Share

59. Ditolak

Penulis: Novita Sadewa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-26 10:49:05

Satu tahun berlalu setelah kepergian Dokter Mirza. Donatur panti pun kami dapat tak lama setelah aku mengajukan proposal ke Wijaya Hospital, Bu Ratri istri Pak Adi Wijaya adalah salah satunya, Dokter Dion yang merekomendasikan panti kami padanya. Satu masalah akhirnya selesai.

Setelah kepergian Dokter Mirza, aku dihadapkan dengan beberapa kali sidang perceraian yang cukup menguras tenaga, butuh waktu beberapa bulan karena Mas Adrian mempersulitnya. Segala upaya kuusahakan agar perceraian cepat terlaksana. Apa yang dilakukan Mas Adrian dan Mbak Najwa membuatku semakin mantap untuk tidak lagi berhubungan dengan mereka. Tak jarang aku menumpahkan kekesalanku pada Mbak Najwa saat menghadapi persidangan. Merasa sudah dibuat mainan olehnya, Mbak Najwa juga yang dulu cepat-cepat mendaftarkan pernikahanku dengan Mas Adrian secara resmi. Kalau saja tidak, pasti tidak akan merepotkan aku seperti itu. Hanya dengan kata talak berakhirlah hubunganku dengannya, tidak perlu membuang tenaga.

Perjuang
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yeyeh Masriah
mau dong Up nya double thor hehehehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bukan Rahim Pengganti   60. Angin segar

    POV MIRZAJerman 11.00"Guten Tag!" ( Selamat siang!) sapa perawat yang berpapasan denganku saat aku kembali ke ruangan, setelah kepala rumah sakit memintaku untuk menemuinya."Guten Tag!" ( Selamat Siang!) balasku dengan sedikit tersenyum.Kuhempaskan tubuhku ke kursi, setelah aku mendapat kabar bahwa aku harus menjadi nara sumber dalam seminar internasional yang diadakan oleh Indonesia tepatnya di jakarta. Sedikit mengejutkan, memang aku biasa menjadi nara sumber seminar yang berhubungan dengan kanker tentunya, tapi belum pernah ke luar dari Jerman. Awalnya aku menolak, tapi pihak rumah sakit tidak bisa membatalkan. Terpaksa aku menyetujuinya.Berat rasanya harus kembali ke sana setelah sakit hati yang mendera akibat Ana. Satu minggu mengenal Ana, tapi satu tahun aku tak mampu melupakan anak itu. Wajahnya, senyumnya, matanya, semua yang ada padanya aku menyukainya. Bahkan sikapnya yang berubah-ubah dan konyol pun membuatku merasa bahagia. Tak terasa kedua ujung bibirku tertarik dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-26
  • Bukan Rahim Pengganti   61. Tak mengenal

    POV ANAHari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seminar dimulai pukul 09.00 pagi ini, keberuntungan ada padaku, karena kebetulan aku dapat shift malam sehingga aku bisa ke sana dulu. Tadi malam sepulang kerja, aku sudah mencoba pergi ke apartemen yang pernah disewa Dokter Mirza satu tahun yang lalu, karena aku pikir dia akan memakai apartemen itu lagi pada kepulangannya kali ini, tapi ternyata aku salah, apartemen itu kosong. Jalan satu-satunya adalah menemuinya di tempat seminar. Hingga akhirnya aku ada di tempat ini, di depan gedung megah tempat di mana acara seminar itu akan digelar. Aku memilih menunggu di luar, karena aku tidak ikut serta dalam seminar itu. Seminar itu hanya dihadiri oleh orang-orang penting, seperti pejabat pemerintahan dan Dokter. Profesor Wijaya sepertinya juga hadir, jadi aku harus lebih berhati- hati.Kulihat jam di pergelangan tangan, acara akan dimulai kira-kira seperempat menit lagi. Terlihat sebuah mobil Toyota Alphard berhenti di depan gedung m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Bukan Rahim Pengganti   62. Mendadak melamar

    POV MIRZA Aku tak menyangka bahwa Ana akan menemuiku pada acara seminar. Melihatnya pertama kali setelah berpisah setahun lamanya rasanya seperti saat pertama kali aku bertemu di bandara kala itu. Kulihat dia lebih dewasa sekarang, wajahnya tetap cantik, tak berubah, walau hanya memakai baju santai, pesonanya tetap terpancar. Kulihat ia menghampiriku, bayanganku atas sakit hatiku satu tahun yang lalu tiba-tiba muncul saat aku melihat Ana mendekatiku. Sakit hati di mana dia memilih bersama laki-laki itu saat aku berada dalam masalah. Itu yang kuingat. Maka kuputuskan untuk tak lagi mengenalnya dan bersikap seolah tak pernah mengenalnya. Berat memang, apa lagi melihat wajah yang tadinya tersenyum berubah muram saat aku mengacuhkannya. Acara seminar untuk hari pertama ini akhirnya selesai pukul 15.00 WIB. Aku kembali ke hotel yang sudah di sediakan oleh penyelenggara, menggunakan mobil yang sudah disediakan pula oleh penyelenggara acara. Aku turun dari mobil setelah sampai di depan lo

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-27
  • Bukan Rahim Pengganti   63. Jawaban Umi

    POV MIRZA.Kumantapkan hati untuk melamar Ana. Aku tahu, sebagai lelaki dewasa, tujuan sebuah cinta adalah pernikahan dan tugasku adalah menyegerakannya.Waktuku di Jakarta tidaklah banyak dan akan memakan waktu lebih lama jika harus menunggu sampai aku kembali lagi. Dengan waktu yang tidak sebentar itu bisa saja Ana akan semakin membenciku."Apa?" Umi terlahir begitu terkejut mendengar ucapanku, mungkin ini terlalu cepat. Tapi apa boleh buat. Ini satu-satunya cara."Itu lah yang ingin saya sampaikan pada Umi sejak satu tahun yang lalu," jawabku menunduk malu."Ana sudah pernah gagal dan itu cukup membuatnya terluka, hidupnya tidak mudah," kata Umi membuka suara. Seolah pemberitahuan, tapi di dalamnya menyimpan banyak makna."Saya tahu, Umi," jawabku, Umi terlihat menghela napas dalam."Saya harap, Umi akan memberi jawaban sebelum saya kembali ke Jerman." Dengan berat hati, terpaksa aku sampaikan hal ini pada Umi. Bukan maksud untuk mendesak, anggap saja aku sedang berusaha lebih kera

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • Bukan Rahim Pengganti   64. Permintaan Mirza pada kedua orang tuanya

    POV MIRZAAku kembali ke hotel setelah membayar janjiku pada Zidan, aku juga sempat pergi bersamanya hanya untuk sekedar membeli mainan dan ice cream untuk anak-anak. Rasanya begitu bahagia melihat mereka bahagia dengan pemberianku. Dan yang lebih membuatku bahagia adalah saat di sepanjang perjalanan membeli ice cream tadi, yang zidan ceritakan hanya Mbak Ana, Mbak Ana, dan Mbak Ana. Semakin Zidan bercerita tentang Ana, semakin aku memancingnya. Apa yang Zidan ceritakan sedikit mengobati rasa rinduku pada Ana. Kurebahkan tubuhku di ranjang, setelah kutunaikan kewajiban isya' ku. Hari ini cukup melelahkan bagiku. Tapi, aku senang, lelahku rasanya terobati saat mendengar status Ana. Kubuka gawaiku, lalu kubuka galery foto, di mana di sana masih tersisa satu foto Ana, foto yang belum kuhapus dan hanya bisa kusembunyikan dalam file rahasia. Foto Ana yang kuambil diam-diam saat kami makan malam di dapur apartemen satu tahun yang lalu. Senyuman lagi-lagi terukir saat aku melihat foto Ana

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • Bukan Rahim Pengganti   65. Menemui Umi

    POV MIRZAPagi-pagi sekali Mama menghubungiku dan mengatakan bahwa, hari ini akan ke panti dan menemui Umi Zubaidah bersama Papa. Namun dengan satu syarat, syarat yang bagiku sangat berat. Papa tetaplah papa, masih saja memaksaku masuk ke perusahaanya, walau sudah seribu kali aku menolak dan jelas-jelas sudah tidak tertarik dengan dunianya itu. Lama, aku dan mama bernegosiasi tanpa Papa. Ana dan pekerjaanku sama-sama pentingnya. Jadi, aku harus benar-benar berhati-hati dalam mengambil keputusan.Namun, bagaimana aku bisa memutuskan, kalau setelah ini mau tinggal di mana saja aku masih gamang? Menetap di Jerman dan membawa Ana ikut serta bersamaku atau pindah ke Indonesia kalau lamaranku diterima oleh Umi. Hanya itu yang bisa aku katakan pada Mama. Papa mungkin sedang memanfaatkan keadaan, tapi Papa lupa bahwa aku adalah anaknya, yang bisa saja lebih cerdik dari pada dirinya. Aku katakan semua keputusan akan aku serahkan pada Ana kalau Ana menjadi istriku. Kupukul telak Papaku. Dia m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Rahim Pengganti   66. Cincin pengikat

    POV MIRZAHatiku berbunga saat membuka pesan dari Mama yang mengatakan bahwa Umi Zubaidah menerima lamaranku di tengah acara seminar. Aku tak sabar ingin segera menemui Umi Zubaidah dan mengucapakan terimakasih padanya. Begitu acara seminar selesai hari ini, aku bergegas menemui sopir yang mengantar jemput aku ke hotel. "Dokter ...," teriak seseorang padaku saat aku berjalan menuju parkiran. Kuhentikan langkah karena sepertinya yang memanggilku adalah peserta seminar."Iya, kenapa?""Dokter, boleh foto bersama? Kami ingin buat sebagai kenang-kenangan," kata seorang pemudi bersama beberapa temanya, sepertinya mereka adalah Dokter Muda."Oh ... silahkan." Aku memberi ijin, mereka pun mengambil beberapa gambar dan berterimakasih padaku."Kalau gitu saya permisi," ujarku segera berpamitan."Sampai jumpa hari Senin, Dokter, selamat malam Minggu," teriak salah satu dari mereka kepadaku yang sudah berjalan beberapa langkah meninggalkan mereka. Begitu banyak materi yang harus kusampaikan hi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Bukan Rahim Pengganti   67. Jelangkung

    POV ANAUsai shift berakhir, aku dan yang lain pergi sesuai rencana kemarin, nonton bareng di sebuah bioskop ternama. Kami pergi menggunakan taksi online agar tidak berpencar, motor kami? kami tinggalkan di parkiran rumah sakit. Selain aku, Aryo, dan Hanin, masih ada beberapa orang lagi termasuk Mbak Lia yang selalu tak mau ketinggalan. Hari ini Mbak Lia tidak membawa mobil, jadi terpaksa kami harus naik taksi. Setiba kami di bioskop, Aryo yang merupakan satu-satunya laki-laki di antara kami, pergi memesan tiket dan yang lain membeli snack. Sementara aku dan Hanin menunggu di kursi tunggu. "Ana, anter aku ke toilet, yuk ...," pinta Hanin tiba-tiba."Oh, oke, yuk," jawabku kemudian bangkit dari tempat duduk. Hanin masuk ke toilet dan aku menunggunya di depan pintu. Kubuka gawaiku, sebab, aku sudah hafal betul kelakuan Hanin kalau sudah masuk ke dalam sana, selalu betah berlama-lama. Entah apa saja yang dilakukannya di dalam sana, kadang aku sendiri juga heran. Kubuka akun Facebook

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30

Bab terbaru

  • Bukan Rahim Pengganti   99. Aku atasannya

    Ana masuk dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari dalam, bahkan saat aku masih terperangah.Kuusap wajahku. "Ya Allah, Ana ...."Tok ... tok ... tok .... "Sayang." Tak mau menyerah, aku pun mencoba untuk mengetuk pintu, namun tak ada jawaban."Sayang .,.." panggilku lagi, akhirnya terdengar suara kunci dibuka. "Alhamdulillah." Ak pun tersenyum lega. Pintu benar-benar dibuka."Nih, ambil," kata Ana memberikan bantal, selimut, dan mantel yang kuletakkan di ranjang tadi padaku."Apa ini?" sentakku sedikit kaget.Ana tak menjawab dan kembali menutup pintu rapat-rapat.Kuhela napas kasar, lalu dengan terpaksa berjalan menuju kamar Dokter Dion. Kupegang handel pintu, tapi tidak bisa terbuka, tertanda Dokter Dion pun mengunci pintu dari dalam. "Sengaja ni orang?" gerutuku, lalu mengacak rambut dengan frustasi.Brak!Brak!Brak!Akhirnya aku menggedor pintu kasar. "Dokter, Buka!" seruku, namun tak ada jawaban. "Dokter Dion! Saya dobrak, ni, kalau nggak buka!" ancamku lagi, na

  • Bukan Rahim Pengganti   98. penjelasan

    Aku mengajak Ana untuk keluar dan Ana berkata akan menyusul, karena dia masih harus mencuci mukanya agar tidak terlihat sembab dan memakai hijab dulu.Aku keluar dari kamar dan kulihat Lidia sedang berbincang akrab dengan Dokter Dion, sepertinya mereka sedang membahas masalah kedokteran.Segera kuhampiri dan kusapa, "Lidia ...," kataku sedikit canggung,"Mirza ...." Dia berdiri hendak memelukku. Aku menolak, melangkah mundur ke belakang. "Maaf Lidia jangan biasakan memeluk laki-laki yang bukan suamimu," ujarku dengan nada datar."Mirza, kamu takut? Kita kan dulu biasa melakukannya," ujarnya dengan dahi berkerut bingung."Astaghfirullah," batinku mengingat betapa bodohnya aku dulu, betapa mudahnya aku melakukan itu padahal jelas itu salah dalam ajaranku."Itu dulu Lidia, sebelum saya sadar kalau semua itu salah." "Salah gimana? Ayo lah, Za, itu cuma sekedar sapaan saja kenapa jadi berlebihan?""Ehm ... Karena Mirza nya sudah datang, kalau begitu saya permisi. Za, saya tinggal," pamit

  • Bukan Rahim Pengganti   97. Pantas betah

    Aku kembali sekitar satu jam, ada beberapa masalah yang harus kuselesaikan. Kucari keberadaan Ana dan Dokter Dion. Kulihat Dokter Dion masih berada di tempat yang sama saat aku meninggalkannya tadi. Sepertinya Dokter Dion sedang membicarakan sesuatu untuk mencari tahu tentang alat yang kudengar dibutuhkan oleh Wijaya Hospital. Tapi Ana, Ana sama sekali tak terlihat di sana."Mana Ana?" tanyaku pada Dokter Dion."Ana? Tadi ada di sini," jawabnya melihat ke arah belakang."Kebiasaan Dokter.""Ke toilet mungkin, Za," sambung Dokter Dion.Kucari Ana ke toilet seperti apa yang dikatakan oleh Dokter Dion. Aku terkejut saat kulihat Ana dan Lidia keluar dari toilet bersamaan. Kuhentikan langkahku sejenak kala keduanya berjalan ke arahku."Mirza." Lidia memanggilku dan Ana memilih pergi, melewatiku begitu saja, tanpa melihat sekalipun ke arahku."Ana ...," panggilku, Ana tak menyahut, dan terus berlalu."Mirza," teriak Lidia, aku tak menyahut, kukejar Ana, entah mengapa aku yakin telah terj

  • Bukan Rahim Pengganti   96. Wanita masa lalu

    Pengakuan Dokter Dion yang mengatakan sudah mengetahui statusku dan Ana sangatlah mencengangkan. Pasalnya dia sama sekali tidak memperlihatkan itu sejak aku menikah dengan Ana. Yang lebih membuatku cemas lagi adalah Dokter Dion mengatakan bahwa akhir-akhir ini kakekku sering keluar masuk ICU karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk dan harus dipasang ring pula.Dokter Dion juga mengatakan, jika tak mau menggantikan, setidaknya persiapkan Ana untuk menggantikan kakek, itu pesan kakekku. Terdengar sangat konyol, mana mungkin aku membiarkan Ana memikul beban seberat itu. Ana masih terlalu muda, pengalamannya pun belum seberapa. Tentu saja aku tidak akan mengijinkan.Aku mengikuti Ana ke dapur setelah Dokter Dion masuk ke kamar untuk siap-siap pergi ke pameran. Karena tak mungkin siap-siap bersamanya, satu kamar dengannya dan ganti baju bersama, membayangkannya saja ngeri.Kubantu Ana untuk mencuci piring karena pakaian Ana sudah begitu rapi jika harus mencuci piring."Ana, sini b

  • Bukan Rahim Pengganti   95. Digigit Dracula

    POV MIRZADering ponsel dengan suara adzan subuh yang biasa kupakai untuk membangunkan tidurku akhirnya memecah waktu subuh, aku sengaja mengatur alarm dengan suara Adzan, kebetulan di lingkungan tempat tinggalku tidak terdapat masjid, sehingga aku menggunakan ponselku sebagai pengingat.Kumatikan alarm ponsel, lalu kulihat Ana masih tertidur pulas dalam dekapan. "Sayang ... bangun, sholat subuh yuk." Kugoncang pelan tubuh Ana yang kini sudah lengkap dengan piyamanya. "Hem." Hanya gumaman yang kudengar, selebihnya ia mengubah posisinya seraya menarik selimut, lalu kembali tidur. Aku menggelengkan kepala. Kuputuskan untuk membersihkan diri dan sholat terlebih dahulu, dan akan kubangunkan Ana kembali setelahnya.Aku bergegas kembali ke kamar Dokter Dion yang kusulap menjadi kamarku sebelum meraka datang, kuharap dia belum bangun sehingga tak menyadari bahwa semalam aku tidak ada bersamanya. Kubuka pintu dan kulihat dia masih sama pulasnya dengan Ana. Aku segera mandi dan menjalankan

  • Bukan Rahim Pengganti   94. Hak dan kewajiban

    POV ANAAku masuk ke kamar yang sudah ditunjukkan oleh sang empunya. Kubuka dan kututup kembali. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini. Kamar yang begitu luas dengan dinding kaca besar yang terhubung langsung dengan pemandangan luar, pemandangan langit Berlin terlihat begitu nyata di hadapanku saat ini.Kusunggingkan senyumku saat kudekati ranjang besar di depanku. Di sana sudah tertata hiasan dengan kelopak bunga mawar bentuk love di atasnya. Terdapat pula piyama panjang yang sepertinya untukku, tak lupa dia siapkan pula dua handuk warna putih di dekat piyamaku. "Niat sekali," gumamku tersenyum geli melihat tingkah suamiku yang tak pernah kukira akan seromantis ini.Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tak mungkin menyuguhi suamiku dengan tubuh bay keringat karena seharian berada di pesawat. Ya, sebelum aku berangkat ke Berlin, dia sudah berpesan bahwa akan meminta haknya padaku saat aku tiba di Jerman.Usai kubersihkan diri, aku duduk di depan cermin besar

  • Bukan Rahim Pengganti   93. Obat tidur

    Tiga Minggu KemudianPOV MirzaTiga minggu yang lalu, setelah aku meninggalkan Jakarta. Aku mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Mama soal Ana dan mantan mertuanya, yang bersi keras ingin menjadikan Ana sebagai menantunya lagi. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata mantan mertua Ana adalah teman Mama dan rekan bisnis Papa. Aku marah begitu mendengar itu semua. Dan Mama, lebih marah lagi padaku, menurutnya itu semua terjadi karena sifat keras kepalaku yang tetap memilih Jerman, sehingga membuat Ana menanggung bebannya sendiri. Mama memarahiku habis- habisan.Aku tak masalah, mungkin Mama tak mengerti bagaimana profesiku berjalan. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan pasienku, dan mementingkan kehidupan pribadiku dibanding nyawa orang lain. Aku terikat oleh sumpah. Mama juga bilang tentang bunga tanpa nama. Bunga yang sepertinya sudah dikirim beberapa kali untuk Ana dan terakhir Ana menolaknya. Aku berpikir, apa bunga yang dimaksud oleh Mama adalah bunga yang sama dengan

  • Bukan Rahim Pengganti   92. Lupakan Dokter Mirza

    "Iya, Jeng. Nak Ana ini menantu kami dan kami ingin membawanya kembali ke rumah," kata Nyonya Pramono penuh percaya diri."MANTAN, Tante!" tegasku mengingatkan mereka."Tapi, saya sudah melamar Ana untuk Anak bungsu saya, i_ya kan Umi Zubaidah?" kata Tante Ratri yang membuatku lebih terkejut lagi. "Umi? Umi apa-apaan?" bisikku."Sudah, sudah, sudah! Apa-apaan ini, saya bisa pusing," kata Umi memegangi kepalanya."Tapi, Umi. Kami benar-benar ingin Ana menjadi menantu kami lagi," terang Pak Pramono."Berapa kali saya bilang, kalau saya ini, Ana, bukan barang yang main dibuang dan diambil." Keteganganpun mulai terjadi antara aku dan mantan mertuaku."Kami tidak pernah menganggap kamu sebagai barang, An. Justru kami sangat menyayangimu, mencari-cari kamu. Jangan menilai kami seperti itu," jelas Mama Mas Adrian.Kuhela napas panjang. "Oke, cukup semuanya. Mohon maaf, Tante, Tante, dan Om. Saya tidak berminat untuk menerima pinangan dari kalian semua. Karena saya sudah mempunyai pasangan,

  • Bukan Rahim Pengganti   91. Ketika mantan mertua dan ibu mertua bertemu

    POV ANAKuantar kepergian suamiku dengan senyuman subuh tadi, aku tak mau dia melihat kesedihan di wajahku yang bisa saja mengganggu pikiran dan pekerjaannya saat berada jauh dariku. Kutatap wajahku di depan cermin, kulihat tanda kepemilikan di leherku masih terlihat begitu jelas. "Kenapa baru sadar? Memalukan," gumamku.Kulupakan masalah tanda cinta itu, itu hak suamiku, aku tak bisa memarahinya. Kutatap lekat-lekat wajahku. Teringat perkataan suamiku yang lembut, namun, menyiratkan makna begitu dalam. "Bismillah." Kumantapkan hati untuk menutup aurat. Kuambil hijab pemberian Umi dan donatur Panti yang selama ini hanya kusimpan rapi dalam lemari. Jika Bu Ratri yang baru bertemu dengan Umi sekitar satu bulan yang lalu saja mampu merubah penampilannya menjadi anggun dan menutup rapat auratnya, kenapa aku yang dari kecil diasuh dan dibesarkan oleh Umi justru mengabaikan hal itu dan menganggap remeh meski berkali-kali Umi sering mengingatkanku. Kenapa harus menunggu suamiku dulu untu

DMCA.com Protection Status