Ada desakkan kerinduan yang besar saat bibir itu menyentuh bibirnya. Sekali lagi ia seperti merasakan letupan kembang api di dadanya. Hangat dan meledak-ledak. Seperti tersihir. Laki-laki itu selalu mampu menyentuhnya tanpa menimbulkan pergolakan dalam dirinya. Tanpa sadar ia menerimanya. Mengikuti setiap gerak lidah yang bermain di mulutnya.
Lembab dan lembut.
Panas dan membara.
Membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat seperti sedang maraton. Tangannya yang digenggam perlahan naik ke punggung Yuka, memeluk laki-laki itu. Yuka balas memeluknya, meraih pinggang ramping Aneth yang terasa pas dalam dekapannya. Satu tangannya yang lain menahan ceruk leher gadis itu. Mempererat lumatannya.
Aneth melepas pagutan mereka, mengambil napas sedikit demi sedikit. Ketika tangan Yuka yang berada di lehernya bergerak turun menarik tali baju atasannya yang menyerupai kimono, gadis itu mengentikannya.
“Stop!” Suara Aneth serak, mendorong Yuka pelan.
Kalau kamu suka ceritanya, jangan lupa berikan bintang dan gem untuk Aneth :)
“Kenapa kamu nanya itu?”“Kalo nanya yang lain nanti kamu nggak mau jawab.”“Hmm... aku tadinya mau pilih seni rupa, tapi Mama nggak izinin. Masuk jurusan *DKV pun karena kak Rena yang bujuk Mama,” jawab Aneth terus terang.(*DKV = Desain Komunikasi Visual)Yuka menyelesaikan ikatan tali baju Aneth, sementara Aneth kembali pada posisi terlentang agar tangannya tidak sakit. ”Kenapa nggak diizinin?”Sekilas ia mengecup leher Aneth, menghirup aroma lembut gadis itu. Wangi talc, pikirnya. Lalu kembali menopang kepala dengan satu tangan.Aneth sempat bergidik ketika Yuka mengecup lehernya. Tapi kemudian menjawab, “Katanya, buat apa kuliah mahal-mahal ambilnya seni, cuma coret-coret dan main-main aja. Masa depannya nggak jelas. Kalau kak Rena nggak negosiasi sama mama, mungkin aku disuruh masuk jurusan Ekonomi atau Hukum.”“Ah, jangan Hukum. Nanti aku dituntut kamu,
Hampir saja Aneth mati jantungan saking paniknya menghadapi tingkah lelaki itu. Setelah mengganggunya sampai ia kepanasan nyaris meledak, laki-laki itu berhenti usai beberapa kali meninggalkan jejak di tubuhnya. Dan tertawa menyaksikan wajah memberengut Aneth.‘Hah! Dia berani tertawa, coba!’“Gila!” Aneth memukul-mukulnya meski tenaganya masih terbatas. “Dasar mesum kamu! Nyebelin! Nginap di sini cuma buat ganggu orang!”Tawanya malah semakin pecah melihat reaksi Aneth yang menggemaskan. Awalnya Yuka hanya berniat menggodanya sedikit. Tapi dia sendiri jadi kelepasan. Apa lagi ketika wanita itu berontak di bawahnya. Membuatnya semakin ingin menyentuhnya. Tapi tentu saja dengan mengumpulkan segenap kewarasan, dia tidak boleh melakukan lebih dari itu.“Jadi, udah tau definisi mesum sesungguhnya?” tanyanya, berusaha menahan seringai.“Kamu! Kamu cowok paling mesum yang pernah aku temuin!&r
Sejak kemarin Aneth terus kepikiran. Meski sebelumnya ia tidak ingin masalah ini menjadi besar dan meluas ke publik, tapi di sudut hatinya, dia benar-benar ingin membalas wanita itu. Ivanka dan Alex berhasil diringkus karena semua bukti jelas mengarah pada mereka. Namun Adeline, tak ada bukti mengenai dirinya. Semua dilakukan melalui Ivanka. Wanita ular itu benar-benar memanfaatkan Ivanka sebaik mungkin untuk menutupi dirinya dan menghilang kabur entah ke mana.Ketika Yuka membahas Ivanka dan Alex, nuraninya masih dapat melunak. Malah ia memberi maaf untuk mereka. Tetapi saat mengetahui Adeline melarikan diri dari kasus ini, ia menjadi sangat kesal. Apa lagi saat mendengar Yuka menyebut nama panggilannya.Adele.Entah mengapa emosinya semakin tersulut.Tidak, Yuka salah kalau mengatakan Aneth adalah orang yang baik. Aneth tidak sebaik itu. Dia bukan makhluk berhati malaikat yang mudah memaafkan seseorang begitu saja. Bahkan sekarang, ia masih dapat merasa
“Untunglah nggak ada dia, males banget gue liat dia,” celetuk Elden sambil membuka pintu kamar Aneth. Lebih tepatnya, ia malas karena harus dijejalkan pemandangan romantis mereka jika Yuka berada di kamar Aneth.“Kenapa sih lo sensi banget? Perasaan kalian nggak kenapa-napa sebelumnya. Malah kerja sama juga. Ada apa sih?” Aneth melepaskan diri dari Elden yang yang baru saja membantunya berjalan-jalan sore itu.Siang tadi Yuka meneleponnya kalau dia tidak bisa datang ke rumah sakit lebih awal karena ada beberapa hal yang harus diurusnya. Jadi laki-laki itu tidak akan keburu menemani Aneth jalan-jalan. Tepat setelah camilan sore diantar oleh perawat, Elden datang. Laki-laki itu sudah bisa menduga kalau Yuka tidak akan ada di sana pada jam kerja.“Cheesy banget dia tau nggak,” Elden menarik pundak Aneth kembali mendekat padanya. Lalu membungkuk, menyelipkan sebelah lengannya di balik lutut Aneth. Mengangkat gadis itu dud
Dia tahu, gadis itu marah. Meski Aneth memasang raut datar seperti biasanya, ia mulai memahami emosi gadis itu. Yuka tidak berani mengganggunya sejak kemarin malam. Kalau sebelumnya dia menggodanya habis-habisan, kemarin Yuka hanya diam memerhatikan gadis itu, tertidur di sebelahnya.Dia tidak pernah segalau ini menghadapi wanita yang sedang murka kecuali kakaknya. Kemungkinan besar penyebabnya pastilah karena kabar Adeline yang menghilang. Siapa sih, yang akan suka kalau orang yang telah mencelakainya kabur begitu saja?Oleh karena itu, dia harus mendongkrak mood gadis itu. Yuka meminta bantuan Becca, sekretarisnya, untuk membeli sesuatu yang kiranya disukai wanita selain perhiasan dan barang-barang branded. Dia tidak tahu apa yang disukai Aneth. Tetapi berdasarkan firasatnya, Aneth akan tersinggung jika tiba-tiba diberikan benda mahal tanpa alasan jelas. Tidak seperti wanita-wanitanya yang lain.Kotak karton tebal berisi empat kue sifon masin
Sudah berakhir.Semuanya sudah berakhir.Ini yang terbaik. Tidak akan ada lagi rasa bersalah di kemudian hari. Meski perasaan mengerikan itu sempat menguar dan naik ke permukaan saat ia mengatakan yang sesungguhnya dengan mulutnya sendiri.Perasaan menjijikkan yang dirasakannya lebih dari apa pun.Yuka mungkin mengasihaninya. Atau bahkan merasa muak lebih dari yang dirasakannya. Entahlah. Yang ia tahu, kali ini ia merasa lebih ikhlas dari sebelumnya. Karena orang yang sejak awal tidak memiliki apa-apa seharusnya tidak perlu takut kehilangan. Penderitaan dan luka telah menjadi teman baiknya sejak lama.Tapi...Benarkah ia mengakhirinya dengan ikhlas?Lantas kenapa butiran air terus saja berlomba-lomba keluar dari kedua sudut matanya setelah laki-laki itu berderap keluar meninggalkan kamarnya?***Elden tidak pergi dari sana. Menunggu di depan pintu ketika Yuka tidak juga keluar dari kamar
“Masuk,” terdengar ketukkan pintu saat ia sedang memantau pergerakan candlestick di halaman aplikasi investasi saham pada laptopnya.“Permisi, Pak. Renovasi kamarnya kan sudah selesai, perabot juga sudah diganti yang baru. Kuncinya saya titip ke sekretaris Becca atau saya serahkan ke Anda?” tanya Rendy mengangkat kunci dengan gantungan bola bulu berwarna abu-abu.Ia terdiam menatap kunci itu, tidak mungkin menemui Aneth lagi dalam waktu dekat. Aneth juga masih di rumah sakit. Entah apakah gadis itu akan kembali tinggal di kost lamanya atau pindah dari sana.“Kamu kasih Becca aja dulu,” sahutnya kemudian.“Oke, Pak.”“Oke. Makasih, Ren.”“Sama-sama Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?”“Gimana dengan posisi staf desain? Iklan lowongan pekerjaannya udah disebar, kan?”“Iya, Pak. Katanya cukup banyak yang melamar. Minggu depan akan ad
Yuka memeriksa jadwal yang diberikan Becca, lalu melirik ke arah jam tangannya. Ada rapat jam dua siang nanti. Diraihnya dasi yan tergeletak di meja dan dikalungkannya ke leher. Gerakkannya terhenti saat ia hendak mencoba memasang dasi. Teringat seseorang yang belakangan selalu memasangkan dasi untuknya. Beberapa hari ini terasa seperti mimpi. Berat untuknya memejamkan mata di malam hari dan membuka mata di pagi hari. Seperti ada bagian dirinya yang menghilang. Tangannya lalu meraih telepon, menekan dua angka yang sudah sangat sering dihubunginya. Hanya butuh satu detik untuk mendapat jawaban dari seberang sana. “Becca, tolong ke ruangan saya pasangin dasi. Hari ini biar Rendy yang ikut saya pergi meeting,” “Baik, Pak.” *** Beberapa minggu ia melewatkan kegiatan seperti ini karena Aneth berada di apartemennya waktu itu. Berkumpul dengan teman-teman di akhir pekan biasanya menjadi rutinitas untuk m
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi