Home / Pernikahan / Bukan Rahim Pengganti / 75. Apa yang disembunyikan Umi?

Share

75. Apa yang disembunyikan Umi?

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2024-11-05 16:14:01

POV ANA.

Pagi pun tiba setelah aku meminum obat yang diberikan oleh Dokter Mirza semalam, rasanya aku sangat mengantuk. Kubuka mata, kulihat sekelilingku, Umi sudah duduk di sofa tempat Dokter Mirza tidur semalam.

"Umi?"

"Ana? Kamu sudah bangun, Nduk? Gimana? Udah enakan badannya?"

"Alhamdulillah, Umi."

"Dokter Mirza mana, Mi?" tanyaku ragu setelah kulihat di sekelilingku dan tak kutemukan sosoknya di manapun.

"Dokter Mirza sudah pergi pagi-pagi sekali, ada seminar pagi katanya," jawab Umi.

"Yah ...," ucapku kecewa.

"Kenapa?"

"Sepertinya dia marah pada Ana, Mi."

"Kenapa? Kalian ribut?"

"Kemarin Mas Adrian dan Mbak Najwa ke sini dan aku mengusir Dokter Mirza? Tapi bukan itu juga Maksud Ana, Ana hanya tidak mau melibatkan Dokter Mirza ke dalam masalah Ana," jelasku.

"Hah?! Apa, An? Adrian? Ya Allah, Ana," kata Umi yang terlihat begitu kaget dan panik membuatku merasa bahwa aku memang benar-benar sudah melakukan kesalahan besar.

"Ana ... Ana ... Apa yang kamu lakukan? Kamu tahu Ndak dokt
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Bukan Rahim Pengganti   76. Keputusan keluarga

    POV MIRZASetelah seminar selesai, aku dan Dokter Dion memutuskan untuk pergi ke rumah sakit jiwa yang sudah kami bahas sebelumnya. Aku merasa tidak tenang jika harus meninggalkan Ana ke Jerman semangat di sini ada yang menginginkannya celaka. Kami menemui kepala rumah sakit. Mereka meminta maaf atas kelalaian pihak rumah sakit hingga mengakibatkan adanya korban jiwa. Kami sempat bersi tegang karena pihak rumah sakit tidak mau menunjukkan rekaman CCTV sebelum kejadian penusukan itu terjadi. Namun, setelah aku memutuskan akan membawa kasus ini ke ranah hukum mereka akhirnya memberi ijin untuk kami melihat rekaman CCTV tersebut.Awalnya tak ada yang mencurigakan dari rekaman CCTV itu, namun kecurigaan kami muncul saat terlihat ada seseorang yang mengunjungi pasien tersebut di akhir-akhir rekaman dan setelah itu CCTV mati. Dari sini pihak rumah sakit jiwa pun ikut curiga dan berjanji akan ikut mengusut kasus tersebut.Aku kembali ke rumah sakit sekitar pukul 8 malam, tak lupa aku membaw

    Last Updated : 2024-11-06
  • Bukan Rahim Pengganti   77. Tuntutan Umi

    POV ANASudah hampir satu jam Umi dan Dokter Mirza meninggalkanku. Aryo dan Hanin lebih memilih duduk di sofa bermain gawai, sepertinya mereka sama bosannya sepertiku. "Ana, kamu mau makan apa? Mbak ambilin!" tawar Mbak Lia yang duduk di kursi dekat ranjang."Nggak, Mbak, aku kenyang. Umi ke mana, ya, Mbak? Kok,lama?" tanyaku pada Mbak Lia."Mungkin lagi nanya soal keadaan kamu, An, sama Dokter Mirza, kalau ngantuk tidur aja. Mbak jagain sampe Umi datang," jawab mbak Lia. Aku bergeming."Kamu nanyain Umi apa Dokter Mirza, sih?" sambung Mbak Lia yang mulai mencoba menggodaku lagi."Mbak, jangan bahas itu, malu kalau orangnya denger," jawabku. "Bukannya dulu kamu nungguin? Kenapa giliran kamu ditungguin malah jual mahal?" ceplos Mbak Lia."Itu, kan dulu, sekarang jangan harap lah.""Mbak, kemarin Mbak Najwa ke sini. Memintaku kembali pada Mas Adrian," sambungku ingin curhat padanya."Apa?" sentak Mbak Lia, Hanin dan Aryo tampak menoleh ke arah kami."Jangan keras-keras, Mbak," bisikku

    Last Updated : 2024-11-07
  • Bukan Rahim Pengganti   78. Jawaban Ana

    POV MIRZA.Perdebatan antara aku, Umi, dan keluargaku berlangsung cukup lama. Aku pikir memang keputusan itu baik. Aku memutuskan untuk tetap menikahi Ana, namun, aku menginginkan keridhoan Ana. Pernikahan Ana yang sebelumnya dan tiba-tiba, cukup menjadi pelajaran bagiku untuk tidak mengulanginya. Akan tak ada bedanya antara aku dengan Adrian jika itu sampai terjadi. Dan itu sama saja aku meng iyakan kata-kata Ana, bahwa orang kaya bertindak semaunya. Tidak, aku tidak akan sebodoh itu, membuat Ana lagi-lagi harus menelankecewa. Bagaimanapun juga, Ana mempunyai hak untuk menolak atau menerima, hidup Ana biarlah Ana yang menentukan. Aku hanya bisa berusaha untuk menyembunyikan siapa orang tuaku saja, setidaknya aku tidak membutuhkan wali saat aku menikah. Jadi, menyembunyikan itu sampai Ana sah menjadi istriku tidak ada salahnya. Toh aku akan tetap berusaha membahagiakan Ana, tanpa bayang-bayang kedua orang tuaku. Keputusan yang begitu sulit dan sempat membuat Papa serta kakekku geram,

    Last Updated : 2024-11-07
  • Bukan Rahim Pengganti   79. Apa orang tuanya setuju?

    POV ANA"Ish ... ish ... ish ... ujung-ujungnya obat dan kunjungan dokter. Mantap surantap calon imamku, tak ada sama sekali romantisnya. Beda banget sama yang di Instagram," gerutuku setelah membaca balasan pesan dari Dokter Mirza. Dengan berbagai macam pertimbangan, akhirnya aku menerimanya. Bukan tanpa alasan, sekarang aku sudah harus lebih dewasa dan bisa mengambil keputusan. Apa yang Umi sampaikan di penutup perbincangan kami semalam, mampu membuatku takut, takut akan kehilangan orang yang sudah banyak menunjukkan cintanya dengan semua pengorbanan dan perbuatannya itu. Ya, walau dia agak sedikit kaku, tapi cukup bertanggung jawab lah. Lebih-lebih saat dia menyelamatkanku di rooftop kemarin. Tapi jangan salah, ini bukan lah balas budi, tapi murni dari hatiku. Karena kadang rasa nyaman itu lebih indah dari pada cinta.Kuletakkan gawai di nakas, hari ini aku sudah bisa duduk sendiri walau masih harus banyak istirahat."An, besok akad nikah kamu mau pake kebaya apa gini aja?" tanya

    Last Updated : 2024-11-08
  • Bukan Rahim Pengganti   80. Ijab kabul

    "Lalu, kenapa melarang saya masuk?""Maaf, Dokter, ini perintah." "Siapa? Adrian?" tanyaku dengan nada yang mulai meninggi."Bu Ratri, Dok, Mamanya Dokter memerintahkan untuk dokter tidak masuk!" "Apa? Bu Ratri? Omong kosong!" kataku hendak menerobos masuk ke dalam, namun mereka tetap berusaha menahan. Aku semakin kesal, ingin sekali tanganku melayang, tapi aku tahu ini rumah sakit. Jika aku melakukannya bisa mengganggu ketenangan pasien lain."Awas ,ya, kalian!" ancamku, kuambil gawai dan kuhubungi Mama. Meminta penjelasan."Halo, Ma!" sapaku setelah Mama mengangkat panggilan telepon dariku."Iya, Za, kenapa?""Bener? Mama yang nyuruh dua orang ini untuk melarang Mirza ketemu Ana?" Kualihkan panggilan suara ke Video dan menunjukan wajah kedua pria itu pada Mama."Iya, memangnya kenapa?""Ya Allah, Mama ... apa maksudnya coba?" tanyaku kesal."Mirza, Mama itu orang Jawa tulen. Kamu itu nggak boleh ketemu Ana sampai akad nikah," jelas mama yang membuatku semakin tak mengerti."Maksud

    Last Updated : 2024-11-09
  • Bukan Rahim Pengganti   81. Tak mau dikasihani

    POV ANAUmi pergi ke hotel pagi-pagi sekali, Umi berpesan bahwa Ijab kabul akan dilaksanakan pada puku 8 pagi ini. Umi memintaku untuk berdo'a agar tidak ada halangan apapun dan semua berjalan lancar. Sebelum Umi pergi, Umi sudah mempersiapkan kebutuhanku, seperti mengantarku ke kamar mandi dan lainnya karena hari ini tak ada yang menjagaku. Hanya ada dua orang yang katanya dari kepolisian yang menjaga di depan kamar sejak tadi malam. Mungkin ini ada hubungannya dengan insiden penusukan itu.Tepat pukul 8, hatiku terasa berdegup kencang memikirkan berlangsungnya ijab kabul, meskipun aku tidak ada di sana, nyatanya tetap saja aku merasa tegang. Ini adalah perkara hidup dan masa depanku.Sendiri, menanti dengan perasaan gundah gulana. Berbeda dengan pernikahanku sebelumnya dengan Mas Adrian, kali ini aku benar-benar merasa ada sesuatu yang bergejolak, apa lagi jika harus mengingat setelah ini dia justru harus pergi di hari pertama setelah pernikahan kami. Terbesit rasa ingin menjalani s

    Last Updated : 2024-11-10
  • Bukan Rahim Pengganti   82

    "Pasien? Laki- laki apa perempuan?" tanyaku membalikkan badan, lalu mencoba untuk duduk."Anak kecil, seumuran Zidan," jawabnya, lagi-lagi aku harus merasa bersalah karena telah berburuk sangka."Zidan? Kasihan sekali," gumamku dalam hati."Pergilah. Anak itu lebih membutuhkanmu," kataku, sejenak aku benar-benar merasa tidak punya hati, aku sadar bahwa Dokter Mirza bukan sepenuhnya milikku, dia juga punya pasien yang harus dipikirkan. Aku tidak bisa bersikap egois juga, 'kan? Dia juga memiliki tanggung jawab pada pasiennya, tidak bisa seenaknya meninggalkan pasien hanya karena mementingkan aku. Aku benar-benar merasa sangat bersalah, sebagai orang yang paham dengan pekerjaan di dunia kesehatan, harusnya aku mengerti posisinya, dia harus menyelesaikan tugasnya, tidak bisa meninggalkan semua pasiennya secara mendadak, semua juga butuh proses."Apa kamu tidak akan marah, Ana? Sekarang saya punya tanggung jawab pada istri saya selain pada pasien saya." Pertanyaan itu sempat membuat jantu

    Last Updated : 2024-11-11
  • Bukan Rahim Pengganti   83

    POV ANAAkhirnya aku pun harus rela melepas kepergian Dokter Mirza, aku tak tahu akan seperti apa hubungan kami selanjutnya. Yang pasti kami hanya bisa berusaha untuk sama-sama menjaga hati, untuk sama- ama berusaha menjaga ikatan pernikahan ini, selebihnya biarlah Tuhan yang bekerja.Aku bergeming setelah bayangannya benar-benar menghilang di balik pintu. Kuhela napas panjangku. Kulihat jam dinding dan terus menghitung waktu mundur. Tak berselang lama, terdengar suara pintu dibuka, aku menoleh. Umi datang dari balik pintu."Umi ...," kataku dengan nada bergetar menahan sesak."Ana, Sayang ... kenapa, Nduk?" tanya Umi menghampiriku. Dan akhirnya tangisku pun pecah kala Umi semakin dekat, kupeluk, dan kutumpahkan segala emosiku. Usahaku untuk kuat dan ikhlas nyatanya tak semudah yang kubayangkan."Sayang ... kenapa nangis?" tanya Umi mengusap punggungku lembut, Umi adalah tempat ternyaman saat aku benar-benar membutuhkan seorang penopang, hanya dengannya lah aku berbagi selama ini."A

    Last Updated : 2024-11-12

Latest chapter

  • Bukan Rahim Pengganti   100. Pergi bersama

    Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion

  • Bukan Rahim Pengganti   99. Aku atasannya

    Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na

  • Bukan Rahim Pengganti   98. penjelasan

    Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit

  • Bukan Rahim Pengganti   97. Pantas betah

    Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj

  • Bukan Rahim Pengganti   96. Wanita masa lalu

    Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b

  • Bukan Rahim Pengganti   95. Digigit Dracula

    POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan

  • Bukan Rahim Pengganti   94. Hak dan kewajiban

    POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar

  • Bukan Rahim Pengganti   93. Obat tidur

    Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan

  • Bukan Rahim Pengganti   92. Lupakan Dokter Mirza

    "Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,

DMCA.com Protection Status