Sosok tinggi nan tegap itu kini berhadapan dengan Linara, tangannya merangkul bunga sebagai simbol bela sungkawa. Mata Linara seakaan tidak menyangka Avraam si pelanggan kedai itu berada dihadapannya. Dari mana Avraam tahu alamat rumah Linara? dan bagaimana juga Avraam mengetahui berita duka ini? Padahal berita duka ini tidak banyak orang tahu.
Langkah kaki perlahan mendekat, keduanya saling berhadapan dengan jarak cukup dekat membuat Linara sedikit melangkah mundur, merasa canggung dengan jarak yang dibuat Avraam.
“Saya turut berduka cita atas kepergian beliau, semoga Tuhan selalu menjaganya,” ungkap belasungkawa Avraam sembari menyodorkan bunga kepada Linara.
“Aamiin, Terima kasih, Tuan.”
“Tapi maaf anda tahu dari mana berita ini?” tanya Linara membuat Avraam diam membisu, rasanya Avraam tidak ingin memberi tahu Linara yang sebenarnya bahwa dia mengulik informasi dari Asisten pribadinya.
“Saya melihat itu,” Avraam menunjuk papan ucapan belasungkawa tepat depan gerbang rumah Linara, hanya itu alasan yang tepat menurut Avraam. Namun, itu jawaban itu semua rasanya kurang pas bagi Linara.
“A-ah dan saya kebetulan tinggal di daerah sini, dan mendengar berita duka dari tetangga. Maka saya datang kesini untuk bela sungkawa, kebetulan kamu salah satu keluarganya.” Jelas Avraam membuat Linara kini merasa yakin dengan alasannya itu.
Meskipun sejujurnya Avraam tidak tinggal didaerah itu, hanya sebagai dalih suatu alasan agar Linara yakin, “Kamu mau kemana, Linara?” tanya Avraam yang sejenak melihat penampilan Linara cukup rapih dengan sedikit tergesa.
“Kebetulan saya sedang ada urusan penting, maaf Tuan saya tinggal sebentar, kebetulan Kakek sedang ada didalam,” Lanjut Linara sambil berlalu langkah meninggalkannya.
Avraam tidak berhasil menahannya, rasanya terlalu cepat Linara pergi begitu saja. Hingga tak sempat untuk bertanya kepentingan apa, mungkin Linara sedang mengurus data kematian Ayahnya pikir Avraam seperti itu.
“Mata elok mu kini sembab, terlihat jelas beban yang kamu pikul terasa berat. Bisakah aku sedikit menjadi bahu sandaranmu, Linara?” ungkap Avraam dalam batin kecilnya.
Sepertinya benih rasa mulai tumbuh, apakah ini yang dinamakan dari lidah jatuh ke hati? Rasanya pikiran Avraam sedang tidak karuan, sungguh sulit untuk dia jernihkan. Apalagi rasa penasarannya tentang Linara yang lambat laun terlihat seperti Isterinya.
Rasa apa yang hadir saat ini, apa sebuah penasaran saja? Atau bahkan lebih? Biarkan waktu yang menjawab benih rasa itu.
***
Kini giliran Rayhan yang berkecamuk dengan pikirannya, selalu dihantui dengan beban pikiran yang lagi dan lagi Linara, bisakah wanita lain selain Linara?
Agaknya Rayhan sudah geram dengan pikirannya yang bergelayut perihal Linara. Apa yang terjadi pada Linara? Sudah dua hari tidak ada kabar, apa dia baik-baik saja? Itulah pikiran Rayhan terhadapnya, sungguh menyebalkan pertanyaan yang berulang kabar tanpa jawaban.
Kini kesabarannya diambang batas, akhirnya Rayhan memberanikan diri untuk bertanya langsung pada majikannya sendiri. Mungkin sebaiknya Rayhan mengirim pesan singkat saja ya pada Linara langsung. Sialnya Rayhan tidak memiliki nomor Linara, sungguh lelaki malang. Rayhan sedikit mendengus kesal karena tidak memiliki nomor Linara.
“Masa iya Gue harus minta nomornya ke Paman Aathif? Ya kali ke majikan gue sendiri, Shit!” itulah sedikit gerutu yang terlontar dari bibir Rayhan. Kini otaknya berupaya untuk berpikir agar bisa mencari celah informasi.
“Aha! Gue ingat! Gue kan punya nomor temennya Linara kemarin, siapa sih itu ... oh ya Kayu!” lanjut Rayhan memberikan sebuah ide, segera jarinya menggulir percakapan diponselnya.
Yups! Akhirnya ketemu nomor Kaivan, kebetulan Kaivan mengirimkan foto dari festival kemarin lewat watsap pribadinya.
Tanpa basa basi lagi Rayhan segera menghubungi Kaivan, hanya beberapa detik panggilan terjawab. Dengan to the point Rayhan meminta kontak Linara langsung pada Kaivan.
“Buat apa? Masa iya Lu engga punya nomor Linara sih?” ejek Kaivan dalam panggilan.
“Iya gue lupa nomornya engga ke save, cepatan kirim napa.” Alasan Rayhan menutupi bohongnya, ya bagaimana
Rayhan memiliki nomor Linara? mau meminta secara langsung pun tak sempat, yang pertama jarang ketemu sekalinya ketemu kerja.
“Udah Gue kirim, oh ya kedai udah buka lagi belum?” tanya balik Kaivan sebelum menutup panggilan.
“Ya belumlah, toh Linara sama Paman Aathif saja belum pulang, emang kenapa?” Rayhan sedikit berkerut dahi setelah mendapati pertanyaan Kaivan.
“Emm ... udah dua hari Linara engga masuk kuliah, selama itu ya proses pemakamannya?” celetuk Kaivan yang sangat terdengar jelas oleh telinga Rayhan, seketika Rayhan mematung.
“Maksud Lu apa? Pemakaman siapa?” seketika Rayhan langsung bertanya untuk memastikan.
“Hah! Jangan bilang Lu engga tahu kabar duka Linara? Paman Aathif engga kasih tahu Lu?” Kaivan sedikit heran dengan Rayhan yang tidak mengetahui informasi duka tersebut.
“Bawel banget sih Lu, Kai! Mereka kemarin buru-buru pergi jadi Gue engga keburu nanya. Siapa sih yang meninggal?” desak Rayhan tak sabar menerima jawaban Kaivan.
“Ayahnya Linara. Kemarin Linara minta tolong ke gue buat surat izin—“ belum sempat Kaivan menuntaskan percakapnya, seketika Rayhan menutup panggilan dengan ucapan Terima Kasih pada Kaivan, sedikit menjengkelkan juga ya.
“Hidih ... engga sopan banget ni anak!” gerutu Kaivan dengan memandangi ponselnya. Tapi itu hanya kekesalan sementara, Kaivan melanjutkan aktifitasnya mengerjakan beberapa tugas kuliahnya.
Benar saja rasa tidak enak Rayhan selama ini, pasti ada sesuatu hal yang terjadi pada Linara. Rayhan harus segera mengungkapkan perasaanya, eh maksudnya belasungkawa. Pesan singkat Rayhan tulis dan segera ia kirim. Berharap balasan Linara datang secepat mungkin.
Perasaan Rayhan sudah tidak sabar mendapati balasan dari Linara. Layar ponsel yang berulang kali Rayhan buka guna untuk mengecek kabar Linara. Apakah perlu Rayhan langsung memanggilnya? Ah rasanya itu tidak sopan, Rayhan harus extra sabar menunggu. Meskipun berulang kali menyesap ibu jarinya.
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, mata Rayhan rasanya sudah tak sanggup untuk membuka lagi, apalagi setelah beres Skripsi rasanya mata selalu menagih untuk tertidur. Tak menyangka Rayhan tertidur di kursi belajarnya. Menunggu balasan yang tak kunjung datang, sepertinya mata Rayhan sudah mengibarkan bendera putih untuk terlelap sementara.
“Linara...,”
Sepertinya Rayhan mengigau.***
“Ternyata mengurus berkas seperti ini cukup rumit juga ya,” Linara menghela napas dengan lega sembari memandang berkas penting itu, Linara segera mengamankan dalam tas nya. Kemudian menyantap makanan cepat saji disalah satu restoran.
Ditengah makan malamnya, dering ponsel menghentikan tangannya untuk mengambil kentang goreng yang mau dilahap. Siapa lagi yang menelpon selain Aathif sang kakek yang mulai khawatir dengan Linara yang belum saja pulang.
“Iya, Kek. Linara akan segera pulang setelah beres makan.” Percakapan singkat terjadi, Linara mematikan ponselnya dan tidak sengaja ada pesan singkat dari Rayhan, pesan yang tertimbun membuat Linara lupa untuk membalasnya.
Balasan pesan sudah terkirim pada Rayhan, meskipun agak lama saat merespon. Sesaat Linara memakan lagi sembari memainkan ponselnya. Tiba-tiba datang seorang yang duduk bersamaan dengan Linara. Tentu hal itu membuat Linara menoleh kearahnya.
“Tuan?” cakap Linara yang menemukan Avraam tepat dihadapannya dengan nampan yang dia bawa.
“Boleh gabung?” tanya Avraam dengan santai, Linara mengangguk sebagai simbol setuju. Kemudian Avraam menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Linara.
“Panggil saja Aku Avraam, rasanya terlalu formal.” Lanjut Avraam sembari menyesap Milk Tea.
“Kenapa Tuan, eh maksudku Avraam. Aah rasanya terlalu tidak sopan memanggil nama langsung, panggil Kak Avraam saja tidak apa-apa kan?”
“No Problem, yang penting jangan panggil Om.” Canda ringan Avraam membuat Linara tertawa kecil. Mana mungkin Linara memanggil Avraam dengan sebutan Om, namun berwajah layaknya remaja. Rasanya kurang pas, meskipun umurnya sudah seperempat abad.
“Kenapa Kak Avraam ada disini?” tanya Linara yang mampu ditebak oleh Avraam pasti melontarkan tanya seperti itu.
“Pasti kau bertanya seperti itu, hanya sebuah kebetulan saja saya mampir kesini terus tak sengaja melihat kamu ada disini,” itulah jawaban Avraam padahal sebenarnya tidak seperti itu, Avraam membuntutinya.
Linara hanya mengangguk dan percaya akan hal itu. Saat prosesi makan tidak terlalu banyak percakapan, mungkin canggung. Akhirnya makan malam telah usai, awalnya Linara ingin pulang lebih dulu, namun Avraam mengajaknya untuk pulang bersama. Apa daya Linara tidak bisa menolak karena pada kamus kehidupan Avraam tidak ada kata penolakan itu yang Avraam ucapkan dulu.
Saat perjalanan pulang pun terasa dingin. Avraam yang ingin membuka mulut seakaan sulit rasanya. Yang akhirnya hanya ada suasana bisu disana.
“Rumah Kak Avraam sebelah mana?” lontar pertanyaan Linara yang memecah hening.
“Aku di jalan, eh maksudku di Blok H.” Jawab Avraam yang hampir saja terpeleset dengan kebohongannya sendiri.
“Blok H? Perasaan engga ada blok H deh di perumahan sini,” Linara membenarkan jawaban Avraam yang terasa janggal.
“Maksudku A, Kamu salah dengar kali,” tukas Avraam membenarkan ucapannya.
“Sudah terlewat dong?”
“Tidak apa-apa, sekalian main saja. Toh deket ini,”
Astaga! Hampir saja Avraam ucap bohongnya terbongkar. Untungnya Avraam pintar bersandiwara. Perjalanan kini telah sampai, lambai tangan dan ucap Terima kasih pun terjadi saat Avraam hendak kembali ke habitatnya. Mobilnya perlahan mulai melaju meninggalkan Linara.
Senyum Avraam terlukis saat mengingat kejadian manis dengan Linara, tak terasa akhirnya dia sudah sampai tujuanna. Saat membuka Seltbelt, sepasang mata Avraam melihat gelang tangan yang tergeletak dibawah jok yang diduduki Linara tadi.
“Apakah ini punya Linara?” tanya Avraam sembari memungut gelang tersebut.
Gelang tangan yang terbuat dari Rattail cord ditambah pernak pernik yang berbentuk huruf L sebagai pemanis, apalagi dengan warna Peach kesan feminim sangat mencolok. Avraam menatap gelang itu sekejap, sambil memainkannya pelan. Lagi dan lagi pikirnya bergelayut pada kenangan bersama Isternya. Warna Peach sangat sama sekali dengan warna kesukaan Isterinya itu.
“L untuk Linara, indah sekali...,”
***
Tangannya terasa berat, seperti memikul perasaan yang tak kunjung terlontar. Matanya berusaha membuka dengan paksa, “Sial Gue ketiduran!” umpat Rayhan yang menyadari posisi tidur yang tidak enak itu.
Tangan yang terasa kesemutan, lantas Rayhan menelentangkan tangannya perlahan, melirik arah jam dinding yang menunjukan pukul satu pagi. Matanya membelalak dan langsung menyambar ponselnya untuk melihat balasan Linara.
Satu pesan dari Linara, langsung Rayhan buka dan perlahan membacanya.‘Aamiin, terima kasih kak atas Doanya. Linara disini baik, Kak. Mungkin lusa juga sudah bisa kembali buka kedai lagi.’
Sepucuk balasan singkat dari Linara, membuat degup jantung Rayhan terasa begitu cepat. Rasanya Rayhan ingin sekali bertemu dengan Linara.
“Sial aku jadi tidak bisa tidur!”
Air mata yang mengucur membasahi pipi lembutnya, tak peduli alas kepala yang mulai basah karena tetes demi tetes air haru mengalir deras. Tangannya meremas kuat kain selimut yang membalut diri, dengan bibir bawah yang digigit menahan sakit yang dirasa. Pikirnya membawa alam nostalgia.“Ayah ... kenapa kau tinggalkan Linara secepat ini! Dan Bunda ... kemana Linara harus mencari Bunda? Tuhan kemana Aku harus melangkah? Rasanya berat! Linara tidak sanggup menjalaninya!” itulah sedikit keluh kesah Linara dalam diam, penuh air mata, sesak rasanya menjalani semua. Terasa rumpang kehidupan.Suara ketuk pintu terdengar, seseorang berharap masuk kedalam. Tapi rasanya dalam benak Linara malas untuk membuka pintu tersebut, alih-alih telinga tidak mendengarnya. Mungkin si pengetuk berasumsi Linara sudah tertidur, lantas pintu yang tak terkunci itu dibuka. Kenop yang perlahan ditekan, dan si pengetuk itu masuk, berjalan mendekati Linara.Si peng
Pagi hari yang terasa damai, udaranya hangat-hangat sejuk. Apalagi saat pikiran tenang, membuat tidur lebih nyaman.Sayang sekali, pagi itu telinga mendengar sebuah kebisingan dari mesin kendaraan, sepertinya ada seseorang yang hendak berangkat. Membuat Linara terpaksa membuka mata dan segera beranjak dari ranjangnya yang lebih menggoda untuk tidur kembali, dengan terpaksa semua harus ditinggalkan, karena bising membuat ganggu.Mengumpulkan seluruh nyawa, menguap sementara, dan meregang otot-otot yang terasa pegal. Kakinya mulai menyelipkan kedalam Sandal Rumah berwarna Peach dengan bentuk kelinci. Segera pergi meninggalkan ruangan dengan tubuh yang masih terbalut piyama.Menuruni satu persatu anak tangga, dan mendekati suara bising dari kendaraan itu. Langkahnya mengarah pada garasi rumah, benar saja dugaan Linara. Kakek Aathif yang sudah terlihat segar dan sepertinya Aathif hendak pergi."Kak
Rasanya sulit sekali bagi Linara menjalankan bisnis ini diusianya yang sangat muda, ditambah ilmu bisnis yang Linara garap tidak cukup untuk merajut bisnis turun temurun ini. Otak Linara hampir pecah dengan segala beban yang dipikirkannya. Masalah perusahaan yang membuat Linara tidak berhenti bagaimana caranya untuk memecahkan masalah.Zelline yang begitu kejam tega meninggalkan hutang cukup besar dan gajih karyawan yang entah kemana hilangnya, sungguh kacau keadaan saat itu. membuat Linara terpaksa menjual kembali aset terakhir perusahaan untuk menggaji karyawan sekaligus sebagai sarana pemutihan.Kini Perusahaan Atmaja mau tidak mau harus terjual pada pihak yang mampu mengelola. Hanya itu satu-satunya usaha untuk menyelesaikan masalahnya. Linara terpaksa untuk melakukan itu semua, tapi dia janji akan merebut kembali Perusahaan Atmaja.Hanya ada rumah peninggalan Ayah saja yang tersisa, Bi Inah pun terpaksa Linara berhentikan karena fina
Masih berpacu pada Linara dan Avraam, Leopaard yang melaju cepat membawa mereka ke suatu tempat makanan cepat saji. Restoran yang menyediakan beberapa makanan yang bernuansa negeri sakura ini, sungguh menggugah selera.Avraam mendorong kursi untuk Linara, sedikit canggung atas reaksi yang Avraam beri itu. linara menghargainya dengan mengucapkan terima kasih dan duduk secara perlahan. Avraam memanggil salah satu Waiters dan mulai menyebutkan pesanan yang diminta. Begitupun dengan Linara.Avraam hanya fokus dengan ponselnya sedangkan Linara juga begitu, rasanya suasana saat itu terasa canggung. Tidak biasanya Linara diajak makan bersama oleh pria atau istilahnya adalah nge-Date. Dan rasanya makanan terlalu lama tersaji, apa karena kondisinya saja yang membuat waktu terasa lama.“Sudah berapa semester sekarang?” tanya Avraam memecah hening diantaranya.“Baru masuk semester tiga,”“Seben
“Akhirnya selesai juga...,” hembus napas lega Linara dengan tangan yang berkacak pinggang, lega rasanya setelah membenahi bangku dan meja yang kini telah tertata rapih.Tidak sengaja Linara melirik Rayhan dan Aathif seperti membicarakan hal penting, membuat Linara ingin mendekatinya dan sedikit membenamkan rasa penasarannya. Perlahan membuka celemek yang Linara pakai dan menggantungnya, mulai mendekati antar Aathif dan Rayhan.“Sepertinya Rayhan ingin bertahan lebih lama di Kedai ini Paman.” Ucap Rayhan yang membuat Linara mulai paham inti dari percakapan.“Tapi, sayang sekali dengan gelar mu Rayhan, masih ada pekerjaan yang lebih layak untukmu diluar sana,” balas Aathif.“Tidak apa-apa, Paman. Lagipula ini bukan sembarang pekerjaan, disini Rayhan menemukan keluarga baru juga yang membuat Rayhan betah,” Ucapan Rayhan yang begitu tulus terdengar, membuat
Linara seperti seorang penagih hutang, derap langkahnya kesal apalagi dengan manusia yang terkenal ngaret. Petunjuk arah yang diberi Aathif menjadi langkah terkuatnya untuk menyusul habitat manusia ngaret itu.Kini tujuan Linara telah sampai pada titik penjemputannya, jaraknya tidak terlalu jauh hanya cukup melewati jembatan sederhana setelah mengikuti arah lurus trotoar jalanan, dan berbelok kanan menuju perumahan kasti melati yang tidak jauh setelah melawati jembatan tersebut, desain jembatannya seperti jembatan Altstadt-Hamburg, sungguh menarik bukan? Apalagi suara air mengalir yang memberi rasa damai.Linara mengecek ulang kembali alamat yang diberi Aathif itu, nomor rumah yang tertera sama jelas dengan secarik kertas yang diberi Aathif. Linara yakin betul ini rumah Rayhan, sederhana dan ada beberapa tanaman hias yang menggantung, apalagi warna rumah yang diberi cat monokrom, sungguh terlihat sederhana.
Apakah rasa ini mulai dalam, hingga menimbul buih cemburu?Rayhan yang masih termenung dalam duduknya, menikmati hujan yang turun dengan deras. Dalam benaknya masih terasa sesak melihat pemandangan yang enggan dia lihat. Avraam yang merangkul bahu Linara dengan jarak mereka yang begitu dekat, berjalan bersama dalam satu payung. Semua masih terngiang dengan jelas.“Harusnya Aku yang disana, huft...,”Rayhan yang masih bergelayut dengan pikirannya yang lekat akan kondisi sesaknya itu, Rayhan menggelengkan kepalanya dan menepuk lembut pipinya. Berusaha mengusir pikiran konyolnya itu. hal kecil seperti itu saja membuat Rayhan cemburu? Yang benar saja, Ayo boy lupakanlah.Teringat akan buku yang masih Rayhan peluk itu, perlahan membuka kemasan buku yang telah dia beli, buku yang menceritakan sebuah perjalanan kisah cinta yang klasik. Dimana Ikhlas adalah sifat yang tertuai disana.Karangan yang berjudul Se
Chapter 19 Percakapan yang cukup singkat antara Linara dan Rayhan, didalam panggilan tersebut. Linara merasakan tentram setelah mendengar Rayhan pulang dengan selamat. Mata nya sudah menagih untuk tertutup, menguap sesekali, meregangkan otot lengannya keatas, dan terakhir menarik selimbut untuk membalut diri dari semilir dinginnya angin. Baru saja Linara hendak memejamkan matanya, seketika ponselnya berdering cukup keras, terpaksa Linara bangun kembali untuk melihat siapa gerangan yang memanggilnya selarut ini? Matanya sedikit menyipit saat cahaya layar ponsel menyilau. “Nomor siapa ini?” Linara mengerutkan alisnya, nomor tidak dikenal memanggilnya. Pemanggil yang sangat mencurigakan, membuat Linara bingung antara menerima atau menolak panggilan tersebut. “Jangan-jangan orang jahil yang ingin meneror?” Pikir Linara sedikit ketakutan, Linara masih memandangi panggilan tersebut dengan seribu asumsi yang dia serap. P
Hallo, Readers!Saya ucapkan Terima kasih banyak yang sudah membaca sampai akhir, semoga ada hikmah yang dapat dipetik di Karya sederhana Saya.Saya selalu Author Bukan Semata Fisik, Mengucapkan Terima kasih banyak!Ringkas cerita:Kini Linara mengalami Amnesia akibat tabrakan saat menyebrang dipersimpangan Jalan menuju tempat kerja. Hingga semua yang dalam ingatannya hilang. Linara seperti terlahir kembali.Dan hal ini juga membuka Ajang kompetisi baru untuk Avraam dan Rayhan menunjukan kasih sayangnya dan membantu Linara mengingat semua kejadian manis diantara mereka berdua.Lantas siapa yang akan Linara pilih ketika ingatnnya sudah kembali? Apa Avraam atau Rayhan? Semua akan terjawab di Season 2, Tapi Season 2 ini entah kapan rillisnya, dan dimana terbitnya ^^ Intinya Linara tetap hidup dan akan selalu bahagia.See You!Salam hangat,Zhia
“Benar kata Fara, Aku harus bijak dalam menentu. Memilih salah satunya atau meninggalkan keduanya.”Sepertinya gejolak hidup kini dirasakan kembali Linara, sepertinya pelangi sudah muncul setelah badai reda, pelangi yang penuh warna membias indah begitu saja dalam batin yang baru saja terkena badai yang berporak poranda.Perayaan Kelulusan mereka telah selesai, langit juga sudah mulai jingga. Hari yang begitu lelah, tapi rasanya semua kalah dengan keseruan hari ini yang penuh dengan warna. Untuk hari ini juga Linara tersenyum dengan bebas dan tertawa dengan lepas. Semua karena Fara yan berhasil mendobrak dilemanya.Hingga detik ini keputusan Linara masih abu-abu, entah dengan siapa Linara akan bersanding dikehidupan nanti, lelaki seperti apa yang Linara terima untuk menjadi pendamping hidupnya kelak. Apa Avraam? Yang tegas, memiliki segalanya bahkan terdengar sangat sempurna, meski status Avraam adalah Duda dengan anak satu?Atau R
Chapter 64 Dilema AkhirDilema yang menjadi satu padu saat gelora asmara berpadu saling bertabrak satu sama lain. Yang satu tidak ingin melepaskan, dan satunya tak ingin melukai. Saling menjaga, namun goresannya masih akan tetap ada.Pikirnya yang masih menggelorai perasaan yang tak pasti Dia labuhkan untuk siapa dan dengan siapa hati ini cocok bersanding. Rasanya terlalu rumit untuk menentukan semuanya, keduanya baik. namun, salah satu harus terpilih menjadi yang terbaik, tapi disisi itu luka akan terjadi begitu dalam satu pihak tidak terpilih.“Kenapa semua terjadi padaku? Kenapa mereka memilihku?” Bimbang Linara masih bergelayut dalam pikirnya, ketika hangatnya tubuh Rayhan masih terasa jelas ketika dada bidangnya memeluk hangat belakang punggung Linara. Butiran air mata yang menetes juga masih terasa begitu jelas basahnya saat membanjiri pilu hati.“Kenapa Kamu mengatakan hal itu Ray? Mengapa Kau mengatakan saat hatiku sedang be
Chapter 63 Bergelut Rasa.Senja yang berbalut jingga, begitu tenang memandangnya. Warna yang begitu lembut dengan sorot mentari yang hendak tenggelam. Lautan jingga seakan mengikuti perjalanan yang panjang ini. Linara masih menatap langit jingga dengan matanya yang bulat berbinar.Saat itu pula beberapa pedih merekam kembali pada pikirannya, entah sejak kapan Linara mulai mengingat hal pahit mengenal asmara. Padahal baru saja Linara secara tidak langsung menerima Avraam. Dalam batinnya juga merasa heran, mengapa Linara menerimanya? “Kenapa Aku menerimanya?” Tanya itu selalu menyangkut dalam batinnya yang berdesir. Mungkin jawabannya adalah jantung ini, setiap Linara dekat dengan Avraam rasanya berbeda sekali degupan yang Linara rasakan.Namun, satu sisi juga ada sosok Rayhan yang selalu hadir dalam harinya. Rayhan tak kalah baik dan perhatian. Bahkan tidak bisa terhitung saat mereka bersama, akibat sering bertemu. Namun hal yang b
Chapter 62Entah sejak kapan aku mencintainyaSeperti pagi biasanya, mata membuka dicuaca yang lebih dingin dari biasanya. Membuat tubuh merasa bergetar menahan dingin yang menusuk hingga tulang. “18 Celcius, pantas saja dingin seperti ini.” Ucap Linara saat melihat layar ponsel yang menyajikan informasi cuaca. Tak perlu banyak bicara lagi, Linara segera membangkitkan tubuhnya dari gelaran ranjang yang hangat, sungguh hal tersulit berpisah dengan kehangatannya. Berjalan menuju arah meja belajar, mengamatami foto yang tertancap pada mading sederhana buatannya. “Bukankah ini Taman Kota?” Linara mengerutkan alisnya.“Kenapa Aku pajang ya? Pasti ada kenangan didalamnya. Hah! Kesalnya punya memori rusak ini,” Gerutu Linara yang mengatai dirinya sendiri, lalu setelah itu Linara pergi berlalu menuju kamar mandi. Meskipun tidak ada kelas hari ini, untuk kali ini Linara berniat pe
Chapter 61Satu hari bersama RayhanRayhan mulai berkait dengan hari demi hari melihat Linara yang tampak lebih dekat dengan Avraam, apalagi Altan yang selalu saja menempel pada Linara bak Induknya. Tentu saja itu semua membuat Rayhan merasakan pergolakan api dalam hati yang tak mampu terucap, Dia hanya memilih memendam.“Apa Linara dan Avraam telah resmi menjadi sepasang kekasih?” Dalam diamnya selalu berasumsi seperti itu apabila Avraam lebih dekat dengan Linara. dalam batinnya selalu berkecamuk seperti itu.Apalagi akhir-akhir ini juga Avraam sering sekali ke Kedai, tak hanya sebagai pembeli namun sekaligus sebagai penyetor harian pinjaman yang selalu hadir. Ditambah sulitnya berkomunikasi langsung dengan Linara, pasti saja ada halangannya.“Ingin sekali Aku bersama Linara sehari full, meskipun hanya bercerita tentang hal yang tidak berguna itu sangat berguna bagiku. Tapi ... Kapan? Hah! Aku terlalu pengecut!” Batinnya berkata demi
Chapter 60Alasan demi kebaikan“Hari sudah sore, Kita pulang yuk, Altan?” Ajak Linara saat senja mulai menuai Taman Kota, mentari akan berganti dengan rembulan. Jingga menyilau dengan hangat, di Kota yang penuh dengan penghuni.Altan hanya mengangguk ajakan Linara, tangannya menggandeng jemari Linara.“Altan senang banget bisa ketemu dengan Kak Linara,” Ujar Altan ditengah perjalanan menyusuri trotoar.Linara hanya menuai senyum dengan berkata, “Kakak juga senang.”“Semoga Kak Linara cepat pulih dari sakitnya, Altan yakin Kak Linara wanita yang tangguh nan kuat, pasti bisa menghadapi semuanya.” Dalam batin Altan yang takjub dengan Linara.***Avraam yang menunggu disudut meja yang biasa dia tempati, meremas cemas menanti kedatangan Altan juga Linara yang tak kunjung memunculkan dirinya. Hingga kesabaran Avraam sampai pada titik lelahnya. Membuat Avraam segera beranjak dari Zona nyama
Chapter 59Aku harus mengingat AltanHari demi hari berjalan dengan tenang, layaknya kehangatan yang dulu kini kembali dengan lebih hangat. Bunda Adelia yang kini fokus membantu Kakek Aathif berjualan di Kedai kopi tua miliknya. Karena tidak ada lagi yang dikejar selain mempertahankan bisnis klasik yang telah berjalan belasan tahun.Disamping itu juga Linara butuh waktu istirahat 3-4 hari untuk kembali fit kebugaran tubuhnya sebelum merajut kembali kuliahnya. Sepanjang hari didalam sangkar itu sungguh mennyebalkan dan membosankan, hingga membuat Linara memutuskan untuk berkecimpung dunia Kedai kembali. Sekedar mempertajam kembali ingatannya.Kaki palsu yang dipasangnya kini telah kuat untuk berjalan, dengan langkah yang mantap Linara keluar dari ranah pribadinya. Senyum selembut sutra siap tersaji untuk para pelanggan yang berkunjung.“Lho kok Linara disini? Bukannya istirahat?” Ucap Bunda sembari sibuk dengan mengisi ulang bahan pokok.
Chapter 58Penyesalan dan gelisah“APA!” Sahut Kaivan dan Fara bersamaan tak percaya dengan ucapan yang terlontar AathifKata yang penuh dengan nada dadakan itu membuat Fara maupun Kaivan segera membabi buta membersihkan segalanya. Mungkin hanya dalam hitungan menit semua telah bersih dan kembali seperti semula, sungguh kekuatan yang hadir dalam detik akhir.Aathif terduduk sebentar setelah sedikit membantu pembersihan dapurnya yang buruk rupa itu. secangkir teh hangat memberi ketenangannya. Sedangkan Kedua kerdilnya masih membersihkan sisa kotoran yang tersisa.Kini kedua kerdil itu terduduk saling menopang punggungnya satu sama lain, noda dibaju yang tersisa juga masih jelas terlihat menodai Apronnya juga wajahnya, seakan telah perang dadakan melawan kuman.“Gue cape banget...,” Keluh Fara dengan napasnya yang terengah engah seakan telah dikejar pemburu kejam dalam hutan liar.“Lah Gue juga sama Far,” Jaw