Share

65. Menemui Umi

Penulis: Novita Sadewa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 11:28:47

POV MIRZA

Pagi-pagi sekali Mama menghubungiku dan mengatakan bahwa, hari ini akan ke panti dan menemui Umi Zubaidah bersama Papa. Namun dengan satu syarat, syarat yang bagiku sangat berat. Papa tetaplah papa, masih saja memaksaku masuk ke perusahaanya, walau sudah seribu kali aku menolak dan jelas-jelas sudah tidak tertarik dengan dunianya itu. Lama, aku dan mama bernegosiasi tanpa Papa. Ana dan pekerjaanku sama-sama pentingnya. Jadi, aku harus benar-benar berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Namun, bagaimana aku bisa memutuskan, kalau setelah ini mau tinggal di mana saja aku masih gamang? Menetap di Jerman dan membawa Ana ikut serta bersamaku atau pindah ke Indonesia kalau lamaranku diterima oleh Umi. Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mama. Papa mungkin sedang memanfaatkan keadaan, tapi Papa lupa bahwa aku adalah anaknya, yang bisa saja lebih cerdik dari pada dirinya.

Aku katakan semua keputusan akan aku serahkan pada Ana kalau Ana menjadi istriku. Kupukul telak Papaku. Dia m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Rahim Pengganti   66. Cincin pengikat

    POV MIRZAHatiku berbunga saat membuka pesan dari Mama yang mengatakan bahwa Umi Zubaidah menerima lamaranku di tengah acara seminar. Aku tak sabar ingin segera menemui Umi Zubaidah dan mengucapakan terimakasih padanya. Begitu acara seminar selesai hari ini, aku bergegas menemui sopir yang mengantar jemput aku ke hotel. "Dokter ...," teriak seseorang padaku saat aku berjalan menuju parkiran. Kuhentikan langkah karena sepertinya yang memanggilku adalah peserta seminar."Iya, kenapa?""Dokter, boleh foto bersama? Kami ingin buat sebagai kenang-kenangan," kata seorang pemudi bersama beberapa temanya, sepertinya mereka adalah Dokter Muda."Oh ... silahkan." Aku memberi ijin, mereka pun mengambil beberapa gambar dan berterimakasih padaku."Kalau gitu saya permisi," ujarku segera berpamitan."Sampai jumpa hari Senin, Dokter, selamat malam Minggu," teriak salah satu dari mereka kepadaku yang sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan mereka. Begitu banyak materi yang harus kusampaikan hi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Rahim Pengganti   67. Jelangkung

    POV ANAUsai shift berakhir, aku dan yang lain pergi sesuai rencana kemarin, nonton bareng di sebuah bioskop ternama. Kami pergi menggunakan taksi online agar tidak berpencar, motor kami? kami tinggalkan di parkiran rumah sakit. Selain aku, Aryo, dan Hanin, masih ada beberapa orang lagi termasuk Mbak Lia yang selalu tak mau ketinggalan. Hari ini Mbak Lia tidak membawa mobil, jadi terpaksa kami harus naik taksi. Setiba kami di bioskop, Aryo yang merupakan satu-satunya laki-laki di antara kami, pergi memesan tiket dan yang lain membeli snack. Sementara aku dan Hanin menunggu di kursi tunggu. "Ana, anter aku ke toilet, yuk ...," pinta Hanin tiba-tiba."Oh, oke, yuk," jawabku kemudian bangkit dari tempat duduk. Hanin masuk ke toilet dan aku menunggunya di depan pintu. Kubuka gawaiku, sebab, aku sudah hafal betul kelakuan Hanin kalau sudah masuk ke dalam sana, selalu betah berlama-lama. Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana, kadang aku sendiri juga heran. Kubuka akun Facebook

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Bukan Rahim Pengganti   68. Calon istri

    POV MIRZAKuikuti ke mana taksi mereka pergi setelah kutinggalkan Dokter Dion. Hingga sampailah aku pada parkiran sebuah bioskop di Jakarta. Aku turun dan masuk ke dalam. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Aku melihat Aryo sedang berdiri di antrian pemesanan tiket. Kuhampiri dia yang terlihat sendirian."Aryo ...," sapaku. Dia menoleh."Dokter Mirza?" katanya sedikit terkejut."Pesen tiket buat saya sekalian, ya. Saya mau nonton juga. Pake uang saya saja, saya traktir kalian malam ini," kataku sambil memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Aryo."Dokter mau nonton?" lirih ia bertanya, seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri."Kenapa? Nggak boleh?" tanyaku yang tak sengaja mendengar kata-kata Aryo."Oh, boleh, Dok, boleh," katanya mengambil uang dari tanganku dengan sangat sigap.Setalah Aryo mendapatkan tiketnya aku pun mengulurkan tanganku untuk meminta, "Mana, saya lihat tiketnya.""Ini, Dok." Aryo sangat sopan dan tahu diri. Ia menyerahkan semua tiketnya padaku."Kamu k

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • Bukan Rahim Pengganti   69. Nebeng

    POV ANATak disangka hari ini aku bertemu Dokter Mirza dua kali berturut-turut. Yang membuat jantungku berdebar adalah saat aku duduk berdekatan dengannya. Tak jarang aku harus menata agar degup jantungku tidak menimbulkan ketegangan di wajahku.Kami meninggalkan bioskop setelah film selesai diputar dan saat kulihat beberapa orang yang menghinaku ketika aku menemui Dokter Mirza di acara seminar waktu itu ada di depanku. Aku tak mau mereka membuatku malu lagi di depan teman-temanku. Aku memang sempat menceritakan tentang hinaan mereka pada Mbak Lia, tapi kurasa cukup sekali saja mereka menghinaku dan tak akan aku biarkan itu terjadi lagi. Sebelum mereka membahas masalah tempo hari saat aku datang ke seminar dan Dokter Mirza mengacuhkan aku, aku segera membawa teman-temanku pergi dari sana, bisa malu tujuh turunan kalau sampai semua tahu aku menemui Dokter Mirza tanpa sepengetahuan mereka.Kupesan taksi online dan kami kembali ke rumah sakit bersama-sama. Jarak rumah sakit dari bioskop

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Bukan Rahim Pengganti   70. Usaha

    POV MIRZAMalam semakin larut, aku dan Ana membelah jalanan ibu kota yang terlihat sudah lengang. Ana duduk di jok belakang. Kali ini kami lebih terlihat seperti pasangan kekasih yang sesungguhnya karena kali ini aku yang menyetir. Kami hanya bisa diam di sepanjang perjalanan. Rasa canggung mendominasi kebersamaan kami malam ini. Aku tak mau merusak momen indah ini dengan obrolan yang pasti akan berujung pada perdebatan dan akan mengganggu kebersamaanku dengan Ana, kebersamaan yang sudah lama aku nantikan setelah lama tak pernah berhubungan bahkan via media sekalipun."Dokter, sepertinya setelah ini sudah nggak ada hotel lagi," kata Ana yang aku yakin dia sudah hafal betul jalanan di sekitar sini. Dan memang, hotel yang aku tempati bukanlah di daerah ini, aku hanya membohongi Ana. Terlihat dari kaca spion sesekali Ana menahan kantuknya dengan menutup mulut saat ia menguap. "Ada, kamu diem aja," jawabku. "Kamu capek, Ana? Makanya, habis kerja langsung pulang, jangan suka kelayapan,"

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Bukan Rahim Pengganti   71. Panik

    Bak disambar petir aku mendengar berita yang disampaikan oleh perawat wanita itu. Aku berlari menuju gedung bagian atas. Beberapa orang termasuk perawat yang menemuiku tadi mengekoriku. "Apa pihak rumah sakit jiwa sudah dihubungi?" tanyaku di dalam lift."Sudah, Dokter, tapi mereka masih mengecek pasien mana yang kabur.""Apa? Kondisi seperti ini masih sempat-sempatnya ngecek! Bilang sama rumah sakit itu, suruh kirim timnya ke sini, saya nggak mau tau! Kasus ini nggak butuh pengecekan, yang dibutuhkan tindakan. Paham!" perintahku pada mereka, aku benar-benar tak habis pikir, mereka tidak menyadari bahwa nyawa seseorang sedang terancam sekarang."I_ya, Dokter." Pintu lift akhirnya terbuka, kami masih harus melewati satu tangga kecil lagi untuk sampai di rooftop rumah sakit. Kubuka pintu besar berbahan besi yang mengarah ke arah rooftop, jantungku teras berhenti saat aku melihat tangan Ana sudah berlumur darah dan tubuhnya tersungkur di bawah memegangi perutnya yang juga sudah berlum

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Bukan Rahim Pengganti   72. Letak kebahagiaan Mirza

    "Mirza!" sentak kakek menggoncang tubuhku yang masih mematung setelah mendengar kata-kata dokter itu. Aku menoleh."Dokter Mirza, dengarkan saya. Jangan panik, fokus! Kepanikanmu justru akan membahayakan nyawa Ana," kata kakek yang saat ini ikut serta di ruang operasi bersamaku. Kuhela napas panjang. "Dokter Mirza, Anda mau seperti ini terus atau saya yang akan mengambil alih operasi ini? Kalau Anda seperti ini terus silahkan keluar dari ruangan ini!" ancam kakekku yang sudah mulai tersulut emosi dengan kepanikanku."Tidak, Prof, biar saya," jawabku."Yakin?" tanya kakek memastikan, aku tahu apa yang aku lakukan berhubungan dengan nyawa seseorang, dan tentu kakek harus memastikan kesiapanku. Kuanggukkan kepalaku pelan. Dalam hatiku hanya bisa berkata fokus dan tenang untuk menetralkan kepanikanku."Semua sudah siap? Kita akan melakukannya sekarang!" kataku, mereka mengangguk Pelan.***Operasi tidak berjalan terlalu mulus. Jantung Ana sempat terhenti di tengah jalannya operasi, rasan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Bukan Rahim Pengganti   73. Kejanggalan

    POV MIRZA Kuhapus air mataku setelah Mama mengikuti Papa ke ruangan kakek. Aku tak tahu, apa yang akan dibicarakan kakek dengan Papa dan Mama di sana. Saat aku beranjak dari tempatku, "Dokter, Umi Zubaidah harus pulang. Karena ada salah satu anak panti yang juga sedang sakit dan mencari Umi. Tidak ada yang menunggu Ana. Saya harus kembali ke UGD," kata Aryo menghampiriku. "Ya, nanti saya ke sana. Saya ganti baju dulu." "Tapi, bukannya baju dokter sudah kotor karena penuh darah tadi? Dokter pake baju ini aja nggak papa, Dok," kata Aryo menunjuk ke arah baju biru yang kukenakan. "Astaga, saya lupa, Yo. Aryo terimakasih sudah banyak membantu tadi. Kerja kamu bagus." "Sama-sama, Dok, Ana adalah sahabat saya. Jadi sudah menjadi kewajiban saya membantu, Ana," jawabnya tersenyum. "Tapi Ana adalah tunangan saya Aryo dan sangat berarti bagi saya," batinku berkata. Aku akui persahabatan mereka termasuk persahabatan yang tulus, Aryo dan yang lain terlihat sangat kompak dan saling menyay

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02

Bab terbaru

  • Bukan Rahim Pengganti   105

    POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada

  • Bukan Rahim Pengganti   104

    POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala

  • Bukan Rahim Pengganti   103

    POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya

  • Bukan Rahim Pengganti   102

    Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku

  • Bukan Rahim Pengganti   101. Berpisah

    "Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa

  • Bukan Rahim Pengganti   100. Pergi bersama

    Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion

  • Bukan Rahim Pengganti   99. Aku atasannya

    Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na

  • Bukan Rahim Pengganti   98. penjelasan

    Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit

  • Bukan Rahim Pengganti   97. Pantas betah

    Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj

DMCA.com Protection Status