POV MIRZASetelah Ana tetap saja tidak mau mengangkat telepon dariku, aku memutuskan untuk segera memesan tiket penerbangan ke Jakarta, perhitungan waktu pun segera kulakukan, mengingat perbedaan waktu Indonesia-Jerman cukup jauh berbeda. Apa lagi penerbangan yang membutuhkan waktu sangat lama membuatku harus memperhitungkan semuanya karena tak mungkin mengambil cuti untuk beberapa hari secara mendadak.Aku memutuskan untuk berangkat setelah jam kunjungan pasien terakhir. Kuperkirakan akan sampai di Jakarta tepat pukul 11 siang, memang akan sedikit lebih terlambat untuk menghadiri pernikahan Suster Lia. Aku sengaja untuk tidak mengabari atau menghubungi Ana, selain percuma, aku juga ingin memberikan surprise padanya.Surprise kuberikan, tapi justru aku sendiri yang terkejut dibuatnya, bagaimana tidak? Jika yang menjadi tujuan utamaku datang ke mari saat ini ada di atas pelaminan, bejalan bergandengan dengan pria lain di depan mataku. Istriku sedang bermain api dengan menjadi Bridesma
Makan malam romantis kami akhirnya berakhir dengan dia menyematkan sebuah cincin di jari manisku cincin yang bertuliskan R&M. Seperti rancana kami, hari ini aku akan menginap di hotel. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu yang hanya sedikit, karena suamiku mengatakan akan kembali hari senin dini hari, setidaknya aku masih punya waktu seharian bersamanya dan itu sudah lebih dari cukup.Dia memberikan kemeja panjang warna putih miliknya padaku karena aku tidak membawa baju ganti, hari ini sangat mendadak, dan berjalan begitu cepat sehingga aku tidak sempat menyiapkan semuanya. Usai membersihkan diri, aku mengistirahatkan tubuhku yang sudah mulai lelah di atas ranjang menekuk kedua lututku yang terasa pegal dan meniup kakiku yang lecet akibat sepatu hak tinggi yang seharian harus aku kenakan."Pegel, lecet, seharian kesana kemari pake hak tinggi. Sepertinya aku tidak berbakat memakai hak tinggi," keluhku sambil memijat kaki. Dia yang baru keluar dari kamar mandi mengikutiku dengan duduk di
POV Adi Wijaya (Membongkar kebusukan Rania) Kedatangan Rania dan Rehan dari luar negeri, membuatku semakin murka. Bagaimana tidak. Setelah aku membantu Dokter Dion mengungkap kasus penusukan Ana yang terjadi di rumah sakit Ayah, aku mendapatkan banyak bukti yang mencengangkan sekaligus memalukan. Rania, menantuku sendiri lah yang melakukan tindakan di luar batas itu. "Rania sama Rehan sudah pulang, Ma?" tanyaku pada istriku yang memberikan secangkir kopi padaku di ruang kerja. "Sudah, lagi istirahat sepertinya, Pa." Aku berdecak, bisa-bisanya bersikap setenang itu, setelah apa yang dilakukannya pada Ana. "Kenapa sih, Pa?" tanya istriku, aku memang tak pernah memberi tahu tentang kasus penusukan Ana padanya. Yang dia tahu, semua itu hanya murni kecelakaan dan kelalaian pihak rumah sakit jiwa. "Mama nggak ke panti? Nggak mau ketemu mantu mama?" usirku halus. "Ana sedang berkencan dengan suaminya. Kemarin mama suruh nganter motornya yang sudah lama masuk musium itu. Untung masih
POV ANAPagi- pagi sekali, kami sudah menyisir jalanan, menggunakan motor yang disewa oleh Mas Dirga. Ya, akhirnya aku menemukan nama panggilan yang cocok untuknya setelah mengingat pertemuan pertama kami di bandara waktu itu.Embun pagi yang masih begitu kentara dan sedikit mengganggu penglihatan, tak menyurutkan niat kami untuk segera berangkat ke pantai. Ya, dia bilang mau mengajakku ke pantai. Jarak yang cukup jauh mengharuskan kami berangkat lebih pagi."Dingin, An?" tanyanya di depan kemudi. "Sedikit," jawabku menutupi, kalau boleh jujur, yang kurasakan bukan hanya dingin, tapi sangat dingin, bahkan menembus tulang. Sekalipun jaket yang aku kenakan cukup tebal, namun perjalanan menuju pantai masih terasa sangat dingin, lebih-lebih waktu yang masih sangat pagi, sehingga matahari pun belum bisa menghangatkan perjalanan kami."Maaf, kita dikejar waktu. Jadi harus berangkat lebih pagi. Kalau pake mobil akan lebih lama sampainya," jelasnya di depan kemudi seraya meraih tanganku dan
"Yakin bisa naik ini?" tanyaku berdiri di atas Speedboat. Ternyata yang dia katakan mood booster itu adalah menyewa Speedboat untuk kami berdua. "Harusnya nyuruh orang yang ahli menaiki ini, kalau jatuh, aku nggak bisa renang," gerutuku, dia tak menjawab, dan sibuk memakaikan pelampung untukku. "Siap," katanya setelah pelampung terpasang sempurna di badanku.Dia memberikan satu pelampung lagi padaku lalu membalikkan badannya dan membentangkan tangannya, segera kupakaikan pelampung di tanganku itu padanya. "Kamu mendengarkan aku nggak? Kenapa tak menjawab?" tanyaku."Bisa ... duduklah," perintahnya, dengan berat hati dan perasaan cemas aku mengikutinya, duduk di sebelah kemudi. Berpegangan erat pada sisi sebelah kiri. Ini adalah kali pertamaku menaiki Speedboat dan tidak didampingi orang yang ahli pula."Apa kamu tegang?" tanyanya mulai menyalakan mesin."Sedikit."Dia mengulurkan tangannya. "Berikan tanganmu padaku." Kuberikan tangan kananku, dia meraihnya dan mengecup punggung tan
POV MIRZAAku terkejut saat mendengar Umi berkata ada acara syukuran di tempat Mama. Kuhubungi segera Mama, saat Ana sudah pergi ke dapur untuk membantu Umi."Halo," jawab Mama dari seberang sana."Halo Mama, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam.""Mama, mama di mana, Ma?""Di jalan, mau ke panti nganter anak-anak," jawabnya."Aku juga di panti, Ma.""Kamu di panti? Ya udah kita ketemu di sana, ya. kebetulan Mama bawa makanan kesukaanmu." "Loh, Ma. Halo." Tak ada suara lagi, Mama menutup sambungan teleponnya secara sepihak.Aku berpikir, hadiah apa yang harus kuberikan untuk Mama. Sedangkan aku sama sekali tidak siap. Benar-benar keterlaluan, bagaimana mungkin aku bisa melupakan ulang tahun Mamaku sendiri. Mama yang selalu mengingat semua yang berhubungan denganku, makanan kesukaanku, ulang tahunku, semua tentang kebahagiaanku.Saat aku sedang berpikir, tiba-tiba Ana masuk. "Belum tidur, Mas?" tanyanya menghampiriku."Kan, nungguin kamu, Sayang.""Sini ...." Kutepuk sisi sebelah kanan
POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit
Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj
Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b
POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan
POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar
Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,