“Raneeth,” ujar Yurika dengan wajah menyesal. “Seharusnya kemarin aku anter kamu pulang.” Wanita cantik itu memeluk Aneth erat ketika menghambur masuk ke apartemen adiknya.
“Nggak apa-apa, Kak.”
Kemarin Yuka memang meminta kakaknya mengirimkan pakaian ganti untuk Aneth. Tapi tidak menyangka supir akan membawa sepaket bersama pemilik bajunya. Padahal selama ini cuma sekali Yurika datang ke sana sewaktu awal dia pindah. Yang lebih sering datang biasanya Valdi.
Tadi sewaktu menjemput Yurika di lobby, Yuka sudah bercerita sedikit mengenai indekos Aneth selama mereka berjalan ke unit apartemennya. Yurika memekik tak percaya dengan wajah prihatin. Tidak sampai hati mendengar insiden yang menimpa Aneth.
“Aku bawa sarapan buat kalian,” Yurika lalu melepas pelukannya dan menaruh tote bag berisi makanan di pantry.
“Mama sama Kapten ada nanyain lo nggak pagi-pagi keluar?”
Tiga hari lagi menuju tahun baru!
“Kak Yuri udah pulang?” tanya gadis yang sejak semalam kembali tinggal di apartemennya.“Udah,”Sekali lagi Yuka memerhatikan penampilan Aneth. Dari ujung kepala hingga kaki. Gaun terusan berwarna biru pucat dengan motif bunga kecil-kecil tampak sangat cocok untuknya. Rambutnya tergerai begitu saja. Bulu matanya lentik dan cantik. Liptint yang dipakainya hari ini berwarna plum red.Ah, dia selalu saja betah berlama-lama memandangi bibir merekah gadis itu. Dia suka bentuknya. Juga sensasi yang dirasakannya ketika bibirnya menyentuh milik gadis itu.“Apa nggak pa-pa Anda temenin saya belanja?” tanya Aneth membuyarkan lamunannya.“Nggak pa-pa. Nanti kita diantar supir. Aku siap-siap dulu ya...”Fokus Yuka, fokus. Jangan mikir yang iya-iya dulu!***Sepanjang berbelanja, laki-laki itu tampak sibuk dengan ponselnya. Sebentar-sebentar panggi
Setelah obrolan ngalor-ngidul mereka siang tadi, Yuka melanjutkan pekerjaannya dari apartemen sepanjang hari. Beberapa kali bicara di telepon dengan sekretarisnya dan entah dengan siapa lagi. Sementara Aneth hanya menonton siaran TV kabel, sesekali memeriksa aplikasi investasi di ponselnya. Tanpa sadar mulai betah berada di apartemen Bosnya.Hingga menjelang malam, waktu terasa berhenti. Mereka yang tadinya berkutat di ruangan yang sama sebentar lagi akan dipisahkan oleh waktu, masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.“Umm... Besok saya masuk kantor ya?” Aneth tidak tahu kenapa ia perlu izin kepada laki-laki itu.“Jangan dulu, bisa? Hari Senin aja kamu masuk kantor,” Yuka membereskan laptop dan dokumennya yang berserakkan. Siang tadi berkas-berkas itu di kirim ke apartemennya oleh Rebecca, sekretarisnya.“O-ooh, oke.”Terbiasa mematuhi apa pun yang di katakan mamanya di rumah, membuat Aneth secara otomati
Sejak bangun dari tidurnya, Aneth bergerak gelisah. Berguling di ranjang, lalu bangun dan mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali menggigit bibir, sesekali menggigit kuku.Apa sih yang ada di pikirannya kemarin?Kenapa dia bisa-bisanya melakukan itu pada Yuka?Ke mana perginya wahai akal sehat?Semalam dia menahan malu mati-matian, ditemani detak jantungnya yang berisik sepanjang malam. Berharap tidur akan membuatnya lebih tenang di pagi hari. Tapi nyatanya, ia tidak bisa tenang. Sama sekali. Untuk keluar kamar pun dia tidak berani.Tapi gemuruh di perutnya sejak tadi membuat kegelisahannya meluntur. Ia lapar gara-gara kebanyakan berpikir. Apa laki-laki itu sudah bangun?Menelan egonya, Aneth akhirnya memutuskan keluar kamar. Mencuci muka, menyikat gigi di kamar mandi yang ada di luar kamar Yuka. Setelah itu memeriksa kulkas, mengeluarkan bahan-bahan yang dibelinya saat belanja kemarin.Masa bodoh soal semalam! Isi perut saja
Haloo, selamat tahun baru untuk kita semua... Semoga harapan yang belum tercapai di tahun 2021 bisa tercapai tahun ini ya... Yuk, jadi versi terbaik dari diri kita :) Oke, nggak mau panjang-panjang. Cuma mau menyampaikan ada GIVEAWAY pulsa/saldo 100.000 untuk 10 orang pemenang. Caranya mudah. 1. Like dan follow Fanpage Lunetha Lu Novel (Boleh juga follow @lunetha_lu)2. Like dan share postingan GIVEAWAY di status kamu atau story 3. Sudah membaca cerita A Bit Psycho but Sweet4. Kirim screenshot bagian Pustaka kamu ke akun medsos Lunetha Lu (boleh di kolom komentar atau via DM) Periode Giveaway sampai 6 Januari 2022 jam 19.00 WIB.Giveaway akan diundi di tanggal 7 Januari 2022. Good luck!
Bosan.Satu kata yang dapat mewakili suasana hati Aneth sekarang. Semenjak bekerja di kantor ia terbiasa dengan banyak aktivitas dan mendengarkan suara orang lain yang mengobrol. Ini juga kali pertama gadis itu sendirian di apartemen Yuka dalam waktu yang lama.‘Kira-kira kapan dia pulang ya? Sudah sore.’Eh, kenapa dia malah gelisah menunggu laki-laki itu?Aneth menatap ponsel yang dipegangnya, menimbang-nimbang apakah tidak mengganggu jika dia menghubungi Yuka. Tapi tidak lama kemudian getar ponsel membuatnya tersentak. Panggilan masuk dari Mama.Ia menatap sekilas layar ponselnya sambil menghela napas panjang. Mempersiapkan ruang kesabaran ekstra di telinga dan dadanya, sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.“Halo,”“Kamu udah pulang Neth?”Ya, mengingat ini hari kerja, tentu saja seharusnya Aneth baru pulang kantor. Tapi Yuka memintanya tidak pergi ke mana-mana dulu untuk beber
“Kok, lo di sini?” “Umm...” Aneth tidak tahu harus menjawab apa. Dia sangat kaget dengan kehadiran Valdi di apartemen Yuka. Begitu juga sebaliknya. “Mau ketemu Yuka?” tanya Aneth mengalihkan. “Oo, iya.” “Nunggu di dalem atau ... ?” “Mm, ya boleh,” jawab Valdi canggung. Aneth mundur memberi ruang untuk Valdi masuk ke dalam. Sementara seisi jantungnya tengah melonnjak-lonjak, berdetak tidak karuan. ‘Suasana macam apa ini?! Kenapa Yuka tidak memberitahu kalau Valdi akan datang?’ “Mau ... minum apa?” Karena sangat bingung harus bersikap bagaimana, akhirnya Aneth mencoba bersikap sopan dengan menawarinya minum. Tapi setelah dipikirkan lagi, apa dia malah jadi terdengar seperti tuan rumahnya? “Nggak pa-pa, nanti gue ambil sendiri aja,” sahut Valdi. “O-oke.” Wajah Aneth langsung berjengit ketika berbalik membelakangi Valdi. Ini benar-benar celaka, pikirnya. Bisa-bisanya bertemu
Setelah mengistirahatkan badannya sejenak, Aneth duduk di pantry menunggu dengan cemas. Kepalanya sudah tidak terasa berputar. Tetapi perasaannya berubah tak enak saat kedua laki-laki itu menginjakkan kaki keluar dari apartemen. Tidak. Sesungguhnya perasaannya sudah tak nyaman sejak pertama dia melihat Valdi berdiri di depan pintu. Menurutnya, mereka tidak mungkin terlalu banyak membahas tentang dirinya, tapi... entahlah. Ia benar-benar merasa tidak bisa tenang saat ini. ‘Jangan terlalu percaya diri. Pasti ada hal lain yang mereka bahas. Valdi juga sudah bukan siapa-siapa lagi.’ Batinnya mencoba menenangkan diri. Menit demi menit berlalu. Suara ‘biip’ pada pintu apartemen yang terbuka membuatnya beranjak dari duduknya. Betapa terkejutnya Aneth saat mendapati luka lebam dan darah di sekitar wajah tampan Yuka. Kemejanya kotor dan acak-acakan. Rambutnya yang semula tertata rapi turun be
Siang tadi Yuka sudah berangkat ke rumah orang tuanya. Tinggallah Aneth sendirian di apartemen lagi. Kalau saja yang akan diantar hanya Yurika dan Aylin. Kalau saja tidak harus ke rumah orang tua Yuka dulu. Mungkin Aneth akan memutuskan ikut dengannya.Mendapat pengakuan cinta dari Yuka saja terasa menyesakkan. Apa lagi bertemu orang tua lelaki itu? Sudah pasti mereka tidak akan percaya jika Aneth hanya dikenalkan sebagai teman Yuka. Dia tidak sanggup dengan keadaan yang seperti ini. Ia merasa malu dan tak pantas.Sejak kemarin Aneth juga belum mengobati lukanya dengan benar karena ada Yuka di rumah. Tapi sepertinya lengannya tidak sampai robek.Saat ia membubuhkan obat, ada pesan masuk dari Ivanka.[Nethhh...Lo kenapa nggak masuk berapa hari ini?Senin lo masuk ga???]Membaca pesan dari gadis itu serasa mendengar langsung suara riang dan melengkingnya di telinga. Aneth lalu ters
“Kamu tau, pertemuan kita waktu membahas kontrak... itu bukan pertemuan pertama kita?” tutur Yuka saat mereka duduk di ruang tengah. Sepasang alis Aneth terangkat naik menanggapi. “Ah, kamu ingat?” “Huh? Ternyata kamu tau? Kita pernah ketemu waktu—” “Waktu aku wisuda.” “Waktu aku masih kuliah.” Mereka bicara berbarengan. “Huh?” “Eh?” Keduanya bingung dengan jawaban yang tidak sinkron. “Waktu kamu wisuda?” Yuka mengulang jawaban Aneth dengan pertanyaan. “Iya, waktu itu lift penuh. Aku buru-buru naik tangga ke auditorium terus kesandung karena rok kebaya aku. Tapi kamu bantu menahanku di tangga dan ambilin tabung wisuda aku yang jatuh. Aku sempat kira kamu Valdi, tapi kamu nggak pakai toga.” “Ahh... waktu aku datang ke acara wisudanya Valdi, ya? Wisudanya kamu juga.” Aneth lalu mengangguk. Kemudian ganti ia yang bertanya. “Kalo waktu kamu kuliah itu, maksudnya kapan?” “Hm..
Setelah pesta pernikahan, banyak orang yang mengaitkannya dengan malam pertama. Nyatanya, gagasan mengenai malam pertama setelah pernikahan tidak selalu terjadi karena para pasangan cenderung lelah setelah seharian menjamu tamu. Tidur hanya dua hingga tiga jam sebelum acara, harus bangun dini hari khususnya pengantin wanita untuk berdandan, menghadiri acara peneguhan sesuai kepercayaan masing-masing, kemudian resepsi. Aneth yang baru pertama kali menikah—begitu juga dengan Yuka sebetulnya—merasa sekujur tubuh dan kakinya sakit karena terlalu lama berdiri. Padahal gaun pengantin didesain senyaman dan seringan mungkin untuk dikenakan di tubuh. Tapi tetap saja. Aneth sangat lelah berdiri dan menarik senyum senyum seharian. Setelah dibantu oleh kru untuk melepaskan gaunnya, ia masih harus membersihkan riasan dan melepas jepit-jepit di rambut. Saking lelahnya, Aneth dan Yuka langsung bergegas tidur semalam. Ya. Hanya tidur. “Morning,
Jalan-jalan sekitar resort, makan malam, dan bersantai sejenak. Saking semangatnya, rasanya Aneth tidak bisa memejamkan mata malam ini. Ia menyukai suasana di Bintan walaupun siang hari sangat terik. “Kamu belum mau tidur?” tanya Yuka yang melihat wajah Aneth masih tampak segar. “Aku belum ngantuk.” “Kamu suka di sini?” Aneth mengangguk sambil tersenyum lebar. “Kamu tau,” ucapnya memberi jeda sejenak. “Aku pernah berharap bisa pensiun dini dan menghabiskan sisa hidupku traveling ke berbagai tempat indah seperti ini.” “Aku bisa kabulin harapan kamu. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang kamu mau.” Aneth tersenyum. “Kalo jadi semudah itu rasanya aneh. Lagi pula pulang dari sini nanti kerjaan kamu udah menanti.” “Err... tolong jangan ingetin aku.” Keduanya lalu tertawa. “Aku mau ke jacuzzi, kamu mau ikut?” Yuka terdiam memandangi Aneth. Menyadari ajakan ambigunya, buru-buru Aneth menimpali, “Ma-mak
Semenjak bertemu dengan keluarga Yuka, Aneth sesekali diundang ke rumah orang tuanya pada akhir pekan. Katanya sekalian mengakrabkan diri karena mereka akan menikah. Jujur saja, sewaktu Yuka mengatakan ingin menikahi Aneth di depan kedua orang tuanya, Aneth masih merasa abu-abu. Menikah. Dulu, kata itu menjadi hal terakhir yang ada di pikirannya. Bahkan tidak masuk dalam rencana masa depannya. Tetapi sejak bersama Yuka, semuanya berubah. Keinginannya mulai berubah. Rencananya tak lagi miliknya sendiri. Belum lama ini dia juga baru tahu, kalau Yuka mengunjungi rumah Mama tanpa sepengetahuannya. Sewaktu Aneth pulang ke rumah, mamanya menceritakan apa yang disampaikan Yuka, termasuk hubungan mereka. Aneth sempat merasa takut dan tidak enak hati untuk mengakui. Tapi Mama kemudian berkata, “Kalau kamu memang mau menikah, jangan diam-diam aja. Setidaknya kasih tau kapan rencana kalian. Kamu juga bisa tanya persiapannya ke Kak Rena yang udah pengalaman
Benang kusut yang selama ini menghambat hubungan mereka sedikit demi sedikit terurai. Yuka telah mengumpulkan kepingan fakta yang menjadi sumber tanyanya pada gadis itu. Tinggal selangkah lagi. Hingga untaian benang yang berantakan lurus seutuhnya. Tatkala di pagi yang cerah, mobilnya yang kontras berhenti di depan rumah konvensional bergaya sederhana yang pernah dikunjunginya. Dia melangkah turun dari mobil. Berdiri di depan pagar hitam dengan ujung-ujung runcing yang tingginya melewati kepalanya. Dari celah pagar itu ia melongok ke pintu rumah yang terbuka. Berharap orang yang dicarinya ada di dalam. Sambil menghela napas dalam-dalam, ia mengumpulkan keberanian. Mengadu gembok yang tergantung di pagar agar menimbulkan suara bunyi. “Permisi,” panggilnya. Bukan, dia bukan mau jadi sales panci atau semacamnya. Dia perlu menemui seseorang. Tak lama kemudian tampak seorang wanita keluar dari dalam. Dengan raut keheranan berhenti melangkah di tera
Semakin langit menggelap, ruangan itu semakin ramai. Tidak seperti siang tadi yang sepi. Mungkin karena bukan akhir pekan, mereka baru menyempatkan datang sepulang kerja. Sebagian besar orang yang hadir mengenakan pakaian berwarna putih. Orang-orang sibuk menyalami keluarganya, memberikan ucapan belasungkawa. Di tengah suasana duka yang pekat, gadis itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Dia tidak menitikkan air mata seperti beberapa dari mereka yang datang. “Neth, gantian kamu sama Niko makan, gih di kamar. Biar Kak Rena sama Kak Denny aja yang jaga.” “Iya, Kak.” Aneth beranjak dari duduknya, diikuti Niko dengan mata sembab dan wajah bengkaknya sehabis menangis. Aneth tidak tahu lagi apa yang harus ia rasakan sementara orang-orang jelas menunjukkan kesedihan mereka. Bisa saja dia mengikuti yang lainnya, berpura-pura menangis. Namun, Aneth tidak suka bersikap munafik. Ada rasa sesak yang mengganjal, tapi bukan kesedihan. Mungkin penyesalan.
Banyak yang telah terjadi selama empat bulan ini. Mulai dari hal yang kurang menyenangkan hingga hal baik. Memori buruk yang terus dipendam dan menghantuinya selama bertahun-tahun ternyata dapat memudar hanya dalam watu beberapa bulan. Alasan baru baginya untuk tetap bertahan dan memiliki arti hidup yang sesungguhnya. Apakah ini takdir? Ataukah keberuntungan? Yang pasti ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Segala hal yang semula bertentangan dengannya perlahan berbalik mendukungnya. Sampai suatu hari ketika terbangun, dia masih merasa semuanya bagai mimpi. Tapi ketika membuka ponselnya di pagi hari, Aneth tahu. Apa yang dialaminya adalah kenyataan. Setiap membuka mata, pesan itu selalu meyakinkannya. Ucapan selamat tidur, selamat pagi, atau sisa percakapan semalam yang membuatnya ketiduran. Bukan karena membosankan, hanya dia terlalu nyaman. Hingga insomnia tidak lagi dirasakannya akhir-akhir ini. *** “Kamu... gila....
Perasaan bahagia menyelimutinya sejak turun dari pesawat. Ia tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya yang mengembang. Setelah beberapa hari terpisah, akhirnya dia akan menemui pujaan hati di rumah. Andai bisa seperti ini setiap hari, batinnya. Disambut di rumah sepulang kerja, terlelap bersisian dan bangun memandangi wajahnya, menghabiskan waktu senggang, juga melakukan aktivitas dengannya. Ia pasti menjadi laki-laki paling bahagia di dunia jika itu terjadi. “Pak, biar saya bawakan kopernya.” “Nggak pa-pa, Ren. Barang yang kamu udah banyak. Cari troli aja dulu.” Rendy kemudian mengangguk mengiyakan. Selama dua tahun bekerja menjadi asisten Yuka Damiani Leovin, ia diperlakukan dengan amat baik. Pria itu tidak pernah menyuruhnya sesuka hati dan bertingkah semena-mena, menghormati waktu kerja dan hari liburnya, menggunakan tutur kata yang sopan meski ia bawahannya. Bagi Rendy, baru kali ini dia bekerja senyaman ini walau aktivitasnya selama jam kerja padat
“Anda panggil saya?” tanya Aneth formal ketika memasuki ruangan. “Astaga, kita cuma berdua. Ngomong kayak biasa aja, Sayang,” “Kamu, nih. Kalo kedengaran orang lain kan, nggak enak. Udah cukup ya, Regina tau tentang kita. Jangan sampe ada pegawai lain lagi yang tau.” Melirik ke arah pintu besar yang baru ditutupnya. “Becca tau, Rendy tau, supirku juga tau. Memang kenapa kalo yang lainnya tau?” “Oke, mereka nggak masuk hitungan. Mereka orang kepercayaan kamu. Tapi kalau staf lain, bisa jadi biang gosip sekantor!” “Tenang ajaa. Yang lebih penting, aku pergi sore ini, loh. Kita nggak bisa ketemu beberapa hari. Memang kamu nggak bakal kangen?” Beranjak dari bangkunya, Yuka berjalan melewati Aneth yang masih berdiri. Berpindah duduk ke sofa. “Sini,” pinta laki-laki itu. Aneth pun mau tak mau mengikutinya, mengambil tempat di sebelahnya. Memiringkan badan saling berhadapan. Terasa sedikit aneh, ruang Direksi waktu itu menjadi