POV MIRZA Aku tak menyangka bahwa Ana akan menemuiku pada acara seminar. Melihatnya pertama kali setelah berpisah setahun lamanya rasanya seperti saat pertama kali aku bertemu di bandara kala itu. Kulihat dia lebih dewasa sekarang, wajahnya tetap cantik, tak berubah, walau hanya memakai baju santai, pesonanya tetap terpancar. Kulihat ia menghampiriku, bayanganku atas sakit hatiku satu tahun yang lalu tiba-tiba muncul saat aku melihat Ana mendekatiku. Sakit hati di mana dia memilih bersama laki-laki itu saat aku berada dalam masalah. Itu yang kuingat. Maka kuputuskan untuk tak lagi mengenalnya dan bersikap seolah tak pernah mengenalnya. Berat memang, apa lagi melihat wajah yang tadinya tersenyum berubah muram saat aku mengacuhkannya. Acara seminar untuk hari pertama ini akhirnya selesai pukul 15.00 WIB. Aku kembali ke hotel yang sudah di sediakan oleh penyelenggara, menggunakan mobil yang sudah disediakan pula oleh penyelenggara acara. Aku turun dari mobil setelah sampai di depan lo
POV MIRZA.Kumantapkan hati untuk melamar Ana. Aku tahu, sebagai lelaki dewasa, tujuan sebuah cinta adalah pernikahan dan tugasku adalah menyegerakannya.Waktuku di Jakarta tidaklah banyak dan akan memakan waktu lebih lama jika harus menunggu sampai aku kembali lagi. Dengan waktu yang tidak sebentar itu bisa saja Ana akan semakin membenciku."Apa?" Umi terlahir begitu terkejut mendengar ucapanku, mungkin ini terlalu cepat. Tapi apa boleh buat. Ini satu-satunya cara."Itu lah yang ingin saya sampaikan pada Umi sejak satu tahun yang lalu," jawabku menunduk malu."Ana sudah pernah gagal dan itu cukup membuatnya terluka, hidupnya tidak mudah," kata Umi membuka suara. Seolah pemberitahuan, tapi di dalamnya menyimpan banyak makna."Saya tahu, Umi," jawabku, Umi terlihat menghela napas dalam."Saya harap, Umi akan memberi jawaban sebelum saya kembali ke Jerman." Dengan berat hati, terpaksa aku sampaikan hal ini pada Umi. Bukan maksud untuk mendesak, anggap saja aku sedang berusaha lebih kera
POV MIRZAAku kembali ke hotel setelah membayar janjiku pada Zidan, aku juga sempat pergi bersamanya hanya untuk sekedar membeli mainan dan ice cream untuk anak-anak. Rasanya begitu bahagia melihat mereka bahagia dengan pemberianku. Dan yang lebih membuatku bahagia adalah saat di sepanjang perjalanan membeli ice cream tadi, yang zidan ceritakan hanya Mbak Ana, Mbak Ana, dan Mbak Ana. Semakin Zidan bercerita tentang Ana, semakin aku memancingnya. Apa yang Zidan ceritakan sedikit mengobati rasa rinduku pada Ana. Kurebahkan tubuhku di ranjang, setelah kutunaikan kewajiban isya' ku. Hari ini cukup melelahkan bagiku. Tapi, aku senang, lelahku rasanya terobati saat mendengar status Ana. Kubuka gawaiku, lalu kubuka galery foto, di mana di sana masih tersisa satu foto Ana, foto yang belum kuhapus dan hanya bisa kusembunyikan dalam file rahasia. Foto Ana yang kuambil diam-diam saat kami makan malam di dapur apartemen satu tahun yang lalu. Senyuman lagi-lagi terukir saat aku melihat foto Ana
POV MIRZAPagi-pagi sekali Mama menghubungiku dan mengatakan bahwa, hari ini akan ke panti dan menemui Umi Zubaidah bersama Papa. Namun dengan satu syarat, syarat yang bagiku sangat berat. Papa tetaplah papa, masih saja memaksaku masuk ke perusahaanya, walau sudah seribu kali aku menolak dan jelas-jelas sudah tidak tertarik dengan dunianya itu. Lama, aku dan mama bernegosiasi tanpa Papa. Ana dan pekerjaanku sama-sama pentingnya. Jadi, aku harus benar-benar berhati-hati dalam mengambil keputusan.Namun, bagaimana aku bisa memutuskan, kalau setelah ini mau tinggal di mana saja aku masih gamang? Menetap di Jerman dan membawa Ana ikut serta bersamaku atau pindah ke Indonesia kalau lamaranku diterima oleh Umi. Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mama. Papa mungkin sedang memanfaatkan keadaan, tapi Papa lupa bahwa aku adalah anaknya, yang bisa saja lebih cerdik dari pada dirinya. Aku katakan semua keputusan akan aku serahkan pada Ana kalau Ana menjadi istriku. Kupukul telak Papaku. Dia m
POV MIRZAHatiku berbunga saat membuka pesan dari Mama yang mengatakan bahwa Umi Zubaidah menerima lamaranku di tengah acara seminar. Aku tak sabar ingin segera menemui Umi Zubaidah dan mengucapakan terimakasih padanya. Begitu acara seminar selesai hari ini, aku bergegas menemui sopir yang mengantar jemput aku ke hotel. "Dokter ...," teriak seseorang padaku saat aku berjalan menuju parkiran. Kuhentikan langkah karena sepertinya yang memanggilku adalah peserta seminar."Iya, kenapa?""Dokter, boleh foto bersama? Kami ingin buat sebagai kenang-kenangan," kata seorang pemudi bersama beberapa temanya, sepertinya mereka adalah Dokter Muda."Oh ... silahkan." Aku memberi ijin, mereka pun mengambil beberapa gambar dan berterimakasih padaku."Kalau gitu saya permisi," ujarku segera berpamitan."Sampai jumpa hari Senin, Dokter, selamat malam Minggu," teriak salah satu dari mereka kepadaku yang sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan mereka. Begitu banyak materi yang harus kusampaikan hi
POV ANAUsai shift berakhir, aku dan yang lain pergi sesuai rencana kemarin, nonton bareng di sebuah bioskop ternama. Kami pergi menggunakan taksi online agar tidak berpencar, motor kami? kami tinggalkan di parkiran rumah sakit. Selain aku, Aryo, dan Hanin, masih ada beberapa orang lagi termasuk Mbak Lia yang selalu tak mau ketinggalan. Hari ini Mbak Lia tidak membawa mobil, jadi terpaksa kami harus naik taksi. Setiba kami di bioskop, Aryo yang merupakan satu-satunya laki-laki di antara kami, pergi memesan tiket dan yang lain membeli snack. Sementara aku dan Hanin menunggu di kursi tunggu. "Ana, anter aku ke toilet, yuk ...," pinta Hanin tiba-tiba."Oh, oke, yuk," jawabku kemudian bangkit dari tempat duduk. Hanin masuk ke toilet dan aku menunggunya di depan pintu. Kubuka gawaiku, sebab, aku sudah hafal betul kelakuan Hanin kalau sudah masuk ke dalam sana, selalu betah berlama-lama. Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana, kadang aku sendiri juga heran. Kubuka akun Facebook
POV MIRZAKuikuti ke mana taksi mereka pergi setelah kutinggalkan Dokter Dion. Hingga sampailah aku pada parkiran sebuah bioskop di Jakarta. Aku turun dan masuk ke dalam. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Aku melihat Aryo sedang berdiri di antrian pemesanan tiket. Kuhampiri dia yang terlihat sendirian."Aryo ...," sapaku. Dia menoleh."Dokter Mirza?" katanya sedikit terkejut."Pesen tiket buat saya sekalian, ya. Saya mau nonton juga. Pake uang saya saja, saya traktir kalian malam ini," kataku sambil memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada Aryo."Dokter mau nonton?" lirih ia bertanya, seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri."Kenapa? Nggak boleh?" tanyaku yang tak sengaja mendengar kata-kata Aryo."Oh, boleh, Dok, boleh," katanya mengambil uang dari tanganku dengan sangat sigap.Setalah Aryo mendapatkan tiketnya aku pun mengulurkan tanganku untuk meminta, "Mana, saya lihat tiketnya.""Ini, Dok." Aryo sangat sopan dan tahu diri. Ia menyerahkan semua tiketnya padaku."Kamu k
POV ANATak disangka hari ini aku bertemu Dokter Mirza dua kali berturut-turut. Yang membuat jantungku berdebar adalah saat aku duduk berdekatan dengannya. Tak jarang aku harus menata agar degup jantungku tidak menimbulkan ketegangan di wajahku.Kami meninggalkan bioskop setelah film selesai diputar dan saat kulihat beberapa orang yang menghinaku ketika aku menemui Dokter Mirza di acara seminar waktu itu ada di depanku. Aku tak mau mereka membuatku malu lagi di depan teman-temanku. Aku memang sempat menceritakan tentang hinaan mereka pada Mbak Lia, tapi kurasa cukup sekali saja mereka menghinaku dan tak akan aku biarkan itu terjadi lagi. Sebelum mereka membahas masalah tempo hari saat aku datang ke seminar dan Dokter Mirza mengacuhkan aku, aku segera membawa teman-temanku pergi dari sana, bisa malu tujuh turunan kalau sampai semua tahu aku menemui Dokter Mirza tanpa sepengetahuan mereka.Kupesan taksi online dan kami kembali ke rumah sakit bersama-sama. Jarak rumah sakit dari bioskop
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit
Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj
Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b
POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan
POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar
Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan
"Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,