“Heh! Kalian sejak awal memang berniat mempermainkan pernikahan.” Ucap Pak dhe tampak tak suka.
“Maaf mas Ramdan, tolong jangan salah paham. Hubungan saya dan mas Rahmat hanyalah masa lalu. Saya kembali ke Solo, selain karena permintaan kedua kakak saya, saya juga ingin Ratih tahu, sudah sejak dulu saya memaafkannya. Sejak saya tahu ia hamil Rena, saya sudah mengiklhaskan hubungan saya dengan mas Rahmat. Saya benar benar tulus berdoa untuk kebahagian Ratih dan mas Rahmat. Saya pikir, mungkin saya dan mas Rahmat memanglah tidak berjodoh.” Tante Fatma mencoba untuk menjelaskan.“Jika ibu memang hanya berpura pura bersikap jahat pada saya dan bapak, mengapa ibu tidak peduli dengan pernikahan saya. Mengapa ibu tidak datang, meski hanya sepintas lalu? Saya benar benar berharap ibu datang, meski ia datang sambil melontarkan kata kata yang menyakitkan, tante. Tapi nyatanya, jangankan datang, ibu bahkan tidak membalas satu pun pesan meski saya berkali kali mencoba menghub“Maaf mbak! Apa masih lama ya?” Tanya ibu ke MUA cantik yang sedang mendandaniku.“Sebentar lagi, buk.” Jawab sang MUA dengan sopan.“Ya, sudah. Tolong dipercepat ya mbak.” Perintah ibu.“Baik bu.” Jawab sang MUA singkat.Ibu kemudian duduk di kursi tak jauh dariku. Menghadap ke arahku. Dan beliau terus memandangku.“Kok cemberut sih Ren? Masa calon pengantin kok mukanya ditekuk gitu. Ayune kelong lho nduk. ( Cantiknya berkurang lho nduk ).” Ujar ibu.“Terus maksud ibu, aku harus joget joget? Jingkrak jingkrak? Atau sekalian salto? “ Ucapku ketus.“Lho, kok gitu sih nduk jawabannya. Ibu kan ngomong baik baik.” Ucap ibu dengan lembut. Padahal aku tahu, ibu pasti jengkel mendengarku berkata seperti itu.“Ibu itu tahu yang sebenarnya seperti apa. Tapi malah pura pura, seolah olah tak tahu gitu.” Ucapku dengan kesal. Saking merasa jengkel. Dadaku pun sekarang terasa sesak seperti ada beban yang berat yang sedang menimpanya. Mataku sudah berkaca kaca sejak tadi. Dan sekarang, butiran beni
Meski rasanya sudah mustahil, tapi di dalam hati, aku masih terus berdoa, semoga Allah memberikanku keajaibanNya. Tak lelah ku lantunkan dzikir di dalam hati.“Ya Allah, hamba mohon, selamatkanlah hamba dari lelaki yang sedang berhadapan dengan bapakku itu. Hamba mohon dengan sangat ya Allah.” Doaku dalam hati. Kurapalkan doa di hati terus menerus tak henti.Aku terus menundukkan pandangan. Malas melihat suasana yang bagaikan sebuah kutukan ini. Namun, sesekali kuangkat wajah, melirik ke sekeliling. Dan sering kali, tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan laki laki yang bernama lengkap Ferdian Hutomo itu. Ia pun mempersembahkan senyum termanisnya. Apa dia pikir aku akan terpesona? Bukannya terpesona aku malah semakin merasa jengkel. Setiap kali melihatnya, rasa jengkelku semakin bertambah. Andai boleh, aku akan mengajukan syarat, tanding terlebih dahulu. Dia harus bisa mengalahkanku terlebih dahulu sebelum berhak mengucap akad. Aku yakin tak akan kalah. Aku adalah pemegang sa
Selama mereka baik terhadapku, aku pun akan bersikap baik terhadap mereka. Itulah prinsipku. Keluargaku tak henti hentinya memuja muji cucu lelaki kakek Hutomo itu. Tak ada waktu tanpa mereka menyebutkan kebaikan lelaki yang katanya tampan rupawan itu. Kalau mereka terus terusan seperti ini, aku takut akhirnya akan terpengaruh juga. Suka karena terbiasa. Bukankah berita yang salah pun jika disiarkan berulang kali akan bisa dianggap benar oleh orang orang yang mendengarkannya?Terdengar suara notif pesan masuk. Segera kuambil hp yang tergeletak di atas nakas samping ranjangku. Ternyata ada pesan masuk dari Dewi, sahabatku. Kami sudah berteman sejak SMP. Kami pun bersekolah di tempat yang sama saat SMA.“Assalamualaikum, Rena sayang. Jalan yuk, Ren!. Dah lama nih kita nggak jalan jalan bareng.” Bunyi pesan dari Dewi.“Waalaikumsalam. Kemana? Sama siapa aja?” Balasku.“Kemana aja boleh lah!. Sama Santi, Dian... trus... aku dong.” “ Mau ya?” Pesan dari Dewi.“Boleh lah! Jemput ya? Aku tu
“Lho, kok bagus sih Ren?” Tanya Dewi masih dengan kekagetannya.“Bagus gimana maksudmu, Ren?” Tanya Dewi lagi.“Sadar nggak sih tadi pas ngomong?” Gantian Dian yang bertanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari mulut ini.“Maksudku, bagus dong! Aku kan jadi punya peluang besar buat membatalkan rencana mbah kakungku, buat ngejodohin aku dengan itu cowok.” Jelasku ke mereka, agar tak semakin salah paham.“Hehehe, kupikir, tipe cowok ideal versimu yang badboy gitu Ren.” Ujar Dian.“Enak aja!. Mikir dong, masak gue yang ting ting ini dapat yang tong tong sih.” Belaku. Disambut tawa mereka.“Hahahaha....” Tawa mereka serempak. Sepertinya mereka senang sekali mengejekku hari ini. Jadi agak menyesal nih, curhat sama mereka. Tapi kalau aku pendam sendiri di hati, alamat stress lah aku. Sambil panen jerawat.“Senang sekali ya, kalian hari ini.” “tertawa teruusss” “ Nggak apa apa lah itung itung ngumpulin pahala. Kan bikin orang bahagia, pahalanya gedhe.” Ujarku.“Udah, udah. Ja
“Maaf mbak, yang bayarin kita siapa ya? Cewek apa cowok?” Tanya Dewi pada mbak kasir.“Iya, mbak, orangnya yang mana ya?” Tanya Dian penasaran.“Namanya siapa ya mbak?” Tanya Santi juga tak mau kalah.Mbak kasir terlihat bingung, diberondong pertanyaan oleh teman temanku.“Cowok, mbak. Orangnya baru saja pergi, mbak. Kalau namanya saya nggak tahu. Tadi dia hanya ninggalin kertas itu. Maaf ya mbak.” Terang sang kasir terlihat merasa bersalah.“Ga pa pa kok mbak. Ya udah deh, kami permisi dulu ya.” Ucapku.“Silahkan!” Jawab mbak kasir dengan ramah.Kami berempat pun segera berjalan ke parkiran dengan langkah cepat. Berharap orang yang membayari makan kami masih ada di sana. Selain untuk mengobati rasa penasaran juga untuk mengucapkan terima kasih. Sampai di parkiran kami berempat celingak celinguk ke kanan kiri mencari orang tersebut. Tapi, nyatanya tak ada orang di parkiran selain bapak tukang parkir dan kendaraan yang berjejer rapi. Sepertinya kami terlambat.*** Dewi mengantarkanku
“Kalau foto fotonya cuman kayak gitu, nggak bisa dijadikan bukti deh kayaknya.” Tulis Dian.“Iya, mbah kakung pasti nggak percaya.” Tulisku.“Kalau dapat dari upload –an medsos, ya cuma kayak kayak gitu lah.” Tulis Santi.“Ya iyalah. Masa di medsos upload foto mesum, ya nggak mungkinlah. Kecuali sudah agak error orangnya.” Tulis Dewi.“Gimana kalau kamu deketin Vina, San?” Tulis Dewi.“Kenapa harus aku coba?” Tulis Santi tidak terima.“Karena, dari kita berempat, cuman kamu yang nggak terlalu frontal membenci dia. Iya khan, Wi?” Tulis Dian.“Iya. Kalau kita bertiga khan, kalau ketemu dia, bawaannya pengen nonjok aja.” Tulis Dewi.“Lagian khan kamu sama Vina 1 tempat kerja.” Tulis Dewi lagi.“Oke deh! Demi kamu Ren, aku bakalan deketin Vina.” Tulis Santi.“Kalian emang best friend aku!” Tulisku senang.“Tok, tok, tok!” Terdengar suara ketukan pintu. Aku kemudian berjalan ke pintu dan membukanya. Ada ibu di depan pintu kamarku.“Ayo, kita makan dulu!” Ajak ibu.“Rena masih kenyang bu
Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat.“Assalamualaikum.” Ucapku.“Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana.“Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku.Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini.“Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi.“Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku.“Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku.“Siap, Ren!” Jawabnya.“Kamu tenang aja, Re
“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan.“Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu."Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa."Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan.Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin.“Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku.Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting?“Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tan
“Heh! Kalian sejak awal memang berniat mempermainkan pernikahan.” Ucap Pak dhe tampak tak suka.“Maaf mas Ramdan, tolong jangan salah paham. Hubungan saya dan mas Rahmat hanyalah masa lalu. Saya kembali ke Solo, selain karena permintaan kedua kakak saya, saya juga ingin Ratih tahu, sudah sejak dulu saya memaafkannya. Sejak saya tahu ia hamil Rena, saya sudah mengiklhaskan hubungan saya dengan mas Rahmat. Saya benar benar tulus berdoa untuk kebahagian Ratih dan mas Rahmat. Saya pikir, mungkin saya dan mas Rahmat memanglah tidak berjodoh.” Tante Fatma mencoba untuk menjelaskan.“Jika ibu memang hanya berpura pura bersikap jahat pada saya dan bapak, mengapa ibu tidak peduli dengan pernikahan saya. Mengapa ibu tidak datang, meski hanya sepintas lalu? Saya benar benar berharap ibu datang, meski ia datang sambil melontarkan kata kata yang menyakitkan, tante. Tapi nyatanya, jangankan datang, ibu bahkan tidak membalas satu pun pesan meski saya berkali kali mencoba menghub
“Rendra, tolong anterin pulang ya?” Pintaku.“Ada apa?” Tanya Rendra heran.“Pulang kemana to nduk? Inikan juga rumahmu.” Sahut ayah yang ikut mendengar pembicaraanku dan Rendra.“Maksud Rena, anterin ke rumah eyang, ayah.” Jelasku.“Mas Damar, minta aku pulang. Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan.” Lanjutku.“Ya udah, ganti baju dulu. Jangan lupa bawa jaket.” Ucap Rendra. “Rendra, kamu nggak ganti baju?” Tanyaku.“Tolong bawain jaketku yang di kamar.” Jawab Rendra. Aku pun mengangguk.*** Selama dalam perjalanan, aku hanya terdiam. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Kepalaku sibuk menerka nerka berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi.“Assalamualaikum” Ucapku bersamaan dengan Rendra.“Waalaikumsalam. Masuk nduk.” Ucap orang orang yang berada di ruang tamu rumah pak dhe Ramdan. Anak dan cucu eyang tengah berkumpul di ruang tamu ini. Ada satu orang yang tak kukenali ada di antara mereka.“Duduk sini.” Ucap bapak. Setelah menyalami mereka semua, aku dan Rendra dud
“Dasar b o d o h! Bagaimana kamu bisa menyerahkan segalanya pada wanita ini Rendra! Buat apa aku mengejar lelaki miskin!” Teriak Cindy. Aku pun langsung ber high five dengan Risa. Puas sekali kail pancingku tersangkut dengan mudahnya.“Ha ha ha... Kau sangat percaya sekali dengan ucapanku ya?” Puas ku menertawakan wanita itu.“Rendra, aku tadi tidak bermaksud menghinamu. Aku hanya sedang berusaha untuk menyadarkanmu. Betapa liciknya wanita yang telah kamu nikahi itu. Kamu tahu khan, kalau papi mami aku tuh sudah kaya raya jauh sebelum aku lahir. Jadi, buat apa aku ngincar hartamu. Iya khan?” Mendadak ucapan Cindy berubah lembut, setelah menyadari ia hanya kubohongi.“Rendra, tolong. Aku benar benar sakit karena ulah istrimu itu. Tolong aku Rendra, atau aku akan melaporkan perbuatan istrimu ke polisi.” Cindy benar pintar sekali playing victim. Jengkel aku dibuatnya. Risa memberikanku kode dengan kedip kedipan matanya. Tapi aku tak mengerti apa maksudnya.
“Bugh! Brakk!” Kutendang wanita itu hingga terpelanting jauh dari posisinya semula. Ia terjatuh menimpa meja. Ahh, pasti sakit sekali rasanya. Apalagi bagi wanita manja seperti dia. Aku memang telah merasa jengkel dengan wanita itu sejak kedatangannya. Semua ucapannya hanyalah meremehkanku. Untunglah Rendra menyuruhku pergi dari meja itu dengan alasan untuk menemani Rayyan. Kukira aku telah terselamatkan dari luapan emosiku sendiri. Ehh, ternyata wanita itu belum merasa cukup membully ku dengan ucapan. Ia tampak berdiri tak lama begitu aku beranjak dari kursi yang kududuki. Ia mengikutiku dengan tangan kanannya menggenggam sebuah pisau yang hendak dia gunakan makan tadi. Tak bisa kubayangkan andai wanita itu berhasil melukaiku. Pisau yang tak tajam itu akan merobek kulitku dengan sangat menyakitkan. Bahkan ikan saja dipotong dengan pisau yang setajam mungkin saat akan dimasak, agar tidak menyakiti ikan itu. Lha ini wanita, mempunyai niat buruk untuk melukaiku dengan pisau makan yang t
“Hanya acara makan makan saja. Sama para tetangga. Biar mereka tahu, kalau kita ini sudah menikah. Biar tak ada fitnah.” Jelas Rendra.“Dimana? Pakai pakaian kayak tadi pagi?” Ucapku was was. Aku yang tomboi, tentulah merasa tersiksa harus memakai pakaian super ribet tadi.“Di resto Angsana. Kita pakai baju biasa saja kok. Hanya makan makan sama perkenalan. Nggak pakai acara neko neko.” Terang Rendra lagi. Aku pun bisa menghela nafas lega setelah mendengarnya. Sedangkan Rendra, ia tampak tersenyum ketika mendengarku menghela nafas.*** Pagi ini, setelah menunaikan sholat Subuh, aku kembali membaringkan tubuhku di samping Rayyan. Bocah itu masih terlelap. Ia tampak sangat nyenyak dalam tidurnya.“Assalamualaikum” Baru saja memejamkan mata hendak tidur lagi, terdengar suara salam.“Waalaikumsalam” Sahutku dengan kaget.“Kenapa?” Tanya Rendra heran.“Hanya belum terbiasa.” Jawabku tak enak. Rendra berjalan mengh
“Mau beli apa?” Tanya Rendra kemudian. Aku berjalan mencari letak es krim. Rendra terus mengekoriku di belakang. Karena tak mungkin ia menggandengku, ruang kosong yang tersedia cukup sempit. Kubuka tempat penyimpanan es krim. Ku ambil semua es krim dengan rasa durian. Aku juga membeli cooling box untuk menyimpannya. Cukup banyak es krim yang kubeli. Cukuplah untuk dibagi rata semua yang ada di rumah eyang.“Es krim durian?” Ucap Rendra heran.“Sama sama durian khan?” Sahutku.“Terserah kamu sajalah sayang.” Ucap Rendra pasrah.“Kita cari makan dulu ya, sayang.” Rendra menawarkan.“Nggak usah. Di rumah lagi bakar ikan. Kita makan di rumah aja ya. Kalau kelamaan, nanti es krimnya cair.” Ucapku.*** Akhirnya, aku dan Rendra sampai rumah eyang juga. Setelah memarkirkan mobil kami langsung masuk ke tempat dimana orang orang masih berkumpul. Halaman luas yang tadi pagi penuh dengan kursi kursi dan meja sekarang berganti karp
“Assalamualaikum.” Ucapanku membuat Rendra menatapku penuh tanya. Dari tatapannya kuketahui ia sedang penasaran dengan siapa yang menghubungiku. Aku pun kemudian menunjukkan layar ponselku, agar ia tahu nama orang yang menghubungiku. Setelah beberapa saat berbincang, aku pun mematikan panggilan. Setelahnya, kucari nama kontak mas Damar. Dan menelponnya.“Apa?” Sahut mas Damar begitu panggilan terhubung. “Assalamualaikum.” Ucapku tanpa memedulikan ucapan mas Damar tadi.“Waalaikumsalam.” Jawab mas Damar dengan ketus.“Tadinya aku mau memberikan info yang pastinya bakal bikin mas Damar berbunga. Tapi nggak jadi sajalah. Dengar suara mas aja, aku udah bad mood.” Seruku. Tanpa banyak bertanya, Rendra hanya terus memandangiku dan mendengarkan obrolanku di ponsel.“Ini udah jam berapa! Capek kami menunggu kalian pulang.” Gerutu mas Damar.“Udah jam 11 malam, emang kenapa? Orang aku perginya sama suami sendiri. Bukan suami orang. Lagia
Aku keluar untuk memastikan keberadaan Rendra. Kulihat ke kiri dan ke kanan. Tapi tak kudapati keberadaan suamiku itu. Menyebalkan! Atau yang sebenarnya adalah ia memberikanku waktu untuk membaca dengan baik baik dan teliti setiap tulisannya di album itu? Ya, sepertinya memang begitu.Aku duduk di bangku depan glamping sendirian. Para pengunjung di sini kebanyakan datang bersama dengan keluarga dan pasangan. Rasanya aneh, saat hanya aku sendiri yang sendirian. Beberapa saat kemudian, kulihat Rendra berjalan mendekat ke arahku sambil menjinjing beberapa kantong plastik di tangan kiri dan kanan.“Darimana? Katanya sebentar!” Protesku begitu ia sampai. Ia tak menjawab. Hanya menunjukkan kedua tangannya yang penuh barang belanjaan. Ia kemudian duduk di sampingku setelah meletakkan kantong plastik di meja. Kemudian menyodorkan sebungkus camilan padaku. Tapi, ia membukanya terlebih dulu sebelum menyerahkan padaku.“Sudah selesai?” Tanya Rendra. Ia pasti menanyak
Kulihat halaman demi halaman album itu dengan seksama. Di dekat setiap foto yang tersimpan, selalu ada tulisan tangan Rendra. Kalimat kalimat yang menggambarkan isi hatinya, yang kutahu ditujukan padaku, atau setidaknya hanya keterangan hari dan tanggal foto itu diambil. Di halaman ke 20, kulihat foto diriku saat study tour. Seingatku, foto ini dulu ada di album foto kecil yang ia tunjukkan di kelas, seminggu sepulang kami dari acara study tour itu. Di dalam album foto itu, ada foto foto teman teman sekelas kami. "Demi mendapatkan foto ini, aku foto semua teman sekelas satu per satu hanya agar mereka tak mencurigaiku yang terlihat selalu fokus mengambil gambarnya. Saat kutunjukkan gambar ini di kelas, Rena memuji hasil jepretanku. Dia bilang hasil jepretanku keren. Ia mengatakan kalau aku berbakat menjadi seorang fotografer. Hati ini benar benar berbunga. Pujian Rena, membuatku memutuskan menjadikan fotografer, sebagai bagian dari cita citaku. Aku harus bisa menja