“Ini pertanyaan saya yang terakhir, jika ada seseorang yang menyukai mbak Kinanthi tetapi dia secara tidak sengaja membawa mbak menuju situasi yang berbahaya. Apakah mbak Kinanthi tetap mau bersama orang itu?”“Maksud Mas Ardhan apa sih? Aku tidak paham,” tanya Kinanthi.“Kalau begitu lupakan saja,” ucap Ardhan.“Maaf Mas, tetapi saya sungguh tidak paham,” ulang Kinanthi. “Situasi berbahaya apa?”“Tidak usah dipikirkan mbak, tidak penting kok. Saya pulang dulu ya,” kata Ardhan. Ia melanjutkan langkahnya namun Kinanthi menarik tangannya.“Tunggu sebentar, jawaban saya atas pertanyaan Mas Ardhan tadi adalah saya tetap mau bersama orang itu karena saya dia akan melindungi saya,” jawab Kinanthi sembari menatap mata Ardhan. “Maaf kalau jawaban saya kurang tepat tetapi itu jujur dari dalam hati.”“Terimakasih mbak Kinanthi atas jawabannya, saya pergi dulu,” kata Ardhan. Ia membalikkan badan lalu berjalan menuju parkiran. Kakek melihat adegan itu dengan wajah sumringah akhirnya ada interaksi
“Mana mungkin aku tahu, aku tidak mengatur jodohmu,” ucap si Kakek panik ketika ditembak pertanyaan seperti itu oleh Ardhan. “Tetapi tak ada salahnya untuk mencoba mencari tahu. Mungkin memang benar dia jodohmu.”“Kalau gagal lagi bagaimana?”“Cari lagi yang lain, sampai bertemu orang yang pas dan kamu yakin dia jodohmu,” timpal Kakek.“Akan kupertimbangkan nanti, sekarang aku akan pulang dulu,” gumam Ardhan. Motornya bergerak maju ketika antrian sudah semakin berkurang. Sore ini Ardhan kembali melewati jalur alternatif, ia sudah rindu melihat langit sore yang menguning, sekaligus ingin menghibur dirinya yang lelah bekerja seharian ke sana ke mari.Ardhan melambat laju motornya untuk menikmati terpaan angin sore serta melihat keindahan langit. Seakan semua lelahnya menjadi hilang, kakek membiarkan lelaki itu berbuat sesuka hatinya. Ketika sedang menikmati udara sore hari mendadak ada mobil yang mendahuluinya dan berhenti tak jauh dari posisi Ardhan saat ini.“Itu mobil Prama,” kata Ka
“Mbak Kinanthi tidak suka denganku, Bu. Masa setelah pacaran dengan Pak Prama lalu menjalin hubungan denganku. Seleranya turun,” ujar Ardhan.“Memangnya kamu kenapa? Kamu tidak kalah keren dari Prama,” kata ibunya tidak terima.“Tetapi kami tidak setara Bu, aku pegawai sedangkan Pak Prama Boss dari banyak perusahaan. Aku masih pakai motor kalau Pak Prama ke mana-mana naik mobil. Restoran yang kemarin kita datangi itu milik keluarga Pak Prama lho, Bu,” jelas Ardhan panjang lebar. “Jadi tolong jangan berharap lebih antara mbak Kinanthi dan aku.”Ayah dan Ibunya baru sadar akan perbedaan antara anaknya dengan mantan Kinanthi yang sebelumnya, bagaikan langit dan bumi. Kakek yang berada di antara mereka menyimak apa yang dikatakan oleh Ardhan memang benar adanya. Namun cinta bukan melulu soal harta tetapi ada rasa nyaman juga.“Terus bagaimana, kalian tidak bisa lanjut?”“Lanjut apanya? Kami ini teman Bu, rekan bisnis. Tidak ada hubungan spesial di antara kami berdua,” tegas Ardhan.“Ya su
“Entahlah, aku tidak tahu. Mungkin dia merencanakan makan siang denganmu, dia pernah mengatakan hal itu ‘kan?” ujar si Kakek. Ardhan menganggukkan kepalanya, ia ingat ketika Prama mengajaknya makan siang bersama. “Bersikap waspadalah dengan orang itu, Dhan.”“Aku selalu ingat kata-kata kakek itu,” sahut Ardhan. Mereka melangkah beriringan memasuki ruangan kerja Ardhan. Ia melakukan rutinitasnya seperti biasa, bersih-bersih ruangan tersebut, menghidupkan komputernya dan menyiapkan berkas-berkas yang akan dikerjakan hari ini.Sebelum memulai pekerjaannya, Ardhan memeriksa kembali ponselnya. “Semalam kamu lupa menghubungi Kinanthi ya,” tanya si Kakek. Ardha menjawab dengan anggukan kepalanya.”Sebentar lagi kamu akan bertemu dengan perempuan itu, bersiaplah.”“Maksudnya apa Kek?” tanya Ardhan, lelaki itu kebingungan.Belum sempat Kakek menjawab, terdengar suara ketukan di pintu kerjanya. Tak lama kemudian Pak Bobby masuk ke dalam ruangannya dan memberitahunya jika perusahaan kinanthi meny
Mobil penguntit itu kemudian bergerak mengekor di belakang motor Ardhan. Tentu saja lelaki muda itu tahu jika ada orang yang mengikutinya. “Dia lagi, dia lagi,” gerutunya. Ardhan sengaja memilih rute jalur pulang yang sulit dilalui oleh mobil.Ardhan pikir dirinya bisa mengecoh penguntit itu nyatanya hal yang lebih berbahaya sedang menunggunya. Supir mobil hitam itu ternyata lebih pintar darinya, ia bersembunyi di ganga menunggu Ardhan keluar dari jalur tikus. Begitu motor Ardhan muncul dan kembali ke jalan utama, mobil itu melaju dengan kecepatan kencang untuk menabraknya.“Belok Kiri, Dhan!! Cepat belok ke kiri!! Masuk ke gang itu!!” ujar Kakek panik, ia berusaha menyelamatkan Ardhan. Bagaimana tidak panik, kurang dari sepuluh detik lagi motor Ardhan dan mobil hitam itu bertabrakan. Untung saja kakek masih bisa menyelamatkannya“Tadi itu apa Kek?” tanya Ardhan bingung.“Kamu baik-baik saja?” tanya Kakek khawatir padanya, pria tua itu memerika Ardhan dari atas kepala sampai kakinya.
Ardhan menoleh ke arah Kakek karena mendengar suara sosok tua itu. “Kakek bicara dengan siapa?” batinnya. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kakek hingga netranya menemukan satu sosok di tengah kerumunan, Moritz.“Kenapa Dhan? Kamu lihat apa?” tegur Pak Bobby.“Ah tidak Pak, saya tidak lihat siapa-siapa,” katanya berbohong.“Ayo kita turun sekarang, Dhan?” ajak Pak Bobby. Ardhan berjalan di belakang boss-nya seolah semakin menegaskan jika dirinya memanglah kaki kanan manajer perusahaan tersebut. Hal tersebut semakin membuat para pembenci Ardhan semakin kepanasan.Kakek merasa di atas angin saat melihat Ardhan berdiri di samping Pak Bobby ketika di dalam lift. Begitu pun saat mereka keluar dari bujur besi tersebut, Moritz dan Jonas serta beberapa pegawai lainnya memandang ke arahnya dengan tatapan kesal.“Lihat Dhan, mereka semua memandang ke arahmu. Ada yang kagum, kesal, ada pula yang benci,” kata Kakek. “Hafal satu-satu wajah mereka, Dhan. Mereka berpotensi jadi musuh dalam selimut.”
“Teman hayalmu itu?” lanjut ibunya.“Kakek Romli, bu,” ujar Ardhan sembari tersenyum lebar memamerkan giginya yang putih.“Hussh, belum punya cucu kok dipanggil Kakek,” larang ibunya. “Kalau dia tahu bisa marah lho.”“Makanya jangan sampai dia tahu, Bu.”Ardhan senang karena berhasil mengalihkan perhatian ibunya, tak lagi curiga si Kakek melainkan Pak Romli. Kini Ardhan menikmati cemilan yang dibeli oleh ibunya tadi dengan lahap. Selesai makan Ardhan duduk di ruang keluarga tak lama kemudian ayahnya ikut bergabung dengannya.Sore ini mereka berdua menonton acara berita di televisi, hampir semua menayangkan tentang kasus pembunuhan. “Manusia sekarang jauh lebih jahat ketimbang setan,” cicit ayahnya. “Nyawa seseorang itu tidak ada artinya lagi,” imbuhnya.Ardhan setuju dengan pendapat ayahnya, melihat apa yang dilihatnya memang kasus-kasus tersebut sangat mengerikan, para pembunuhnya benar-benar tidak punya hati nurani lagi. Mata mereka semuanya berwarna merah menyala.Ketika sedang asy
“Tidak apa-apa, mereka elamanya jadi perusuh. Orang yang tak suka dengan kesuksesan orang lain. Kamu mau seperti merek?” tanya Kakek.“Tentu saja tidak Kek, aku berbeda dari mereka. Jangan samakan aku,” cerocos Ardhan, ia tak mau disamakan dengan dua pembencinya itu.“Maka dari itu kamu harus semangat bekerja, lawan kantuknya,” kata Kakek. Ia merasa berslah karena turut andil membuat Ardhan terus mengantuk sepanjang hari ii. Sebagai pertanggung jawabnnya, ia akan membantu pekerjaan Ardhan. Apapun yang akan lelaki itu butuhkan.Ardhan menuruti saran kakek untuk mencuci mukanya agar lebih segar dan tidak mengantuk lagi. Ia keluar dari ruangannya lantas berjalan menuju toilet pria. Lelaki itu membasuk wajahnya berkali-kali, ia baru sadar jika wajahnya sangat tampan.“Tidak ada yang bilang padaku sebelumnya,” batinnya.Ardhan segera kembali ke ruangannya, berkas-berkas yang dibutuhkannya sudah tertawa rapi di atas meja kerjanya. “Kakek yang melakukan ini?” tanya Ardhan tersentuh. “Dalam r
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati
“Stok untuk golongan darah o negative hanya tersisa 1 kantung saja,” turut petugas tersebut.“Apa‼” balas Kinanthi dengan manik mata membulat sempurna. Ia menghela napas berat. “Apa tidak bisa dicarikan?” tanya Kinanthi menatap petugas penuh harap.“Kami akan coba menghubungi kantor PMI terdekat, mbak.” Petugas kembali masuk ke dalam ruangannya, dari balik kaca jendela Kinanthi melihat sosok itu menghubungi seseorang melalui telepon kantor. Perempuan itu berharap jika petugas tersebut bisa membantunya.Tak lama, petugas kembali membuka ruangannya dan menghampiri Kinanthi. “Maaf Mbak dari kantor PMI saat ini hanya punya stok 2 kantung saja. Sisanya mungkin Mbak bisa menghubungi keluarganya atau mencari di luaran, Mbak.”Kinanthi mengangguk, ia lantas dipersilakan masuk untuk mengisi data pengambilan kantung darah. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kinanthi segera kembali ke ruang operasi. Selama berada di dalam lift Kinanthi berusaha mencari tambahan darah untuk memenuhi kebutuhan
Orang tua Ardhan tampak kebingungan melihat pasien dan pengunjung rumah sakit berlarian begitu juga dengan petugas medis lainnya. Kinanthi mencekal lengan salah seorang perawat dan berkata, “Ini ada apa, sus?”“Terjadi kebakaran dari gedung sebelah, lebih baik bapak ibu dan mbak segera turun dan menyelamatkan diri,” ujar perawat itu, air mukanya tampak panik.“Tetapi anak saya ada di dalam ruang tindakan, sus!” balas ibu Ardhan panik dengan nada tinggi.“Biarkan petugas di dalam yang mengurusnya, lebih baik bapak dan ibu turun sekarang juga.” Perawat itu berlari membantu pasien yang hampir terjatuh karena tersandung selang infusnya.Ayah dan ibu Ardhan semakin panik kala petugas keamanan rumah sakit berteriak meminta semua orang menjauh dari dalam gedung rumah sakit. “Tante dan Om lebih baik turun sekarang, biar saya di sini menunggu mas Ardhan keluar,” tutur Kinanthi menengahi kepanikan orang tua Ardhan.Ibu dan ayah Ardhan menggeleng, mereka enggan meninggalkan putranya dan memilih
“Bukankah yang aku minta habisi?” ujar pria itu sekali lagi, kening Kinanti berkerut semakin dalam.Kinanthi mendesah kesal karena ia tak bisa mendengar jawaban dari lawan bicara pria itu, suara pria berpakaian serba hitam itu terlalu kecil. Kinanthi memutuskan untuk sedikit mendekat ke arah pria itu namun, belum melangkah tubuh wanita itu kembali menenggang kala sebuah lengan menepuk bahunya.Dengan gerakan lambat, Kinanthi memutar tubuhnya dan menatap ujung sepatu sosok di depannya, netra Kinanthi bergerak menyusuri dari ujung kaki ke arah rambut hingga netranya berhenti pada wajah yang terasa asing untuknya. “Hai mba, saya hrd yang mengurus keperluan Mas Ardhan.”Tanpa sadar Kinanthi menghela napas lega, bahunya melemas. Ia menyeret tangan wanita itu menjauh dari lokasinya. Setibanya di depan lobby rumah sakit, Kinanthi menjelaskan kronologi kejadian juga kondisi Ardhan saat ini. Ia juga menjelaskan berapa biaya yang Ardhan butuhkan, untungnya pihak perusahaan bersedia menanggung s