"Pasien? Laki- laki apa perempuan?" tanyaku membalikkan badan, lalu mencoba untuk duduk."Anak kecil, seumuran Zidan," jawabnya, lagi-lagi aku harus merasa bersalah karena telah berburuk sangka."Zidan? Kasihan sekali," gumamku dalam hati."Pergilah. Anak itu lebih membutuhkanmu," kataku, sejenak aku benar-benar merasa tidak punya hati, aku sadar bahwa Dokter Mirza bukan sepenuhnya milikku, dia juga punya pasien yang harus dipikirkan. Aku tidak bisa bersikap egois juga, 'kan? Dia juga memiliki tanggung jawab pada pasiennya, tidak bisa seenaknya meninggalkan pasien hanya karena mementingkan aku. Aku benar-benar merasa sangat bersalah, sebagai orang yang paham dengan pekerjaan di dunia kesehatan, harusnya aku mengerti posisinya, dia harus menyelesaikan tugasnya, tidak bisa meninggalkan semua pasiennya secara mendadak, semua juga butuh proses."Apa kamu tidak akan marah, Ana? Sekarang saya punya tanggung jawab pada istri saya selain pada pasien saya." Pertanyaan itu sempat membuat jantu
POV ANAAkhirnya aku pun harus rela melepas kepergian Dokter Mirza, aku tak tahu akan seperti apa hubungan kami selanjutnya. Yang pasti kami hanya bisa berusaha untuk sama-sama menjaga hati, untuk sama- ama berusaha menjaga ikatan pernikahan ini, selebihnya biarlah Tuhan yang bekerja.Aku bergeming setelah bayangannya benar-benar menghilang di balik pintu. Kuhela napas panjangku. Kulihat jam dinding dan terus menghitung waktu mundur. Tak berselang lama, terdengar suara pintu dibuka, aku menoleh. Umi datang dari balik pintu."Umi ...," kataku dengan nada bergetar menahan sesak."Ana, Sayang ... kenapa, Nduk?" tanya Umi menghampiriku. Dan akhirnya tangisku pun pecah kala Umi semakin dekat, kupeluk, dan kutumpahkan segala emosiku. Usahaku untuk kuat dan ikhlas nyatanya tak semudah yang kubayangkan."Sayang ... kenapa nangis?" tanya Umi mengusap punggungku lembut, Umi adalah tempat ternyaman saat aku benar-benar membutuhkan seorang penopang, hanya dengannya lah aku berbagi selama ini."A
POV ANAKuisi waktu luang di tengah malamku untuk menghubungi dokter cintaku. Maksudnya suamiku namun dengan nomor yang baru kubeli beberapa hari yang lalu. Dia selalu melarangku menggunakan waktu luang tengah malam untuk bermain ponsel, lebih baik menggunakan waktu untuk tidur sejenak katanya. Jadi aku memilih untuk memakai nomor baru dengan nama Mbak Lia lagi. Siapa tahu dengan ini akhir bulan ia bisa menyempatkan diri untuk pulang dan datang di pernikahan Mbak Lia. Tapi, nyatanya salah, aku justru dibuat terperanjat saat dia membalas pesanku dan berkata tidak akan datang karena tidak mau melihat Mbak Lia duduk di pelaminan.Jantungku rasanya ingin keluar dari tempatnya. Apa ini maksudnya dia ada hati dengan Mbak Lia? Dan yang lebih parahnya, dia mengatakan sedang memikirkan Mbak Lia, apa maksudnya? Jawaban itu benar-benar membuatku meradang."Kurang ajar!" sentakku."Siapa yang kurang ajar, An?" tanya Hanin yang mendengar perkataan yang reflek keluar."Nggak, Nin, aku keluar dulu
POV MIRZASetelah Ana tetap saja tidak mau mengangkat telepon dariku, aku memutuskan untuk segera memesan tiket penerbangan ke Jakarta, perhitungan waktu pun segera kulakukan, mengingat perbedaan waktu Indonesia-Jerman cukup jauh berbeda. Apa lagi penerbangan yang membutuhkan waktu sangat lama membuatku harus memperhitungkan semuanya karena tak mungkin mengambil cuti untuk beberapa hari secara mendadak.Aku memutuskan untuk berangkat setelah jam kunjungan pasien terakhir. Kuperkirakan akan sampai di Jakarta tepat pukul 11 siang, memang akan sedikit lebih terlambat untuk menghadiri pernikahan Suster Lia. Aku sengaja untuk tidak mengabari atau menghubungi Ana, selain percuma, aku juga ingin memberikan surprise padanya.Surprise kuberikan, tapi justru aku sendiri yang terkejut dibuatnya, bagaimana tidak? Jika yang menjadi tujuan utamaku datang ke mari saat ini ada di atas pelaminan, bejalan bergandengan dengan pria lain di depan mataku. Istriku sedang bermain api dengan menjadi Bridesma
Makan malam romantis kami akhirnya berakhir dengan dia menyematkan sebuah cincin di jari manisku cincin yang bertuliskan R&M. Seperti rancana kami, hari ini aku akan menginap di hotel. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu yang hanya sedikit, karena suamiku mengatakan akan kembali hari senin dini hari, setidaknya aku masih punya waktu seharian bersamanya dan itu sudah lebih dari cukup.Dia memberikan kemeja panjang warna putih miliknya padaku karena aku tidak membawa baju ganti, hari ini sangat mendadak, dan berjalan begitu cepat sehingga aku tidak sempat menyiapkan semuanya. Usai membersihkan diri, aku mengistirahatkan tubuhku yang sudah mulai lelah di atas ranjang menekuk kedua lututku yang terasa pegal dan meniup kakiku yang lecet akibat sepatu hak tinggi yang seharian harus aku kenakan."Pegel, lecet, seharian kesana kemari pake hak tinggi. Sepertinya aku tidak berbakat memakai hak tinggi," keluhku sambil memijat kaki. Dia yang baru keluar dari kamar mandi mengikutiku dengan duduk di
POV Adi Wijaya (Membongkar kebusukan Rania) Kedatangan Rania dan Rehan dari luar negeri, membuatku semakin murka. Bagaimana tidak. Setelah aku membantu Dokter Dion mengungkap kasus penusukan Ana yang terjadi di rumah sakit Ayah, aku mendapatkan banyak bukti yang mencengangkan sekaligus memalukan. Rania, menantuku sendiri lah yang melakukan tindakan di luar batas itu. "Rania sama Rehan sudah pulang, Ma?" tanyaku pada istriku yang memberikan secangkir kopi padaku di ruang kerja. "Sudah, lagi istirahat sepertinya, Pa." Aku berdecak, bisa-bisanya bersikap setenang itu, setelah apa yang dilakukannya pada Ana. "Kenapa sih, Pa?" tanya istriku, aku memang tak pernah memberi tahu tentang kasus penusukan Ana padanya. Yang dia tahu, semua itu hanya murni kecelakaan dan kelalaian pihak rumah sakit jiwa. "Mama nggak ke panti? Nggak mau ketemu mantu mama?" usirku halus. "Ana sedang berkencan dengan suaminya. Kemarin mama suruh nganter motornya yang sudah lama masuk musium itu. Untung masih
POV ANAPagi- pagi sekali, kami sudah menyisir jalanan, menggunakan motor yang disewa oleh Mas Dirga. Ya, akhirnya aku menemukan nama panggilan yang cocok untuknya setelah mengingat pertemuan pertama kami di bandara waktu itu.Embun pagi yang masih begitu kentara dan sedikit mengganggu penglihatan, tak menyurutkan niat kami untuk segera berangkat ke pantai. Ya, dia bilang mau mengajakku ke pantai. Jarak yang cukup jauh mengharuskan kami berangkat lebih pagi."Dingin, An?" tanyanya di depan kemudi. "Sedikit," jawabku menutupi, kalau boleh jujur, yang kurasakan bukan hanya dingin, tapi sangat dingin, bahkan menembus tulang. Sekalipun jaket yang aku kenakan cukup tebal, namun perjalanan menuju pantai masih terasa sangat dingin, lebih-lebih waktu yang masih sangat pagi, sehingga matahari pun belum bisa menghangatkan perjalanan kami."Maaf, kita dikejar waktu. Jadi harus berangkat lebih pagi. Kalau pake mobil akan lebih lama sampainya," jelasnya di depan kemudi seraya meraih tanganku dan
"Yakin bisa naik ini?" tanyaku berdiri di atas Speedboat. Ternyata yang dia katakan mood booster itu adalah menyewa Speedboat untuk kami berdua. "Harusnya nyuruh orang yang ahli menaiki ini, kalau jatuh, aku nggak bisa renang," gerutuku, dia tak menjawab, dan sibuk memakaikan pelampung untukku. "Siap," katanya setelah pelampung terpasang sempurna di badanku.Dia memberikan satu pelampung lagi padaku lalu membalikkan badannya dan membentangkan tangannya, segera kupakaikan pelampung di tanganku itu padanya. "Kamu mendengarkan aku nggak? Kenapa tak menjawab?" tanyaku."Bisa ... duduklah," perintahnya, dengan berat hati dan perasaan cemas aku mengikutinya, duduk di sebelah kemudi. Berpegangan erat pada sisi sebelah kiri. Ini adalah kali pertamaku menaiki Speedboat dan tidak didampingi orang yang ahli pula."Apa kamu tegang?" tanyanya mulai menyalakan mesin."Sedikit."Dia mengulurkan tangannya. "Berikan tanganmu padaku." Kuberikan tangan kananku, dia meraihnya dan mengecup punggung tan
Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.
POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada
POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala
POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya
Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku
"Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit