Memang bukan jomlo Fatur.... Bagaimana rasanya ya jadi Akram yang disindir sama omnya? Terima kasih buat kalian yang masih setia baca kelanjutan cerita ini. Lanjutannya nanti malam lagi ya. Follow penulisnya biar dapat notifikasi update.
Arum mengernyit mendengar suara bel berbunyi. Seingatnya sejak tinggal di rumah ini, bel itu hanya berbunyi saat ada orang asing yang datang. Jika bukan kurir pengantar pesanan atau paket, maka orang itu pasti tamu Akram. Akan tetapi Akram sama sekali tidak memberitahu padanya seseorang akan datang. Wina sedang menidurkan Nara kembali ke kamar sehingga dirinya yang bergegas melihat siapa yang datang. Mendengar nama Wina yang dipanggil tamu itu, Arum menduga itu adalah tamu Wina. Tanpa curiga dan mengecek di jendela siapa gerangan tamu yang datang, Arum langsung memutar kunci. Namun saat daun pintu terbuka dan melihat wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya, kaki Arum mendadak lemas. "Arum?" Wanita yang mengenakan jilbab syar'i itu terkejut. Sudah begitu lama mereka tidak bertemu. Kini di matanya Arum tampak jauh lebih cantik dari sebelumnya. "I-Ibu Hastuti?" lirih Arum mengigit bibir bawahnya cemas. "Kamu... kenapa bisa ada di sini? Di kontrakannya Akram?" tanya Hastuti melang
Melihat keponakannya masih bergeming bak patung museum, Hastuti kembali mengulang tanya, “KE MANA?!!”"Diskotik.”Satu kata dari mulut Akram membuat mereka menunjukkan beragam ekspresi. Ardan membelalak lalu menggeleng. Novita mengernyit lalu kedua bahunya terkulai lemas. Sebagai dokter, dirinya tahu benar seperti apa efek alkohol.Haslan memejamkan mata dan kedua tangannya terkepal kuat. Hastuti terperangah lalu menutup mulut dengan telapak tangannya. Sementara Latief terhenyak dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Lain halnya Farah yang gigit jari dan lebih fokus memperhatikan para iparnyaWanita itu tidak begitu terkejut karena ia pernah sekali melihat dan mengurus orang mabuk. Bukan orang lain, melainkan putranya sendiri. Untuk pertama kalinya Riswan mabuk karena stres setelah mereka berdebat perkara urusan resto. Sejak saat itu Farah mengizinkan putranya memilih jalan sendiri untuk berkarir di Pradipta Event Organizer.“Akram minum karena kepala Akram makin pusing dengan pe
Novita menjelaskan garis besar penuturan Dokter Dwi. Mereka turut menyesal membuat Arum stres dan berakibat fatal seperti tadi. Terutama Latief dan Haslan yang tidak bisa menahan diri memberi pelajaran pada Riswan dan Akram. Mereka terbawa emosi karena kekecewaan yang mendalam. "Apa maksud ucapan Arum tadi, Ram?" tanya Novita. Akram menoleh menatap mamanya kebingungan. "Alasan kenapa dia tidak mau dibawa ke rumah sakit?" tanya Hastuti memperjelas maksud ucapan adik iparnya. Latief menghenbuskan napas dari mulutnya sampai kedua pipinya menggembung. Pria itu kemudian mendongak menatap adik iparnya. Bukankah sudah jelas alasannya? “Dia tidak ingin terekspos Novita. Kau bisa bayangkan apa yang akan terjadi saat orang-orang melihat kalian membawanya ke rumah sakit? Apa kau mampu mencegah orang-orang di rumah sakit menutup mulut tanpa bergosip?” Novita terhenyak karena baru sadar jika situasi sekarang berbeda dengan biasanya. Yang terpikirkan olehnya tadi hanya seorang pasien yang butuh
Setelah tamu yang tak diundang itu pamit, mereka lega. Farah dan Hastuti mengajak mereka semua makan siang terlebih dulu. Bagaimanapun, mereka tidak boleh tumbang disaat ada masalah seperti ini. Sempat menduga jika yang datang adalah orang lain, yang mungkin akan curiga dengan situasi di rumah itu. Kali ini mereka menunggu kedatangan Danu dan Wina. Tadinya Ardan ingin meminta keponakannya mengundang Zayyan Pradipta, tapi Latief tidak menyetujuinya. “Mengudang seorang pebisnis seperti Zayyan Pradipta pasti akan mengundang tanya Ardan. Kami juga sangat penasaran, tapi baiknya ditunda dulu. Kita tidak bisa membuatnya terseret dalam kasus ini meski dia terlibat sejak awal,” saran Haslan. Adik iparnya akhirnya mengangguk paham. Hastuti yang duduk di samping adiknya hanya bisa mengusap pundaknya. “Untung yang datang tadi Fatur. Kamu ketiduran lagi di kantor sampai dia repot datang ke sini minta tanda tangan kamu?” sindirnya melirik Akram. Akram tidak menjawab tidak juga membatah. Dirinya
Akram keluar dan mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah file pada sepupunya itu. Riswan rasanya ingin mencakar wajah lesu Akram. Ucapan papanya tadi benar adanya. Kali ini ia terpaksa kembali menyembunyikan kesalahan Akram lagi. Setelah mengirimkan bukti yang bisa membantah dugaan Rian, sahabat Riswan itu malah mengirimkan stiker gif sebuah pisau yang mencincang bawang. Perasaan Rian pasti sama kesalnya dengannya. Ternyata Akram diam-diam menyimpan rahasia besar. "Rasanya aku ingin benar-benar menelanmu bulat-bulat!" desis Riswan dengan jari kanan yang siap mencekik sepupunya itu. "Daripada kau menelanku, lebih baik kau telan saja rahasia ini," bisik Akram duduk lemas di atas penutup closet. Kemudian ia kembali mendongak menatap Riswan dan bertanya, "Apa papa mamaku sudah pulang?" "Sudah, baru saja. Bareng tadi sama papa mamaku, sama Adina juga. Kenapa? Kau masih menyembunyikan sesuatu?" tanya Riswan. Akram menggeleng kemudian meminta Riswan melakukan sesuatu. Ia tidak tahu ke
"Salah seorang dokter di Singapura Pa. Waktu… waktu Akram temani Tante Uti berobat ke sana, Akram konsultasi," jawabnya jujur. Kala itu ia benar-benar tertekan karena selain masalahnya dengan kedua orang tuanya, masalahnya dengan Arum, Akram juga merasa bersalah karena sempat menolak permintaan Haslan dan Hastuti yang memintanya menangani Yayasan HAS. "Dan itu akan membuat kami menyesal seumur hidup kalau kami juga sampai kehilangan kamu. Kehilangan anak itu sama seperti kehilangan separuh nyawa Akram,” akunya. Akram mengangguk setuju. Calon anaknya sendiri belum lahir, tapi rasa takut kehilangan membuatnya seringkali terjaga dan dihantui rasa cemas berlebihan. Apa jadinya jika anaknya benar-benar direnggut darinya? “Dulu saat kita bertengkar dan kamu memilih keluar dari rumah, papa sampai tidak bisa tidur berhari-hari dan menjadi awal papa mengidap insomnia. Saat Firman berpulang, papa benar-benar merasakan ada yang hilang di sini," ungkap Ardan mengusap dadanya sendiri dan kembal
"Kamu kenapa tidak bilang kalau Arum sudah sadar dari tadi?" tanya Akram pada Adina yang hendak beranjak saat melihat kedatangan kakaknya yang menghampiri mereka dengan tergesa. "Supaya kamu tidak mengganggu kami bergosip," sindir mamanya cemberut. "Sudah bicara dengan papamu?" Akram mengangguk kemudian duduk melantai di sisi tempat tidur dan memeluk kaki mamanya. Kemudian meletakkan kepalanya dengan manja di pangkuan Novita. Matanya kembali berkaca-kaca ketika mengingat cerita papanya tadi. Melihat Arum melewati kehamilannya, ia juga yakin jika dulu mamanya mungkin lebih menderita karena hamil diusia yang masih sangat muda. "Terima kasih sudah mempertahankan Akram, Ma. Terima kasih juga sudah mau memberikan Akram kesempatan hidup dan kesempatan untuk merasakan jadi orang tua. Akram janji sama Mama, Akram akan hidup bahagia sama Arum. Akram ingin jadi anak, suami, kakak dan ayah yang bisa dibanggakan," ungkap Akram dengan air mata yang kembali jatuh di lekuk hidung mancungnya. Diam-
Lima hari berlalu sejak rahasia besar itu terkuak. Keadaan Arum pun mulai membaik. Sekarang ia sudah tidak diharuskan selalu berbaring di tempat tidur. Sore ini Akram pulang dari kantor dan langsung mencari keberadaannya. Semalam ia menginap di rumah orang tuanya agar tidak mengundang kecurigaan karena terlalu lama menginap di rumah omnya. Mendapati kamar tamu yang ditempatinya selama beberapa hari ini bersama Arum dalam keadaan kosong, membuatnya panik seketika. "Arum! Arum! Tante Uti…" panggil Akram yang beranjak ke dapur. Tapi yang didapatinya hanya ART paruh waktu tantenya yang sudah selesai merapikan dapur dan bersiap untuk pulang. "Bi, Bi Ama, Bibi lihat…." Telunjuk Akram mengarah ke arah pintu kamar tamu. Wanita paruh baya ini memang baru kembali bekerja hari ini sehingga menurut Akram wanita itu belum tahu apa-apa. "Istrinya Nak Akram ada di belakang, lagi makan jambu sama ibu. Kalau bapak belum pulang, Nak Alya cuma pulang sebentar, makan dan mandi, lalu pamit lagi ke tempa
"Sayang, maaf ya hari ini aku tidak bisa temani mama kamu ke acara hajatan temannya. Sahabatku sakit, dia tinggal sendirian di kamar kostnya. Rencananya setelah belikan dia makan, aku mau bawa dia berobat ke klinik atau rumah sakit dekat kostnya," jelas kekasih Fatur yang terdengar berat hati menyampaikannya. Fatur melirik pintu kamar mamanya sejenak lalu membalas, "Iya, tidak apa. Nanti aku bilang sama mama. Kamu antarkan teman kamu berobat dulu. Kamu juga jaga kesehatan biar kamu tidak ikutan sakit. Belakangan cuaca memang tidak menentu." "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang pengertian. Makin sayang deh sama kamu," gombal gadis itu tersenyum dari layar ponsel Fatur. Setelah saling balas dengan salam, akhirnya panggilan video itu mereka akhiri. Fatur entah mengapa merasa gamang. Mamanya sudah antusias ingin mengajak kekasihnya itu untuk menghabiskan waktu bersama. Rencananya setelah mampir sebentar ke acara hajatan teman, mamanya berniat ingin mengajak gadis yang hendak dilamar Fa
Dua minggu berlalu setelah acara lamaran Riswan, kini mereka kembali merasakan suasana pesta. Kali ini mereka berkumpul di sebuah taman wisata yang menjadi lokasi akad sekaligus resepsi pernikahan Lintang dan Tasya. Kedua mempelai itu memang memilih taman ini agar segala rangkaian acara berpusat di satu tempat saja tanpa dekorasi berlebih. "Gugup?" tanya Akram pada sahabatnya yang sejak tadi melirik jam tangannya resah. "Mungkin," jawab Lintang mengatur napasnya berkali-kali. Akram mengulum senyum melihat Lintang meremas lutut kirinya. Menyelenggarakan acara di area outdoor seperti ini tidak juga mampu membuatnya bernapas lega. "Di taman ini aku sama Tasya pertama kali ketemu," ungkapnya mengenang kejadian beberapa tahun lalu. "Dan akan jadi gerbang pernikahan kamu," sambung Bian. "Aku sendiri merasa dejavu. Arum juga bilang begitu tadi. Dulu kami menikah di taman belakang Panti Asuhan Pradipta. Nuansanya kurang lebih seperti ini, meski ya… dekorasi kalian lebih mewah. Aku nikahny
Mendengar Alyana menginginkan bulan, rasanya semua tulang Ranu retak. Sempat berpikir mungkin jantungnya juga ikut berhenti berdetak. Otaknya malas berpikir karena semakin lama ia justru putus asa karena tidak kunjung menemukan solusi. Di tengah keramaian Kota Hongkong, Ranu justru merasa sepi. Setelah mengikuti kompetisi game hari ini, ia meminta timnya untuk beristirahat lebih awal. Jangan sampai mereka menyadari jika pikirannya sedang kacau. Berjalan sendiri di trotoar sembari menikmati pemandangan kota malam hari, Ranu hanya berusaha untuk menyegarkan pikiran. Mungkin saja akan menemukan ide baru saat mengamati sekitarnya. Berbeda dengan Jakarta, di tempatnya saat ini lebih banyak pejalan kaki. Melihat beberapa detik lagi lampu lintas akan berubah warna, Ranu menghentikan langkah. Ia menunggu sampai lampu lalu lintas berubah hijau agar bisa menyebrang jalan. Mendongak menatap langit, Ranu tersenyum melihat bulan purnama yang indah itu. "Sulit membawa bulan itu padamu, Al. Kalau
Bian baru saja selesai memberikan kuliah. Rasa penasarannya akan keributan para mahasiswi di depan ruangannya tidak terbendung. Pasalnya, ruangannya yang berada di pojok itu sama sekali tidak memiliki objek menarik. Bukan karena dirinya tidak memiliki barang yang berkenaan dengan passion atau background dirinya sebagai dosen lingkungan. Akan tetapi, baru dua hari ini ruangannya dipindahkan sehingga belum sempat berbenah. Lantas, hal apa yang menarik di sana dan membuat mereka berkerumun? "Kalian kenapa berkumpul di depan ruangan saya?" tanya Bian. "Eh, Pak Bian, itu loh Pak, ada model cover novel ala CEO yang lagi nongkrong di ruangan Bapak," jawab salah seorang mahasiswi dengan mata berbinar. Bian akhirnya berdeham sehingga barisan di depannya mulai bergeser memberinya akses jalan. Ketika netranya mendapati punggung tegap seseorang di balut jas mahal, Bian kembali berdeham. Pria dengan kedua tangan bersembunyi di saku celananya itu berbalik tanpa mengulas senyum. Justru Bian ditat
Begitu mendengar Adijaya Ufraj meminta Riswan mengajak Risa dan putranya datang di acara resepsi pernikahan Akram dan Arum, Latief dan Farah terkejut. Mereka tidak tahu alasan dibalik keputusan pria lanjut usia itu. Riswan langsung mengiyakan, bahkan akan mengajak wanita pilihannya itu untuk segera menemui sang kakek. Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Diam-diam Farah berharap suaminya juga tidak akan keberatan. Selama ini Farah seringkali memperhatikan Risa ketika memarkir mobilnya tidak jauh dari toko pakaian anak milik wanita itu. Latar belakang wanita itu juga sudah ia ketahui. Ibu tunggal itu adalah seorang yatim piatu. Pernikahan pertama Risa penuh siksaan ketika mendiang ibu tirinya sengaja menjualnya pada seorang juragan sapi. Kemudian menikahkan Risa dengan putra pertamanya yang pemabuk. Sayangnya, suami Risa seringkali menyiksanya dan parahnya berselingkuh saat Risa hamil. Berbulan-bulan hidup luntang-lantung dengan kerja serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup bersama pu
Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k