Rasanya bagaimana ya? Pengen teriak, pengen cubit, pengen tabok aja deh! Dokter Lin... aslinya itu Dokter Preman neng.... Kata sahabatku yang baca sebelum aku publish, dia nyanyi terus nih... aku diam-diam suka kamu.... Kalau versi kamu bagaimana?
"Ti-tidak. Dia tidak terlihat seperti dokter," cicit Arum. Akram terkekeh dan mengangguk karena ucapan istrinya tidaklah salah. "Dia dokter umum, sementara pendidikan spesialis radiologi di Surabaya. Dia pulang ke sini cuma buat nikah sama Tasya, instruktur yoga yang datang sama dia," jelas Akram yang kembali terdiam menatap Arum. Ditatap intens seperti itu membuat Arum jadi risih. "Kenapa? Mau adu mulut?" Akram tertawa sembari menggeleng kemudian duduk di sisi tempat tidur. "Begini, nanti malam aku tidak pulang. Aku sudah janji sama mama menginap di sana kemarin, tapi tertunda jadinya malam ini. Apa kamu keberatan?" tanya Akram yang penasaran ingin tahu reaksi Arum seperti apa. "Kalau perlu yang lama. Kalau saja aku tidak sadar diri ini tempat kamu, aku pasti minta kamu tidak perlu puang saja sekalian sampai hari aku melahirkan. Tujuan kita nikah cuma buat dia," jawab Arum mengusap perutnya. "Apa tidak mungkin berubah jadi untuk kita? Untuk kita bertiga," ucap Akram yang membuat
Lama terdiam, Akram membayangkan hari pernikahannya dengan Arum. Gaun sederhana yang dipilihnya dengan bagian rok sedikit lebar menjuntai hingga di bawah lutut membalut indah tubuhnya. Dengan gaun itu, tidak akan ada yang menduga jika Arum sedang hamil. Tania bahkan mendandaninya dengan penampilan berbeda dari biasanya. Lafaz ijab qabulnya kembali terngiang membuat sekujur kulit tubuhnya meremang. Bagai roll film, kejadian itu terputar berulang kali dalam pikirannya. 'Sekarang fokus saja dengan kebahagiaan kalian. Tidak semua hal yang berawal dengan buruk akan berakhir dengan buruk juga. Takdir tidak ada yang bisa menebak dan usaha manusia hanya manusia itu sendiri yang memberinya limit.' Akram memahami penuturan Delia saat menceritakan kisah putri dan menantunya. Sahabat dari Riswan itu memang pernah hilang bahkan dinyatakan meninggal. Putrinya memiliki keyakinan jika laki-laki yang dicintai dan juga mencintainya akan kembali dalam pelukannya. Untuk dirinya dan Arum, bisakah demiki
Akram pulang dini hari dan mendapati istrinya sudah pulas. Setelah membersihkan dirinya, ia bergegas mengganti pakaian dan tidur. Ikut rapat di posko induk papanya membuatnya benar-benar kelelahan. Bagaimanapun juga ia harus tahu strategi kampanye dari tim sukses yang mengusung papanya. Keesokan harinya saat mereka bangun, kecanggungan untuk memulai bertegur sapa benar-benar menyiksa dua anak manusia itu. Mereka sudah jadi pasangan suami istri tapi tingkah mereka seperti remaja labil. Di depan keluarga Danu mereka akan berpura-pura baik-baik saja, tapi saat masuk ke kamar, atmosfer akan berubah. Hal itu berlangsung hampir seminggu dan keduanya patut diberi penghargaan sebagai aktris dan aktor berbakat. Bahkan ketika Adina mampir sepulang dari kampus, mereka tampak seperti pasangan bahagia. Hanya satu hal yang tidak berubah, setiap malam Akram akan mengusap perut Arum dan mengajak calon anaknya itu bicara apa saja. Tidak ada lagi usapan atau kecupan di kening untuk Arum. Siang ini Ak
Sore ini Akram pulang dan ia tidak pernah berani menaruh harapan Arum akan membukakan pintu untuknya. Selayaknya seorang istri yang menyambut suaminya pulang. Baru saja merogoh saku untuk mengambil kunci rumahnya, pintu sudah lebih dulu dibuka Arum. Senyum Akram mau tidak mau langsung merekah. "Tolong buangkan sampah ini, kompor di dapur masih aku biarkan menyala," kata Arum sambil menyodorkan kantong kresek putih. Senyum Akram seketika luntur dan ingin sekali ia membenturkan kepalanya di tembok. Haslan kerap kali mengingatkan padanya bahwa jangan berharap sesuatu secara berlebihan, karena nantinya akan menelan pahitnya kecewa. Akram baru saja membuktikannya dan dadanya sesak seketika. "Ya sudah kalau tidak mau, aku saja," kata Arum hendak memakai sendal jepit milik Wina di teras rumah. "Jangan! Aku tidak menolak, cuma kaget saja. Kamu masak apa?" tanya Akram beralasan. Sekedar mengalihkan pembicaraan atau mungkin rasa kecewanya. Nyatanya, hatinya sudah seperti bahan sambal ulek ya
Kesalahanku berlapis tak sanggup kutepis Dalam barisan hari aku diselimuti pesimis Penyesalanku berawal bagai gerimis Kecil rintiknya semakin kuat mengikis Berharap dosa dibasuh hujan tangis Maaf dan pengampunan… aku mengemis Ditatap binar mata mereka bagai pelangi yang terlukis Egoiskah keputusanku yang pragmatis Ardan termenung setelah membaca bait puisi yang ditulis putranya. Ia tahu jika Akram sering menyalurkan hobinya menulis puisi atau syair saat senggang. Sejak kecil, menjadi penulis memang menjadi impiannya. Ardan kembali fokus pada putranya. Akram tertidur dengan kepala yang bertumpu di lengannya yang ditopang di permukaan meja, sedangkan tangan kanannya masih memegang pulpen. Ardan tersenyum karena tumpukan map cukup tinggi di sisi kanan meja kerja itu pertanda pekerjaan putranya sudah selesai. Putranya sepertinya kelelahan menyelesaikan semua itu setelah beberapa hari menyelesaikan pekerjaan di Pulau Jawa. Tidak dipungkiri beberapa hari ini Akram memang menemaniny
"Kalau papa… lebih baik disakiti, daripada kehilangan. Waktu akan jadi penyembuh, tapi sesuatu yang hilang, waktu pun tidak bisa mengembalikannya," ungkap Ardan terdengar lirih. Akram menyadari jika papanya pasti kembali teringat almarhum adiknya. Akram terdiam melihat mobil papanya melaju meninggalkan halaman kantornya. Jawaban papanya membuatnya terhenyak. Papanya lebih memilih untuk disakiti daripada harus kehilangan. Papanya pamit pulang setelah ia berjanji akan ikut makan malam bersama di restoran milik keluarga. Farah mengundang mereka untuk merayakan ulang tahun satu dekade restoran mereka. Semoga saja tidak ada drama baru. Selain itu, papanya terkejut sudah melewatkan waktu cukup lama. Katanya tidak ingin terlambat karena malam ini rekan mamanya ada yang menikah dan mengundang mereka berdua. Jika bukan karena panggilan telpon dari istrinya, mungkin Ardan masih betah berbincang dengan putranya. Sesuatu yang langka untuk mereka berdua. Menatap langit sore, Akram teringat Aru
Ardan dan Novita tiba di Hotel Pradipta tempat berlangsungnya pesta. Malam ini mereka menghadiri resepsi pernikahan salah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Novita. Selain itu, ayah dari mempelai wanita adalah pemilik rumah sakit swasta yang merupakan senior Novita dari almamater yang sama. "Banyak sekali ya tamunya, Ma," kata Ardan yang tidak menduga dengan jumlah tamu undangan malam ini mencapai ribuan. Baru beberapa saat ia bisa lepas dari banyak orang yang turut menyapa dan mengajaknya berbincang. "Selain karena mempelai wanitanya artis, senior mama itu juga terkenal di kalangan dokter. Dia pemilik rumah sakit swasta di Sulawesi Tenggara. Sementara mempelai laki-laki adalah dokter di rumah sakit tempat mama kerja. Dan Papa tahu? Mempelai laki-laki itu putra pengusaha batu bara di Kalimantan. Jadi wajar saja kalau tamu undangannya sebanyak ini. Mama juga ingin sekali Pa, buat acara resepsi untuk pernikahan Akram sama Adina kelak kalau mereka menikah. Meski
"Papa kenapa? Memikirkan apa sampai tidak dengar mama?" tanya Novita saat menuangkan nasi goreng di piring suaminya. "Akram. Papa teringat saat kemarin papa ke kantornya, papa bangunkan dia yang ketiduran. Terus dia mengigau nama Arum. Awalnya papa tidak curiga sama sekali saat dia berkelit mengatakan kalau yang dia maksud itu harum aroma kopi yang papa bawa. Sejak semalam mendengar penuturan polos cucunya Prof. Hamizan, papa yakin kalau ‘Tante Alum’ yang dimaksud gadis kecil itu adalah Arum. Dia sebut nama Akram dengan sebutan Aklam, karena dia belum bisa sebut huruf R dengan benar. Papa sudah minta asisten papa untuk cari tahu siapa gadis itu," jelas Ardan meraih sendoknya. Novita terdiam sejenak memikirkan ucapan suaminya. Sejujurnya sejak semalam dirinya juga terusik dengan nama itu. Akan tetapi karena sibuk membalas pesan dari beberapa temannya, ia kembali melupakan perkara itu. "Mama juga penasaran, dia putrinya siapa sampai membuat putra kita menolak dijodohkan dengan banyak
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k