiap kali Saga menegurnya dia akan langsung menangis dan membuat Saga tidak tega. Namun jika Arana yang menegurnya tidak akan di hiraukan olehnya karena bagi Aksara mendengar omelan Arana adalah hal yang biasa. Berbeda dengan Saga yang jarang mengomel tapi ekspresi wajahnya akan sangat menakutkan jika sedang marah. Dengan malas Arana beranjak
Arana dan Aksara sudah cantik dengan gaun ala princess berwarna pink soft yang di desain sendiri sama Arana. Sedangkan Saga sangat tampan dengan memakai kemeja yang berwarna senada dengan gaun yang di pakai istri dan anaknya. Saga melipat lengan kemejanya keatas sampai ke sikunya, memperlihatkan lengan kekarnya. Saga menggendong Aksara dengan Arana disampingnya berdiri didepan kue ulang tahun menerima ucapan selamat dan kado dari para tamu undangannya. Nampak Jordan diantar para tamu bersama anak dan istrinya yang sudah di boyongnya pulang kembali dari kota B. "Selamat ulang tahun Aksara" ucap Mutiara istri Jordan sambil tersenyum pada juniornya di kampus dulu. "Mbak Mutia," pekik Arana dengan wajah sumringah, "Ya Alloh Mbak. Apa kabar?" Arana menanyakan kabar seniornya dulu setelah dia mengurai pelukan nya. "Puji Tuhan, saya baik Arana." jawab Mutiara, "Meskipun telat selamat ya untuk kelahiran putri kamu dan Saga." ucap Mutiara memberi selamat pada Arana, "Iya Mbak terima kasih
Hari ini semua orang sedang sibuk menyiapkan ulang tahun Aksara, putri pertama Sagara Bagaskara sekaligus cucu pertama dari keluarga Bagaskara. Bima dan Miranda sudah pulang kembali dari Madrid sejak dua hari yang lalu, namun tidak dengan Rendra, mereka tetap meminta Rendra untuk tinggal disana sampai kuliah Kedokteran nya selesai. Arana sedang duduk di sofa ruang tengah sedang sibuk dengan kertas-kertas bon mengecek apa ada yang kurang untuk acara ulang tahun Aksara yang akan di adakan besok pagi. Tidak jauh dari Arana duduk, nampak Miranda sedang menggendong Aksara sambil sesekali menimang cucu pertamanya tersebut. "Ma Aksara sudah bisa jalan. Gak perlu di gendong terus nanti Mama capek" Arana mengingatkan mertua nya agar tidak memanjakan putrinya dan membuatnya didrinya kelelahan."Gak papa ya Aksara, Oma gak capek kok. Aksara masih ingin di gendong oma Mama" jawab Miranda sambil mencium pipi chubby Aksara. "Oh ya Na. Caterina buat besok sudah siap semua kan?" tanya Miranda masi
"Suami, atau Mantan suami?" tanya Gibran dengan nada sinis, "Atau mungkin calon mantan suami. Aku dengar perceraian kalian sudah diproses sejak dua tahun yang lalu." "Maaf, Seperti nya Kak Gibran salah faham" sahut Arana berusaha menengahi sambil menggenggam tangan Saga yang sudah mengepal kuat. "Kamu tidak perlu berbohong lagi Ara. Aku sudah tahu semuanya, kamu di paksa menikah dengan dia kan?" kata Gibran pelan dan menatap Arana sendu. "Gibran," tegur Gio Saga yang sejak tadi mengamati kejadian di depannya "Jangan bicara sembarangan! Pak Saga tolong maafkan kelancangan Adik saya." Gio berdiri dan menarik adiknya agar menjauh dari Arana. Saga berdiri dan menarik Arana agar menempel padanya. "Ajari Adikmu sopan santun." ujar Saga sinis. "Iya maafkan saya yang kurang bisa mendidik Adik saya." jawab Gio sambil menunduk sopan. "Ck.. " Gibran berdecak kesal. "Jadi yang tadi kalian hanya bersandiwara menjadi suami istri yang romantis." cibir istri Gio. Mendengar kalimat kakak ipar
Saga dan Arana sampai di sebuah hotel berbintang tempat rekan bisnis Saga menggelar resepsi pernikahannya. "Wah,, Resepsi nya mewah sekali ya Mas," Arana memandang penuh kekaguman ketika mereka memasuki ballroom yang sudah di hias sedemikian rupa sehinga terlihat mewah dan berkelas. "Kamu suka?" tanya Saga menoleh pada sang istri yang di tangannya melingkar manis di lengan Saga. Arana menggeleng, "Tidak," jawabnya sambil matanya memandang pada pelaminan pengantin yang begitu megah. Saga tersenyum tipis mendengar jawaban istrinya itu. Bahkan Arana tidak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. Saga sudah sangat memahami Arana, dia wanita yang sederhana dan sangat pengertian. Tidak ada satu pun barang mewah yang pernah Arana beli. Baju, tas, sepatu, sandal yang Arana pakai adalah brand dalam negri yang harganya hanya ratusan ribu. Jika ada barang mewah yang Arana miliki itu adalah Saga yang membelinya. "Istriku memang berbeda," bisik Saga lalu mengecup rahang Arana sekilas. Arana
Hari ini Saga akan mengajak Arana ke acara resepsi pernikahan rekan bisnisnya. Untuk pertama kalinya Arana meninggalkan putrinya di rumah bersama Lastri. Sejak pulang dari menjenguk Kiara Lastri tidak pulang ke rumahnya. Dia sengaja menginap untuk menemani Arana karena Ratih sedang sibuk menjaga Kiara dan Dara. Arana memperhatikan penampilan yang memakai dress putih dengan panjang sedikit di bawah lutut melalui cermin yang ada di kamarnya. Wajahnya tersenyum puas melihat tampilannya sendiri. "Kamu canti sekali, sayang," puji Saga yang baru keluar dari ruang ganti. Saga berjalan mendekati Arana yang berdiri didepan cermin. Memeluknya melingkarkan tangan kekarnya di perut ramping Arana. Saga sedikit membungkukkan tubuhnya karena tinggi bedan mereka yang berbeda. CUP... Saga mencium rahang Arana. "Cantik, Kamu makin cantik jika wajahmu memerah karena malu" bisik Saga sembari memandangi wajah Arana dari pantulan cermin. Arana tersipu malu, "Mas, sekarang makin pinter gombal ya?" sah
Saga sedang menuruni tangga dengan Aksara di pelukannya. Dia membawa bayi kecil itu duduk di sofa ruang tengah sembari menunggu Arana menyiapkan makan malam bersama Bi Sarti. Arana hanya akan mengerjakannya pekerjaan rumah jika Saga ada di rumah untuk menjaga Aksara. Saga sendiri sudah mewanti-wanti Arana agar tidak meninggalkan putri mereka sendirian. Mengingat perkembangan Aksara yang semakin hari semakin lincah dan menggemaskan. Saga mengajak Aksara berbicara dan bercanda. Meski hanya celotehan yang tidak jelas namun bagi Saga itu obat mujarab untuk rasa penat dan lelahnya setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya kantor. "Mas, ayo makan!" seru Arana dari meja makan. "Iya, Mama" jawab Saga melangkah mendekati meja makan. "Bi, tolong ambilkan baby bouncer nya Aksara" pinta Arana pada Bi Sarti setelah wanita paruh baya itu meletakkan sepiring ayam goreng lengkuas buatannya tadi. "Sebentar ya sayang, Bibi sedang mengambilkan mu baby bouncer" Arana mengambil Aksara dari pangk
Arana meminta izin pada Kiara dan Lastri untuk keluar lebih dulu melihat putrinya Aksara. Saat sampai di luar kamar Arana langsung menuju teras samping rumah Aditama. Arana mendudukkan dirinya di kursi panjang dekat kolam renang. Dia menangis tersedu-sedu melepaskan air mata yang sudah di tahannya semenjak tadi setelah melihat kondisi Kiara. Arana merasa sangat sedih melihat keadaan saudara perempuannya yang sangat mengenaskan karena ulah suaminya. Duta laki-laki yang sangat di cintai Kiara semenjak masih kuliah dulu. "Sayang, kamu kenapa?" Saga menyusul Arana sambil menggendong Aksara yang sudah terbangun. "Mas," sahut Arana mengusap kasar air matanya. "Sini biar Aksara sama aku, mungkin dia haus" Arana mengulurkan tangannya mengambil Aksara dari gendongan Saga. "Haus Nak?" tanya Arana saat melihat Aksara menarik-narik baju di bagian dad* Arana. "Sepertinya dia memang haus dan lapar. Dia sudah bangun sejak tadi" sahut Saga sambil membersihkan bekas air mata di pipi mulus Arana.
Setelah Saga sampai di rumah mereka segera berangkat Ke rumah Aditama bersama dengan Jatmiko dan Lastri. Mereka sengaja menunggu Saga agar bisa berangkat bersama-sama untuk menjenguk Kiara. Selama perjalanan Aksara tampak begitu senang dan ceria. Ini pertama kalinya Aksara di ajak keluar rumah. Aksara duduk di pangkuan Lastri di kursi belakang. Aksara mengoceh sambil mata kecilnya melihat kearah jendela. Jatmiko dan Lastri sibuk meladeni celotehan bayi kecil yang menggemaskan tersebut. Sedang Arana memandang lurus ke depan sedang melamun."Sayang. Kenapa diam saja?" Saga menyentuh tangan Arana sambil pandangannya tetap fokus pada jalanan di depannya. Arana menoleh, "Gak papa cuma lagi mikirin Mbak Kiara saja." jawab Arana jujur mengutarakan kegelisahan nya. "Dia pasti sangat menderita Mas" tuturnya sedih. "Kamu terlalu baik sayang. Padahal dia sudah berulang kali menyakiti kamu, tapi kamu tetap saja memikirkan dia." sahut Saga sambil menggenggam tangan Arana dengan tangan kirinya.