Yang bikin kalian gemes itu siapa sih? Abang Akram yang dikasih perhatian dikit langsung semangat atau Arum yang jutek tapi tetap saja diajak jalan-jalan? Beruntung amat ya jadi bumil jutek.... :)
"Selamat datang," sapa Bayu, CEO Pradipta Furniture itu dengan ramah. Pria itu adalah salah satu menantu dari atasan Arum, Darwenda Pradipta. "Kenapa kaget begitu Arum? Saya ini kakak iparnya Safwan, jadi tidak perlu terkejut melihat keberadaan saya di sini. Istri saya yang sudah merengek minta ketemu kamu." "Nona Biya juga di sini?" tanya Arum sedikit terkejut. Sudah lama mereka tidak bertemu. "Pokoknya aku nggak mau tahu Saf! Kamu yang salah! Aku itu mau telur dadar yang matang sempurna, nggak gosong! Kamu cium sendiri, ada bau gosongnya nih!" protes seseorang yang terdengar sedang kesal. "Ya Allah Bie... ini tuh sudah yang ketiga kalinya. Stok telur bisa habis. Lagian ini tuh nggak gosong, cuma berubah warna dari kuning jadi coklat, nggak sampai hitam kok? Dicoba dulu ya Bie yang jutek tapi cwantiek," bujuk lawan bicaranya dengan sabar. Masih dengan bibir yang mengerucut wanita itu meraih sendok dan mulai memakannya. Sembari mengunyah, wanita hamil itu kembali berucap, "Tapi tet
"Ti-tidak. Dia tidak terlihat seperti dokter," cicit Arum. Akram terkekeh dan mengangguk karena ucapan istrinya tidaklah salah. "Dia dokter umum, sementara pendidikan spesialis radiologi di Surabaya. Dia pulang ke sini cuma buat nikah sama Tasya, instruktur yoga yang datang sama dia," jelas Akram yang kembali terdiam menatap Arum. Ditatap intens seperti itu membuat Arum jadi risih. "Kenapa? Mau adu mulut?" Akram tertawa sembari menggeleng kemudian duduk di sisi tempat tidur. "Begini, nanti malam aku tidak pulang. Aku sudah janji sama mama menginap di sana kemarin, tapi tertunda jadinya malam ini. Apa kamu keberatan?" tanya Akram yang penasaran ingin tahu reaksi Arum seperti apa. "Kalau perlu yang lama. Kalau saja aku tidak sadar diri ini tempat kamu, aku pasti minta kamu tidak perlu puang saja sekalian sampai hari aku melahirkan. Tujuan kita nikah cuma buat dia," jawab Arum mengusap perutnya. "Apa tidak mungkin berubah jadi untuk kita? Untuk kita bertiga," ucap Akram yang membuat
Lama terdiam, Akram membayangkan hari pernikahannya dengan Arum. Gaun sederhana yang dipilihnya dengan bagian rok sedikit lebar menjuntai hingga di bawah lutut membalut indah tubuhnya. Dengan gaun itu, tidak akan ada yang menduga jika Arum sedang hamil. Tania bahkan mendandaninya dengan penampilan berbeda dari biasanya. Lafaz ijab qabulnya kembali terngiang membuat sekujur kulit tubuhnya meremang. Bagai roll film, kejadian itu terputar berulang kali dalam pikirannya. 'Sekarang fokus saja dengan kebahagiaan kalian. Tidak semua hal yang berawal dengan buruk akan berakhir dengan buruk juga. Takdir tidak ada yang bisa menebak dan usaha manusia hanya manusia itu sendiri yang memberinya limit.' Akram memahami penuturan Delia saat menceritakan kisah putri dan menantunya. Sahabat dari Riswan itu memang pernah hilang bahkan dinyatakan meninggal. Putrinya memiliki keyakinan jika laki-laki yang dicintai dan juga mencintainya akan kembali dalam pelukannya. Untuk dirinya dan Arum, bisakah demiki
Akram pulang dini hari dan mendapati istrinya sudah pulas. Setelah membersihkan dirinya, ia bergegas mengganti pakaian dan tidur. Ikut rapat di posko induk papanya membuatnya benar-benar kelelahan. Bagaimanapun juga ia harus tahu strategi kampanye dari tim sukses yang mengusung papanya. Keesokan harinya saat mereka bangun, kecanggungan untuk memulai bertegur sapa benar-benar menyiksa dua anak manusia itu. Mereka sudah jadi pasangan suami istri tapi tingkah mereka seperti remaja labil. Di depan keluarga Danu mereka akan berpura-pura baik-baik saja, tapi saat masuk ke kamar, atmosfer akan berubah. Hal itu berlangsung hampir seminggu dan keduanya patut diberi penghargaan sebagai aktris dan aktor berbakat. Bahkan ketika Adina mampir sepulang dari kampus, mereka tampak seperti pasangan bahagia. Hanya satu hal yang tidak berubah, setiap malam Akram akan mengusap perut Arum dan mengajak calon anaknya itu bicara apa saja. Tidak ada lagi usapan atau kecupan di kening untuk Arum. Siang ini Ak
Sore ini Akram pulang dan ia tidak pernah berani menaruh harapan Arum akan membukakan pintu untuknya. Selayaknya seorang istri yang menyambut suaminya pulang. Baru saja merogoh saku untuk mengambil kunci rumahnya, pintu sudah lebih dulu dibuka Arum. Senyum Akram mau tidak mau langsung merekah. "Tolong buangkan sampah ini, kompor di dapur masih aku biarkan menyala," kata Arum sambil menyodorkan kantong kresek putih. Senyum Akram seketika luntur dan ingin sekali ia membenturkan kepalanya di tembok. Haslan kerap kali mengingatkan padanya bahwa jangan berharap sesuatu secara berlebihan, karena nantinya akan menelan pahitnya kecewa. Akram baru saja membuktikannya dan dadanya sesak seketika. "Ya sudah kalau tidak mau, aku saja," kata Arum hendak memakai sendal jepit milik Wina di teras rumah. "Jangan! Aku tidak menolak, cuma kaget saja. Kamu masak apa?" tanya Akram beralasan. Sekedar mengalihkan pembicaraan atau mungkin rasa kecewanya. Nyatanya, hatinya sudah seperti bahan sambal ulek ya
Kesalahanku berlapis tak sanggup kutepis Dalam barisan hari aku diselimuti pesimis Penyesalanku berawal bagai gerimis Kecil rintiknya semakin kuat mengikis Berharap dosa dibasuh hujan tangis Maaf dan pengampunan… aku mengemis Ditatap binar mata mereka bagai pelangi yang terlukis Egoiskah keputusanku yang pragmatis Ardan termenung setelah membaca bait puisi yang ditulis putranya. Ia tahu jika Akram sering menyalurkan hobinya menulis puisi atau syair saat senggang. Sejak kecil, menjadi penulis memang menjadi impiannya. Ardan kembali fokus pada putranya. Akram tertidur dengan kepala yang bertumpu di lengannya yang ditopang di permukaan meja, sedangkan tangan kanannya masih memegang pulpen. Ardan tersenyum karena tumpukan map cukup tinggi di sisi kanan meja kerja itu pertanda pekerjaan putranya sudah selesai. Putranya sepertinya kelelahan menyelesaikan semua itu setelah beberapa hari menyelesaikan pekerjaan di Pulau Jawa. Tidak dipungkiri beberapa hari ini Akram memang menemaniny
"Kalau papa… lebih baik disakiti, daripada kehilangan. Waktu akan jadi penyembuh, tapi sesuatu yang hilang, waktu pun tidak bisa mengembalikannya," ungkap Ardan terdengar lirih. Akram menyadari jika papanya pasti kembali teringat almarhum adiknya. Akram terdiam melihat mobil papanya melaju meninggalkan halaman kantornya. Jawaban papanya membuatnya terhenyak. Papanya lebih memilih untuk disakiti daripada harus kehilangan. Papanya pamit pulang setelah ia berjanji akan ikut makan malam bersama di restoran milik keluarga. Farah mengundang mereka untuk merayakan ulang tahun satu dekade restoran mereka. Semoga saja tidak ada drama baru. Selain itu, papanya terkejut sudah melewatkan waktu cukup lama. Katanya tidak ingin terlambat karena malam ini rekan mamanya ada yang menikah dan mengundang mereka berdua. Jika bukan karena panggilan telpon dari istrinya, mungkin Ardan masih betah berbincang dengan putranya. Sesuatu yang langka untuk mereka berdua. Menatap langit sore, Akram teringat Aru
Ardan dan Novita tiba di Hotel Pradipta tempat berlangsungnya pesta. Malam ini mereka menghadiri resepsi pernikahan salah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Novita. Selain itu, ayah dari mempelai wanita adalah pemilik rumah sakit swasta yang merupakan senior Novita dari almamater yang sama. "Banyak sekali ya tamunya, Ma," kata Ardan yang tidak menduga dengan jumlah tamu undangan malam ini mencapai ribuan. Baru beberapa saat ia bisa lepas dari banyak orang yang turut menyapa dan mengajaknya berbincang. "Selain karena mempelai wanitanya artis, senior mama itu juga terkenal di kalangan dokter. Dia pemilik rumah sakit swasta di Sulawesi Tenggara. Sementara mempelai laki-laki adalah dokter di rumah sakit tempat mama kerja. Dan Papa tahu? Mempelai laki-laki itu putra pengusaha batu bara di Kalimantan. Jadi wajar saja kalau tamu undangannya sebanyak ini. Mama juga ingin sekali Pa, buat acara resepsi untuk pernikahan Akram sama Adina kelak kalau mereka menikah. Meski