Sudah tidak peka, gengsian pula? Yang kesal mana komennya? Kalau yang gemes, bilang karena apa?
Sore ini Akram pulang dan ia tidak pernah berani menaruh harapan Arum akan membukakan pintu untuknya. Selayaknya seorang istri yang menyambut suaminya pulang. Baru saja merogoh saku untuk mengambil kunci rumahnya, pintu sudah lebih dulu dibuka Arum. Senyum Akram mau tidak mau langsung merekah. "Tolong buangkan sampah ini, kompor di dapur masih aku biarkan menyala," kata Arum sambil menyodorkan kantong kresek putih. Senyum Akram seketika luntur dan ingin sekali ia membenturkan kepalanya di tembok. Haslan kerap kali mengingatkan padanya bahwa jangan berharap sesuatu secara berlebihan, karena nantinya akan menelan pahitnya kecewa. Akram baru saja membuktikannya dan dadanya sesak seketika. "Ya sudah kalau tidak mau, aku saja," kata Arum hendak memakai sendal jepit milik Wina di teras rumah. "Jangan! Aku tidak menolak, cuma kaget saja. Kamu masak apa?" tanya Akram beralasan. Sekedar mengalihkan pembicaraan atau mungkin rasa kecewanya. Nyatanya, hatinya sudah seperti bahan sambal ulek ya
Kesalahanku berlapis tak sanggup kutepis Dalam barisan hari aku diselimuti pesimis Penyesalanku berawal bagai gerimis Kecil rintiknya semakin kuat mengikis Berharap dosa dibasuh hujan tangis Maaf dan pengampunan… aku mengemis Ditatap binar mata mereka bagai pelangi yang terlukis Egoiskah keputusanku yang pragmatis Ardan termenung setelah membaca bait puisi yang ditulis putranya. Ia tahu jika Akram sering menyalurkan hobinya menulis puisi atau syair saat senggang. Sejak kecil, menjadi penulis memang menjadi impiannya. Ardan kembali fokus pada putranya. Akram tertidur dengan kepala yang bertumpu di lengannya yang ditopang di permukaan meja, sedangkan tangan kanannya masih memegang pulpen. Ardan tersenyum karena tumpukan map cukup tinggi di sisi kanan meja kerja itu pertanda pekerjaan putranya sudah selesai. Putranya sepertinya kelelahan menyelesaikan semua itu setelah beberapa hari menyelesaikan pekerjaan di Pulau Jawa. Tidak dipungkiri beberapa hari ini Akram memang menemaniny
"Kalau papa… lebih baik disakiti, daripada kehilangan. Waktu akan jadi penyembuh, tapi sesuatu yang hilang, waktu pun tidak bisa mengembalikannya," ungkap Ardan terdengar lirih. Akram menyadari jika papanya pasti kembali teringat almarhum adiknya. Akram terdiam melihat mobil papanya melaju meninggalkan halaman kantornya. Jawaban papanya membuatnya terhenyak. Papanya lebih memilih untuk disakiti daripada harus kehilangan. Papanya pamit pulang setelah ia berjanji akan ikut makan malam bersama di restoran milik keluarga. Farah mengundang mereka untuk merayakan ulang tahun satu dekade restoran mereka. Semoga saja tidak ada drama baru. Selain itu, papanya terkejut sudah melewatkan waktu cukup lama. Katanya tidak ingin terlambat karena malam ini rekan mamanya ada yang menikah dan mengundang mereka berdua. Jika bukan karena panggilan telpon dari istrinya, mungkin Ardan masih betah berbincang dengan putranya. Sesuatu yang langka untuk mereka berdua. Menatap langit sore, Akram teringat Aru
Ardan dan Novita tiba di Hotel Pradipta tempat berlangsungnya pesta. Malam ini mereka menghadiri resepsi pernikahan salah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Novita. Selain itu, ayah dari mempelai wanita adalah pemilik rumah sakit swasta yang merupakan senior Novita dari almamater yang sama. "Banyak sekali ya tamunya, Ma," kata Ardan yang tidak menduga dengan jumlah tamu undangan malam ini mencapai ribuan. Baru beberapa saat ia bisa lepas dari banyak orang yang turut menyapa dan mengajaknya berbincang. "Selain karena mempelai wanitanya artis, senior mama itu juga terkenal di kalangan dokter. Dia pemilik rumah sakit swasta di Sulawesi Tenggara. Sementara mempelai laki-laki adalah dokter di rumah sakit tempat mama kerja. Dan Papa tahu? Mempelai laki-laki itu putra pengusaha batu bara di Kalimantan. Jadi wajar saja kalau tamu undangannya sebanyak ini. Mama juga ingin sekali Pa, buat acara resepsi untuk pernikahan Akram sama Adina kelak kalau mereka menikah. Meski
"Papa kenapa? Memikirkan apa sampai tidak dengar mama?" tanya Novita saat menuangkan nasi goreng di piring suaminya. "Akram. Papa teringat saat kemarin papa ke kantornya, papa bangunkan dia yang ketiduran. Terus dia mengigau nama Arum. Awalnya papa tidak curiga sama sekali saat dia berkelit mengatakan kalau yang dia maksud itu harum aroma kopi yang papa bawa. Sejak semalam mendengar penuturan polos cucunya Prof. Hamizan, papa yakin kalau ‘Tante Alum’ yang dimaksud gadis kecil itu adalah Arum. Dia sebut nama Akram dengan sebutan Aklam, karena dia belum bisa sebut huruf R dengan benar. Papa sudah minta asisten papa untuk cari tahu siapa gadis itu," jelas Ardan meraih sendoknya. Novita terdiam sejenak memikirkan ucapan suaminya. Sejujurnya sejak semalam dirinya juga terusik dengan nama itu. Akan tetapi karena sibuk membalas pesan dari beberapa temannya, ia kembali melupakan perkara itu. "Mama juga penasaran, dia putrinya siapa sampai membuat putra kita menolak dijodohkan dengan banyak
Novita benar-benar canggung karena merasa diperlakukan khusus. Setelah dirinya menjawab pertanyaan tadi, dirinya diperkenankan masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan. Sejak kedua pria itu menghampirinya, dirinya turut menjadi pusat perhatian. Pria yang bernama Zayyan tadi masih sibuk bicara dengan seseorang melalui panggilan telpon. Novita jadi bertanya-tanya apa jabatan pria yang bersamanya saat ini? Rasa cemas mulai merayap kala ia melihat tombol lift yang ditekan adalah lantai teratas gedung tersebut. Lift melaju tanpa hambatan sama sekali, mereka langsung tiba di lantai teratas, lantai 24. Begitu pintu lift terbuka, Novita tercengang melihat tulisan timbul yang tertera di dinding. Ada satu nama Direktur cabang dan tiga nama CEO dari anak perusahaan raksasa itu. “Nyonya Novita, maaf, saya ada rapat virtual saat ini. Daffa akan mengantar Anda ke ruangan lain untuk menunggu Kak Riswan,” ucapnya pamit kemudian melangkah dengan tergesa. “Mari Nyonya, Anda bisa menunggu Riswa
Akram tertegun membaca pesan dari adiknya. Papa dan mamanya sudah curiga mengenai Arum. Akram juga tidak menduga jika orang tuanya bertemu Alme. Kini Akram teringat saat bertemu di mall, Alme menceritakan perihal gaun pestanya yang akan dipasangi banyak mutiara. Ternyata pesta yang dimaksud adalah pesta yang sama dengan yang dibicarakan papanya kemarin. Akram tidak bisa menyalahkan keluguan gadis kecil itu. Namun ia heran mengapa papanya belum tahu kalau ia dan Arum suami istri? Ia jelas-jelas memperkenalkan diri sebagai suami Arum di depan Faiz, Raiz dan kedua keponakan kembarnya. Ia tidak ingin pemuda itu belakangan mengetahui hal itu dari orang lain dan berburuk sangka pada adiknya. Dalam benaknya, Akram hanya bisa menduga jika Faiz yang meminta keponakannya untuk tidak memberitahu orang lain tentang hubungannya dengan Arum. Mengingat kepribadian Faiz tahu batasan, sampai saat ini pemuda yang berani menyanggupi tantangan darinya itu tidak bertanya apapun tentang istrinya. "Kamu k
Nara menghampiri Akram yang selalu tersenyum melihat foto-foto yang baru saja dicetaknya. Pintu kamar memang tidak ia tutup. Sepertinya gadis kecil itu penasaran dan ingin turut melihat. “Tu apa Om?” tanya Nara yang berdiri di dekat kaki Akram. Akram menunduk dan meletakkan hasil print kemudian mendudukkan Nara di atas meja kerjanya. “Ini dedek bayi yang ada di perutnya Tante Arum,” kata Akram menunjuk foto USG yang dicetaknya full di selembar kertas. “Dede baina macih tidul?” Alis kecil itu nyaris bertaut. Akram mengulum senyum dan mengangguk. “Tapi tidurnya suka menendang,” bisik Akram. “Nala juda Om. Papa celin bilan aduh, pelut papa catit, Nala tendan waptu bobo,” lapornya. “Terus papanya Nara marah?” tanya Akram lagi. Nara menggeleng lalu tangan kecilnya melambai meminta Akram mendekat. Putri Danu dan Wina itu kemudian membisikkan sesuatu. Detik berganti keduanya tertawa. Akram dengan suara tawanya yang keras, sementara Nara cekikikan. “Nara mau cetak foto juga?” tawar Akra