POV MIRZAJerman 11.00"Guten Tag!" ( Selamat siang!) sapa perawat yang berpapasan denganku saat aku kembali ke ruangan, setelah kepala rumah sakit memintaku untuk menemuinya."Guten Tag!" ( Selamat Siang!) balasku dengan sedikit tersenyum.Kuhempaskan tubuhku ke kursi, setelah aku mendapat kabar bahwa aku harus menjadi nara sumber dalam seminar internasional yang diadakan oleh Indonesia tepatnya di jakarta. Sedikit mengejutkan, memang aku biasa menjadi nara sumber seminar yang berhubungan dengan kanker tentunya, tapi belum pernah ke luar dari Jerman. Awalnya aku menolak, tapi pihak rumah sakit tidak bisa membatalkan. Terpaksa aku menyetujuinya.Berat rasanya harus kembali ke sana setelah sakit hati yang mendera akibat Ana. Satu minggu mengenal Ana, tapi satu tahun aku tak mampu melupakan anak itu. Wajahnya, senyumnya, matanya, semua yang ada padanya aku menyukainya. Bahkan sikapnya yang berubah-ubah dan konyol pun membuatku merasa bahagia. Tak terasa kedua ujung bibirku tertarik dan
POV ANAHari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seminar dimulai pukul 09.00 pagi ini, keberuntungan ada padaku, karena kebetulan aku dapat shift malam sehingga aku bisa ke sana dulu. Tadi malam sepulang kerja, aku sudah mencoba pergi ke apartemen yang pernah disewa Dokter Mirza satu tahun yang lalu, karena aku pikir dia akan memakai apartemen itu lagi pada kepulangannya kali ini, tapi ternyata aku salah, apartemen itu kosong. Jalan satu-satunya adalah menemuinya di tempat seminar. Hingga akhirnya aku ada di tempat ini, di depan gedung megah tempat di mana acara seminar itu akan digelar. Aku memilih menunggu di luar, karena aku tidak ikut serta dalam seminar itu. Seminar itu hanya dihadiri oleh orang-orang penting, seperti pejabat pemerintahan dan Dokter. Profesor Wijaya sepertinya juga hadir, jadi aku harus lebih berhati- hati.Kulihat jam di pergelangan tangan, acara akan dimulai kira-kira seperempat menit lagi. Terlihat sebuah mobil Toyota Alphard berhenti di depan gedung m
POV MIRZA Aku tak menyangka bahwa Ana akan menemuiku pada acara seminar. Melihatnya pertama kali setelah berpisah setahun lamanya rasanya seperti saat pertama kali aku bertemu di bandara kala itu. Kulihat dia lebih dewasa sekarang, wajahnya tetap cantik, tak berubah, walau hanya memakai baju santai, pesonanya tetap terpancar. Kulihat ia menghampiriku, bayanganku atas sakit hatiku satu tahun yang lalu tiba-tiba muncul saat aku melihat Ana mendekatiku. Sakit hati di mana dia memilih bersama laki-laki itu saat aku berada dalam masalah. Itu yang kuingat. Maka kuputuskan untuk tak lagi mengenalnya dan bersikap seolah tak pernah mengenalnya. Berat memang, apa lagi melihat wajah yang tadinya tersenyum berubah muram saat aku mengacuhkannya. Acara seminar untuk hari pertama ini akhirnya selesai pukul 15.00 WIB. Aku kembali ke hotel yang sudah di sediakan oleh penyelenggara, menggunakan mobil yang sudah disediakan pula oleh penyelenggara acara. Aku turun dari mobil setelah sampai di depan lo
POV MIRZA.Kumantapkan hati untuk melamar Ana. Aku tahu, sebagai lelaki dewasa, tujuan sebuah cinta adalah pernikahan dan tugasku adalah menyegerakannya.Waktuku di Jakarta tidaklah banyak dan akan memakan waktu lebih lama jika harus menunggu sampai aku kembali lagi. Dengan waktu yang tidak sebentar itu bisa saja Ana akan semakin membenciku."Apa?" Umi terlahir begitu terkejut mendengar ucapanku, mungkin ini terlalu cepat. Tapi apa boleh buat. Ini satu-satunya cara."Itu lah yang ingin saya sampaikan pada Umi sejak satu tahun yang lalu," jawabku menunduk malu."Ana sudah pernah gagal dan itu cukup membuatnya terluka, hidupnya tidak mudah," kata Umi membuka suara. Seolah pemberitahuan, tapi di dalamnya menyimpan banyak makna."Saya tahu, Umi," jawabku, Umi terlihat menghela napas dalam."Saya harap, Umi akan memberi jawaban sebelum saya kembali ke Jerman." Dengan berat hati, terpaksa aku sampaikan hal ini pada Umi. Bukan maksud untuk mendesak, anggap saja aku sedang berusaha lebih kera
POV MIRZAAku kembali ke hotel setelah membayar janjiku pada Zidan, aku juga sempat pergi bersamanya hanya untuk sekedar membeli mainan dan ice cream untuk anak-anak. Rasanya begitu bahagia melihat mereka bahagia dengan pemberianku. Dan yang lebih membuatku bahagia adalah saat di sepanjang perjalanan membeli ice cream tadi, yang zidan ceritakan hanya Mbak Ana, Mbak Ana, dan Mbak Ana. Semakin Zidan bercerita tentang Ana, semakin aku memancingnya. Apa yang Zidan ceritakan sedikit mengobati rasa rinduku pada Ana. Kurebahkan tubuhku di ranjang, setelah kutunaikan kewajiban isya' ku. Hari ini cukup melelahkan bagiku. Tapi, aku senang, lelahku rasanya terobati saat mendengar status Ana. Kubuka gawaiku, lalu kubuka galery foto, di mana di sana masih tersisa satu foto Ana, foto yang belum kuhapus dan hanya bisa kusembunyikan dalam file rahasia. Foto Ana yang kuambil diam-diam saat kami makan malam di dapur apartemen satu tahun yang lalu. Senyuman lagi-lagi terukir saat aku melihat foto Ana
POV MIRZAPagi-pagi sekali Mama menghubungiku dan mengatakan bahwa, hari ini akan ke panti dan menemui Umi Zubaidah bersama Papa. Namun dengan satu syarat, syarat yang bagiku sangat berat. Papa tetaplah papa, masih saja memaksaku masuk ke perusahaanya, walau sudah seribu kali aku menolak dan jelas-jelas sudah tidak tertarik dengan dunianya itu. Lama, aku dan mama bernegosiasi tanpa Papa. Ana dan pekerjaanku sama-sama pentingnya. Jadi, aku harus benar-benar berhati-hati dalam mengambil keputusan.Namun, bagaimana aku bisa memutuskan, kalau setelah ini mau tinggal di mana saja aku masih gamang? Menetap di Jerman dan membawa Ana ikut serta bersamaku atau pindah ke Indonesia kalau lamaranku diterima oleh Umi. Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mama. Papa mungkin sedang memanfaatkan keadaan, tapi Papa lupa bahwa aku adalah anaknya, yang bisa saja lebih cerdik dari pada dirinya. Aku katakan semua keputusan akan aku serahkan pada Ana kalau Ana menjadi istriku. Kupukul telak Papaku. Dia m
POV MIRZAHatiku berbunga saat membuka pesan dari Mama yang mengatakan bahwa Umi Zubaidah menerima lamaranku di tengah acara seminar. Aku tak sabar ingin segera menemui Umi Zubaidah dan mengucapakan terimakasih padanya. Begitu acara seminar selesai hari ini, aku bergegas menemui sopir yang mengantar jemput aku ke hotel. "Dokter ...," teriak seseorang padaku saat aku berjalan menuju parkiran. Kuhentikan langkah karena sepertinya yang memanggilku adalah peserta seminar."Iya, kenapa?""Dokter, boleh foto bersama? Kami ingin buat sebagai kenang-kenangan," kata seorang pemudi bersama beberapa temanya, sepertinya mereka adalah Dokter Muda."Oh ... silahkan." Aku memberi ijin, mereka pun mengambil beberapa gambar dan berterimakasih padaku."Kalau gitu saya permisi," ujarku segera berpamitan."Sampai jumpa hari Senin, Dokter, selamat malam Minggu," teriak salah satu dari mereka kepadaku yang sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan mereka. Begitu banyak materi yang harus kusampaikan hi
POV ANAUsai shift berakhir, aku dan yang lain pergi sesuai rencana kemarin, nonton bareng di sebuah bioskop ternama. Kami pergi menggunakan taksi online agar tidak berpencar, motor kami? kami tinggalkan di parkiran rumah sakit. Selain aku, Aryo, dan Hanin, masih ada beberapa orang lagi termasuk Mbak Lia yang selalu tak mau ketinggalan. Hari ini Mbak Lia tidak membawa mobil, jadi terpaksa kami harus naik taksi. Setiba kami di bioskop, Aryo yang merupakan satu-satunya laki-laki di antara kami, pergi memesan tiket dan yang lain membeli snack. Sementara aku dan Hanin menunggu di kursi tunggu. "Ana, anter aku ke toilet, yuk ...," pinta Hanin tiba-tiba."Oh, oke, yuk," jawabku kemudian bangkit dari tempat duduk. Hanin masuk ke toilet dan aku menunggunya di depan pintu. Kubuka gawaiku, sebab, aku sudah hafal betul kelakuan Hanin kalau sudah masuk ke dalam sana, selalu betah berlama-lama. Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana, kadang aku sendiri juga heran. Kubuka akun Facebook
Akhirnya aku sampai di Rumah sakit. Aku berlari menuju UGD setelah mengganti bajuku dengan baju seragam. Teman satu shift-ku pun sudah lengkap dan terlihat sangat sibuk, sepertinya baru saja ada kecelakaan bus. Begitu banyak pasien dari luka ringan hingga berat, teriakan, dan tangisan dari keluarga pasien pun memenuhi ruangan. Benar-benar merasa tidak enak, saat kondisi seperti ini malah datang terlambat."Kenapa baru datang?" tanya Hanin yang terlihat begitu sibuk membersihkan luka pasien."Maaf, " kataku, tanpa banyak lagi beralasan aku segera kubantu mereka. Sepertinya kami harus bekerja keras malam ini.Kesibukan kami baru mereda saat adzan subuh berkumandang."Akhirnya ...," kata Hanin menghempaskan tubuhnya di kursi."Tidurlah dulu, Nin, nanti kita gantian," ujarku yang ikut duduk di kursi sebelah Hanin."Kamu yakin? Kamu tadi juga kerja keras banget lo, An. Mumpung kosong pasien kita tidur sama-sama aja, An, toh nanti mereka akan bangunin kalau ada pasien datang," usul Hanin.
POV ANAHari ini akhirnya kurasakan lagi dekapan suamiku yang sudah sekian lama aku tak merasakannya, kenyamanan dan kehangatan hadir menyelimuti. Hingga semua itu berubah sakit setelah kebohongan yang ia lakukan selama ini terungkap. Ia berkata bahwa ia adalah bagian dari keluarga Wijaya, anak dari Pak Adi Wijaya malah. Bukan masalah siapa dia atau apa, tapi yang membuatku kecewa adalah kenapa harus melandasi sebuah hubungan dengan kebohongan?Kulepas pelukannya dariku, hatiku kacau, orang yang begitu kupercaya semakin memperlihatkan watak aslinya, pembohong. Ya, entah berapa kebohongan lagi yang sudah disimpan olehnya, aku pun tak tahu."Ana, jangan pergi, kita selesaikan baik-baik," cegahnya saat aku mengambil tasku dan membuka pintu."Tiga bulan, Mas, kenapa baru memberitahuku setelah kamu mendapatkan semuanya dariku?" "Apa maksudmu, Ana, apa kamu menyesal?" Aku tak menjawab, lebih baik menghentikan pertengkaran dari pada ucapanku semakin tidak terkontrol dan memperkeruh keada
POV MirzaSetelah kepulangan Ana satu bulan yang lalu, hatiku mulai gamang. Setiap hari aku memikirkan bagaimana agar bisa segera bersama Ana. Kuputuskan untuk turut serta dalam mencari dokter pengganti. Sebab, menunggu pihak rumah sakit mencari penggantiku itu akan memakan waktu lama. Kuhubungi semua rekan yang mungkin bisa membantu. Dan akhirnya usahaku berbuah manis, tak perlu menunggu terlalu lama, kami pun mendapatkan dokter pengganti yang kebetulan adalah sahabat lamaku. Mungkin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan padaku.Hari ini aku tiba di Jakarta, bagaimana dengan perasaanku? Tentu saja aku lega dan bahagia, tapi kebahagiaan itu sedikit terganggu saat kami harus bertemu dengan Rania. Mengejutkan memang, tapi masalah harus dihadapi bukan dihindari."Hai, Mirza," sapanya begitu aku dan Ana masuk ke dalam Cafe."Hai," jawabku, kugenggam erat tangan Ana, lalu meninggalkan Rania."Pantaskah seorang perawat biasa masuk ke dalam keluarga ....""Yang lebih tidak pantas lagi adala
POV Ana"Umi, aku pergi ke bandara dulu, mau jemput Mas Dirga," teriakku memakai sepatu, ya hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Suamiku pulang ke tanah air dan akan menetap di Jakarta. "Naik motor, An?" tanya Umi keluar dari dapur."Nggak, naik taksi, barangnya pasti banyak. Kan Mas Dirga pulang ke Indonesia selamanya," jawabku masih sibuk dengan sepatuku."Sudah Umi bilang jangan panggil Dirga, Umi bingung," protes Umi."Ya, ya, Dokter Mirza.""Kenapa panggil suami sendiri dokter?""Mas Mirza ...," ralatku yang tak ingin terus berdebat."Itu mending, Umi nggak bingung kalau itu.""Mungkin Ana nggak akan pulang malam ini, Mi, dia pasti akan menawanku," kataku terkekeh pelan sembari merapikan pasmina yang menjuntai panjang."Assalamu'alaikum, Umi," pamitku kucium pipi umi dan kukecup punggung tangannya."Wa'alaikumsalam."Aku bergegas keluar karena taksi sudah kupesan.Langkahku terhenti saat kulihat seseorang yang sangat kubenci berdiri lagi di depanku, Mas Adrian, penampilannya
Satu bulan berikutnya.POV NAJWAPagi ini kami duduk di meja makan. Aku, Mama, dan Papa, itu lah kebiasaan kami selama satu bulan terakhir. Lalu bagaimana dengan suamiku?Dia selalu berangkat lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Sejak Mama dan Papa mengatakan bahwa Ana memiliki pria lain, sejak itu pula Mas Adrian mengikuti dan mencari tahu siapa laki-laki itu, bahkan rela menunggu di depan panti setiap hari hanya untuk mengetahui siapa yang menjemput atau mengantar Ana.Sejak perpisahannya dengan Ana hidupnya semakin tidak terurus, lebih-lebih setelah satu bulan yang lalu, Ana mengembalikan semua bunga yang ia kirim dan menolak kedatangan Papa dan Mama, menolak kembali pada kami. Ya, aku tahu, apa yang dilakukan Mas Adrian, aku mengijinkan, tapi semua sudah terlambat. Penyesalan selalu datang di belakang, itulah yang kualami sekarang. Apa yang kulakukan pada Ana sangatlah tidak pantas, aku yang memaksanya dan aku pula yang mencampakkannya. Bagai barang yang sudah tak kubutuhkan aku
"Cari ini, Sayang ...?" tanyanya memperlihatkan kunci kamar di tangan, kuhampiri dan kuraih, tapi gagal. Dia memasukkan ke dalam baju lapis tiganya dengan cepat. "Nih Ambil sendiri kalau mau," katanya sembari mengangkat kedua tangan. Menantangku.Bagai senjata makan tuan, aku yang harusnya mengunci pintu namun justru aku sendiri yang dikunci. Aku berdecak dan berbalik meninggalkannya, dia menarik tanganku hingga aku jatuh di atas pangkuannya. "Mau ke mana?" tanyanya dengan tatapan yang mengerikan."Mau apa?" tegasku memundurkan wajah."Jangan macam-macam," sambungku berusaha melepaskan tangan yang tiba-tiba saja melingkari pinggangku."Udah marahnya, jangan marah-marah terus. Jangan mengisi kebersamaan yang cuma sebentar ini dengan amarah. Marah, boleh, tapi jangan membiarkan kemarahan itu berlarut, atau bahkan menginap sampai hari esok, Ana," ucapnya penuh kelembutan, lagi-lagi dia membuatku malu dengan caranya menyelesaikan masalah tanpa adanya amarah, yang terlihat di wajahnya sa
Akhirnya aku mengikuti Dokter Dion, pergi mencari buah tangan untuk profesor, tentu saja masih dengan disopiri oleh tuan rumah kami.Aku duduk di bangku belakang, malam ini salju terlihat sudah reda, sehingga kami tidak begitu tersiksa saat berada di luar rumah. Walau demikian kami tetap memakai mantel tebal, mantel coklat susu pemberian Mas Dirga yang kupakai untuk melindungi tubuhku dari dinginnya kota Berlin malam ini. Dan yang membuatku tak habis fikir, Mas Dirga memakai mantel yang senada denganku. Bagaimana bisa? Di depan Dokter Dion memakai mantel yang sama?"Mau makan apa, Ana?" tanya Mas Dirga melirikku dari kaca spion."Ya, terserah, lagian mana saya thau makanan apa yang ada di sini? Kalau saya mau makan ketoprak juga, nggak ada kan?" Ketus aku menjawab karena memang masih sedikit kesal.Dokter Dion terlihat menahan tawa, sedangkan suamiku menghela nafasnya lalu tersenyum, senyum yang dipaksakan."Mirza, Ana bener, mana Ana tahu, Ana baru sekali ke sini," timpal dokter Dion
Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na
Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit