Share

Bab 6. Jawaban

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.

Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.

“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah. 

Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya. 

Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.

“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.

Aku memejamkan mata. 

Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncul.

Seakan meminta maaf atas kesalahannya, Ammar lalu mengangkat telapak tanganku untuk diciumnya.

Lama.

Perlakukannya membuatku tidak berdaya, seakan memaksaku untuk meluruhkan amarah yang tadinya berkobar. 

Dia begitu pintar mematikan kemarahanku. Akan tetapi, mata ini menangkap ponselku yang tergeletak di sebelah tas. 

Hatiku mulai memanas kembali karena sadar, di benda pipih itu, tersimpan kebejatan suamiku ini.

Aku berusaha duduk, dan dengan sigap dia membantuku. 

Harum tubuhnya menguar bercampur dengan aroma keringat. Bukannya membuatku terpana seperti biasanya, kepalaku justru membayangkan dia memeluk wanita lain.

“Tolong ambilkan ponselku,” ucapku sambil menggerakkan dagu ke arah nakas.

“Untuk apa? Kamu sakit. Tidak usah bekerja dulu.”

“Bukan. Ada hal penting yang aku sampaikan kepadamu, Mas.”

“Aku?” ucapnya kemudian meluluskan permintaanku. Mengambil ponselku dan menyodorkan kepadaku.

Sambil menarik napas, aku membuka galeri foto yang dikirim dari ponsel Daniel. Aku mencari dan menunjukkan kepada Mas Ammar.

“Foto ini maksudnya apa? Tolong dijelaskan, dan ini aku dapatkan dari Daniel.”

Ucapanku menyisakan Mas Ammar yang terbelalak menunjukkan keterkejutan. Sekarang, aku menunggu penjelasannya.

“Itu hanya resiko pergaulan, Aida Sayang. Itu teman-teman yang menjahiliku. Tidak mungkin aku mengkhianati cinta kita. Kamu sudah mengenalku begitu lama. Dari kita kuliah, dan sampai sekarang usia pernikahan kita yang ke tujuh belas tahun. Pernahkah aku bermain perempuan di luar sana? Tidak, kan?”

Aku tersenyum sinis mendengar ucapan panjang lebarnya. “Terus apa artinya itu?”

Dia menghela napas. Tangannya terulur untuk meraih tanganku, dan aku segera menepisnya. 

Mengingat tangan itu juga menjamah perempuan lain, aku merasa mual seketika.

“Kejadian ini saat perayaan tahun baru. Ingat saat aku mendapat undangan teman-teman dan kamu aku ajak tidak mau? Coba lihat ini.” Dia mendekatkan layar ponsel setelah menggerakkan kedua jarinya untuk memperbesar gambar.

“Ada kilatan lampu diskotik, kan?” Aku melirik layar ponsel sekilas, kemudian menatapnya dengan sekali lagi menunjukkan tatapan sinis.

“Terserah itu di diskotik, di kantor, atau di tempat lain. Yang aku tahu Mas Ammar sedang bermesraan dengan perempuan. Titik!” teriakku dengan mendesis. Gigi ini sudah merapat erat, menahan amarah yang mulai memuncak. Terlihat sekali dia berbelit-belit seakan mencari alasan yang tepat.

“Ini yang aku maksud, Aida. Saat itu, anak-anak memberiku minuman yang memabukkan. Aku tidak sadar saat disodorkan wanita kepadaku. Mereka iseng dengan mengambil foto-foto ini.”

Aku diam tidak menanggapi, hanya menatapnya yang terlihat bingung mengemukakan alasan.

“Malam itu hanya sampai itu saja, Aida. Tidak lebih. Ini hanya ulah iseng teman-teman. Kalau kamu tidak percaya, mereka akan aku datangkan untuk menjelaskan ini kepadaku. Aida … aku tahu ini salah, tetapi maafkan aku,” ucapnya dengan memberikan tatapan sendu. Matanya mengerjap seakan meminta pengampunan.

“Malam itu, aku mabok dan takut untuk pulang. Mulutku bau alkohol. Makanya aku tidur di kantor demi tidak membuatmu marah. Sekarang, justru kamu begitu marah kepadaku,” ucapnya lagi sambil meremas kepalanya yang dia tundukkan. 

Nada suaranya terdengar putus asa, dan mulai menyentuh hati ini.

Ingatanku tergulir pada saat itu. Memang benar yang dia katakan. 

Aku diajak Mas Ammar, tetapi enggan menghadiri acara tahun baru di diskotik undangan temannya. 

Terus terang, kalau orang lain menyukai dan terhibur dengan keramaian, justru aku kebalikannya. 

Di tempat seperti itu, aku merasa tersiksa. Aku lebih menyukai keheningan.

Tiba-tiba, ada rasa bersalah yang muncul.

‘Seandainya aku ikut di malam itu, apa kejadian ini tidak terjadi? Tidak mungkin mereka mengusili orang yang membawa istri,’ bisik hatiku mulai menyalahkan diri sendiri. 

Seharusnya, kami saling menjaga, bukannya jalan-jalan sendiri dan beresiko ada godaan yang datang.

“Jadi, Mas Ammar tidak mengenal perempuan ini?” tanyaku pada akhirnya.

“Tidak. Dia perempuan yang dibawa mereka untuk memeriahkan acara. Aku saja tidak ingat benar apa yang dilakukan saat itu.”

“Kalian tidak–”

“Tidur bersama maksudmu?” sahut Mas Ammar memotong ucapanku. Dia tertawa kecil. “Tidaklah, Sayang. Itu di tempat keramaian. Hanya tempat laki-laki iseng saja.”

Aku menghela napas, mencoba mengurai satu per satu apa yang aku dengar. 

Aku harus hati-hati melangkahkan kaki ini, jangan sampai salah, apalagi nanti menyesal. 

Siapa tahu, ini ulah orang yang menginginkan keluarga bahagia kami pecah. Mereka mungkin mengharapkan aku bertengkar dengan Mas Ammar, kemudian mengajukan perceraian.

“Aida, Sayang. Mana bisa aku begituan dengan perempuan yang tidak jelas, sedangkan ada wanitaku yang luar biasa menungguku di rumah? Itu namanya merugi kalau sampai aku mengkhianati kepercayaanmu. Laki-laki di luar sana mungkin seperti itu, tetapi aku tidak seperti mereka,” ucapnya sambil mengulurkan tangan meraih telapak tanganku. 

Kali ini, aku terdiam. Sebagian hatiku mulai tersentuh, tetapi sisanya masih saja meragukan pria ini. Entah mana yang harus kupercayai? Mataku menajam menatapnya–mencari jawaban yang kucari. “Tolong jujur, Mas.”

Related chapters

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 7. Daniel

    Mas Ammar sedikit terperanjat. Namun, pria itu dengan cepat mengendalikan ekspresinya.“Kamu dan Daniel adalah cahaya yang menerangi kehidupanku. Aku menyayangi kalian. Tidak mungkin aku rela berbuat rendah yang berakibat kehilangan penerangku. Itu sama saja merugi. Iya, kan?” Suamiku itu lalu menatapku penuh cinta lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang. Tak lama, ia meraih kepalaku untuk bersandar di lengannya.Meski hatiku merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tubuhku secara otomatis bergerak, seolah tidak mampu melakukan penolakan.“Maaf.” “Iya. Tidak apa-apa. Ini menunjukkan kalau aku begitu berharga bagimu. Selama ini, aku tidak pernah dicemburui aku. Sampai-sampai muncul kekhawatiran kalau sudah tidak dicintai lagi oleh istriku ini. Ternyata dugaanku keliru,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.Mendengar nama anakku disebut, seketika aku merasa air dingin mengguyur kepalaku. Daniel tampak membenci ayahnya. Lantas, bagaimana memberi penjelasan kepada Daniel? Di

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 8. Kesal

    “Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah. “Mas. Tolong.” Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar. “Aku--” “Stop!” desisku memotong ucapannya. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar. Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti? “Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya. “Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.” “Tapi, Ai. Aku--” “Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyaki

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 9. Tersenyum

    Mata ini menatap laki-laki di depanku tanpa kedip. Yang aku lihat bibirnya bergerak-gerak tanpa mendengar suara yang diucapkan. Indra pendengaranku seakan dilumpuhkan karena penolakan hati yang enggan menambah rasa sakit. Ucapannya yang sempat tertangkap begitu menggores hati ini."Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?” Ucapan ini terngiang di telinga, menandakan dia mempertanyakan aku sebagai seorang ibu. Jiwa dan raga ini seakan dihantam dari segala arah. Semua menyerangku secara bersamaan, sampai-sampai aku ingin menyerah. Dan, menyatakan kalau aku kalah. Namun, apakah itu menjadi sebuah jawaban? Atau, hanya menambah beban? Menyatakan kalau aku hanya wanita yang tidak diperhitungkan?“Terima kasih atas penjelasannya, Dok,” ucapku kemudian beranjak.Tidak peduli dengan dia yang masih berucap, entah itu apa. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari ruangan dokter yang tidak memberika

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 10. Bersikukuh

    Walaupun tidak sepenuh hati, aku menerima alasan Mas Ammar tentang foto-foto itu. Toh, di luar sana banyak laki-laki yang luar biasa gila. Sedangkan suamiku hanya khilaf. Itupun karena pengaruh alkohol yang dicekoki oleh teman-temannya. Bukan seperti cerita orang-orang yang suaminya terpergok selingkuh dan ternyata sudah beranak-pinak. Tuduhanku dan penolakan Daniel, memantik kemarahan Mas Ammar. Bahkan suamiku terlihat kesal saat menelponku malam itu. “Bagaimana keadaan Daniel?” Sesaat aku terdiam. Mata ini menajam ke layar ponsel di depanku. Bukan memperhatikan wajah suamiku, tetapi menilik keadaan sekitarnya. Kecurigaanku masih enggan beranjak dari hati. Bisa jadi panggilan video call ini dia terima di tempat lain. “Kata dokter Daniel sudah mulai membaik, Mas. Dia bisa pulang di waktu dekat ini,” jawabku dengan perasaan lega. Dinding yang menjadi latar belakangnya, sangat aku kenal. Wall paper garis-garis membuktikan kalau dia b

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 11. Tampilan Lain

    Seseorang sering kali menampilkan kepribadian yang berbeda saat bekerja. Padahal, belum tentu selepas jam kerja, dia berpenampilan sama. Seperti yang tertangkap di mata ini sekarang.Aku mendekatkan langkah dan mendapati dia yang berbeda. Penampilannya tidak seperti yang biasa tertangkap di mata ini. Wajah kaku dan ekspresi menyebalkan tidak berbekas pada sosok di depanku sekarang.Dengan masih menampilkan sisa tawa, dia menoleh. Tidak ada rambut yang biasanya klimis, bahkan baju bercorak kotak-kotak terlihat santai dipadu dengan celana jeans biru tua.“Dokter Burhan? Kenapa ada di sini?” ucapku sambil menggelengkan kepala. Mata yang sempat terpaku tadi, harus aku singkirkan segera. Dia tidak semempesona Lee Ming Ho, tapi cukup membuat mata ini tidak berkedip beberapa detik.Seketika bibir yang menampilkan senyuman itu kembali lenyap. Raut wajahnya kembali kaku. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia beranjak dan kembali menghadap Daniel. “Mama kamu sudah datang. Saya pergi dulu. Ada yang

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 12. Godaan

    Dulu aku menyukai menjadi anak tunggal. Apa-apa hanya untukku seorang. Aku tidak perlu susah-susah seperti anak-anak lain yang harus menggadaikan keinginan untuk berbagi dengan saudara. Sekarang aku merasakan ketidaknyamanan tidak memiliki saudara. Banyak yang ingin aku bicarakan. Biasanya kepada Mas Ammarlah aku berkeluh kesah. Bertukar pikiran, sampai mengatakan kekesalan atau kegembiraan yang yang menyangkut dengan pekerjaan. Namun, semenjak pertengkaran karena penolakan Daniel, dia menghilang tanpa kabar. Aku pun malas menghubunginya. Apalagi membayangkan pertengkaran yang akan terjadi. “Hei, kenapa melamun?” Tepukan di pundak mengagetkan aku. Mata ini melotot, tapi terganti dengan senyuman mendapati siapa yang berdiri di belakangku. “Fungsinya ada pintu itu untuk diketuk sebelum masuk. Bukan asal menyelonong dan bikin kaget orang. Untung saja aku tidak jantungan!” Laila sahabatku hanya geleng-geleng kepala, tanpa melepas senyuman dari wajahnya. Dia menunjukkan tas bawaan yang

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 12. Bisa Jadi Alasan 

    Raut wajahnya masih sama, beku. Hanya ada sedikit perubahan, rambutnya tidak seklimis sebelumnya. Yang memaksa mata ini membulat, dia tidak mengenakan jas putih seperti biasanya. Namun, setelan jas bercorak kotak-kotak warna black and grey dengan potongan pas di badan. Sesaat waktu seakan berhenti. Setelah sadar, aku memilih bergerak cepat merapikan makanan dan memasukkan ke dalam kabinet penyimpanan makanan. Daripada ini menimbulkan celetukan yang memanaskan telinga. Sedangkan, Laila menyambut Daniel dan bersama suster, mereka membantu anakku untuk berbaring kembali ke ranjang. “Ma-maaf,” ucapku menyambutnya setelah meneguk air putih. Rasa pedas masih tersisa di mulut. Kenikmatan yang harus terjeda, padahal dua sendok terakhir sebenarnya suapan yang paling istimewa. Seandainya anakku datang tanpa orang ini …. Dengan tampang tanpa senyuman, dia menunjuk suster untuk menyerahkan hasil lap kepadaku. “Hasil pemeriksaan Daniel sudah bagus. Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Agak siang

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 14. Masih Sama

    Apa memang laki-laki diciptakan sebagai makhluk yang mengesalkan? Tidak hanya dokter ini, tapi juga Daniel, termasuk Mas Ammar.[Maaf, aku tidak bisa menjemput Daniel. Aku harus ke luar kota selama beberapa hari. Ada proyek yang harus aku tangani.][Tidak bisa ditunda besuk, Mas Ammar? Daniel membutuhkanmu] jawabku langsung.Tangan ini tetap memegang ponsel, menunggu jawabannya. Namun, sampai aku sudah tiba di kamar Daniel, jawaban tidak kunjung datang.“Bagaimana, Aida? Semua sudah beres?” tanya Laila sambil mengemas barang-barang ke dalam tas. Aku melirik Daniel yang sedang berdiri di depan jendela dengan tangan terlipat di dada. Dia menatap ke luar jendela dengan wajah terlihat kaku, seakan memikirkan sesuatu.“Iya. Kita bisa pulang sekarang,” jawabku, kemudian menoleh ke arah anakku. “Kenapa dia?”“Ngambek.” Laila berkata sambil menarik resleting tas pakaian. Kemudian menarikku untuk duduk di sampingnya. “Sabar, ya.”“Pasti, Lai. Kamu kan tahu aku bagaimana dari dulu. Wanita tangg

Latest chapter

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 107. Merah Muda - TAMAT

    Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 106. Lelaki di Sebelahku

    “Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 105. Goyah?

    “Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 104. Keliling

    “Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 103. Mengobrol

    POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 102. Awal Langkah Baru

    Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 101. Teman Main Daniel

    Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 100. Melarikan Diri

    Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu

  • Bukan Wanita Impian Suamiku   Bab 99. Datang Kembali

    Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu

DMCA.com Protection Status