“Suamimu itu helpfull pada semua orang. Setiap perempuan dibantu dan disenyumin. Orang bisa salah sangka, lo.”
Laila, teman sekerjaku, saat itu mengingatkan. Namun, aku hanya tersenyum menanggapinya.
Mas Ammar adalah sosok yang sempurna sebagai laki-laki. Penampilannya yang memanjakan mata setiap perempuan, ditambah senyuman yang selalu menghias wajahnya yang manis. Begitu juga, sikapnya yang ramah dan siap membantu siapapun. Tapi, aku yakin itu hanya bentuk keramahan.
“Dia memang begitu, dari dulu. Makanya aku suka dia. Habisnya dia baik banget. Beda sama aku yang tersenyum sama orang saja susah. Dia seperti penyempurna bagiku, La,” ucapku memberikan alasan.
Perbedaan kepribadian antara aku dan suamiku memang bertolak belakang.
Mas Ammar begitu terbuka dan mudah bergaul dengan semua orang. Sedangkan aku, melakukan seperti dia justru merasa menyiksa. Aku tidak bisa mengobrol dan menyebarkan senyuman tanpa alasan. Tidak bisa saja, walaupun dipaksa.
Kenyamananku ada di depan meja kerja, berkutat dengan gambar dan rancangan bangunan. Tidak peduli dengan pinggang pegal dan mata pedas, aku bisa menghabiskan waktu dengan pekerjaanku yang menyenangkan ini.
Karenanya, Mas Ammar seperti penyeimbang kekuranganku ini. Dia bisa beramah tamah dengan siapapun, baik laki-laki ataupun perempuan.
“Baik boleh. Tapi kalau berlebihan bahaya juga, lo, Aida. Apalagi, suamimu bekerja dengan cewek-cewek model yang cantik-cantik dan masih itu. Bisa jadi banyak yang naksir, tuh!”
Saat itu, aku tertawa lagi menanggapi peringatan Laila.
Bagaimana Mas Ammar tidak bersinggungan dengan perempuan cantik? Pekerjaan sebagai fotografer sekaligus pemilik studio memaksanya melakukan itu. Toh, itu hanya sebatas pekerjaan.“Dia profesional, tidak mungkin melakukan hal-hal aneh! Dia juga sudah tua, sama kayak aku. Sudah kepala empat,” jawabku menepis anggapan yang berlebihan itu
Sahabatku langsung memelototiku. “Eh, jangan salah. Perempuan muda sekarang banyak yang suka laki-laki estewe!”
“Estewe? Apa tuh?!” seruku sembari mengernyit.
“Setengah tuwa, Aida. Itu lagi tren zaman sekarang. Laki-laki yang sudah berusia matang, apalagi kepala empat, dinilai sebagai usia puncak. Mereka memandang secara ekonomi sudah cukup mapan. Itu yang diincar perempuan di luar sana.”
“Tenang saja. Mas Ammar tidak mungkin demikian,” ucapku yakin.
Kalau faktor ekonomi yang menjadi incaran mereka, aku bisa mengatakan aman. Semua aset yang kami miliki, semua hasil dari pekerjaanku.
Mas Ammar memang bekerja, tetapi dia lebih menyalurkan kegemarannya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Dari mana datangnya, itu adalah rezeki keluarga kecil kami.
“Kamu harus waspada! Karena perselingkuhan ini bisa terjadi karena ada kesempatan!” serunya membuatku tertawa terbahak-bahak. Seperti himbauan untuk mencegah pencurian saja, itu yang aku pikirkan saat itu. Kenapa tidak sekalian dianjurkan menggunakan gembok kunci ganda?
Namun, ternyata ucapan Laila itu benar. Aku seperti kecolongan karena kebebalanku ini.
‘Aku harus menuntut penjelasan,’ ucapku dalam hati sambil meraih ponsel yang berisi bukti menjijikkan itu.
Dengan tangan yang gemetar dan air mata yang masih luruh, aku menghubungi Mas Ammar.
Aku harus mencari kejelasan apa yang terjadi sebelumnya.
Walaupun aku mulai meragukan kesetiaannya, tapi ada sedikit ketidakpercayaan, dan aku ingin mendengar dari mulutnya sendiri.
Sebelum ada pengakuan langsung, aku anggap ini hanya bualan belaka.
******
[Nomor yang Anda tuju, tidak dapat dihubungi. Silakan periksa kembali nomor tujuan Anda]
Aku menghela napas kasar.
Ini sudah untuk kesekian kali aku menekan nomor ponsel suamiku itu. Namun, hanya terdengar nada sibuk di seberang sana.
Satu menit.
Dua menit.
.
.
Dan, sekarang sudah lebih dari tiga puluh menit. Tidak ada tanda-tanda nada bersambung. Sebegitu sibuknya, kah dia?
Memang ini hal yang sering terjadi, dan sekarang baru aku sadar kenapa.
Sebelumnya aku hanya berpikir, dia pasti sibuk bekerja.
Namun setelah melihat foto itu, aku mulai mempunyai prasangka lain. Bisa jadi dia sedang asyik dengan wanita itu. Bukankah kalau sedang dimabuk cinta, waktu bersama terasa indah dalam waktu yang lama?
Aku memejamkan mata–berusaha tegar dan tenang menghadapi masalah ini.
Emosiku harus dikontrol dengan baik.
Jangan sampai aku dikalahkan dengan amarah yang membuatku di posisi kalah.
Kring!
Baru saja aku akan meletakkan ponsel, benda pipih ini memberikan tanda ada panggilan masuk.
Segera aku menilik layar ponsel.
Ternyata, bukan nomor ponsel Mas Ammar, tapi ada nomor yang tidak aku kenal. “Halo.”
“Halo selamat siang. Apakah benar ini dengan orang tua dari Daniel Wicaksana?”
“Benar. Saya Aida, mamanya,” jawabku sembari mengernyit menyimpan pertanyaan.
“Kami dari Global Hospital, memberitahukan bahwa saudara Daniel mendapat kecelakaan ---“
Deg! “Daniel?!”
“Ba-bagaimana keadaannya?” tanyaku dengan tidak sabar. Kepala ini langsung dipenuhi prasangka buruk. Kecelakaan menyebabkan banyak kemungkinan, bahkan kematian. Apalagi, Daniel tadi menggunakan sepeda motor dengan kondisi emosi yang tidak stabil.Satu masalah belum selesai, sudah muncul kembali kabar yang lebih parah lagi. Aku seperti mendapat serangan dari segala arah. Badan ini seakan dihantam godam sampai luluh lantak dan tidak berasa lagi.Kaki ini sudah tidak kuat lagi menopang bobot badanku, hingga aku luruh ke lantai.“Tenang, Bu. Saudara Daniel dalam keadaan selamat. Namun, kami mengharapkan kedatangan ibu sekarang untuk persetujuan operasi anak ibu.”“Ba-baik. Saya segera ke sana. Tolong lakukan segera yang terbaik untuk anak saya. Berapapun biayanya!” seruku dengan bibir bergetar.“Kami akan usahakan yang terbaik. Terima kasih. Selamat Siang,” ucapnya setelah memberikan alamat yang harus aku tuju.Layar ponsel menggelap seiring dengan gelapnya otak ini. Aku seperti kosong
Aku segera menaruh ponsel di bangku dengan layar tertelungkup. Saat ini, aku belum siap menghadapinya. Perasaan marah dan benci kepadanya, bercampur dengan kekhawatiran dan ketakutan dengan apa yang terjadi pada Daniel.Lebih baik aku abaikan dia, demi kewarasanku sekarang.“Aida!”Aku yang sedang terpekur meratapi masalah ini begitu terkejut. Laila, perempuan itu tampak berlari sembari menunjukkan raut wajah kecemasan. Dia langsung memelukku sembari mengusap lembut punggung ini.“Sabar, ya. Daniel pasti baik-baik saja. Tadi, aku telpon rumah dan dikasih tahu Bik Yanti,” ucapnya kemudian mendudukkan aku kembali.Dia mengedarkan pandangan seakan mencari sesuatu. “Pak Ammar mana?”Aku menjawabnya dengan menggelengkan kepala.“Kamu belum menghubunginya?” ucapnya kemudian mengeluarkan ponsel dari tas, “Oke, aku akan hubungi dia.”“Jangan, Laila,” ucapku cepat sembari menangkup tangannya yang memegang ponsel.“Kenapa?” tanyanya dengan penuh keheranan.Serta-merta, aku menceritakan apa y
Aku menatap pria di hadapanku ini kesal.Mungkin, dokter ini tidak memiliki anak, sehingga tidak bisa merasakan keadaanku sekarang. Daniel anak tunggalku mengalami kecelakaan dan diharuskan pasrah di meja operasi. Memang proses pertolongannya dinyatakan berhasil, tetapi … apa aku tidak boleh merasa khawatir dan menungguinya?“Putra Ibu, tindakannya sudah berhasil dan sekarang tinggal menunggu sadar saja. Lebih baik, bersabar sekaligus memulihkan diri,” ucap pria itu tegas.“Tidak ada yang dilakukan sebelum pasien sadar. Jadi, tolong biarkan kami petugas medis yang merawatnya. Lebih baik Ibu kembali istirahat atau berdoa, daripada mengganggu.”Meski ucapannya benar, entah mengapa tanganku sudah terkepal. Tadi, aku dikatakan merepotkan, sekarang justru dikatakan sebagai pengganggu. Sumpah serapah mulai memenuhi mulut untuk dokter yang namanya Burhan ini. Seperti tidak merasa bersalah, dia yang sudah mematik amarahku justru pergi begitu saja.“Aida. Benar yang diucapkan Pak Dokter
“Ini semua gara-gara kamu,” ucapku dengan nada yang datar. Aku tidak mampu berteriak atau melayangkan hujatan. Energiku sudah habis seakan terkuras tandas.Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian meraih tangan ini. Suamiku itu lalu menatapku seakan meminta maaf.“Maafkan aku, Aida. Memang ini salahku,” ucapnya, seketika hatiku bersorak sekaligus berdarah. Ck! Laki-laki ini ternyata dengan gentle mengakui kesalahannya. Aku pikir dia akan berkelit dengan sejuta alasan.“Aku membiarkan Daniel dengan hobinya. Bukannya melarang, aku justru membelikan sepeda motor untuknya. Maaf aku tidak mengindahkan laranganmu. Ini karena aku sayang kepada Daniel. Tidak suka melihatnya kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi,“ ucapnya menambah keterangan, dengan memberikan tatapan sendu.Aku memejamkan mata. Memang, Mas Ammar begitu memanjakan Daniel. Apa yang diminta dan disukai, pasti dibelikan. Dia memang ayah yang baik untuk Daniel. Tetapi, itu yang dulu kupermasalahkan sebelum foto-foto itu muncu
Mas Ammar sedikit terperanjat. Namun, pria itu dengan cepat mengendalikan ekspresinya.“Kamu dan Daniel adalah cahaya yang menerangi kehidupanku. Aku menyayangi kalian. Tidak mungkin aku rela berbuat rendah yang berakibat kehilangan penerangku. Itu sama saja merugi. Iya, kan?” Suamiku itu lalu menatapku penuh cinta lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang. Tak lama, ia meraih kepalaku untuk bersandar di lengannya.Meski hatiku merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tubuhku secara otomatis bergerak, seolah tidak mampu melakukan penolakan.“Maaf.” “Iya. Tidak apa-apa. Ini menunjukkan kalau aku begitu berharga bagimu. Selama ini, aku tidak pernah dicemburui aku. Sampai-sampai muncul kekhawatiran kalau sudah tidak dicintai lagi oleh istriku ini. Ternyata dugaanku keliru,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.Mendengar nama anakku disebut, seketika aku merasa air dingin mengguyur kepalaku. Daniel tampak membenci ayahnya. Lantas, bagaimana memberi penjelasan kepada Daniel? Di
“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah. “Mas. Tolong.” Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar. “Aku--” “Stop!” desisku memotong ucapannya. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar. Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti? “Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya. “Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.” “Tapi, Ai. Aku--” “Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyaki
Mata ini menatap laki-laki di depanku tanpa kedip. Yang aku lihat bibirnya bergerak-gerak tanpa mendengar suara yang diucapkan. Indra pendengaranku seakan dilumpuhkan karena penolakan hati yang enggan menambah rasa sakit. Ucapannya yang sempat tertangkap begitu menggores hati ini."Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?” Ucapan ini terngiang di telinga, menandakan dia mempertanyakan aku sebagai seorang ibu. Jiwa dan raga ini seakan dihantam dari segala arah. Semua menyerangku secara bersamaan, sampai-sampai aku ingin menyerah. Dan, menyatakan kalau aku kalah. Namun, apakah itu menjadi sebuah jawaban? Atau, hanya menambah beban? Menyatakan kalau aku hanya wanita yang tidak diperhitungkan?“Terima kasih atas penjelasannya, Dok,” ucapku kemudian beranjak.Tidak peduli dengan dia yang masih berucap, entah itu apa. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari ruangan dokter yang tidak memberika
Walaupun tidak sepenuh hati, aku menerima alasan Mas Ammar tentang foto-foto itu. Toh, di luar sana banyak laki-laki yang luar biasa gila. Sedangkan suamiku hanya khilaf. Itupun karena pengaruh alkohol yang dicekoki oleh teman-temannya. Bukan seperti cerita orang-orang yang suaminya terpergok selingkuh dan ternyata sudah beranak-pinak. Tuduhanku dan penolakan Daniel, memantik kemarahan Mas Ammar. Bahkan suamiku terlihat kesal saat menelponku malam itu. “Bagaimana keadaan Daniel?” Sesaat aku terdiam. Mata ini menajam ke layar ponsel di depanku. Bukan memperhatikan wajah suamiku, tetapi menilik keadaan sekitarnya. Kecurigaanku masih enggan beranjak dari hati. Bisa jadi panggilan video call ini dia terima di tempat lain. “Kata dokter Daniel sudah mulai membaik, Mas. Dia bisa pulang di waktu dekat ini,” jawabku dengan perasaan lega. Dinding yang menjadi latar belakangnya, sangat aku kenal. Wall paper garis-garis membuktikan kalau dia b
Sorot mata yang terkesan menghakimi, semakin mengukuhkan dia sebagai laki-laki yang menyebalkan. Apa urusannya aku akan pergi dengan siapa? Laki-laki atau perempuan bukankah itu hak aku sepenuhnya? Walaupun aku berkencan dengan laki-laki pun, dia tidak ada hak melarangku. Memang dia siapa? Aku menarik satu sudut bibir ke atas. Mulut ingin menumpahan sumpah serapah, tapi tertelan kembali mengingat dia pandai membalikkan kata-kata. Percuma! “Maaf. Saya sudah selesai,” ucapku seraya meletakkan napkin dan beranjak berdiri. Badan yang sudah berbalik arah, urung bergerak. Tangan kiri ini merasakan genggaman erat. “Ka-kamu mau kemana?” “Kembali ke kamar,” jawabku dengan memasang ekspresi datar. Walaupun di dada ini sudah penuh dengan segala rasa yang campur aduk. Di sudut sana, hati ini menyayangkan kenapa pertemuan ini berakhir dengan kesal? Setitik harapan ada romansa indah benar-benar terkubur dalam. “Terus aku?” Matanya mengerjap menatapku. Seperti anak kecil yang enggan ditinggal
“Ini semuanya Daniel yang bikin,” seru anak lelakiku sembari menyodorkan dua piring di depanku dan di depan lelaki yang duduk di sebelahku. Wafel dengan taburan buah segar dan kacang-kacangan.“Ini untuk, Om?”“Yes! Spesial untuk Mama dan Om Dokter,” jawabnya, kemudian beranjak pergi. Sepertinya dia mengambil sarapan yang untuk dirinya.Mulai duduk sampai sekarang, diri ini seperti beku. Aku diam membeku dan tidak menyapanya. Berjubal pertanyaan, tapi semua seperti tertelan kembali. Dari tadi, Daniel lah yang mendominasi. Anakku itu tidak henti menceritakan keseruan di kota ini.Tertinggal kami berdua terdiam seperti orang asing yang duduk berjajar. Sarapan yang disajikan Daniel yang seharusnya menggugah selera, ini tidak mampu membangkitkan rasa lapar yang tadi sempat mendera.“Gimana kabarmu?” Suara bariton memecah keheningan. Aku menghela napas. Begini rasanya saat merasa asing dengan orang yang dulu sempat dekat.“Baik. Kamu?”Terdengar suara helaan napas darinya. Satu, dua, tiga,
“Maafkan aku. Aku tidak amanah,” jawab Laila“Dia?”Dari layar ponsel, terlihat Laila mengangguk. “Pak Burhan tidak percaya dengan apa yang aku ucapan. Dan sepertinya dia mencarimu di apartemen. Dia tahu kalau kamu dan Daniel bepergian jauh.”Aku menghela napas. Ini yang sebelumnya aku takutkan. Mas Burhan bukan laki-laki tidak panjang akal. Dia begitu akrab dengan semua satpam apartemen tempatku tinggal, pasti ada maksud di belakangnya. Pasti dia tahu ini dari mereka yang sudah menjadi informannya.Pantas saja, dia sering membawakan sesuatu buat mereka.“Terus?”“Ya aku tetap bungkam tentang keberadaanmu. Tapi ….”“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran. Kekawatiran menyergap. Sudah ada dibayanganku dia berlaku kasar pada Laila. “Aku terpaksa memberikan nomor telponmu.” Mata Laila mengerjap tersirat kekawatiran.Aku tersenyum lebar. “Oalah. Ternyata hanya itu? Tak apa, aku tinggal matikan ponsel. Atau aku tidak jawab panggilannya. Beres, kan? Tidak apa-apa, yang penting kamu aman.”“Semog
“Aku mempunyai tanggung jawab untuk mengantarmu. Jadi tidak usah sungkan menerima tawaranku ini,” ucap Candra sebelum memaparkan fasilitas paket tour yang sudah dipesan Laila.Selain hunian yang nyaman, dia menjelaskan kemana saja tujuan yang menjadi pilihan.“Khusus kamu, semua yang ada didaftar bisa kita kunjungi secara bertahap.”“Hmm?”“Ini karena kita dari satu negara asal,” ungkapnya sambil tersenyum.Aku akhirnya menyetujui niat baiknya. Apalagi Daniel kembali meninggalkan aku sendirian. Dia memilih menerima ajakan Steven-anak pemilik gedung hotel ini untuk berkunjung ke rumahnya.Awal hari, aku sudah siap. Riasan sederhana dan memakai baju tebal. Itu pun ditambah mantel berbulu untuk mengusir udara yang masih belum bersahabat dengan tubuh ini.“Mama pakai ini. Aku tidak pakai,” ucap Daniel sambil memasangkan syal miliknya. Kain tebal berwarna putih bercorak kotak-kotak hitam sudah terpasang manis di leherku. “Tapi jangan ilang,” serunya lagi setelah menunjukkan jempolnya.“Iya
POV. Aida Kalau orang lain berlibur ke luar negeri akan dihabiskan dengan berkeliling kota, aku justru kebalikannya. Diriku lebih memilih hari kemerdekaan dengan cara bergelung dalam selimut. Sudah hampir sepekan, tapi aku cukup puas menikmati indahnya hujan salju dari balik jendela.Daniel?Anakku itu seperti bertemu teman bermain. Dia sudah tidak membutuhkan ibunya, dan justru menghabiskan hari dengan Candra.“Mas Candra itu orang baik, Ai. Dia juga penyayang, aku kenal benar siapa dia,” ungkap Laila.“Tapi aku merepotkan dia, La. Apalagi Daniel. Anak itu seperti nyamuk mengintili dia kemana pun pergi. Bahkan saat Candra kerja pun dia ikut serta.”“Santuy aja. Mas Candra malah seneng, kok.” Ucapan Laila membuat kekawatiranku terkikis. Yang dikatakan senada dengan yang diungkapkan Candra sendiri. Katanya, bertemu dengan Daniel menjadi obat rindu dengan para keponakan yang seumur dengan anakku.Begitu juga Daniel. Dia memilih ikut Candra saat aku tawari untuk ikut city tour yang diad
Kalau tidak terpisah jarak, pasti Laila aku cubit. Sahabat sekaligus rekan kerjaku itu dengan leluasa mentertawakan kebodohanku. Bahkan tidak segan dia melontarkan ledekan. “Awas kamu Laila. Kamu akan tahu akibatnya saat aku pulang nanti.” Dia tertawa. “Siapa takut? Aku tahu akibatnya oleh-oleh souvenir dari sana. Aku harap sih, membawa Mas Candra pulang,” celetuknya dengan senyum masih lebar. Lontaran godaan tidak terhenti. Seperti tukang promosi, Laila menjabarkan siapa saudara jauhnya itu. Bagaimana kesuksesan dia dan apa saja sifatnya. Dari kedekatannya dengan anakku walaupun belum lama kenal, mencerminkan dia orang yang ramah dan penyayang. “Daniel mana? Dia pasti sudah tepar, ya?” “TIdak. Dia justru sudah pergi main dengan Candra.” “Tuh, kan. Baru kenal saja sudah menunjukkan dia bapak yang baik.” “Laila!” sahutku. Allih-alih berhenti, dia justru berbicara terus. “Keluarga Mas Candra itu orangnya baik dan penyayang. Kalau kamu jadi menantunya pasti disayang.” “Ngawur!”
Aku mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Daniel. Sama denganku, anakku ini terlihat kaget mendengar ucapan lelaki ini. Dari awal persiapan, aku selalu mengatakan ada Tante Candra-saudara Tante Laila-yang akan menemani kami. Bodohnya aku tidak bertanya lebih lanjut kepada Laila siapa sebenarnya saudara yang menjadi tour guide kami. Siapa sangka nama Candra Lukita bukanlah perempuan, tapi justru laki-laki. “Ma-maaf. Saya pikir….” “Santuy, ajah. Aku panggil kamu Aida, ya? Kita mungkin tidak seumuran, tapi di negara ini tidak memandang seseorang dari umur.” Dalam hati aku mencembik. Tidak usah bilang umur. Tanpa dibilang pun aku tahu lelaki ini jauh lebih muda dariku. Tubuhnya aja yang menjulang yang memanipulasi usianya. “Iya, silakan. Tapi sekali lagi minta maaf, ya. Laila juga tidak mengatakan kalau anda laki-laki. Saya juga tidak bertanya,” sahutku memberi alasan. Dia menunjukkan senyuman pemakluman. Jujur aku malu, kok bisanya aku tidak seteliti ini. Sampai jenis kela
Kata-kata bernada kompromi bergumul di kepala. Menjadikan apa yang terjadi adalah suatu yang bisa dimaklumi. Kami yang sama-sama dewasa yang tentunya mempunyai kebutuhan hasrat dan itu hal biasa. Terlebih bagi dua insan yang saling jatuh cinta. ‘Huft! Pembelaan mencari pembenaran,’ bisik sudut hatiku sebelah sana. Namun, bukankah kedewasaan dan rasa cinta seharusnya menempatkan seseorang untuk dijaga? Bukan untuk dijadikan obyek pelampiasan hasrat semata. Cinta yang agung hanya tersekat selembar rambut dengan nafsu. Dan, yang terjadi sudah hal demikian. Sepanjang jalan menuju pulang, kami hanya terdiam. Tidak ada kata sepatahpun setelah dia mengatakan maaf. “Aida. Maafkan aku. A-aku sangat merindukan kamu dan mendapati kamu seperti sekarang menjadikan aku tidak mampu mengendalikan diri,” ucapnya dengan suara parau. “Kamu membuatku gila, Aida,” gumamnya sambil meraup kasar wajahnya. Tanganku mencengkeram jaket yang sudah aku eratkan. Begitu juga bawahan baju tidur yang tidak cu
Kata orang, semakin kita meniatkan sesuatu, semakin godaan akan datang. Aku mengurus semua untuk kepergianku, mulai dari administrasi, sampai izin ke sekolah Daniel. Tentu saja ini dirahasiakan dari Mas Burhan.Dia hanya tahu, ketidak aktifanku di kantor karena untuk pemulihan. Itu juga karena Laila yang memberitahu dia.“Aku mendukung, kok,” ucapnya melalui sambungan telpon.“Benar? Kamu tidak merasa rugi karena aku meninggalkan proyek?” tanyaku sarkas. Setahuku dari dulu dia selalu mengatakan hal yang menyangkut untung dan rugi. Terlebih tentang kehadiranku.Dia tidak tersinggung, justru suara tawa terdengar.“Kamu ingat saja. Itu kan supaya kamu tidak mewakilkan kehadiranmu.”Aku mendengkus. “Huh, bilang saja tidak mau rugi.”“Iya, lah. Rugi kalau aku datang dan gagal bertemu dengan orang yang aku inginkan,” sahutnya memantik diri ini mengernyitkan dahi.Di setiap percakapan, selalu saja ucapan rayuan menyoal. Dasar laki-laki playboy. Mungkin ini satu alasan dia tidak kunjung mempu