Abian mematikan kompor. Bubur yang dimasaknya untuk Emily baru saja matang. Lalu disendoknya sedikit ke dalam piring. Kemudian ditambahkannya dengan sebutir telur rebus dan sepotong ayam goreng kesukaan Emily. Dan segera dibawanya ke kamar.
Abian tahu, Emily telah bangun beberapa saat yang lalu. Sebab ketika tadi Abian melihat ke dalam kamar, tampak Emily yang sedang terbaring sambil memandang keluar jendela. Tapi Abian tak mau mengganggu. Dia segera kembali ke dapur untuk melanjutkan memasak bubur.
"Mily," panggil Abian ketika masuk ke kamar.
Emily tak menyahut. Dia hanya menoleh dan memperhatikan suaminya yang masuk sambil membawa sepiring sarapan.
"Sarapan dulu, yuk. Saya sudah buatkan sarapan untuk kamu. Bubur dengan lauk telur rebus dan ayam goreng. Kamu pasti suka," kata Abian dengan nada lembut sambil duduk di tepi tempat tidur.
"Mas Abi buatkan saya sarapan?" tanya Emily pelan.
Abian mengangguk. "Biasanya juga kan saya sering bikinin
Siang itu ibunda Emily sedang duduk sendirian di ruang tengah. Televisi menyala sementara matanya lurus menatap keluar jendela. Kaca jendela besar yang ada di ruangan itu memang menghadap ke taman samping yang indah. Tapi ibunda Emily sepertinya tidak sedang menikmati keindahan taman itu. Sebab pandangan matanya seolah tampak kosong menerawang entah kemana.Ibunda Emily memang sedang dilanda gelisah. Masalah demi masalah yang terjadi akhir-akhir ini sungguh mengganggu pikirannya. Tentang pertengkaran kedua putrinya. Tentang persoalan yang terjadi antara Emily dan Tomy. Juga tentang bayang-bayang masa depan keluarga mereka yang sepertinya akan terpecah belah. Jika pertengkaran antara Emily dan Sandra masih terus terjadi saat dia tiada nanti, apakah yang akan terjadi? Akan terus terpecahkah kedua putrinya itu. Lalu anak-anak mereka, akankah mereka menjadi asing satu sama lain? Antara anak-anak Emily dan anak-anak Sandra, akankah mereka saling menyayangi dan menjadi satu keluarg
<span;>Tomy duduk diam mendengarkan kesaksian Sinta atas tuduhan Emily terhadapnya. Kesaksian Sinta itu memberatkannya. Tapi Tomy menanggapinya dengan tenang. Dia merasa masih bisa berkelit dari tuduhan itu walaupun Sinta membenarkan cerita Emily yang menyudutkannya sebagai tersangka. Panik hanya akan menunjukkan kalau dia benar bersalah, Tomy paham benar itu. Sepertinya bersikap tenang bisa mengecoh pemikiran orang. Jika orang melihatnya tenang, maka bisa jadi orang itu akan berkesimpulan kalau sesungguhnya dia tidak bersalah. <span;>Dengan santai Tomy pun duduk bersandar di samping Sandra, istrinya yang masih terus setia berpihak padanya. Dibiarkannya Sinta terus menceritakan kejadian itu sesuai seperti apa yang dilihatnya waktu itu. Tomy tak menyela, meski dia mengumpat kesal dalam hati. <span;>Brengsek benar perempuan satu itu. Kenapa pula dia mau menjadi saksi untuk Emily? Bukankah dia bilang kalau hubungannya dengan Emily selama ini ti
<span;>Hari-hari berikutnya berlalu dengan indah. Abian dan Emily menikmati tiap detik yang berlalu dengan penuh kehangatan kasih sayang. Sampai pada suatu hari Abian merasa kalau Emily mulai berubah dari biasanya. Entah mengapa tiba-tiba saja istrinya itu jadi sangat cengeng dan manja. Bahkan kadang Emily merengek meminta sesuatu yang sulit untuk Abian dapatkan. <span;>Abian merasa kesabarannya sedang diuji. Emily benar-benar membuatnya pusing. Hampir setiap pagi dia menangis jika akan ditinggal Abian pergi ke toko. Dia merengek tak ingin ditinggalkan sambil memeluk Abian erat-erat. <span;>"Saya kan harus bekerja, Mily. Saya harus cari uang. Kan nggak mungkin saya di rumah terus menemani kamu?" bujuk Abian di pagi itu. <span;>Emily menggeleng. Dia memeluk Abian erat-erat. <span;>"Kenapa kamu jadi begini, Mily? Kan sudah setiap hari saya pergi ke toko dan kamu menunggu di rumah. Kenapa sekarang jadi cengen
<span;>Season 2 <span;>Beberapa bulan kemudian. <span;>Perempuan berusia lima puluh lima tahun yang berparas cantik itu menatap ayah dan ibunda Emily dengan wajah yang cemberut. Tampaknya dia sedang benar-benar kesal saat itu. Sementara ayah dan ibunda Emily duduk di hadapannya dengan sikap yang serba salah. Mereka tahu, mereka salah. Dan mereka memaklumi amarah perempuan yang ada di hadapan mereka itu. <span;>Perempuan itu adalah Widya. Kakak ayah Emily yang tinggal di Jogja. Emily dan Sandra biasa memanggilnya Bude Wid. Hari ini Bude Wid datang karena ingin menitipkan putri bungsunya di rumah ayah Emily supaya putrinya yang bernama Nadya itu bisa kuliah di Jakarta. Tapi Bude Wid terkejut saat mendengar kabar jika Sandra telah bercerai dengan Tomy beberapa bulan yang lalu dan Emily telah menikah dengan seorang laki-laki yang sederhana. <span;>Bude Wid marah karena tak mendapat kabar tentang apa yang telah
<span;>Emily merintih merasakan sakit pada perutnya. Dia menggenggam tangan Abian kuat-kuat sambil mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba datang menyerang. Rasa sakit ini tak biasa. Bukan rasa sakit pada perut yang pernah Emily rasakan sebelumnya. Rasa sakit ini membuat Emily berpikir jika seluruh isi perutnya akan rontok jatuh keluar. Emily merasa takut. Apakah yang terjadi dengan perutnya. Apakah sudah waktunya? Tapi bidan Aini bilang masih sekitar dua minggu lagi proses kelahiran bayinya. Apakah bayinya sudah tidak betah di dalam dan ingin segera keluar? Apa dia ingin segera melihat wajah ayah dan bundanya? Oh, Emily semakin takut ketika rasa sakit itu semakin kuat menyerangnya. <span;>"Ada apa, Emily?" Abian panik. <span;>"Sakit, Mas" rintih Emily menyahuti. <span;>"Sakit? Apa bayinya akan lahir sekarang? Tapi Bidan Aini bilang masih dua minggu lagi." <span;>"Saya nggak tahu, Mas. Jangan kasih saya
<span;>Amanda terlelap dalam gendongan neneknya. Dia tampak nyaman sekali. Ibunda Emily memang terus menggendongnya sejak tiba tadi siang. Seperti enggan untuk melepaskan cucunya itu dari dekapannya. <span;>Siang ini keluarga Emily datang ke rumah Abian karena Emily dan bayinya telah pulang dari klinik Bidan Aini. Kedua orangtuanya, juga Sandra dan bayinya datang menjenguk. Bahkan Nadya pun ikut. Gadis muda itu ikut bahagia melihat Amanda. Sedangkan Emily tampak terkejut melihat kedatangan sepupunya itu. <span;>"Jadi Nadya akan melanjutkan kuliah di sini?" tanya Emily senang. <span;>"Ya, saya mau cari kampus yang terbaik buat saya. Tapi ibu kasih syarat kalau saya harus tinggal di rumah Mbak Mily. Tidak boleh kost, apa lagi beli apartemen sendiri," sahut Nadya dengan kelakar. <span;>"Mily pun sepertinya harus kembali ke rumah dan tinggal di sana sekitar satu atau dua bulan," sambung ibunda Emily menimpali
<span;>Monik menggendong Amanda dikelilingi oleh dua orang teman perempuan lainnya. Mereka tampak gemas melihat wajah cantik Amanda. Mirip Emily, kata mereka ribut menilai. Sementara Edo dan seorang teman laki-laki lainnya hanya duduk memperhatikan. Mereka seperti menunggu giliran untuk menggendong Amanda. Mungkin nanti, setelah para gadis itu puas menimang bayi mungil itu. <span;>Emily duduk bersandar di sofa sambil tersenyum. Dia senang karena teman-temannya datang siang ini. Mereka berkumpul di ruang tamu. Asyik mengobrol dan menimang Amanda bergantian. <span;>Bayu, teman laki-laki yang duduk di sebelah Edo, tersenyum manis pada Emily. "Putrimu cantik, Mily," ucapnya. <span;>"Secantik bundanya?" timpal Emily. <span;>"Ya, secantik bundanya." Bayu menyahuti masih dengan senyum manisnya. <span;>"Hus! Nggak boleh memuji seperti itu. Emily sudah jadi istri orang. Cinta lama kalian nggak bol
<span;>Hari-hari berlalu. Kondisi Emily telah semakin membaik. Dia merasa telah bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya. Tapi ibunya memintanya untuk tetap beristirahat dan tidak melakukan banyak pekerjaan. Setidaknya sampai satu bulan pertama, Emily tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat dan harus tetap beristirahat di atas tempat tidur. <span;>Emily mulai bosan. Sesekali diam-diam dia turun dari tempat tidur dan merapikan popok, selimut dan semua perlengkapan Amanda yang baru dicuci oleh bibik. Rasanya senang bisa mengurus perlengkapan buah hatinya itu sendiri. Disetrikanya dan diaturnya dengan rapi di lemari. Ada rasa puas tersendiri jika dia melakukan semua itu. Tapi jika ibunya tahu, ibunya pasti akan langsung memarahinya dan menyuruhnya untuk segera beristirahat di atas tempat tidur seperti orang sakit. <span;>Emily sempat mengeluh pada Abian. Tapi Abian bilang, turuti saja perintah ibunya itu. Sebab ibunya melakukan semua itu ka
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&