Roseline menautkan kedua tangannya dengan gelisah. Matanya tak berhenti menatap jam yang tergantung di dinding berulang kali. Sudah hampir pukul satu pagi tapi jovan belum juga pulang ke rumah. Roseline tidak tahu harus berbuat apa. Ditambah ini adalah hari pertamanya menginap di rumah mertuanya. Apa yang akan ia katakan pada Abraham kalau mertuanya itu menanyakan keberadaan Jovan?
Roseline berjalan kesana kemari memikirkan cara untuk menemukan Jovan. Sial! Ia sendiri tidak tahu tempat yang sering di kunjungi oleh Jovan. Terlebih lagi mereka masih baru menikah. Tidak banyak hal yang Roseline tahu tentang Jovan. Roseline pun mengambil ponselnya, mencari nomor Jovan untuk menghubungi lelaki itu. Terdengar nada panggilan tersambung yang cukup lama. Namun tidak di jawab oleh pemiliknya. Sebenarnya apa yang terjadi? Roseline semakin risau dibuatnya.
Untuk kesekian kalinya, ia menilik jam yang tergantung di dinding. Sudah setengah dua pagi, tidak ada pilihan lain selain pergi keluar mencari Jovan. Roseline berjalan perlahan agar tidak terdengar suara langkah kakinya. Setelah sampai di pintu gerbang, ia di kejutkan dengan penjaga keamanan.
“Nona, anda mau pergi kemana tengah malam seperti ini?” tanya penjaga keamanan itu.
Roseline memutar otaknya mencari alasan. Kalau ia mengatakan ingin pergi mencari Jovan, tidak mungkin. Dari yang ia dengar, Abraham tidak pernah mengizinkan siapapun yang ada di rumahnya keluar tanpa seizinnya.
“Nona, apakah anda tahu peraturan yang ada di rumah ini?” tanya penjaga keamanan itu lagi.
Dengan cepat Roseline mengangguk. “Iya, saya tahu. Tapi saya ada keperluan yang tidak bisa ditunda. Saya harus pergi sekarang. Saya minta tolong, jangan katakan apapun pada papa. Saya janji akan kembali sebelum pagi tiba,” ujar Roseline lagi dengan tatapan memohon.
“Tapi Nona...”
“Saya mohon...” Roseline kembali memohon agar penjaga keamanan itu mau membukakan pintu untuknya.
“Tapi di jam seperti ini, sangat jarang ada kendaraan yang lewat. Apa perlu saya bantu carikan?” tawar penjaga itu.
Roseline menggeleng cepat. “Tidak perlu. Saya cari sendiri saja. Terimakasih,” ujarnya saat penjaga itu membukakan pintu gerbang untuknya.
Roseline berjalan keluar menuju jalan besar. Masih cukup banyak kendaraan yang berlalu lalang. Namun tidak ada satupun taksi yang terlihat. Mau tidak mau ia harus berjalan kaki sembari mencari taksi. Bodohnya Roseline, ia sendiri tidak tahu mau mencari Jovan kemana. Lagipula kenapa ia harus sepeduli ini dengan Jovan? Mengingat bagaimana perlakuan Jovan terhadapnya. Seharusnya ia biarkan saja appaun terjadi pada Jovan. Iya, seharusnya. Tapi entahlah apa yang mendorong Roseline untuk peduli terhadap lelaki itu.
Sepanjang ia berjalan kaki, Roseline terus memikirkan tempat yang kemungkinan di datangi oleh Jovan. Selama kurang lebih satu tahun menjabat menjadi sekretaris Jovan, ia sendiri tidak tahu banyak tentang lelaki itu. Jovan yang terlau tertutup namun juga hangat. Iya, itu adalah Jovan yang ia kenal saat berada di kantor. Sangat berbeda dengan yang ia kenal di rumah.
“Regan.”
Satu nama itu muncul di otaknya tiba-tiba. Bodoh! Kenapa tidak ingat daritadi? Roseline yakin kalau Regan pasti tahu dimana keberadaan Jovan. Untung saja ia menyimpan nomor lelaki itu saat dulu Jovan meminjam ponselnya di kantor. Tanpa pikir panjang, Roseline segera menghubungi Regan. Cukup lama namun akhirnya panggilan itu di jawab.
“Hallo, aku Roseline. Apa kau tahu dimana Jovan?”
***
“Deluna? Sedang apa kau disini?” tanya Regan dengan wajah curiga melihat kekasih sahabatnya itu berada di club tengah malam seperti ini.
Wajah Deluna tampak bingung namun gadis itu pandai menyembunyikannya. Ia langsung mengulas senyum tipis.
“Aku melihat GPS ponsel Jovan berada disini. Jadi aku memutuskan untuk mencarinya,” lalu netranya beralih menatap Jovan yang ada di rangkulan Regan. “Kenapa dia mabuk? Apa ada masalah pekerjaan?” tanyanya lagi.
Regan menggeleng. Ia sendiri juga tidak tahu apa alasan Jovan mabuk kali ini. Biasanya Jovan akan menceritakan masalahnya, tapi kali ini tidak.
“Aku akan membawanya pulang,” ujar Deluna hendak menarik tubuh Jovan namun Regan mencegahnya.
“Biar aku saja. Kau pulanglah,” pinta Regan.
Ia memang tidak mempermasalahkan hubungan Jovan dan Deluna. Tapi ia tidak akan membiarkan Deluna memonopoli Jovan untuk dirinya sendiri karena bagaimanapun Jovan sudah memiliki istri. Meskipun ia tahu tujuan Jovan menikahi Roseline, tapi sebisa mungkin Regan akan mencegahnya. Roseline bukanlah orang yang pantas bertanggung jawab atas semua yang di alami Jovan.
Deluna tampak memasang wajah masam dan juga heran. Sejak kapan Regan melarangnya bersama Jovan? Padahal dulu lelaki itu selalu memintanya untuk membawa Jovan kalau sedang mabuk.
“Gan, apa kau lupa aku siapa?” tanya Deluna mengingatkan kalau dirinya adalah kekasih Jovan.
Regan mengangguk. “Kau adalah kekasih Jovan,” jawabnya membuat Deluna tersenyum puas. “Tapi perlu kau ingat kalau kini Jovan sudah memiliki istri. Jadi aku tidak akan membiarkan kau merusak rumah tangga Jovan dan istrinya,” sambung Regan.
Deluna terperanjat mendengar penuturan Regan. Jadi Regan lebih mendukung hubungan Jovan dan jalang itu?
“Gan, kau tau apa tujuan Jovan menikahi wanita itu. Kau juga tahu kalau aku adalah wanita yang dicintai Jovan. Setelah semuanya selesai, Jovan akan menceraikan wanita itu dan menikahiku,” ujar Deluna dengan sedikit kesal.
Bagaimana bisa Regan melarangnya bersama Jovan. Tiga tahun ia menjalin hubungan dengan Jovan. Tidak mudah juga bagi Deluna menerima kenyataan bahwa Jovan menikahi wanita lain. Tapi setelah tahu apa alasan Jovan melakukan itu, Deluna menjadi tenang.
“Kehidupan manusia tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Dan juga, perasaan manusia dapat berubah seiring berjalannya waktu. Deluna, aku tahu kalian saling mencintai, tapi aku tidak akan membiarkan Jovan melakukan tindakan yang tidak seharusnya ia lakukan. Lebih baik kau pulang,” usir Regan pada Deluna dan segera memasukkan Jovan ke dalam mobilnya.
“Aku tidak akan pulang sebelum membawa Jovan bersamaku,” ujar Deluna bersikeras untuk membawa Jovan bersamanya.
“Kau-“ belum sempat Regan melanjutkan ucapannya, bunyi ponsel mengejutkannya. Ia pun melihat nomor asing yang menghubunginya dan segera mengangkatnya.
“Hallo?”
“...”
Regan tersenyum senang. “Iya. Kemarilah. Akan ku kirimkan alamtnya padamu.”
Deluna yang melihat Regan tampak senang itu menatap curiga. “Siapa?” tanyanya.
Regan memiringkan kepalanya. “Menurutmu?”
Deluna mendecak kesal dengan tingkah Regan yang memancing emosinya. Ia memilih untuk berdiam diri selagi Regan masih disini. Ia ingin melihat siapa yang akan datang menemuinya. Apakah itu ajudan Jovan?
“Kalau kau tidak ingin matamu sakit, lebih baik kau pulang sekarang,” ujar Regan.
Deluna mengerutkan alisnya tak suka. “Apa urusanmu?!”
Regan melebarkan senyumannya melihat taksi yang datang. Terlebih lagi saat seseorang yang keluar dari dalam taksi itu. Deluna melebarkan matanya saat melihat Roseline datang. Jadi wanita itu yang menghubungi Regan?
“Apa Jovan bersamamu?” tanya Roseline dengan wajah khawatir.
“Iya. Bawalah pulang suamimu,” ujar Regan tersenyum puas melihat wajah sebal milik Deluna.
Roseline memapah Jovan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi, semoga saja Abraham belum terbangun dari tidurnya. Roseline memeluk erat pinggang Jovan agar lelaki itu tidak jatuh. Jujur saja, Jovan memiliki tubuh yang cukup berat bagi Roseline yang bertubuh mungil harus mengeluarkan banyak tenaga agar bisa membawa Jovan ke kamar. Terlebih lagi kamar mereka berada di lantai dua. Roseline berjalan perlahan menaiki anak tangga satu persatu. Sesekali membenarkan posisi Jovan di pelukannya. Takut kalau Jovan bereaksi lain dan malah membuat lelaki itu jatuh. Setelah usahanya yang susah payah, akhirnya mereka sampai di kamarnya. Roseline segera membaringkan tubuh Jovan di atas ranjang. Melepaskan sepatu serta menaikkan selimutnya hingga sebatas dada.Roseline menatap wajah Jovan yang terlelap. Seulas senyum tipis tercetak di bibir tipisnya. Menyadari betapa tampan suaminya itu. Hanya saja, sikap Jovan yang selalu menyakitinya itu. Memb
Sore ini, Jovan dan Roseline memutuskan untuk pulang ke rumah. Selama perjalanan, keduanya saling bungkam. Ditambah dengan raut wajah Jovan yang tampak tegang. Sepertinya lelaki itu masih marah karena kejadian tadi. Roseline berdehem sebentar kemudian melirik ke arah Jovan. "Apa kau masih marah karena perkataan papa tadi?" Tanyanya hati-hati. Tidak ingin memancing emosi Jovan kembali.Jovan bungkam. Tampaknya tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Roseline. Lelaki itu terus fokus dengan jalanan yang ada di depannya.Melihat itu, Roseline memilih untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi. Melihat itu, membuatnya merasa rindu dengan masa dia kerja dulu. Apakah kalau ia kembali bekerja, Jovan akan mengizinkannya?"Aku ingin kembali bekerja," ujar Roseline tiba-tiba.Mendengar itu, Jovan langsung menolehkan kepalanya ke arah Roseline. Menatap wanita itu dengan tatapan tajam."Tidak ada yang mengizinkanmu kemba
Jovan tengah duduk termenung di meja kantornya. Hari ini ia sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Entahlah, setelah melihat ada Roseline di dalam kamarnya pagi tadi, membuat suasana hatinya memburuk. Apalagi saat ia tahu bahwa wanita itu yang telah merawatnya saat ia demam semalam. Dan lagi, ia tahu kebiasaan dirinya kalau demam pasti akan meracau. Membuatnya berpikir kalau Roseline pasti mendengar racauannya.Shit! Jovan melempar bolpoin yang ada ditangannya dengan kasar hingga bolpoin itu terpental hingga ke lantai. Pikirannya menjadi kacau. Tidak. Tidak seharusnya seperti ini. Ingat Jovan, tujuan awalmu menikahi Roseline itu apa. Jangan sampai karena hal kecil yang wanita itu lakukan padamu, membuatmu menjadi iba. Tidak.Jovan terus mengingatkan dirinya tentang tujuannya menikahi Roseline dan juga dengan Deluna, wanita yang dicintainya itu. Wanita yang seharusnya menjadi masa depannya. Jovan menghembuskan nafasnya kasar. Sial! Bisa-bisanya ia menjadi tidak fokus hanya karena
"Biar saya saja yang mengantarkan kepada pak Jovan," sela Deluna saat melihat resepsionis hendak berjalan mengantarkan berkas milik Jovan.Resepsionis itu tersenyum dan langsung memberikan berkas itu kepada Deluna. "Terimakasih, Bu."Deluna tersenyum tipis membalasnya. Kemudian segera bergegas menuju ruangan Jovan. Seperti biasa, ia mengetuk pintu terlebih dulu setelahnya masuk ke dalam. Senyumnya melebar saat melihat Jovan yang tengah membaca beberapa berkas di atas meja.Jovan menaikkan pandangannya saat melihat kedatangan Deluna. Lelaki itu tersenyum simpul menyambut kekasihnya. Ia segera bangkit dan langsung memeluk pinggang Deluna dengan posesif. Bibirnya mendarat di pipi wanita itu kemudian merambat turun ke leher jenjang milik Deluna. Nafasnya mulai memburu namun dengan cepat Deluna menjauhkan diri membuat Jovan langsung memasang wajah penuh kecewa. Wanita itu berjalan mendekati meja Jovan dan meletakkan dokumen yang tadi ia minta Roseline antarkan. "Kau bertemu Roseline?" Ta
Dylan menolehkan kepalanya melihat ke arah seseorang yang memanggil namanya begitu juga dengan Roseline. Sebelah alis lelaki itu terangkat kemudian senyumnya tercetak lebar. Ia lantas berdiri dan langsung memeluk orang itu. Seakan-akan sudah lama tidak bertemu, pertemuan mereka kali ini sungguh tidak di sangka."Bagaimana kabarmu?" Tanya Dylan sembari menatap orang di depannya dengan antusias. Apalagi melihat lelaki itu mengenakan jas dokter. Membuat Dylan yakin kalau orang itu sudah sangat sukses sekarang."Ah, biar ku tebak. Kau pasti dokter di sini?" Tanya Dylan lagi.Orang itu tersenyum kemudian mengangguk. "Benar sekali," ujarnya.Dylan lagi-lagi tertawa. Ia tidak menyangka akan bertemu teman lamanya di sini. Karena terakhir mereka bertemu sekitar 5 tahun yang lalu. Saat Dylan masih bekerja di kantor Jovan, orang itu sedang kuliah di luar negeri. Dan saat kembali, Dylan lah yang gantian pergi ke luar negeri."Sedang apa kau disini?" Belum sempat Dylan menjawab, pandangan lelaki i
"Roseline?!" Seru Catherine yang terkejut melihat kedatangan anak gadisnya itu.Bahkan kedua bola matanya yang mulai sayu itu berbinar cerah dan sedikit berkaca-kaca. Terlihat jelas pancaran rindu dari netranya. Kedua tangannya merentang lebar bersiap menyambut Roseline ke dalam dekapannya. Roseline yang melihat itupun langsung menghambur ke dalam pelukan Catherine. Memeluk wanita berusia setengah abad itu dengan erat. Keduanya saling melepaskan rindu yang menggunung.Roseline sampai menitikkan airmata karena terlalu rindu pada Catherine dan juga suasana panti. Setelah sesi melepas rindu, Catherine menatap Roseline dengan senyuman tipis."Jahat sekali kau tidak pernah datang kemari lagi," ujar Catherine sembari menjawil pucuk hidung Roseline.Roseline tertawa pelan. Kemudian menggandeng tangan Catherine. Bergelayut manja layaknya anak kecil kepada ibunya. "Maafkan aku, Bi. Aku selalu tidak memiliki waktu. Jadi aku baru bisa mengunjungimu sekarang," jelas Roseline pada Catherine.Rose
"Jovan?" lirih Roseline kala mendapati suaminya berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan terkejut sekaligus takut.Sementara Jovan, lelaki itu menatap tajam ke arah Roseline yang sedang ketakutan. Di tatapnya wanita yang hanya setinggi bahunya itu. Tampak Roseline menundukkan kepalanya. Mungkin merasa bersalah karena sudah melanggar aturannya. "Jovan!" sapa Catherine dengan begitu gembira melihat menantunya ada di sini. Jovan pun dengan cepat mengubah ekspresi datarnya menjadi ramah. Ditambah dengan seulas senyum lebar kepada Catherine.Catherine pun langsung bergegas memeluk Jovan seperti anaknya sendiri. Jovan pun membalas pelukan itu sembari menepuk pelan punggung Catherine. "Sudah lama kita tidak bertemu," ujar Catherine sembari mengajak Jovan untuk masuk. Roseline pun langsung mengekor di belakangnya. Ia masih bingung harus menjelaskan bagaimana kepada Jovan nanti. Apalagi saat melihat bagaimana tatapan lelaki itu padanya tadi. Seperti ingin memakan Roseline begitu saja. Ca
Tubuh Roseline luruh di dinding pintu yang tertutup rapat dengan air mata yang terus berderai. Hatinya seperti di remat, terasa begitu sakit kala Jovan membiarkannya berada di luar rumah di saat hujan mengguyur lebat. Hawa dingin mulai menusuk di kulitnya. Wanita itu menekuk kakinya dan bersandar di dinding, kedua tangan ringkih itu melingkar di kakinya. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Air matanya tak berhenti mengalir.Bagaimana bisa Jovan setega itu padanya? Apa hanya karena Dylan mengetahui statusnya sebagai istri Jovan sehingga lelaki itu marah besar padanya? Padahal itu juga bukan kemauan Roseline. Atau karena dia pergi ke panti tanpa memberitahunya? Kenapa ada manusia sejahat Jovan?Salah karena dia sempat mengira kalau Jovan adalah lelaki yang sangat menghargai wanita, memuliakan wanita, dan mengutamakan wanita. Lihat apa yang telah lelaki itu perbuat padanya. Sungguh tidak manusiawi."Apakah aku akan bertahan dengan rumah tangga yang seperti ini? Bahkan belum g
Roseline dan Dylan berjalan beriringan menuju bandara. Roseline sudah memutuskan untuk pergi ke China. Di sana, Dylan memiliki kenalan dan ia akan bekerja di perusahaan temannya Dylan itu. Dan Dylan juga, ia berencana untuk mengantar Roseline saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan apalagi Jovan. Jika lelaki itu tahu kalau Dylan juga menghilang di waktu yang bersamaan dengan perginya Roseline, ia pasti akan mencurigai Dylan.Tidak ada kata yang terucap dari bibir keduanya. Roseline sibuk dengan pemikirannya dan Dylan yang memberikan waktu Roseline untuk sendiri. Melihat Roseline yang terpuruk seperti ini, membuat sudut hati Dylan berdenyut nyeri. Siapapun tidak akan rela melihat orang yang dicintainya itu tersakiti. Kalau saja Dylan tidak memikirkan Roseline, ia pasti sudah memberi perhitungan kepada Jovan.“Dylan.” Roseline memanggil lelaki yang duduk di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada di dalam pesawat. Dylan yang namanya disebutkan itupun menoleh. “Terimakasih,” sambung R
Jovan yang baru saja mendapatkan pesan dari Roseline sontak membulatkan kedua matanya lebar. Lelaki itu bahkan sampai berkedip berulang kali siapa tau dia salah lihat. Tapi ternyata tidak. Pesan itu memang dari Roseline.Gugatan perceraian? Wanita itu berencana untuk bercerai dari Jovan? Kenapa? bukankah kemarin sudah saling sepakat kalau Jovan akan menikah lagi dan Roseline tidak keberatan? Lantas sekarang kenapa harus bercerai?Jovan tidak akan membiarkan ini terjadi. Roseline tidak boleh bercerai dengannya. Roseline harus tetap bersamanya. Apapun yang terjadi. Lelaki itupun memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia melihat Deluna yang masih sibuk mencoba beberapa gaun pengantin. "Del, aku harus mengurus sesuatu. Aku akan pesankan taksi untukmu nanti." Tanpa banyak bicara, Jovan langsung bergegas pergi meninggalkan Deluna yang belum sempat mengucapkan sepatah katapun. "Jovan!" pekik Deluna yang tak dihiraukan Jovan. Sebenarnya masalah seperti apa sampai membuat Jovan perg
“Sayang, lihat gaun ini. Apakah aku terlihat cantik?”Deluna sibuk berputar memperlihatkan gaun pengantin berwarna putih di depan Jovan. Wanita itu tersenyum lebar, karena akhirnya ia bisa menikah dengan Jovan. Ia tidak peduli dengan status istri kedua karena bagaimanapun ia adalah orang yang dicintai Jovan. Sudah tentu ia yang akan menjadi nyonya di rumah Jovan nanti. Hitung-hitung ia memiliki pembantu gratis nantinya.Sementara Jovan, lelaki itu sama sekali tidak bisa fokus. Setelah percakapannya dengan Regan malam itu, hatinya selalu merasa gelisah. Kalimat-kalimat Regan seakan berputar terus-menerus bagai kaset rusak di kepalanya.Roseline hanyalah anak yang dibesarkan di panti sejak ia masih bayi. Itu memang benar. Dan Jovan melampiaskan amarahnya pada orang yang tidak bersalah, apakah itu benar? Jovan tahu kalau itu tidak benar. Tapi entah mengapa, dendam dalam dirinya cukup sulit untuk ia hilangkan. Apalagi mengingat kalau Roseline adalah satu-satunya keturunan pembunuh itu.Jo
Sepersekian detik Roseline memejamkan mata, ia tidak merasakan ada benda apapun yang menyentuh tubuhnya. Bukankah tadi Jovan hendak melukainya? Kenapa Roseline tidak merasakan apapun? Atau mungkin sekarang Roseline tidak lagi ada di dunia? Makanya rasanya hampa. Apa Jovan langsung menghabisinya?Namun seluruh bayangan itu mendadak hilang ketika ia mendengar bunyi nyari dari benda yang terjatuh. Sontak alam bawah sadar Roseline kembali bekerja. Wanita itu membuka matanya perlahan. Tatapannya jatuh pada belati yang teronggok di lantai. Kemudian beralih menatap Jovan. Lelaki itu terdiam dengan tatapan lurus ke depan. Tatapan kosong, hampa, dan tak bergairah. Entahlah, Roseline sendiri tidak tahu dengan apa yang terjadi pada Jovan. Lelaki itu seperti memiliki kepribadian ganda. Terkadang bersikap lembut, kadang bersikap kasar. Membuat Roseline merasa bimbang.“Kenapa kau mencintaiku?”Pertanyaan lirih itu hampir tak terdengar oleh Roseline jika saja ia tidak menajamkan pendengarannya. Ro
Jantung Roseline semakin berdetak tak karuan saat ia menyadari bahwa Jovan tidak membawanya pulang ke rumah Abraham. Melainkan pulang ke rumah mereka. Roseline bahkan tak berani menatap Jovan sedikitpun. Ia selalu mengalihkan pandangannya ke arah lain asal tidak bertatapan dengan Jovan. Jovan pun tampak fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Namun bisa Roseline rasakan kalau lelaki itu sebenarnya tengah menahan amarah. Ia hanya takut kalau Jovan akan melampiaskan amarahnya nanti di rumah.Telepon Jovan yang berada di kotak dekat kursinya sejak tadi berdering tanpa henti. Roseline meliriknya sedikit kemudian mendapati nama Deluna di sana. Ah, iya. Bukankah tadi Jovan pergi bersama Deluna? Apa mungkin dia meninggalkan Deluna begitu saja hanya demi membawanya pulang? Apa mungkin amarah Jovan kali ini karena ia cemburu dengan Dylan?Roseline memejamkan matanya kemudian merutuki dirinya dalam hati. Bodoh! Mana mungkin Jovan cemburu karenanya? Pasti ada alasan lain kenapa Jovan sangat m
Dylan dan Roseline berjalan beriringan dengan dua kantong plastik di tangan mengitari pusat perbelanjaan. Setelah membeli barang yang diminta Abraham, kini Roseline menemani Dylan menuju toko jam tangan branded untuk membeli hadiah untuk Abraham. Roseline tentu saja tidak tahu tentang hal itu karena meskipun dulu saat ia masih bekerja ia juga suka memberi barang seperti tas dan sepatu.Roseline hanya melihat Dylan yang tengah sibuk memilih. Sesekali lelaki itu menanyakan pendapatnya tentang mana yang lebih bagus di antara dua pilihan. Roseline pun memilih yang menurutnya elegan dan cocok untuk Abraham.“Sepertinya yang ini lebih cocok untuk Papa,” ujar Roseline sembari menunjuk sebuah jam berantai silver dengan paduan warna hitam di dalamnya. Terlihat elegan dan berwibawa. Sangat cocok dengan karakter Abraham.Dylan tersenyum senang kala Roseline membantunya memilih. Tanpa banyak kata, ia langsung membawa jam itu menuju kasir untuk dibungkus. Setelah selesai, mereka pun keluar dari to
“Aku bahagia,” jawab Roseline sembari kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.Dylan mendesah palan. Roseline kira dia anak TK yang bisa di bohongi? Siapapun akan tahu bagaimana wajah Roseline setiap hari. Tidak pernah ada senyum di bibirnya. Tidak pernah ada binar terang di matanya. Pernikahan yang ia jalani tidaklah indah seperti bayangannya.Terlebih lagi dengan Jovan yang selalu sibuk dengan urusan Deluna. Sebenarnya mulut Dylan sangat gatal dan ingin memberitahu semua kebusukan Jovan di depan pamannya. Namun dengan karakter Roseline yang sangat melindungi suaminya itu tentu malah akan membencinya kalau ia sampai membongkar rahasia Jovan. Tapi melihat situasi ini, sungguh membuat Dylan tak tahan. Ingin rasanya ia menonjok wajah Jovan hingga tak berbentuk. Membuat wajah tampannya itu hilang. Lihat, apa yang bisa ia sombongkan selain kekayaan dan wajah tampannya itu?“Menikahi lelaki yang memiliki kekasih lain, apa itu definisi bahagiamu?”“Jaga bicaramu,” peringat Roseline s
“Jovan, aku ingin bicara.”Jovan yang tengah membuka kancing tangan kemejanya itu menoleh ke arah Roseline sebentar kemudian berdehem. “Bicaralah.”Roseline terdiam. Ia merasa bimbang apakah ini harus ditanyakan atau tidak. Tapi sungguh mengganggu pikirannya sejak tadi. Melihat Roseline yang tak kunjung bicara membuat Jovan mendengus kesal.“Kau ingin bicara atau tidak?” tanya Jovan dengan wajah kesalnya itu.“Tentang ucapanmu tadi di kamar Papa...”Jovan menaikkan sebelah alisnya saat Roseline menggantungkan kalimatnya. Ah, dia paham apa maksud wanita itu. Sontak Jovan tertawa mengejek kemudian berjalan mendekati Roseline yang tengah duduk di ranjang. Roseline yang melihat Jovan mendekat segera memasang sikap waspada.Melihat itu, Jovan semakin lucu dibuatnya. “Apa kau pikir aku akan menyakitimu di sini?”Roseline terdiam. Benar juga, ini di rumah Abraham. Mana mungkin Jovan akan menyakitinya.“Dengarkan aku, Rose. Apa yang ku katakan di kamar Papa tadi memang benar. Aku akan memberi
Jovan menatap ke arah jam yang menggantung. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Roseline belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemana wanita itu? Apa mungkin dia kabur dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini? Jovan menunggu di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Sementara Deluna, wanita itu sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu dengan taksi. Jovan beralasan mengantuk dan ingin segera tidur sehingga tidak bisa mengantar Deluna. Padahal kenyataannya ia cemas karena Roseline belum juga pulang.Berkali-kali Jovan mengecek keadaan diluar melalui jendela. Barang kali tampak Roseline berjalan pulang, namun nihil. Sejak tadi tidak ada siapapun yang datang. Merasa tak tenang, Jovan pun memutuskan untuk pergi mencari Roseline. Lelaki itu menyambar jaket kulit berwarna cokelat yang dibelinya saat sehari sebelum hari pernikahannya dengan Roseline lalu memakainya. Baru saja Jovan keluar hendak menuju garasi mobil, ia melihat Roseline berjalan dengan riang sembari menenteng satu