<span;>Monik menggendong Amanda dikelilingi oleh dua orang teman perempuan lainnya. Mereka tampak gemas melihat wajah cantik Amanda. Mirip Emily, kata mereka ribut menilai. Sementara Edo dan seorang teman laki-laki lainnya hanya duduk memperhatikan. Mereka seperti menunggu giliran untuk menggendong Amanda. Mungkin nanti, setelah para gadis itu puas menimang bayi mungil itu.
<span;>Emily duduk bersandar di sofa sambil tersenyum. Dia senang karena teman-temannya datang siang ini. Mereka berkumpul di ruang tamu. Asyik mengobrol dan menimang Amanda bergantian.<span;>Bayu, teman laki-laki yang duduk di sebelah Edo, tersenyum manis pada Emily. "Putrimu cantik, Mily," ucapnya.<span;>"Secantik bundanya?" timpal Emily.<span;>"Ya, secantik bundanya." Bayu menyahuti masih dengan senyum manisnya.<span;>"Hus! Nggak boleh memuji seperti itu. Emily sudah jadi istri orang. Cinta lama kalian nggak bol<span;>Hari-hari berlalu. Kondisi Emily telah semakin membaik. Dia merasa telah bisa melakukan pekerjaan seperti biasanya. Tapi ibunya memintanya untuk tetap beristirahat dan tidak melakukan banyak pekerjaan. Setidaknya sampai satu bulan pertama, Emily tidak boleh melakukan pekerjaan yang berat dan harus tetap beristirahat di atas tempat tidur. <span;>Emily mulai bosan. Sesekali diam-diam dia turun dari tempat tidur dan merapikan popok, selimut dan semua perlengkapan Amanda yang baru dicuci oleh bibik. Rasanya senang bisa mengurus perlengkapan buah hatinya itu sendiri. Disetrikanya dan diaturnya dengan rapi di lemari. Ada rasa puas tersendiri jika dia melakukan semua itu. Tapi jika ibunya tahu, ibunya pasti akan langsung memarahinya dan menyuruhnya untuk segera beristirahat di atas tempat tidur seperti orang sakit. <span;>Emily sempat mengeluh pada Abian. Tapi Abian bilang, turuti saja perintah ibunya itu. Sebab ibunya melakukan semua itu ka
<span;>Pagi itu seperti biasa Abian sedang menyapu lantai. Ketika itu langit masih gelap. Pagi belum datang dengan sempurna. Abian membuka pintu depan hingga udara dingin masuk memenuhi ruangan. Lalu dia mengambil sapu dan memulai aktivitasnya membersihkan rumah. <span;>Abian menyapu setiap ruangan dengan bersih. Dia tak mau ada sedikit pun debu yang tertinggal. Setiap ruangan di rumah ini harus bersih dengan sempurna. Sebab sekarang ada si kecil Amanda. Putri kesayangannya itu harus berada di tempat yang bersih tanpa debu. <span;>"Biar saya yang menyapu, mas," kata Nadya yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Abian. <span;>Abian menoleh. "Nggak usah, sudah hampir selesai," sahutnya. <span;>"Kalau begitu biar saya yang mengepel nanti." Nadya kembali menawarkan bantuan. <span;>Abian mengangguk. Kemudian dia kembali asyik dengan pekerjaannya. <span;>Nadya segera meng
<span;>Abian duduk di tepi tempat tidur. Wajahnya tampak bingung. Sesungguhnya permintaan Emily itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Tapi rasanya Abian belum bisa mengabulkannya. Dia tak memiliki uang yang cukup untuk membiayai kuliah Emily. Apa lagi sekarang ada Amanda. Tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membesarkan seorang anak. <span;>"Jadi kamu sungguh-sungguh ingin kuliah lagi?" tanya Abian pelan. <span;>"Ya, saya ingin menuntut ilmu, mas. Saya nggak mau menyia-nyiakan masa muda saya. Yang penting saya tetap menjalani tugas saya sebagai ibu rumah tangga dengan baik, kan?" Sahut Emily segera. <span;>Abian menghela napas. "Tapi saya nggak bisa membiayai kuliah kamu dalam waktu dekat ini, Mily. Seenggaknya saya butuh waktu untuk menabung. Saya harap kamu bisa mengerti. Apa lagi sekarang kita memiliki seorang anak. Kita harus menyiapkan biaya untuk keperluan Amanda, kan?" <span;>Emily pu
<span;>Emily sedang duduk di ruang tamu ketika Nadya menghampiri dan duduk di dekatnya. <span;>"Amanda tidur, mbak?" tanya gadis itu sambil menoleh pada Emily. <span;>"Ya, habis menyusu tadi, dia langsung tidur." <span;>"Mbak Mily tidak ikut tidur?" tanya Nadya lagi. <span;>Emily menggeleng. "Mas Abi belum pulang," sahutnya. <span;>Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara guntur yang bergemuruh. Emily pun berdecak gelisah. <span;>"Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Mas Abi belum pulang," kata Emily pelan. Matanya menatap ke jalan dengan wajah yang cemas. <span;>Nadya melihat ke arah jam di dinding. "Satu jam lagi tokonya baru tutup," kata Nadya seolah memberitahukan Emily kalau saat ini memang belum waktunya Abian untuk pulang. <span;>"Ya. Tapi mbak khawatir kalau nanti Mas Abi kehujanan." <span;>"Semoga saja tid
<span;>Abian baru saja selesai mandi. Dia sedang memakai pakaian di kamar. Begitu hendak keluar, dia menghampiri tempat tidur dan menatap Emily yang sedang tertidur pulas di bawah selimut yang hangat. Hm, Abian memperhatikan wajah Emily yang tampak lelah. Kasihan, dia pasti kelelahan mengurus Amanda seharian. Mungkin sebaiknya memang biarkan dia tidur, jangan dibangunkan. <span;>Kemudian Abian mendekati ranjang Amanda dan menatap putri kecilnya itu dengan sayang. Bibir Abian tersenyum bahagia melihat putrinya yang terlelap. Cantik sekali dia. Bahkan dalam tidur pun dia begitu menggemaskan. Abian terus memandangi Amanda untuk beberapa saat. Sampai akhirnya dia teringat kalau dia belum makan. Abian pun bergegas keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan. <span;>Di ruang makan, ada Nadya yang masih setia menunggu. Gadis itu tersenyum begitu melihat Abian datang menghampirinya. Abian membalas senyuman itu dan segera duduk di hadapan Nadya
<span;>Emily terbangun ketika mendengar tangis Amanda. Dan begitu dia membuka matanya, dia langsung melihat Abian yang sedang berdiri di samping ranjang bayinya itu. <span;>"Mas Abi? Mas sudah pulang? Saya nggak dengar Mas datang," kata Emily menyapa. <span;>Abian menoleh. "Tadi kamu tidur nyenyak sekali. Saya nggak tega buat bangunin kamu," kata Abian menyahuti. <span;>"Mas Abi sudah makan?" tanya Emily lagi. <span;>"Sudah. Tadi disiapkan Nadya. Kamu sendiri sudah makan?" jawab Abian yang diikuti dengan sebuah pertanyaan. <span;>Emily tersenyum. "Syukurlah kalau Mas sudah makan. Saya sudah makan sore tadi sebelum tidur. Maaf tadi saya tidur nggak nunggu mas pulang dulu. Saya ngantuk sekali, mas." <span;>"Nggak apa-apa, Mily. Saya mengerti kok kalau kamu pasti lelah seharian mengurus Amanda. Apa lagi Amanda cengeng sekali, mirip bundanya." Abian menyahuti sambil tersenyu
<span;>Ketika Abian telah berangkat ke toko, Emily dan Nadya pun bersiap untuk berangkat. Mereka menggunakan taksi online untuk datang ke sana. Emily sudah terbiasa tidak menggunakan kendaraan pribadi meskipun mobil mewahnya bisa dia gunakan kapan pun dia mau. Dan supir keluarga pun selalu siap untuk menjemput dan mengantarnya ke tempat yang dia tuju. <span;>"Kenapa tidak minta dijemput saja, mbak? Kan lebih enak pakai mobil sendiri." Nadya bertanya ketika Emily memesan taksi online. <span;>"Kalau terbiasa diantar jemput, nanti jadi cengeng. Nanti nggak akan bisa mandiri dan terus bergantung sama papa." Emily memberi alasan. <span;>Nadya mengangguk mengerti. Hm, pemikiran yang bagus, hati Nadya berbisik. Dengan begitu setidaknya Emily menghargai Abian sebagai suaminya. <span;>Mereka pun berangkat begitu taksi online yang dipesan tiba. Amanda berada dalam gendongan Emily. Seperti biasa bayi mungil itu terti
<span;>Abian terdiam. Sejak kembali dari rumah orangtuanya beberapa hari yang lalu, Emily selalu merengek ingin mengikuti kursus memasak. Sebetulnya itu adalah keinginan yang baik. Tapi jika mengingat Amanda masih terlalu kecil untuk ditinggalkan, akhirnya Abian pun menjadi ragu. <span;>"Kan, ada Nadya, mas. Dan lagi nggak seharian saya meninggalkan Amanda. Hanya beberapa jam saja. Setelah kursus selesai, saya akan langsung pulang," kata Emily membujuk. <span;>"Tapi kita nggak bisa menjadikan Nadya sebagai pengasuh Amanda, Mily. Nadya di sini hanya membantu meringankan tugasmu mengerjakan pekerjaan rumah saja. Dia bukan baby sitter anak kita." <span;>Emily tampak gelisah dengan penolakan Abian itu. Dia memang tidak mengatakan pada Abian alasan sebenarnya mengapa mendadak dia meminta kursus memasak. Sesungguhnya kursus itu hanyalah upaya agar Bude Wid diam dan tidak menemui Abian saja. Sebab jika sampai Bude Wid menemui dan
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&