Share

69. Nebeng

Penulis: Novita Sadewa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-31 12:27:00

POV ANA

Tak disangka hari ini aku bertemu Dokter Mirza dua kali berturut-turut. Yang membuat jantungku berdebar adalah saat aku duduk berdekatan dengannya. Tak jarang aku harus menata agar degup jantungku tidak menimbulkan ketegangan di wajahku.

Kami meninggalkan bioskop setelah film selesai diputar dan saat kulihat beberapa orang yang menghinaku ketika aku menemui Dokter Mirza di acara seminar waktu itu ada di depanku. Aku tak mau mereka membuatku malu lagi di depan teman-temanku. Aku memang sempat menceritakan tentang hinaan mereka pada Mbak Lia, tapi kurasa cukup sekali saja mereka menghinaku dan tak akan aku biarkan itu terjadi lagi. Sebelum mereka membahas masalah tempo hari saat aku datang ke seminar dan Dokter Mirza mengacuhkan aku, aku segera membawa teman-temanku pergi dari sana, bisa malu tujuh turunan kalau sampai semua tahu aku menemui Dokter Mirza tanpa sepengetahuan mereka.

Kupesan taksi online dan kami kembali ke rumah sakit bersama-sama. Jarak rumah sakit dari bioskop
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bukan Rahim Pengganti   70. Usaha

    POV MIRZAMalam semakin larut, aku dan Ana membelah jalanan ibu kota yang terlihat sudah lengang. Ana duduk di jok belakang. Kali ini kami lebih terlihat seperti pasangan kekasih yang sesungguhnya karena kali ini aku yang menyetir. Kami hanya bisa diam di sepanjang perjalanan. Rasa canggung mendominasi kebersamaan kami malam ini. Aku tak mau merusak momen indah ini dengan obrolan yang pasti akan berujung pada perdebatan dan akan mengganggu kebersamaanku dengan Ana, kebersamaan yang sudah lama aku nantikan setelah lama tak pernah berhubungan bahkan via media sekalipun."Dokter, sepertinya setelah ini sudah nggak ada hotel lagi," kata Ana yang aku yakin dia sudah hafal betul jalanan di sekitar sini. Dan memang, hotel yang aku tempati bukanlah di daerah ini, aku hanya membohongi Ana. Terlihat dari kaca spion sesekali Ana menahan kantuknya dengan menutup mulut saat ia menguap. "Ada, kamu diem aja," jawabku. "Kamu capek, Ana? Makanya, habis kerja langsung pulang, jangan suka kelayapan,"

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-31
  • Bukan Rahim Pengganti   71. Panik

    Bak disambar petir aku mendengar berita yang disampaikan oleh perawat wanita itu. Aku berlari menuju gedung bagian atas. Beberapa orang termasuk perawat yang menemuiku tadi mengekoriku. "Apa pihak rumah sakit jiwa sudah dihubungi?" tanyaku di dalam lift."Sudah, Dokter, tapi mereka masih mengecek pasien mana yang kabur.""Apa? Kondisi seperti ini masih sempat-sempatnya ngecek! Bilang sama rumah sakit itu, suruh kirim timnya ke sini, saya nggak mau tau! Kasus ini nggak butuh pengecekan, yang dibutuhkan tindakan. Paham!" perintahku pada mereka, aku benar-benar tak habis pikir, mereka tidak menyadari bahwa nyawa seseorang sedang terancam sekarang."I_ya, Dokter." Pintu lift akhirnya terbuka, kami masih harus melewati satu tangga kecil lagi untuk sampai di rooftop rumah sakit. Kubuka pintu besar berbahan besi yang mengarah ke arah rooftop, jantungku teras berhenti saat aku melihat tangan Ana sudah berlumur darah dan tubuhnya tersungkur di bawah memegangi perutnya yang juga sudah berlum

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Bukan Rahim Pengganti   72. Letak kebahagiaan Mirza

    "Mirza!" sentak kakek menggoncang tubuhku yang masih mematung setelah mendengar kata-kata dokter itu. Aku menoleh."Dokter Mirza, dengarkan saya. Jangan panik, fokus! Kepanikanmu justru akan membahayakan nyawa Ana," kata kakek yang saat ini ikut serta di ruang operasi bersamaku. Kuhela napas panjang. "Dokter Mirza, Anda mau seperti ini terus atau saya yang akan mengambil alih operasi ini? Kalau Anda seperti ini terus silahkan keluar dari ruangan ini!" ancam kakekku yang sudah mulai tersulut emosi dengan kepanikanku."Tidak, Prof, biar saya," jawabku."Yakin?" tanya kakek memastikan, aku tahu apa yang aku lakukan berhubungan dengan nyawa seseorang, dan tentu kakek harus memastikan kesiapanku. Kuanggukkan kepalaku pelan. Dalam hatiku hanya bisa berkata fokus dan tenang untuk menetralkan kepanikanku."Semua sudah siap? Kita akan melakukannya sekarang!" kataku, mereka mengangguk Pelan.***Operasi tidak berjalan terlalu mulus. Jantung Ana sempat terhenti di tengah jalannya operasi, rasan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01
  • Bukan Rahim Pengganti   73. Kejanggalan

    POV MIRZA Kuhapus air mataku setelah Mama mengikuti Papa ke ruangan kakek. Aku tak tahu, apa yang akan dibicarakan kakek dengan Papa dan Mama di sana. Saat aku beranjak dari tempatku, "Dokter, Umi Zubaidah harus pulang. Karena ada salah satu anak panti yang juga sedang sakit dan mencari Umi. Tidak ada yang menunggu Ana. Saya harus kembali ke UGD," kata Aryo menghampiriku. "Ya, nanti saya ke sana. Saya ganti baju dulu." "Tapi, bukannya baju dokter sudah kotor karena penuh darah tadi? Dokter pake baju ini aja nggak papa, Dok," kata Aryo menunjuk ke arah baju biru yang kukenakan. "Astaga, saya lupa, Yo. Aryo terimakasih sudah banyak membantu tadi. Kerja kamu bagus." "Sama-sama, Dok, Ana adalah sahabat saya. Jadi sudah menjadi kewajiban saya membantu, Ana," jawabnya tersenyum. "Tapi Ana adalah tunangan saya Aryo dan sangat berarti bagi saya," batinku berkata. Aku akui persahabatan mereka termasuk persahabatan yang tulus, Aryo dan yang lain terlihat sangat kompak dan saling menyay

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-02
  • Bukan Rahim Pengganti   74. Bukan rahim pengganti

    Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, Mas Adrian menemuiku lagi dan yang membuatku tak habis pikir, Mbak Najwa datang bersamanya. Aku takut, luka yang sudah ku kubur dalam-dalam akan muncul ke permukaan dengan kedatangan mereka, sebelum hal itu terjadi, aku harus mencegahnya."Dokter, bisa kan mengunci ruangan ini," kataku dengan nada penekanan."Dokter!" sentakku saat kulihat Dokter Mirza termangu melihat ke arah pintu, sepertinya dia sama terkejutnya sepertiku."Oh, iya." Dokter Mirza berjalan ke arah pintu."Tunggu, An, biarkan Mbak bicara," kata Mbak Najwa dengan wajah penuh harap namun tak sedikitpun menggoyahkan niatku untuk mengusirnya dari hadapan."Maaf, Ana masih butuh istirahat. Lebih baik kalian keluar dulu." Dokter Mirza menghampiri mereka dan bersiap untuk menutup pintu."Dok, saya mohon, beri saya waktu untuk bicara dengan Ana," pinta Mbak Najwa yang semakin membuatku muak."Dokter!" sentakku lagi yang berharap Dokter Mirza tak mengabulkan permintaan Mbak Najwa."Ana

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-04
  • Bukan Rahim Pengganti   75. Apa yang disembunyikan Umi?

    POV ANA.Pagi pun tiba setelah aku meminum obat yang diberikan oleh Dokter Mirza semalam, rasanya aku sangat mengantuk. Kubuka mata, kulihat sekelilingku, Umi sudah duduk di sofa tempat Dokter Mirza tidur semalam."Umi?""Ana? Kamu sudah bangun, Nduk? Gimana? Udah enakan badannya?""Alhamdulillah, Umi.""Dokter Mirza mana, Mi?" tanyaku ragu setelah kulihat di sekelilingku dan tak kutemukan sosoknya di manapun."Dokter Mirza sudah pergi pagi-pagi sekali, ada seminar pagi katanya," jawab Umi."Yah ...," ucapku kecewa."Kenapa?""Sepertinya dia marah pada Ana, Mi.""Kenapa? Kalian ribut?""Kemarin Mas Adrian dan Mbak Najwa ke sini dan aku mengusir Dokter Mirza? Tapi bukan itu juga Maksud Ana, Ana hanya tidak mau melibatkan Dokter Mirza ke dalam masalah Ana," jelasku."Hah?! Apa, An? Adrian? Ya Allah, Ana," kata Umi yang terlihat begitu kaget dan panik membuatku merasa bahwa aku memang benar-benar sudah melakukan kesalahan besar."Ana ... Ana ... Apa yang kamu lakukan? Kamu tahu Ndak dokt

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-05
  • Bukan Rahim Pengganti   76. Keputusan keluarga

    POV MIRZASetelah seminar selesai, aku dan Dokter Dion memutuskan untuk pergi ke rumah sakit jiwa yang sudah kami bahas sebelumnya. Aku merasa tidak tenang jika harus meninggalkan Ana ke Jerman semangat di sini ada yang menginginkannya celaka. Kami menemui kepala rumah sakit. Mereka meminta maaf atas kelalaian pihak rumah sakit hingga mengakibatkan adanya korban jiwa. Kami sempat bersi tegang karena pihak rumah sakit tidak mau menunjukkan rekaman CCTV sebelum kejadian penusukan itu terjadi. Namun, setelah aku memutuskan akan membawa kasus ini ke ranah hukum mereka akhirnya memberi ijin untuk kami melihat rekaman CCTV tersebut.Awalnya tak ada yang mencurigakan dari rekaman CCTV itu, namun kecurigaan kami muncul saat terlihat ada seseorang yang mengunjungi pasien tersebut di akhir-akhir rekaman dan setelah itu CCTV mati. Dari sini pihak rumah sakit jiwa pun ikut curiga dan berjanji akan ikut mengusut kasus tersebut.Aku kembali ke rumah sakit sekitar pukul 8 malam, tak lupa aku membaw

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Bukan Rahim Pengganti   77. Tuntutan Umi

    POV ANASudah hampir satu jam Umi dan Dokter Mirza meninggalkanku. Aryo dan Hanin lebih memilih duduk di sofa bermain gawai, sepertinya mereka sama bosannya sepertiku. "Ana, kamu mau makan apa? Mbak ambilin!" tawar Mbak Lia yang duduk di kursi dekat ranjang."Nggak, Mbak, aku kenyang. Umi ke mana, ya, Mbak? Kok,lama?" tanyaku pada Mbak Lia."Mungkin lagi nanya soal keadaan kamu, An, sama Dokter Mirza, kalau ngantuk tidur aja. Mbak jagain sampe Umi datang," jawab mbak Lia. Aku bergeming."Kamu nanyain Umi apa Dokter Mirza, sih?" sambung Mbak Lia yang mulai mencoba menggodaku lagi."Mbak, jangan bahas itu, malu kalau orangnya denger," jawabku. "Bukannya dulu kamu nungguin? Kenapa giliran kamu ditungguin malah jual mahal?" ceplos Mbak Lia."Itu, kan dulu, sekarang jangan harap lah.""Mbak, kemarin Mbak Najwa ke sini. Memintaku kembali pada Mas Adrian," sambungku ingin curhat padanya."Apa?" sentak Mbak Lia, Hanin dan Aryo tampak menoleh ke arah kami."Jangan keras-keras, Mbak," bisikku

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07

Bab terbaru

  • Bukan Rahim Pengganti   100. Pergi bersama

    Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion

  • Bukan Rahim Pengganti   99. Aku atasannya

    Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na

  • Bukan Rahim Pengganti   98. penjelasan

    Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit

  • Bukan Rahim Pengganti   97. Pantas betah

    Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj

  • Bukan Rahim Pengganti   96. Wanita masa lalu

    Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b

  • Bukan Rahim Pengganti   95. Digigit Dracula

    POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan

  • Bukan Rahim Pengganti   94. Hak dan kewajiban

    POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar

  • Bukan Rahim Pengganti   93. Obat tidur

    Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan

  • Bukan Rahim Pengganti   92. Lupakan Dokter Mirza

    "Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,

DMCA.com Protection Status