Tiga puluh menit sebelumnya…
"Terimakasih Pak Dewangga, saya menunggu kabar baiknya."Dewa hanya mengangguk singkat. Dia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Setelah melihat jam yang ternyata sudah hampir mendekati jam makan siang, Dewa segera mengambil ponsel dan mengirimkan pesan kepada Bianca agar wanita itu tidak datang ke kantornya."Maaf saya tidak bisa ikut makan bersama, saya sudah mempunyai janji lain." Dewa beranjak dari kursinya, lalu menatap sekretarisnya yang ikut berdiri."Viola, tolong temani mereka makan!" Titah Dewa tidak ingin dibantah. Viola yang hendak protes hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal."Tidak apa-apa Pak Dewa, lain kali kita masih bisa makan siang bersama. Terimakasih atas waktunya." Balas kliennya.Dewa mengangguk lalu pergi tanpa menoleh lagi ke arah Viola yang masih berharap bisa ikut dengannya.Dewa sebenarnya sudah sangat jengah denga"Baiklah."Bianca menatap Dewa penuh kecewa, dia sangat berharap Dewa menjawab tidak. Kenyataan memang tak selalu sesuai dengan keinginan. Bianca menunduk lesu, berakhir sudah usahanya mencuri hati pria itu.Berbeda dengan Bianca, Langit justru tersenyum puas mendengar jawaban Dewa. Tidak sia-sia dia langsung mengatakan tujuannya kesini. Tadinya dia mengira akan terjadi perkelahian atau paling tidak ada adu mulut. Ternyata dugaannya salah, saudaranya memang terpaksa menggantikan posisinya.Baru saja Langit tersenyum puas, suara Dewa kembali mengisi ruangan yang hening itu. "Hanya jika Bianca bersedia!"Bianca mendongak, dia kembali menatap suaminya, mencari sesuatu yang mungkin saja akan kembali mematahkan hatinya, akan tetapi, Bianca tidak menemukan itu. Dia melihat raut wajah suaminya begitu serius dan tenang.Langit melunturkan senyumnya, dia beralih menatap Bianca yang masih berdiri di tempatnya tadi. "Katakan
"Kau percaya dengannya? Lalu kenapa tadi kau membelaku?" Dewa ganti bertanya. Dia cukup terkejut, tadinya dia berpikir Bianca tidak akan percaya begitu saja dengan Langit.Bianca menggeleng keras, dia kembali berdiri, ingin mendekati Dewa, akan tetapi, pria itu menyuruhnya untuk tidak mendekat. "A-aku hanya ingin mendengarnya langsung dari Mas Dewa.""Sama saja kamu tidak percaya denganku!" Sahut Dewa ketus. Dia berbalik badan untuk meninggalkan Bianca seorang diri di ruangannya."Tunggu Mas! Maafkan aku, aku percaya sama kamu. Kamu tidak akan memakai cara licik untuk mendapatkan warisan kakek Prayoga." Ucapan Bianca mampu menghentikan langkah kaki Dewa.Pria itu menoleh ke belakang sebentar lantas kembali berjalan tanpa memberi balasan. Bianca yang tidak mendapat respon segera mengejar langkah kaki suaminya. Tepat di belakang Dewa, Bianca meraih lengan kirinya. "Mas, tolong jangan marah." Mata Bianca sampai berkaca-kaca. Dia takut jika Dewa marah lalu meme
"Apa sekarang kamu tidak bisa berbicara? Kenapa hanya mengangguk saja dari tadi!"Luntur sudah senyum Bianca. Dia hanya mengangguk karena dia terlalu bahagia dengan hal kecil yang dilakukan oleh pria itu. Untung saja dia sudah selesai makan, jadi dia bisa memakai itu sebagai alasan. Bianca minum terlebih dahulu sebelum menjawab. "Aku masih makan, Mas. Bukankah saat makan kita tidak boleh sambil berbicara?" Dewa melepas rambut Bianca. Dia biarkan kembali terurai seperti sebelumnya.Bianca menoleh ke belakang, dia melihat suaminya sedang merapikan kemeja serta jas yang tadi sempat di cengkram oleh Langit. Bianca maju mendekat, bermaksud membantu Dewa."Aku bantu ya, Mas." Dia meminta izin untuk formalitas saja, nyatanya tangannya sudah memegang kemeja serta jas yang dikenakan Dewa. Tak lupa Bianca membetulkan dasi yang sempat berantakan.Dewa diam mengamati Bianca. Tinggi mereka hanya terpaut 10 cm jika Bianca mengenakan sepatu high heels.
"Maaf bukankah ini ponsel milik Dewangga?" "Iya benar Bu.""Kamu siapa? Kenapa ponsel suami saya ada sama kamu?" Bianca sedikit menaikan nada bicara nya."Pak Dewangga sudah pulang, Bu. Ini saya Cici petugas kebersihan. Maafkan saya sudah lancang menjawab telepon dari Ibu. Saat ini saya sedang membersihkan ruangan Pak Dewangga. Awalnya saya ingin membiarkan telepon Pak Dewa terus berdering, tetapi, Saya takut Ibu khawatir jadi saya menjawabnya."Sebelum Bianca menjawab, Dewa sudah berdiri di depannya. "Bi." Panggilnya.Bianca bernafas lega melihat suaminya sudah berdiri tepat dihadapannya. "Baiklah, tolong simpankan dulu. Terimakasih."Bianca mengakhiri panggilan teleponnya, lalu memasukan ponselnya ke handbag. Dia berpamitan kepada pegawainya saat hendak melintas. "Saya duluan.""Hati-hati dijalan Bu." Bianca mengangguk. "Mas." Bianca sudah berada di sebelah suaminya."Maaf saya terlambat, tadi ada sedikit masalah. Saya juga lupa menaruh ponsel saya setelah memberimu kabar." "Ngga
"Ini Neng." Pedagang martabak menyerahkan pesanan Bianca, menyelamatkan rasa canggung diantara mereka."Berapa Pak?" Tanya Bianca."Masih sama Neng." Jawab pedagang itu. Sebelum Bianca mengeluarkan uang, Dewa lebih dulu memberikan uang dua lembar berwarna merah muda ke bapak pedagang itu. "Kebanyakan atuh Kang." Pedagang itu mengembalikan satu lembar uangnya."Ambil saja Pak, Terimakasih." Ucap Dewa sambil kembali memasukkan dompetnya."Terimakasih Kang, Neng." Balas pedagang itu sambil tersenyum. Setelah itu kembali meninggalkan mereka berempat.Dewa hanya mengangguk, lalu mengajak Bianca segera pergi. "Kamu sudah selesai kan? Ayo pulang." "Sudah Mas." Balas Bianca. Wanita itu segera berpamitan kepada dua temannya."Tika, Bimo gue balik dulu ya." Bianca melambaikan tangannya. Dewa turut berpamitan hanya dengan gerakan menganggukan kepalanya."Hati-hati Bi." Tika juga ikut melambaikan tangannya.Dewa dan Bianca berjalan kembali ke mobil sedangkan Tika dan Bimo menghela nafas lega s
Bip bip Bianca yang sedang menata baju di koper berdiri untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka muncul mama Maria dan papa Hasan dengan membawa satu koper berukuran sedang."Assalamualaikum anak mama." Maria merengtangkan kedua tangannya."Waalaikumsalam Ma." Bianca masuk kedalam pelukan Mama Maria. Mereka berpelukan singkat. "Pa." Ucap Bianca sambil mencium tangan Papa Hasan. Papa Hasan hanya tersenyum saja.Bianca hendak membantu membawakan koper yang ada di tangan Papa Hasan, akan tetapi langsung di tolak. "Biar Papa saja.""Ayo masuk dulu Ma, Pa." Bianca memberikan jalan untuk kedua mertuanya, lalu dia kembali menutup pintu dan menguncinya."Dewa mana, Bian?" Tanya Mama Maria karena tidak melihat keberadaan putranya."Mas Dewa masih mandi Ma." Bianca mengekori kedua mertuanya ke ruang tamu."Duduk dulu Ma, Pa. Bianca ambilkan minum sebentar." "Mama ikut." Mama Maria dan Bian
Selesai mandi Dewa tidak melihat keberadaan Bianca, kopernya dibiarkan terbuka. Dewa mengambil kaos dan celana pendek, lalu berjalan keluar.Di ruang tamu Dewa melihat Papa Hasan seorang diri. "Pa." Panggil Dewa.Hasan yang sedang menunggu para wanita memilih melihat acara televisi."Sini." "Papa sendirian? Mama nggak ikut?" Tanya sambil duduk tak jauh dari Papa Hasan."Mama ikut. Saat ini sedang membantu Bian membuat minuman." Jawab Hasan.Dewa hanya mengangguk."Papa dengar, Langit sempat muncul beberapa hari yang lalu?" Tanya Papa Hasan, pria paruh baya itu menoleh sepenuhnya pada Dewa."Hm." Jawab Dewa. Dia sangat malas membahas ini."Apa yang diinginkannya?" Tanya Papa Hasan."Papa pasti tahu jawabannya." Jawab Dewa. Dia sangat hafal jika kedua orang tuanya pasti mempunyai mata-mata di sekitarnya ataupun Bianca."Ck. Anak ini
Sepulangnya Mama Maria dan Papa Hasan, Bianca tidak langsung melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi. Bianca jadi tidak bersemangat seperti sebelumnya, dia memiliki rasa tidak enak terhadap Papa mertuanya. "Mas, apa sebaiknya kita batalkan saja?" Tanya Bianca begitu Dewa memasuki kamar."Kamu tidak dengar Mama bilang apa? Siapa yang akan betah mendengar omelan Mama." Sahut Dewa sambil menidurkan tubuhnya di kasur.Dewa menatap langit-langit kamarnya, Dewa melipat kedua tangan di bawah kepala membuat posisinya lebih nyaman.Dewa memikirkan kembali rencana yang sudah dijalankan selama ini. Sebenarnya dia ingin melakukannya secara perlahan saja. Namun, jika melihat ada beberapa ancaman yang muncul di luar kendalinya, sepertinya Dewa harus segera bergerak.Sedangkan Bianca semakin bingung, dia sebenarnya sangat ingin, tapi, apa tidak masalah jika dia membuat Papa mertuanya repot sendiri.Lama berdiam diri di depan koper, Bianca akhirnya kembali melanjutkan menata barang-barang yan
"Mas, ada telepon." Kata Bianca dengan nafas terengah-engah."Biarkan saja!" Dewa kesal. Kegiatannya harus terhenti oleh panggilan telepon entah dari siapa."Tapi—"Itu tidak lebih penting dari ini, Bi!" Ucap Dewa, dia kembali melanjutkan kegiatan mereka yang terhenti dengan tiba-tiba.Namun, layaknya pengganggu yang tidak mau kalah. Ponsel Bianca terus berdering membuat Dewa tanpa sadar mengumpat.Dewa terpaksa melepas tubuh Bianca dari cumbuannya. Dia melangkah mundur, membiarkan Bianca mengambil ponselnya.Dengan nafas yang kembali terengah, Bianca menggeser tombol hijau untuk menjawab."Assalamualaikum Ma." Sapa Bianca begitu panggilan tersambung."Waalaikumsalam Bian, kamu sedang apa? Kenapa nafas kamu seperti itu?" Jawab Mama Maria. Iya. Orang yang mengganggu kegiatan sore mereka adalah Mama Maria. Mama Maria mendapatkan kabar jika anak dan menantunya sudah tidak berada di paris. Karena tidak ada
"Iya dia sangat spesial, jadi jangan menangis!"Bianca mundur dari tempatnya berdiri. "Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Tanya Bianca pasrah. Dia tidak bisa berpikir dalam kondisi seperti ini. Bianca berharap siapapun dapat menolongnya saat ini. Hatinya sedang tidak baik-baik saja."Cukup seperti biasanya saja." Jawab Dewa."Sampai kapan? Apa selamanya akan seperti ini." Tatap Bianca sendu.Dewa mengangguk. "Kita akan selamanya bersama.""Apa tidak cukup hanya aku?" "Memang hanya kamu, Bi." Bianca semakin terisak. Jadi dia hanya akan berperan sebagai nyonya Dewangga, sedangkan nyonya yang sesungguhnya sengaja disembunyikan. Bianca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Dewa semakin mengernyit bingung, bukankah wanita akan senang menjadi satu-satunya, lalu, kenapa Bianca justru kembali terisak. Dia berjalan mendekati Bianca, mengambil kedua tangan Bianca. "Tolong jangan menangis, Bi. Saya harus b
"Mas.. aku baik-baik saja." Kadang Bianca bingung sendiri, sebenarnya Dewa ini khawatir dengannya atau hanya mencari cela agar mereka bisa segera pulang."Baik-baik saja apanya? Lihatlah wajahmu memerah." Dewa tidak mudah percaya. Dia bisa diamuk 4 orang sekaligus jika Bianca beberapa kali jatuh sakit saat sedang liburan.Bianca meraih tangan Dewa yang masih berdiri di samping tempatnya berbaring. Bianca membutuhkan tambahan tenaga untuk bisa membuat Dewa duduk di dekatnya.Saat sudah berhasil membuat Dewa duduk di dekatnya Bianca mengambil kedua tangan Dewa untuk diletakkan di kedua pipinya. "Tidak panas, kan?"Dewa menggeleng. "Ok." Dewa menarik kembali tangannya, dia sudah hendak berdiri lagi, akan tetapi, Bianca menarik kembali tangannya."Apalagi?" Bianca tampak malu-malu untuk mengucapkannya. "Boleh aku belajar saat ini?" Dewa mengernyit, "Kamu mau belajar apa?"Bi
Bianca tidak berhenti memegang bibirnya meski saat ini dia sedang berada di dalam pesawat. Matanya enggan terpejam, takut jika dia bangun semuanya hanya mimpi semata.Dewa disebelahnya duduk dengan tenang, membaca buku yang sengaja dibaca disaat seperti ini. Perjalanan panjang yang akan sangat membosankan jika hanya diisi dengan tidur saja."Masih kurang?" Tanya Dewa. Matanya sejak tadi melirik tingkah Bianca yang tidak berhenti tersenyum sambil menyentuh bibirnya."Eh." Bianca salah tingkah. "Lebih hebat siapa saya atau pria yang kamu cintai?" Tanya Dewa tanpa menoleh."Ini pertama kalinya buatku, Mas." Jawab Bianca malu. Dia tadi terlihat sekali jika belum memiliki pengalaman. Dia hanya mengikuti nalurinya saja. Apa yang dilakukan oleh Dewa, dia akan melakukan hal yang sama."Bagus." Ucap Dewa lirih."Apanya Mas?" Tanya Bianca tidak paham dengan jawaban Dewa."Buku yang
"Sudah siap semuanya?" Tanya Dewa setelah mengecek ulang barang-barang mereka yang mungkin saja masih tertinggal."Sudah semua Mas." Bianca menutup kopernya. "Ayo." Ajak Dewa sudah siap membawa dua koper."Mas." Panggil Bianca ragu-ragu."Ada apa? Apa masih ada yang terlewatkan." Tanya Dewa. "Banyak." Batin Bianca."Apa kita tidak membuat kenangan terlebih dahulu untuk kita kenang nantinya?" Liburan yang Bianca harapkan harus cepat berakhir karena dia terkena flu. Tentu saja Bianca sedih. Dia sudah berharap banyak dengan bulan madu ini. Nyatanya baru menginap dua malam, mereka sudah akan kembali ke negara mereka."Sudah ada lebih dari satu kenangan yang bisa kamu ingat." Sahut Dewa."Kenangan yang mana?" Bianca sampai harus mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat kejadian apa yang bisa dikenang."Oke, saya sebutkan satu per satu. Dengarkan baik-baik. Pertama, kamu melakukan pelecehan kepada saya." De
Dewa sudah mulai makan sejak lima menit yang lalu, akan tetapi, Bianca masih setia berdiam diri sambil melihat Dewa makan."Mas." Panggil Bianca.Dewa mengangkat kepala sebagai ganti sahutan."Mau." Rengek Bianca. Jika sedang tidak enak badan, Bianca akan menjadi wanita manja yang tidak ingat umur.Dewa menelan makanannya lalu meminum seteguk baru menjawab. "Kemari dan makan." Dewa menyuruh Bianca turun dari ranjang untuk ikut bergabung duduk di sofa bersama dirinya.Bianca bangkit lalu berjalan mendekat. Dia duduk di sebelah kiri Dewa.Dewa mengambil satu piring makanan pembuka untuk Bianca, tetapi, wanita itu menolak. "Tidak. Aku mau makan itu saja." Dia menunjuk piring yang ada di depan Dewa.Dewa mengangguk, lalu mengambil piring yang masih penuh dan menyerahkannya ke Bianca. "Cepat makan dan minum obatmu." Titah Dewa yang lagi-lagi ditolak Bianca."Aku tidak mau. Aku mau itu Mas." Bianca masih menunjuk tepa
"Aku mencintaimu, Mas." Batin Bianca. Saat ini Bianca hanya berani mengatakannya dalam hati. Dia belum mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Perasaan takut selalu datang saat Bianca ingin mengucapkan tiga kata itu. Dewa tidak sabar menunggu Bianca menjawab. "Kamu tidak mau menyebut siapa orangnya?"Bianca tampak ragu sebelum menjawab. "Kamu."Dewa mengernyit, alisnya dinaikkan satu, "Ada apa dengan saya? Kenapa bertanya balik." Kata Dewa salah paham. Padahal Bianca sudah menjawab pertanyaannya. Mungkin karena Bianca menjawab dengan ragu-ragu jadi Dewa mengartikan ucapannya sebagai pertanyaan. Bianca mengikuti saja apa yang dipahami Dewa. Dia juga penasaran dengan perasaan Dewa. Adakah wanita yang mengisi relung hatinya, ataukah tempat itu masih kosong. Jika benar kosong, Bianca akan maju nomor satu untuk mengisinya dengan senang hati. "Apa Mas Dewa juga sedang mencintai seseorang?" Tanya Bianca.Jantung Bianca berdegup k
Bianca berjalan menjauh dari Dewa setelah mencium pipi suaminya. Dia sangat malu saat ini, tadi dia melakukannya reflek saat melihat orang yang ada di depannya juga melakukan hal yang sama.Bianca sampai melupakan jika ponselnya masih berada di tangan Dewa. Dia terus berjalan tak tentu arah untuk menormalkan lagi debar jantungnya. Meski dia pernah datang kesini, nyatanya banyak perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dia tak akan ingat jika hanya berkunjung sesekali. Saat debaran jantungnya sudah kembali normal dia menoleh ke belakang, dia mengira Dewa akan mengikutinya, ternyata tidak. Pria itu tidak ada di belakangnya. Bianca mulai panik, dia tidak memegang ponselnya, sedangkan itu alat komunikasi satu-satunya yang dia miliki."Aduh gimana ini? Mana aku tadi asal jalan aja." Bianca panik sendiri, pikirannya mulai kosong. Dia bahkan memikirkan beberapa kemungkinan yang baginya sangat cocok dengan kondisinya saat ini."Gimana ka
"Mohon maaf Pak menurut pantauan cctv, tidak ada kesalahan dalam pemasangan label check in.""Oke. Terimakasih atas waktunya." Dewa menutup panggilan teleponnya. Jika bukan kesalahan dari pihak maskapai tentu saja ini jelas ulah orang tuanya sendiri. Pantas saja dia merasa ada yang aneh saat menaruh koper di bagasi. Disana ada kotak yang ditutup dengan kain berwarna hitam."Gimana Mas?" Tanya Bianca yang berdiri di sampingnya. Wanita itu masih mengenakan bathrobe setelah selesai mandi.Dewa menggeleng, lalu menempelkan kembali ponselnya di telinga. Menunggu beberapa saat sebelum panggilannya mulai tersambung."Telepon siapa?" Tanya Bianca dengan suara pelan.Dewa memberi kode agar Bianca diam dengan jari telunjuknya ditaruh di mulutnya sendiri. Bianca mengangguk, lalu sedikit menjauh."Assalamualaikum Ma.""Waalaikumsalam." Jawab Mama Maria. Papa Hasan yang berada satu ruangan dengan Mama Maria berjalan mendekat, dia ing