Kakek yang tadi merasa senang dan bangga padanya kini menjadi khawatir setelah mendengar Ardhan berkata demikian. Bukannya ia tak mau membantu tetapi sosok itu memberikan waktu pada Ardhan agar bisa menyelesaikan masalahnya. Terlebih lagi ia tidak bisa mendekat.“Kamu bisa melakukannya sendiri, tanpa bantuanku atau kacamata itu, “kata si Kakek penuh harap.Ardhan yang sudah lapar mengurungkan niatnya untuk makan siang. Ia harus menghadapi kliennya itu. Semua cara sudah dilakukannya namun sulit sekali untuk mencapai kata sepakat. Karena tidak bisa meminta bantuan pada Kakek, ia akhirnya meminta bantuan pada Pak Bobby.Mamun apa yang didapatkannya, atasannya tidak mau membantunya. Pak Bobby menolak membantu, perubahan sikap lelaki berkacamata tebal itu juga disorot oleh Ardhan. Tadi pagi beliau masih bersikap baik padanya namun siang ini berubah drastis.“Ini karena aku tidak memakai kacamata itu,” pikir Ardhan.Tak ingin keadaan menjadi lebih buruk, begitu kembali dari ruangan boss-nya
“Terserah padamu, yang terpenting aku sudah memberitahumu tentang batas kacamata itu,” jawab si Kakek. Mendengar hal tersebut membuat Ardhan tersenyum, seakan dirinya menang atas si kakek. Yang terpenting baginya sekarang pekerjaannya bisa terselesaikan secepatnya.“Terima kasih, Kek” jar Ardhan.Lelaki itu mulai mengerjakan tugas dari asisten Bobby, ia menelpon perusahaan-perusahaan yang selalu berkelit untuk membayar tunggakan. Dengan kehaliannya berbicara dan merayu pada divisi keuangan perusahaan tersebut akhirnya ada satu perusahaan yang bersedia membayar kewajibannya.Satu perusahaan sudah terselesaikan, kini tinggal menyelesaikan yang lainnya. Namun karena sudah wkatunya untuk pulang, Ardhan langsung menghentikan aktivitasnya. Ia merapikan meja kerjanya, tak lupa menyimpan kacamatanya, setelah itu berjalan menuju pintu ruangannya.Ketika menutup pintu ruangannya, ia berpapasan dengan Pak Bobby yang juga melakukan hal serupa. Pak Bobby menyapa Ardhan lebih dulu, lelaki itu berta
“Ayah ini bicara apa? Mana mungkin pacarnya suka padaku,” bantahnya. Ardhan tak habis pikir bagaimana ayahnya bisa mengatakan hal tersebut.“Kamu ini gimana? Masa tidak tahu, tidak merasa kalau orang itu cemburu padamu.”“Aku tidak berpikiran ke arah itu, Ayah,” jawabnya.“Apa pacarnya cantik? Semenarik apa perempuan itu?” selidik si ayah.“Orang itu adalah Pak Prama, pacar mbak Kinanthi, Yah.”Ayahnya beraksi kaget, ia tak menyangka orang yang berbicara dengan anaknya tadi adalah pacar Kinanthi, wanita yang pernah dipuja dan dibanggakan oleh istrinya. “Jadi pria tadi itu pacar Kinanthi?”“Benar Ayah, ternyata dunia sempit ya,” respon Ardhan. Ayahnya tertawa kecil, pembahasan mereka tentang lelaki yang tidak peka pun berlanjut. Bahkan kedua lelaki dewasa itu bertukar cerita tentang pengalaman mereka diabaikan oleh ibu Ardhan karena tidak peka.Mereka terus bercerita sampai tidak terasa sudah tiba di depan rumahnya. “Lama sekali perginya, banyak yang harus dikerjakan ya,” tanya si Ibu
“Itu sungguhan, apa yang tertulis di situ adalah hasil kerja keras anda. Tidak pernah sebelumnya ada yang melakukan hal seperti ini, kita melakukan penagihan dan mereka langsung membayarnya,” ungkap pegawai tersebut.Ardhan tentu saja senang bukan main melihat hasil dari kerja kerasnya, ia terus tersenyum. Namun kedatangan pegawai tersenyum tak hanya membawa berkas itu saja. Ia mewakili asisten Pak Bobby memberi berkas yang lain.“Ini tugas Pak Ardhan selanjutnya ya, tolong suruh mereka menyelesaikan tunggakannya.”“Baik, akan kuusahakan Bu.”Pegawai tersebut kemudian pergi dari ruangan tersebut, kini tinggallah Ardhan sendiri. Lelaki itu sedang merasa dilemma. Ketika dirinya sedang kesulitan memilih, sosok Kakek datang membantunya.“Aku tahu kamu sedang kebingungan, lebih tepatnya membuat dirimu sendiri bingung,” ujar lelaki itu.“Kakek datang dan pergi sesukamu saja,” gerutu Ardhan.“Kamu sudah lihat daftar perusahaannya ‘kan, tidak ada perusahaan yang bandel. Jadi kamu tidak perlu
“Jangan-jangan apa, Kek? tanya Ardhan. Kakek diam seribu bahasa, ia hanya menatap lelaki dihadapannya itu. “Perusahaan fiktif?”“Mungkin.”“Coba aku cari di internet dulu,” ujarnya. Ardhan lantas mengambil ponselnya lalu mencari perusahaan tersebut. Dan ternyata perusahaan tersebut ada dan letaknya memang sedikit jauh dari perusahaannya.“Jadi memang ada ya,” kata si Kakek.“Ada Kek, hanya saja aku baru dengar sekarang,” lanjutnya. Mengetahui jika perusahaan tersebut tidak fiktif maka ia langsung menelpon untuk menagih tunggakan tersebut. Cukup lama untuk staff perusahaan tersebut mengangkat teleponnya.Ardhan hanya bisa mendengus kesal, akhirnya pihak perusahaan tersebut mengangkat panggilannya. Suara pegawai perempuan terdengar merdu menyapanya. Ketika mendengarkan pegawai terebut berbicara, ia teringat seseorang.Suara perempuan itu mirip dengan suara kekasih Prama, Kinanthi. Ardhan mencoba kembali ke tujuan awal dirinya melakukan panggilan tersebut. Ia fokus pada pembicaraannya, A
“Kami berbicara banyak hal, Pak. Dan sifatnya rahasia, hanya kedua belah pihak saja yang boleh tahu,” goda Ardhan, ia sengaja memancing amarah Prama.“Kamu benar-benar suka dengan Kinanthi ya?”“Omong kosong apa itu, Pak? Semenarik apa pacar anda sampai saya suka dengannya?” tanya Ardhan sarkas.“Jaga mulut anda ya, Pak,” kata Prama mengingatkan Ardhan. Kinanthi mulai takut jika keduanya akan bertengkar di tempat itu. Hal yang sama juga dirasakan oleh si Kakek, ia segera menyuruh Ardhan untuk pulang.“Makanya jangan sok tahu, Pak Prama. Apa yang kami bicarakan hanya tentang perusahaan kami saja, tidak ada pembahasan tentang perasaan kami satu sama lain,” jelas Ardhan. Sebenarnya ia ingin bicara lebih banyak namun Kakek menariknya untuk segera pulang.“Sudah, ayo pulang,” ajak si Kakek.Ardhan menuruti perkataan si Kakek untuk tak meneruskan perdebatannya dengan Prama. Selain ingin cepat pulang ke rumah, ia juga tak ingin bertengkar di perusahaan orang lain. Bisa-bisa ia dipecat oleh a
“Kenapa harus kapok? Saya ke sini karena pekerjaan bukan karena yang lain,” jawabnya.Prama tak merespon perkataan Ardhan, ia hanya menatap lelaki itu dengan tatapan yang sulit diartikan.Karena Ardhan ingin segera pulang, ia pun meninggalkan Prama begitu saja.“Jangan bohong, Pak. Saya tahu kantor anda itu tutup setiap sabtu dan minggu selalu libur lalu kenapa anda ke mari? Siapa yang menyuruh anda, Pak Ardhan?”“Atasan saya, beliau meminta saya datang ke mari untuk mengurus sisa tunggakan perusahaan ini,” jawab Ardhan ketus. Ia sudah mengatakan semuanya dengan jelas, kini saatnya untuk kembali ke rumah.Ardhan meneruskan langkahnya menuju area parkir, ia memakai helm dan jaket dengan buru-buru. Bukan karena ia takut dengan Prama, ia hanya tak mau terpancing dan membuat malu perusahaannya.“Tenang saja, tidak usah terburu-buru begitu. Jangan tunjukkan kalau kamu menghindari dia,” kata Kakek mengingatkan sikap Ardhan.“Baik Kek, aku akan bersikap biasa saja. Terima kasih karena menging
Ardhan menantikan kalimat selanjutnya yang akan Kakek katakan. “Sebaiknya kamu ... pikir sendiri saja,” lanjut si Kakek, ia menggoda Ardhan. Lelaki itu hanya bisa mendengus kesal sembari membuang muka. “Hadapi saja,” ujarnya. Ardhan kemudian masuk lagi ke dalam warung untuk menyantap makanan yang dipesannya tadi. Benar saja ketika makanannya tinggal setengah porsi, kedua orang tersebut ikut makan dengannya. Jonas melirik kemeja yang dipakai oleh Ardhan, dibenaknya pasti ada banyak pertanyaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Moritz, bedanya mantan teman Ardhan itu berani mengungkapkannya. “Kamu habis dari kantor, Dhan?” “Tidak,” jawab Ardhan, ia menyibukkan diri dengan ponselnya. “Kenapa pakai kemeja lengkap?” tanya Moritz lagi. “Kenapa tidak boleh? Terserah aku mau berpakaian apa, tidak semua hal wajib kamu ketahui,” jawab Ardhan ketus. “Tinggal jawab saja, kenapa ketus begitu?” ucap Moritz. Ardhan tak merespon lai ucapan mantan temannya itu, ia segera menghabiskan makanannya
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s