“Kenapa harus kapok? Saya ke sini karena pekerjaan bukan karena yang lain,” jawabnya.Prama tak merespon perkataan Ardhan, ia hanya menatap lelaki itu dengan tatapan yang sulit diartikan.Karena Ardhan ingin segera pulang, ia pun meninggalkan Prama begitu saja.“Jangan bohong, Pak. Saya tahu kantor anda itu tutup setiap sabtu dan minggu selalu libur lalu kenapa anda ke mari? Siapa yang menyuruh anda, Pak Ardhan?”“Atasan saya, beliau meminta saya datang ke mari untuk mengurus sisa tunggakan perusahaan ini,” jawab Ardhan ketus. Ia sudah mengatakan semuanya dengan jelas, kini saatnya untuk kembali ke rumah.Ardhan meneruskan langkahnya menuju area parkir, ia memakai helm dan jaket dengan buru-buru. Bukan karena ia takut dengan Prama, ia hanya tak mau terpancing dan membuat malu perusahaannya.“Tenang saja, tidak usah terburu-buru begitu. Jangan tunjukkan kalau kamu menghindari dia,” kata Kakek mengingatkan sikap Ardhan.“Baik Kek, aku akan bersikap biasa saja. Terima kasih karena menging
Ardhan menantikan kalimat selanjutnya yang akan Kakek katakan. “Sebaiknya kamu ... pikir sendiri saja,” lanjut si Kakek, ia menggoda Ardhan. Lelaki itu hanya bisa mendengus kesal sembari membuang muka. “Hadapi saja,” ujarnya. Ardhan kemudian masuk lagi ke dalam warung untuk menyantap makanan yang dipesannya tadi. Benar saja ketika makanannya tinggal setengah porsi, kedua orang tersebut ikut makan dengannya. Jonas melirik kemeja yang dipakai oleh Ardhan, dibenaknya pasti ada banyak pertanyaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Moritz, bedanya mantan teman Ardhan itu berani mengungkapkannya. “Kamu habis dari kantor, Dhan?” “Tidak,” jawab Ardhan, ia menyibukkan diri dengan ponselnya. “Kenapa pakai kemeja lengkap?” tanya Moritz lagi. “Kenapa tidak boleh? Terserah aku mau berpakaian apa, tidak semua hal wajib kamu ketahui,” jawab Ardhan ketus. “Tinggal jawab saja, kenapa ketus begitu?” ucap Moritz. Ardhan tak merespon lai ucapan mantan temannya itu, ia segera menghabiskan makanannya
“Tunggu sampai dia turun dari mobilnya,” kata si Kakek. Semua orang terlebih Ardhan yang sejak tadi penasaran dengan pemilik bola mata dengan warna yang berbeda tersebut.“Dia buka pintu mobilnya, Kek,” ujar Ardhan pelan. “Kok yang turun perempuan?” lanjutnya. Tampaknya Ardhan kecewa karena yang datang adalah seorang perempuan muda. Sosok cantik itu memakai kacamata hitam. Dari tas dibawa dan selera fashionnya, Ardhan tahu siapa perempuan itu.“Jangan sok tahu, bisa saja orang lain.”Ternyata dugaan Ardhan benar, perempuan yang membuka kacamatanya itu memanglah Kinanthi.“Katanya orang yang datang ke mari memiliki bola mata berbeda, nyatanya dia Kinanthi,” omel Ardhan pada Kakek. “Untuk apa dia ke mari?”“Mana aku tahu,” jawab Kakek singkat.Kedatangan Kinanthi ke tempat untuk menemui saudara yang ternyata pemilik kebun tersebut, yang tidak lain adalah teman ayah Ardhan. Ia diberi hasil panen oleh teman ayah Ardhan karena hubungan keluarga.“Kamu masih mau di sini atau kembali bekerja
“Yang apa? Bicara jangan setengah-setengah begitu.”“Mbak Kinanthi itu sama saja dengan perempuan yang lain, Yah. Cantik, menarik tetapi tidak ada yang ebih baik dari kekasihku,” jelas Ardhan. “Please, setelah ini jangan kait-kaitkanku dengan mbak Kinanthi lagi, Yah,” pinta Ardhan pada ayahnya.“Dikait-kaitkan bagaimana? Ayah hanya ingin tahu pendapatmu saja,” bantah si Ayah sembari turun dari motor.Ibu Ardhan yang tahu suami dan anaknya pulang segera keluar, ia menyambut kepulangan mereka. Wanita penyuka daster itu terkejut mendapati Ardhan cemberut di atas motor. “Apa ini? Kalian kenapa?”“Anakmu itu terlalu sensitif,” ucap ayahnya sembari masuk ke dalam rumah dengan membawa hasil panen mereka.“Ada apa Dhan?” tanya si Ibu yang bingung. “Jelaskan pada Ibu.”“Selalu saja begini setiap ada wanita ibu, tempo hari Ibu alu sekarang ayah. Bisa tidak dia tidak muncul di sekitarku lagi,” cerocos Ardhan yang mana membuat ibunya semakin bingung.“Ada apa ini? Apa yang dilakukan mbak Kinanth
“Gimana apanya?” tanya Ardhan.“Kok gimana apanya, gimana tentang rencana Ibu tadi kamu setuju atau tidak?”“Terserah ibu saja,” jawab Ardhan. “Aku berangkat dulu ya, Bu.”Motor Ardhan mulai bergerak meninggalkan rumahnya, ia berniat mengambil jalan utama namun si Kakek yang mengerti suasana hati Ardhan menyarankannya untuk lewat jalur alternatif saja. “Bukankah kita perlu mengobrol,” kata Kakek.Karena setuju dengan pendapat Kakek maka ia mengubah laju sepeda motornya menuju jalan alternatif. Selama perjalanan ke kantor, Ardhan dan Kakek mengobrol tentang banyak hal, pria tua itu berusaha membuat suasana hati Ardhan menjadi lebih baik lagi. Karena ia tahu akan ada hal lain yang membuatnya suasana hatinya semakin buruk.“Entah mengapa Kakek terkesan berusaha menghiburku,” selidik Ardhan. Ia merasa si Kakek berusaha untuk membuatnya tertawa, karena tak biasanya pria tua itu bersikap demikian. “Apa akan terjadi sesuatu di kantor?”“Aku hanya mencoba menghiburmu, itu saja. Jangan menuduh
Ardhan ingin menjawab pertanyaan si Kakek tetapi ia tak bisa melakukannya karena ada Moritz di ruangan tersebut. Ia bingung harus melakukan apa, lelaki itu hanya menatap kakek dan moritz secara bergantian.“Tenang saja, dia tidak akan mendengar percakapan kita,” ujar si Kakek sembari menjentikkan jarinya.“Wow, Kakek keren sekali,” ucapnya kagum setelah menyadari jika bekas temannya itu mendadak menjadi patung.“Dia tidak menyakitimu ‘kan?”“Aku baik-baik saja Kek, dia tidak menyakitiku. Memangnya kenapa Kek?” tanya Ardhan antusias.“Dia dan Jonas merencanakan sesuatu padamu tetapi aku sudah menggagalkan semuanya,” kata si Kakek. Ardhan berterima kasih pada Kakek karena lagi-lagi menolongnya.“Yasudah kalau kamu baik-baik saja,” ujar Kakek. Ketika Kakek akan menjentikkan jarinya untuk mengembalikan keadaan seperti semula, Ardhan memintanya untuk mengusir Moritz dari ruang kerjanya. Tentu saja Kakek menolaknya, ia menyuruh Ardhan untuk melakukannya sendiri.“Jahat sekali,” gerutunya.
“Aku bertemu Kinanthi di sini?” tanya Ardhan.“Tentu saja tidak, aku hanya sekadar bertanya saja,” ujar Kakek. Pria tua itu sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya setelah mendengar tanggapan dari lelaki itu.“Seandainya aku bertemu Kinanthi di sini, tidak masalah, aku langsung meninggalkannya karena sudah pasti akan muncul si Prama,” kata Ardhan.Kakek tersenyum mendengar itu, pria tua itu tidak menyalahkan pendapat Ardhan karena yang terjadi biasanya memang seperti itu. Tetapi kali ini berbeda, Kinanthi sedang tidak bersama dengan Prama.Apa yang diucapkan Ardhan barusan tidak terjadi, ia tidak meninggalkan perempuan itu. Ia malah langsung membantu perempuan itu saat mobilnya mogok. “Terima kasih Pak Ardhan,” ucap Kinanthi.“Jangan berterima kasih dulu, mobilmu saja belum bisa hidup,” jawab Ardhan, ia masih mengutak-atik mesin mobil Kinanthi. Waktu terus berjalan, terhitug sudah satu jam Ardhan mencoba tetapi ia masih belum bisa memperbaikinya. “Aku menyerah, panggil montir saja.”
“Dia menjadi pria temperamen, bertindak anarki, jika ia kalah maka dia akan depresi seperti waktu itu,” jelas Kinanthi.Ardhan menghentikan laju motornya, ia menepi sebentar sembari memikirkan perkataan Kinanthi barusan. Efek dari sifat Prama tak hanya kena ke mereka tetapi juga ke diri Prama sendiri. Dan sudah pasti akan berbuntut panjang nantinya. Ardhan ingat betul saat Prama mengalami guncanagan mental tempo hari.“Jadi kita putar arah? Lalu bagaimana jika dia melihat kita di tempat lain?” tanya Ardhan.“Kalau begitu, turunkan aku di sini. Mas Ardhan silakan pulang tetapi please jangan lewat depan rumahku,” kata Kinanthi. Ardhan menyetujui pendapat perempuan tersebut, ia menurunkan Kinanthi di tempat tersebut kemudian memutar arah motornya.Ardhan kini dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Kakek sudah berada di belakangnya, ia senang dengan sikap kedua anak manusia itu. Mereka tampak dewasa dalam menghandle situasi tersebut.“Mbak Kinanthi ternyata bisa mengimbangimu ya Dhan,” ujar
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s