Dylan keburu pergi meninggalkan mereka yang memendam banyak pertanyaan didalam hatinya, meski mereka ikut mengekorinya menuju mobil.Ketika sampai didalam mobil. Dylan hanya diam saja disana, terduduk dalam keadaan melihat ke arah kaca mobil, berpangku tangan.Kiki dan Putra terlihat keheranan, tapi mereka juga merasa jika sopan kalau tiba-tiba menanyakan apa yang terjadi. Mereka pun memiih untuk berdiam diri hingga mobil itu melaju pergi.Tak lama mobil pun sampai didepan kantor. Kiki membuka pintu mobil dan membiarkan Dylan keluar dari sana. Dylan berpesan pada mereka. "Kamu dan Putra bisa istirahat sekarang, saya kasih kalian waktu satu jam untuk makan di kantin." ucap Dylan yang langsung pergi setelahnya, meninggalkan Putra di kursi setirnya tampak menghela nafas. "Yaelah bener kan kata gue, jauh-jauh ke restoran cuma nungguin pintu doang.""Enggak usah banyak ngarep deh. Udah yok ke kantin." ucap Kiki seraya pergi.Dylan kembali ke ruang kerjanya, terduduk di kursinya seraya me
"Tenang Kiki, enggak usah terlalu pede. Lagian yang harus kamu tanyakan bukan tentang cinta pertamanya melainkan identitas kamu sendiri didalam lingkugan keluarga itu." batin Kiki mencoba untuk tidak terlalu berlebihan dan belum tentu juga yang ada di foto tersebut adalah dirinya. "Saya ingin tanya ke kamu, apa benar nama teman perempuan kamu itu adalah Kiara?" tanya Dylan. Kiki tersentak, nama itu... Kenapa rasanya begitu nyaman saat didengar? Nama yang seperti pernah ia dengar, nama yang familiar, nama yang..."Bukan tuan." ucap Kiki cepat. Dylan tampak tidak terima dengan jawaban itu. "B-bukan? Kenapa bukan? Kok bisa bukan?" "Iya... Namanya bukan itu.""Siapa namanya?""Saya cuma tahu nama panggilannya. Namanya Riska tuan.""Riska? Bukan Kiara? Kenapa namanya sedikit mirip sama kamu? Kamu bercanda kan? Saya enggak salah dengar kan?" tanya Dylan masih tidak terima.Kiki tersenyum tipis. "Enggak tuan. Tuan enggak salah dengar."Tak lama kemudian hujan masih cukup deras, meski be
Esok harinya di kantor.Kiki mendekati Putra yang sedang berbincang dengan beberapa teman bodyguardnya. "Put, bisa ngomong bentar?" ucap Kiki, Putra pun mengikuti kemana Kiki pergi. Mereka akhirnya menepi di halaman samping kantor. "Put, aku mau kasih tahu ini sama kamu tapi kamu jangan kaget ya? Atau teriak-teriak gak jelas sampai bikin pengumuman lewat speaker masjid atau bikin spanduk ditengah jalan tol?" pinta Kiki. Putra terheran. "Dih, emang gue orang gila apa?" balasnya.Kiki melihat ke kanan dan kiri, coba memastikan kalau tidak ada yang melihat mereka saat itu. "Aku... Sebenarnya aku... Perempuan." ucap Kiki, Putra langsung melotot ketika mendengar itu hingga membuatnya tidak dalam waktu lima detik langsung pingsan ditempat.Kiki panik. "Putraaa!"Di ruang istirahat. Kiki masih menunggu Putra yang masih betah tidak sadarkan diri diatas kasur. Menunggu hingga beberapa menit pun akhirnya pria itu terbangun. Ia melihat kembali ada Kiki disana, ia sepintas mengingat lagi pe
"Anu tuan, sebenarnya kami berniat mempertemukan tuan sama Riska. Katanya kan tuan bilang tadi sama Kiki kalau tuan mau ketemu sama Riska, terus Kiki minta bantuan saya. Yaudah sekarang saya jemput dia sama Kiki.""Ya tapi kan maksud saya enggak mesti sekarang-sekarang juga. Pulang kerja kalian langsung kesana emang enggak capek? Kenapa enggak di hari libur aja?" tanya Dylan heran."Enggak tuan, pokoknya sekarang kita bakal balik ke rumah tuan. Saya tutup ya tuan. Malam.""Tung---"Dylan belum selesai bicara tapi Putra sudah mematikan ponselnya terlebih dahulu. Putra melihat jamnya, sudah satu jam tapi kok Kiki belum kelar juga ya?"Putra.."Tiba-tiba Kiki muncul dihadapannya dalam penampilan yang begitu tidak bisa ia kenali. Baju kasual, dibalut jaket dan rok selutut disertai juga rambut hitam panjang yang begitu indah. Putra berkedip-kedip, ia kucek kedua matanya coba memastikan. "I-ini Kiki?""Bukan, ini Riska." ucap Kiki. Putra tertawa. "Cantik banget sih si Kiki, kalo gini sih g
"Karena selain dia cantik, dia juga anak yang polos, lucu dan baik hati. Saya pikir wanita seperti itu sudah cukup langka sekarang.""Bukan langka Pak, tapi bapaknya saja yang tidak pernah mencoba untuk melihat keluar." ucap Kiki.Dylan tertawa mentah. Ia menangkap kalau perkataan itu sengaja menyindirnya. "Cara bicaramu kayak yang udah punya pengalaman seribu kali pacaran." ucap Dylan. Kiki tertawa ringan. "Enggak seribu kali pacaran Pak, tapi saya lebih luas aja mikirnya. Karena bumi nyatanya enggak sesempit itu. Pasti diantara milyaran penduduk bumi minimal banyak diantaranya yang seperti itu. Meski sekalipun itu saling berjauhan." ucap Kiki."Yah tahu deh. Tapi kok selihat saya, saya hampir enggak bisa melihat orang semacam itu ya sepanjang umur saya?" tanya Dylan."Mungkin ada, tapi bapak enggak sempat melihatnya. Atau bisa jadi juga karena bapak terlalu sibuk dengan pekerjaan?" tanya Kiki."Iya sih, saya memang jarang melihat orang lain apalagi yang jabatannya dibawah saya." u
Di kantor Rolland group. Keluar dari dalam mobil, Dylan pun sesegera mungkin masuk ke dalam kantornya, dirinya terus dikejar oleh Kiki ketika itu. "Tuan. Tunggu." ucap Kiki yang langsung menghentikan laju langkah Dylan. Pria itu memutar badan, membiarkan Kiki berbicara. "Tuan, saya mohon dengan sangat. Tolong jangan jadikan teman saya alasan untuk tuan menolak perjodohan itu. Saya mohon, tolong jangan libatkan dia dalam masalah ini tuan. Lagipula tuan kenapa bisa langsung suka sama Riska? Didunia ini banyak yang masih lebih sempruna daripada Riska tuan. Yang lebih cantik, yang lebih pintar, yang lebih baik, polos dan lebih kaya daripada Riska tuan."Dylan tertawa ringan. "Ki, saya enggak perlu semua itu. Yang saya perluin bukan orang yang sesempurna itu. Yang saya cari itu cuma orang seperti dia." ucap Dylan. Kiki tersentak. "A-apa maksud tuan?" tanya Kiki heran. Dylan tersenyum. "Tanpa saya beritahu kamu juga tahu kok, bahkan sejak awal kamu sudah tahu saya menginginkan wanita
Tiba-tiba kilasan ingatan terpintas dikepalanya. Saat seorang anak lelaki seakan mengulang perkataan yang sama. Kiki merasakan pening dan sakit di kepalanya. Dylan kaget melihatnya seperti itu. "Kamu kenapa? Pusing? Kamu sakit Ris?" tanya Dylan cemas. Kiki hanya diam saja terus menguruti keningnya. "Kita keluar sekarang ya?" tanya Dylan. "Enggak Pak, enggak usah. Udah sembuh... Enggak apa-apa... Cuma pusing sedikit. Udah Bapak nonton aja terus, saya baik-baik aja kok. Jangan khawatir ya." ucap Kiki. Dylan terdiam, meski dirinya masih belum sepenuhnya memfokuskan pada hal lain, ia terus terfokus pada Kiki. Ia cemas.Setelah film usai, Kiki dan Dylan pun keluar. Mereka saling jalan berdampingan. Dylan menghentikannya. "Kamu masih sakit Ris? Kalau masih, saya akan antar kamu ke dokter sekarang." ucap Dylan."Udah mendingan kok Pak. Pusingnya juga udah hilang sejak tadi. Udah enggak usah pikirin saya, sekarang bapak mau ajakin saya kemana?" tanya Kiki. Dylan kembali menggandeng Kik
"Makanya tuan, saya mencoba untuk mencari tahu. Apakah benar kalau saya adalah Kiara yang tuan sebutkan itu. Karena paman saya menyebutkan kalau foto itu adalah foto peninggalan orang tua saya." "Tapi bukankah kamu laki-laki? Apa kamu sampai menyamar hanya karena untuk mencari tahu...""B-benar tuan. Saya melakukan itu semua demi mencari tahu tentang hal ini." ucap Kiki."Astaga." Rudi benar-benar tidak menyangka dengan ini. Ia pun mengajak Kiki untuk segera pergi dari sana. Meninggalkan teras. Karena ia khawatir jika Dylan tahu mengenai hal ini. "Kalau benar kamu Kiara, apa lagi bukti yang bisa kamu tunjukkan?" tanya Rudi. "I-itu... Saya memiliki baju dan rok yang sama dengan yang dipakai oleh anak perempuan di foto itu." ujar Kiki."Hmm saya bisa lihat dimana bajunya? Bisa saja kan itu kebetulan?" tanya Rudi heran. "Iya tuan, saya juga mikirnya gitu. Makanya saya cuma ingin memastikan ini semua apakah benar atau salah, makanya saya menyamar menjadi laki-laki." ujar Kiki."Yasuda
Dylan langsung berlari keluar dari dalam mobilnya, menuju pintu yang tertutup dihadapannya. Ia segera gedor-gedor pintu itu. "Kiki! Kiki! Kiki kamu ada disini kan?!" tanya Dylan berkali-kali dalam keadaan seperti itu, coba memanggilnya. Akan tetapi pintu itu yang tertutup itu masih terbungkam, bahkan bisa terlihat dengan tanda gorden yang tertutup. Kemungkinan besar kalau sedang tidak ada orang didalam sana. "Sepertinya memang tidak ada orang tuan, dirumah non Kiara." ujar Rizal berdiri disebelahnya. Akan tetapi tiba-tiba pintu itu terbuka dan memunculkan seseorang dihadapan mereka berdua. Tentu Dylan sangat kaget saat melihat Kiki ada dihadapannya dalam wujudnya menjadi seorang laki-laki, memakai rambut pendek. "Kiki!" pekik Dylan yang sesegera mungkin mendekatinya dan mengguncang-guncang bahunya. "Ini bener kamu Ki?" tanya Dylan tidak percaya. Kiki hanya tersenyum tipis saat itu. "I-iya tuan." jawabnya."Kamu kemana aja sih? Saya ratusan kali menelepon kamu, email kamu, sms
Setelah Putra menelepon, Dylan tiba-tiba menelepon video. Kiki pun kaget, ia tidak terbiasa dengan telepon video. Ia bahkan terlihat berantakan saat itu, belum sempat mandi juga tadi sore. Ia bingung, tapi coba sedikit rapikan rambutnya atau sisiri dengan tangan agar tidak terlalu berantakan. Ia ekspresikan wajahnya dengan senyum menghadap kamera, kemudian ia pun terima telepon videonya. Terlihat disana Dylan sedang duduk bersandar pada dipan kasurnya, dipangkuannya juga ada sebuah laptop yang sering dipakainya. "Hai Ra ... Lagi apa?" tanya Dylan tersenyum. "E-eh hehe, a-aku habis makan barusan." ucap Kiki sedikit menutupi kalau dirinya habis teleponan dengan Putra. "Kamu gak tanya saya udah makan?" tanya Dylan, Kiki terkekeh. "Kamu sudah makan?" tanyanya. "Belum, nunggu ngeliat kamu dulu. Baru saya mau makan." ucap Dylan. Kiki makin terkekeh. "Kok gitu pak? Memangnya belum lapar? Ini udah jam 9 loh, nanti telat makan sakit perutnya. Bapak kan besok pagi kerja lagi." tanya Ki
"Tepat, yah meski masih agak nyerempet sedikit dengan bisnis perusahaan kita haha." ujar Richard. Putra tersentak sepanjang mendengar percakapan mereka, seakan dirantai seluruh tubuhnya hingga membuatnya terus mematung didepan sana dengan keadaan raut wajah tidak percaya. Seingat Putra yang terjadi tepat tiga belas tahun lalu adalah peristiwa yang sering dijabarkan oleh Kiki, dimana dirinya menjadi korban dari tragedi kebakaran di rumahnya. Yang turut menghanguskan kedua orang tuanya, tersisa hanya dirinya saja yang masih selamat dalam kejadian itu.Ia membatin. "Ini pasti ada hubungannya sama Kiki, gue yakin banget orang yang ngomong barusan itu direktur dari perusahaan Dean Kyle. Yakin banget gua kalo dia itu pelakunya, gue bener-bener enggak nyangka, kok bisa. Bahkan bapaknya Non Klarissa juga ngomongnya seakan-akan dia emang kongkalikong merencanakan tragedi belasan tahun lalu itu." batin Putra. Tiba-tiba seseorang menepuk punggungnya dari belakang, sontak saja Putra kaget bu
Sekitar pukul sebelas malam, Kiki dan Dylan segera pulang. Mereka saling jalan berdampingan sepanjang perjalanan pulang itu, menyusuri gelapnya jalan yang dikelilingi oleh beberapa pepohonan.Malam yang dingin dan sejuk, seakan suasana saat itu sudah benar-benar pagi, padahal masih belum berganti hari. Dylan merasa kedinginan, dirinya tidak terbiasa dengan suhu sedingin ini. Apakah mungkin ini pengaruh dari dekatnya mereka dengan wilayah pegunungan?"Kamu tahu? Sepanjang saya jalan sama kamu, saya selalu teringat sama Kiki. Kenapa ya kalian terlihat begitu mirip?" tanya Dylan heran. Kiki hanya tersenyum mendengarnya, menganggapnya hal biasa. "Semua orang yang kenal dekat sama saya dan Kiki juga bilangnya begitu pak. Kita terlihat sangat mirip.Bahkan saya pun sampai heran apakah Kiki sebenarnya saudara kandung saya atau bukan." ujar Kiki coba menimpalinya dengan kebohongan lain. Dan mirisnya Dylan benar-benar tidak menyadari hal itu. "Entahlah, mungkin juga karena saya terlalu ba
"Oh iya! Itu kan ada pasar malam di lapangan!" ucap Kiki antusias. "Pasar malam?" Dylan terheran. Kiki langsung bangkit dari duduknya dengan perasaan senang. "Saya mau kesana, katanya ada hadiah yang dapat jam tangan seharga lima ratus ribu! Saya mau kesana!" ucap Kiki. "Kamu tunggu sini aja." ucapnya langsung kabur, tentu saja Dylan tidak mau ditinggal sendirian. "Hei! Saya ikut!" Dylan mengikutinya. Rizal baru akan mengikutinya namun Dylan sudah berteriak. "Jangan ikut!" Mereka berdua akhirnya sampai didepan sebuah pasar malam yang dikelilingi oleh cahaya lampu disetiap wahananya atau di berbagai sisi kios-kios yang bertebaran. Kiki begitu antusias ketika melihatnya, entah kenapa dirinya jadi merasa nostalgia saat seluruh pandangannya terfokus pada suasana pasar malam itu. Seperti halnya di masa lalu, saat dirinya pergi ke pasar malam bersama kedua orang tuanya. Mendadak sebuah senyum terukir manis di sudut bibirnya. Terkesan lirih, tanpa disadari Dylan melihatnya. Entah ke
"Ya terus gimana? Mau ngapain kalau sudah tahu saya ada disini? Saya enggak bisa nikah sama kamu, saya enggak cinta sama kamu." ujar Kiki."Yakin gak cinta sama saya? Kalau gitu yang namanya Kiara juga enggak cinta sama saya ya? Janji belasan tahun lalu akan kamu lupakan sebegitu mudah?" tanya Dylan. Kiki tersentak, ia memalingkan wajahnya merasa tidak nyaman."Maaf saya harus pergi." ucap Kiki yang coba meraih kunci motornya lagi. "Enggak mungkin semudah itu." Dylan masih tetap menghalaunya dan menyembunyikan kuncinya. Dylan beralih memegang tangan Kiki dan membawanya pergi dari sana. Mereka jalan berdampingan di tepian tempat pemancingan, kemudian saling berdiri dan berhadapan. Angin berhembus sejuk dan Dylan pun berkata. "Saya tidak berniat untuk memaksa kamu, saya akan menunggu kamu sampai kapanpun kamu siap. Tapi yang jelas ada satu hal penting yang ingin saya tanyakan ke kamu. Dimana sebenarnya keberadaan Kiki sekarang?" tanya Dylan, Kiki tersentak. Ia hanya memalingkan w
Esok harinya, Dylan pun meminta Rizal untuk menghubungi langsung media cetak yang menerbitkan koran tersebut, dimana dirinya meminta Rizal untuk mencari tahu dimana foto itu berasal serta dimana tepatnya lokasi perlombaan memancing itu diadakan.Putra mengetuk pintu ruang kerjanya, Dylan berkata padanya. "Put, kamu mau bantu saya nyari Kiki lagi?" tanya Dylan. Putra melempar tawa. "Tuan ... Ini tuh udah berbulan-bulan semenjak Kiki pergi dan enggak ninggalin kabar sekalipun ke kita. Otomatis dia udah enggak mau ngeliat kita lagi tuan. Udahlah tuan, biarin aja Kiki ngelakuin hal semaunya. Mungkin memang ini keinginan dia untuk menjauhkan diri dari kita." ujar Putra. Setelah dikatakan seperti itu, Dylan pun jadi malas untuk mengajak Putra pergi kesana.Entah kenapa Putra seperti terkesan selalu menghalaunya untuk mencari Kiki, membuatnya semakin pesimis dan selalu meyakinkannya kalau pencarian yang dilakukannya itu akan berujung sia-sia.Pada akhirnya Dylan pun tidak mengajak Putra,
Disaat Dylan berjalan keluar dari ruang kerjanya, tiba-tiba ia berpapasan dengan Dietrich. "Katanya Klarissa kesini ya barusan? Kamu gak ketemu?" tanya Dietrich yang semakin membuat sang anak malas untuk berlama-lama dengannya, ia memilih lanjut berjalan."Hey! Dylan! Papa lagi ngomong!" pekik Dietrich. Dylan terus melangkah pergi melewati lorong, lift, koridor atau bahkan pintu utama kantor. Ia berjalan menuju area parkir. Entah kenapa sepanjang berjalan menuju sana ia teringat dengan saat ketika Kiki memayunginya yang sedang berlari menghindari hujan. Dylan pun kembali merasa galau, diam-diam ia merasa rindu dengan keadaannya dulu. Saat ketika Kiki masih bekerja dibawahnya.Ia sesegera mungkin masuk ke dalam mobilnya lalu nyalakan, ia jalankan mobilnya saat itu juga, keluar dari area kantor. Saking merasa rungsingnya perasaan Dylan saat itu, dirinya malah memilih kabur dengan tanpa disupiri oleh Putra sekalipun. Ia hanya ingin menyendiri. Bodoh sekali, padahal hanya kehilangan
"Enggak sih tuan. Saya enggak dengar. Dia enggak pernah cerita apa-apa tentang hal kayak gitu." ucap Putra. "Coba kamu lacak dimana keberadaannya sekarang lewat ponselnya." titah Dylan.Putra setengah tertawa. "Lacak? Bukannya harusnya dibiarin aja ya tuan? Kan itu keinginan Kiki sendiri. Mungkin emang ada alasan kenapa Kiki ngelakuin hal ini." ucap Putra. Dylan tercengang mendengar hal itu, ia tampak tidak percaya dengan responnya barusan. "Jadi kamu membiarkan Kiki pergi begitu saja? Kamu ... heh, kamu apa enggak merasa khawatir atau apapun gitu sama dia? Tiba-tiba pergi gitu aja. Kiki itu yang sepanjang hari ada disebelah kamu, tertawa bareng kamu, sedih bareng kamu, makan bareng kamu, ngobrol bareng kamu, yang menjalankan tugas dan kewajibannya sama kamu. Yang suka menolong kamu dan macam-macam. Kamu apa enggak nganggep dia lebih gitu?" tanya Dylan tidak habis pikir. "Emang maksud tuan saya harus menganggap Kiki seperti apa? Y-ya ini memang keinginan dia buat resign dari kerja