Ardhan seketika bangun dari posisi tidurnya begitu mendengar suara Prama. Ia terkejut bukan main melihat kehadiran sepasang kekasih itu di tempat tersebut. “Apa yang kalian lakukan di sini?”“Harusnya aku yang bertanya, sedang apa kalian berdua di sini?” tanya Prama balik. “Anda tidak ada kapok-kapoknya ya bikin masalah dengan saya. Kinanthi itu pacar saya!”“Siapa yang janjian di sini!” teriak Ardhan, ia tak terima dituduh janjian dengan pacar Prama. “Hei Kinanthi, kenapa kamu di sini?”Perempuan yang kini menjadi menjadi pusat perhatian hanya diam, ia tampak bingung menjelaskan alasannya. Dan hal itu membuat Ardhan semakin geram.“Hei cepat jelaskan pada pacarmu itu!”“Kenapa kamu mau diajak ke tempat ini, sayang?” tanya Prama.Kinanthi lagi-lagi tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya saja.“Kalian berdua sama saja, bisanya membuat hidupku susah,” gerutu Ardhan, ia lantas mendekat ke arah Prama dan berkata “Harus anda tahu Pak Prama yang terhormat, saya tidak pernah mengajak
Kinanthi menganggukkan kepalanya seolah menegaskan jawabannya.“Bagaimana dia bisa tahu alamat rumahmu?” selidik Prama.Ardhan mengusap wajahnya kasar, akan ada masalah baru ucapnya dalam hati.“Masa kamu lupa, aku pernah bilang kalau ternyata ruma Mas Ardhan itu dekat dengan rumahku,” sahut Kinanthi.“Kamu tidak pernah bilang padaku tentang hal itu,” bantah Prama.“Kamu saja yang lupa, Mas. Aku pernah bilang sewaktu kita di mobil tempo hari.”“Sudah berapa kali dia main ke rumahmu?”Kinanthi tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Belum pernah sama sekali, kita memang tetangga kampung tetapi belum pernah mengunjungi satu sama lain,” ujar Kinanthi. Ardhan tahu jika Kinanthi sedang berbohong pada kekasihnya.Kakek juga merasakan hal yang sama. “Dia menyelamatkanmu,” bisiknya.“Jadi bagaimana ini? Aku sudah boleh pulang?” tanya Ardhan, ia mengaihkan topik pembicaraan.“Silakan pulang, mobil Kinanthi biar diurus anak buahku,” jawab Prama. Ardhan langsung menghidupkan mesin motornya dan
“Mau bagaimana lagi, hadapi mereka,” uajr si Kakek. Ardhan seketika menoleh ke arah lelaki itu, matanya membulat. Bukannya tak sanggup melawan preman-preman itu tetapi ia tidak mau berkelahi dengan mereka.“Tidak ada saran lain, Kek?” tanya laki-laki itu.“Tidak ada cara lain, mereka sudah dekat.”Ardhan memasang kuda-kuda, tangannya terkepal erat. Tetapi yang terjadi selanjutnya sungguh membuatnya tak bisa berkata-kata.“Minggir!! Jalan halangi jalanku!!” usir preman tersebut seraya mendorong Ardhan ke samping. Tentu saja badannya terhuyung ke samping, untung saja tangannya berpegangan pada dahan pohon.“Mereka tidak menyerangku, Kek?” cicitnya.“Hussh, jangan berkata begitu. Kalau sampe mereka dengar bagaimana?” timpal si Kakek.Mereka fokus melihat ke mana para preman itu berjalan, setelah diamati beberapa saat. Lelaki bertubuh besar dan berwajah garang itu berhenti di salah satu tempat makan. Ardhan bisa bernapas lega sekarang.“Ternyata mereka tidak menyerangku, Kek.”“Aku sudeh
“Siapa yang memotretku dan mengirimkannya pada Prama?” batin Ardhan. Ia memandang segala penjuru, menatap satu persatu orang untuk mencari penguntit mereka. Namun ia tak menemukan satupun orang yang dicurigainya sebagai anak buah Prama.“Kamu kenapa, Mas?” tanya Kinanthi dari kaca jendela mobilnya.“Kamu ke sini dengan siapa?”“Sendirian, kenapa?” tanya Kinanthi.“Tidak ada anak buah Pak Prama yang mengikutimu?” selidik Ardhan.“Tidak ada, aku berangkat sendiri,” ucap Kinanthi, suara dan raut wajahnya tampak meyakinkan. “Memangnya kenapa? Kamu ditelepon Mas Prama?”Ardhan tak langsung menjawab, ia tampak berpikir terlebih dahulu. “Sudah katakan saja yang sebenarnya, dia juga berhak tahu,” usul si Kakek. Ardhan lantas menunjukkan foto yang dikirim Prama tadi. Terlihat jelas mereka berdua bergandengan tangan baik dari arah depan maupun belakang.“Siapa yang melakukan hal seperti ini, tega sekali,” ucap Kinanthi. “Orang itu sengaja membuat hubunganku dan Mas Prama kembali renggang. Pasti
“Iya, sesekali kamu lepas kacamata itu,” lanjut sang ayah. “Memangnya kenapa? Tidak bisa?”Ardhan baru akan membuka mulutnya, tiba-tiba terdengar suara Pak Romli. Sesuai prediksi ayahnya tadi, pria itu akan datang ke rumahnya dan ternyata benar. “Malam Pak,” sapanya ramah.“Malam juga Pak,” sahut ayah Ardhan sembari menjabat tangan pria itu, Ardhan juga melakukan hal yang ama. Pak Romli menatap kacamata Ardhan cukup lama hingga membuat pemilik kacamata itu menjadi salah tingkah.“Ada apa kemari, Pak?” tanya ayahnya.“Aku ke dalam dulu, Yah,” sela Ardhan, ia lantas meninggalkan ayahnya dengan Pak Romli di teras rumahnya.“Begini Pak, saya ingin bertanya tentang aquarium. Saya lihat bapakpunya akuarium kecil, itu beli di mana ya,” tanya lelaki tersebut. Ayah Ardhan tertawa kecil mendengar kalimat Pak Romli, ternyata kali ini beliau tidak bertanya tentang kacamata anaknya. Lelaki paruh baya itu menduga jika Pak Romli mengubah pertanyaannya karena tahu jika Ardhan menghindarinya.Ayah Ard
“Membantu kalian?” kata Ardhan. “Mmm ... begini ... lain kali saja ya,” tolaknya.“Apa katamu,” ujar Moritz, ia berjalan mendekati Ardhan dengan emosi namun bisa ditahan oleh Jonas.“Sabar Pak, ini masih pagi,” kata Jonas sembari memegangi tangan seniornya itu.“Kalian itu tidak ada otaknya ya. Pagi-pagi sekali datang ke ruangan orang langsung memaksa untuk dibantu,” ujar Ardhan, ia meninggikan suaranya. “Kalau itu tahu etika tidak?”“Jadi kami yang salah?”“Benar-benar tidak punya sopan santun,” kata Ardhan, ia menggelengkan kepalanya pelan.“Makanya bantu kami, Pak,” pinta Jonas. Wajah anak muda itu memelas, ia berharap akan membantunya.Karena tak tega, Ardhan kemudian bertanya “Memangnya apa masalah kalian?”“Pak Moritz akan ditugaskan untuk bekerja diluar, Pak. Sedangkan aku akan dipindah ke divisi lain,” jelas Jonas. Ardhan tampak berpikir setelah mendengarkan hal itu.“Tidak usah tanya apa penyebabnya,” larang Moritz. “Terpenting sekarang bantu aku bicara dengan Pak Bobby.”“Ka
Kakek yang tadi merasa senang dan bangga padanya kini menjadi khawatir setelah mendengar Ardhan berkata demikian. Bukannya ia tak mau membantu tetapi sosok itu memberikan waktu pada Ardhan agar bisa menyelesaikan masalahnya. Terlebih lagi ia tidak bisa mendekat.“Kamu bisa melakukannya sendiri, tanpa bantuanku atau kacamata itu, “kata si Kakek penuh harap.Ardhan yang sudah lapar mengurungkan niatnya untuk makan siang. Ia harus menghadapi kliennya itu. Semua cara sudah dilakukannya namun sulit sekali untuk mencapai kata sepakat. Karena tidak bisa meminta bantuan pada Kakek, ia akhirnya meminta bantuan pada Pak Bobby.Mamun apa yang didapatkannya, atasannya tidak mau membantunya. Pak Bobby menolak membantu, perubahan sikap lelaki berkacamata tebal itu juga disorot oleh Ardhan. Tadi pagi beliau masih bersikap baik padanya namun siang ini berubah drastis.“Ini karena aku tidak memakai kacamata itu,” pikir Ardhan.Tak ingin keadaan menjadi lebih buruk, begitu kembali dari ruangan boss-nya
“Terserah padamu, yang terpenting aku sudah memberitahumu tentang batas kacamata itu,” jawab si Kakek. Mendengar hal tersebut membuat Ardhan tersenyum, seakan dirinya menang atas si kakek. Yang terpenting baginya sekarang pekerjaannya bisa terselesaikan secepatnya.“Terima kasih, Kek” jar Ardhan.Lelaki itu mulai mengerjakan tugas dari asisten Bobby, ia menelpon perusahaan-perusahaan yang selalu berkelit untuk membayar tunggakan. Dengan kehaliannya berbicara dan merayu pada divisi keuangan perusahaan tersebut akhirnya ada satu perusahaan yang bersedia membayar kewajibannya.Satu perusahaan sudah terselesaikan, kini tinggal menyelesaikan yang lainnya. Namun karena sudah wkatunya untuk pulang, Ardhan langsung menghentikan aktivitasnya. Ia merapikan meja kerjanya, tak lupa menyimpan kacamatanya, setelah itu berjalan menuju pintu ruangannya.Ketika menutup pintu ruangannya, ia berpapasan dengan Pak Bobby yang juga melakukan hal serupa. Pak Bobby menyapa Ardhan lebih dulu, lelaki itu berta
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s