Dylan menolehkan kepalanya melihat ke arah seseorang yang memanggil namanya begitu juga dengan Roseline. Sebelah alis lelaki itu terangkat kemudian senyumnya tercetak lebar. Ia lantas berdiri dan langsung memeluk orang itu. Seakan-akan sudah lama tidak bertemu, pertemuan mereka kali ini sungguh tidak di sangka."Bagaimana kabarmu?" Tanya Dylan sembari menatap orang di depannya dengan antusias. Apalagi melihat lelaki itu mengenakan jas dokter. Membuat Dylan yakin kalau orang itu sudah sangat sukses sekarang."Ah, biar ku tebak. Kau pasti dokter di sini?" Tanya Dylan lagi.Orang itu tersenyum kemudian mengangguk. "Benar sekali," ujarnya.Dylan lagi-lagi tertawa. Ia tidak menyangka akan bertemu teman lamanya di sini. Karena terakhir mereka bertemu sekitar 5 tahun yang lalu. Saat Dylan masih bekerja di kantor Jovan, orang itu sedang kuliah di luar negeri. Dan saat kembali, Dylan lah yang gantian pergi ke luar negeri."Sedang apa kau disini?" Belum sempat Dylan menjawab, pandangan lelaki i
"Roseline?!" Seru Catherine yang terkejut melihat kedatangan anak gadisnya itu.Bahkan kedua bola matanya yang mulai sayu itu berbinar cerah dan sedikit berkaca-kaca. Terlihat jelas pancaran rindu dari netranya. Kedua tangannya merentang lebar bersiap menyambut Roseline ke dalam dekapannya. Roseline yang melihat itupun langsung menghambur ke dalam pelukan Catherine. Memeluk wanita berusia setengah abad itu dengan erat. Keduanya saling melepaskan rindu yang menggunung.Roseline sampai menitikkan airmata karena terlalu rindu pada Catherine dan juga suasana panti. Setelah sesi melepas rindu, Catherine menatap Roseline dengan senyuman tipis."Jahat sekali kau tidak pernah datang kemari lagi," ujar Catherine sembari menjawil pucuk hidung Roseline.Roseline tertawa pelan. Kemudian menggandeng tangan Catherine. Bergelayut manja layaknya anak kecil kepada ibunya. "Maafkan aku, Bi. Aku selalu tidak memiliki waktu. Jadi aku baru bisa mengunjungimu sekarang," jelas Roseline pada Catherine.Rose
"Jovan?" lirih Roseline kala mendapati suaminya berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan terkejut sekaligus takut.Sementara Jovan, lelaki itu menatap tajam ke arah Roseline yang sedang ketakutan. Di tatapnya wanita yang hanya setinggi bahunya itu. Tampak Roseline menundukkan kepalanya. Mungkin merasa bersalah karena sudah melanggar aturannya. "Jovan!" sapa Catherine dengan begitu gembira melihat menantunya ada di sini. Jovan pun dengan cepat mengubah ekspresi datarnya menjadi ramah. Ditambah dengan seulas senyum lebar kepada Catherine.Catherine pun langsung bergegas memeluk Jovan seperti anaknya sendiri. Jovan pun membalas pelukan itu sembari menepuk pelan punggung Catherine. "Sudah lama kita tidak bertemu," ujar Catherine sembari mengajak Jovan untuk masuk. Roseline pun langsung mengekor di belakangnya. Ia masih bingung harus menjelaskan bagaimana kepada Jovan nanti. Apalagi saat melihat bagaimana tatapan lelaki itu padanya tadi. Seperti ingin memakan Roseline begitu saja. Ca
Tubuh Roseline luruh di dinding pintu yang tertutup rapat dengan air mata yang terus berderai. Hatinya seperti di remat, terasa begitu sakit kala Jovan membiarkannya berada di luar rumah di saat hujan mengguyur lebat. Hawa dingin mulai menusuk di kulitnya. Wanita itu menekuk kakinya dan bersandar di dinding, kedua tangan ringkih itu melingkar di kakinya. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Air matanya tak berhenti mengalir.Bagaimana bisa Jovan setega itu padanya? Apa hanya karena Dylan mengetahui statusnya sebagai istri Jovan sehingga lelaki itu marah besar padanya? Padahal itu juga bukan kemauan Roseline. Atau karena dia pergi ke panti tanpa memberitahunya? Kenapa ada manusia sejahat Jovan?Salah karena dia sempat mengira kalau Jovan adalah lelaki yang sangat menghargai wanita, memuliakan wanita, dan mengutamakan wanita. Lihat apa yang telah lelaki itu perbuat padanya. Sungguh tidak manusiawi."Apakah aku akan bertahan dengan rumah tangga yang seperti ini? Bahkan belum g
"Apa kau baik-baik saja?"Roseline menyipitkan matanya saat cahaya matahari masuk ke retina matanya melalui jendela kaca yang ada di ruangan itu. Kepalanya terasa begitu berat dan juga pusing. "Dimana yang sakti?" Roseline menolehkan kepalanya sedikit ke arah samping ranjang. Mendapati Jovan yang sedang menatapnya dingin namun terlihat jelas ada sorot khawatir di netra hitam legam itu. Lelaki itu tampak sudah siap dengan jas kantornya namun masih setia duduk menjaga Roseline.Roseline mengernyitkan keningnya heran, apa mungkin karena kehujanan semalam membuatnya menjadi halu? Mana mungkin Jovan mau menemaninya apalagi merawatnya ketika sakit? Mengingat bagaimana kejamnya lelaki itu semalam meninggalkannya di luar rumah. Sangat tidak mungkin, jika lelaki itu di sini. Pasti ia sedang halu.Roseline memukul kepalanya berulang kali, berharap kalau bayangan Jovan di depannya itu menghilang. Melihat Roseline yang memukul kepalanya, segera Jovan menghentikan tangan wanita itu."Hei, apa ya
“Apa mungkin yang Dylan maksud itu adalah Roseline?” gumam Jovan sembari menatap gamang ke arah jendela kaca yang ada di ruangan kantornya.Hamparan pemandangan kota di sore ini tampak begitu indah. Langit terlihat cerah dengan warna jingga kemerahan, membuat siapapun yang memandang akan menatpnya kagum. Lelaki itu memegang cangkir berisi kopi yang hanya tinggal setengah itu. Pikirannya mendadak campur aduk. Apalagi mengingat perkataan Dylan pagi tadi. Kalau memang benar sepupunya itu menyukai Roseline, bagaimana?Jovan mendengus sebentar kemudian mengerutkan alisnya seperti tengah menyadari sesuatu. Memangnya kenapa kalau Dylan menyukai Roseline? Apa urusannya? Toh, tujuan dia menikahi Roseline itu hanya untuk balas dendam, kan? Jovan juga tidak akan melibatkan perasaan apapun dengan wanita itu. Ia masih ingat kalau dirinya memiliki Deluna yang jauh lebih baik daripada Roseline.Namun sekelebat bayangan akan sikapnya pagi tadi terhadap wanita itu. Tidak! Itu sama sekali bukan dirinya
Kesal? Tentu saja. Roseline adalah istri sah Jovan tapi ia harus kalah dengan Deluna yang hanya kekasih gelap suaminya. Ingin rasanya ia menjambak rambut merah seperti tersengat listrik milik Deluna akan tetapi ia masih sayang dengan nyawanya. Jovan bisa saja membunuhnya kalau ia sampai menyakiti Deluna. Teringat jelas saat pertama kali wanita itu berkunjung ke rumahnya dan dengan sombongnya memamerkan hubungannya dengan Jovan. Apa hebatnya? Toh, Roseline sendiri malah sudah pernah tidur dengan Jovan. Meskipun...Roseline tak mau mengingatnya. Setiap kali Jovan menginginkannya, Roseline harus meminum obat pencegah kehamilan. Sebegitu jijikkah jovan sehingga tidak ingin memiliki anak dengannya? Padahal Abraham sangat mendambakan cucu dari mereka.Huft... Roseline mendesah pasrah lantas duduk di atas ranjangnya. Menatap keluar jendela, langit tampak gelap. Tidak ada cahaya bulan atau kerlipan bintang malam. Seperti tengah mendukung kegalauan hati Roseline saat ini. Hubungannya dengan Jo
Jovan menatap ke arah jam yang menggantung. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Roseline belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemana wanita itu? Apa mungkin dia kabur dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini? Jovan menunggu di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Sementara Deluna, wanita itu sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu dengan taksi. Jovan beralasan mengantuk dan ingin segera tidur sehingga tidak bisa mengantar Deluna. Padahal kenyataannya ia cemas karena Roseline belum juga pulang.Berkali-kali Jovan mengecek keadaan diluar melalui jendela. Barang kali tampak Roseline berjalan pulang, namun nihil. Sejak tadi tidak ada siapapun yang datang. Merasa tak tenang, Jovan pun memutuskan untuk pergi mencari Roseline. Lelaki itu menyambar jaket kulit berwarna cokelat yang dibelinya saat sehari sebelum hari pernikahannya dengan Roseline lalu memakainya. Baru saja Jovan keluar hendak menuju garasi mobil, ia melihat Roseline berjalan dengan riang sembari menenteng satu
Roseline dan Dylan berjalan beriringan menuju bandara. Roseline sudah memutuskan untuk pergi ke China. Di sana, Dylan memiliki kenalan dan ia akan bekerja di perusahaan temannya Dylan itu. Dan Dylan juga, ia berencana untuk mengantar Roseline saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan apalagi Jovan. Jika lelaki itu tahu kalau Dylan juga menghilang di waktu yang bersamaan dengan perginya Roseline, ia pasti akan mencurigai Dylan.Tidak ada kata yang terucap dari bibir keduanya. Roseline sibuk dengan pemikirannya dan Dylan yang memberikan waktu Roseline untuk sendiri. Melihat Roseline yang terpuruk seperti ini, membuat sudut hati Dylan berdenyut nyeri. Siapapun tidak akan rela melihat orang yang dicintainya itu tersakiti. Kalau saja Dylan tidak memikirkan Roseline, ia pasti sudah memberi perhitungan kepada Jovan.“Dylan.” Roseline memanggil lelaki yang duduk di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada di dalam pesawat. Dylan yang namanya disebutkan itupun menoleh. “Terimakasih,” sambung R
Jovan yang baru saja mendapatkan pesan dari Roseline sontak membulatkan kedua matanya lebar. Lelaki itu bahkan sampai berkedip berulang kali siapa tau dia salah lihat. Tapi ternyata tidak. Pesan itu memang dari Roseline.Gugatan perceraian? Wanita itu berencana untuk bercerai dari Jovan? Kenapa? bukankah kemarin sudah saling sepakat kalau Jovan akan menikah lagi dan Roseline tidak keberatan? Lantas sekarang kenapa harus bercerai?Jovan tidak akan membiarkan ini terjadi. Roseline tidak boleh bercerai dengannya. Roseline harus tetap bersamanya. Apapun yang terjadi. Lelaki itupun memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia melihat Deluna yang masih sibuk mencoba beberapa gaun pengantin. "Del, aku harus mengurus sesuatu. Aku akan pesankan taksi untukmu nanti." Tanpa banyak bicara, Jovan langsung bergegas pergi meninggalkan Deluna yang belum sempat mengucapkan sepatah katapun. "Jovan!" pekik Deluna yang tak dihiraukan Jovan. Sebenarnya masalah seperti apa sampai membuat Jovan perg
“Sayang, lihat gaun ini. Apakah aku terlihat cantik?”Deluna sibuk berputar memperlihatkan gaun pengantin berwarna putih di depan Jovan. Wanita itu tersenyum lebar, karena akhirnya ia bisa menikah dengan Jovan. Ia tidak peduli dengan status istri kedua karena bagaimanapun ia adalah orang yang dicintai Jovan. Sudah tentu ia yang akan menjadi nyonya di rumah Jovan nanti. Hitung-hitung ia memiliki pembantu gratis nantinya.Sementara Jovan, lelaki itu sama sekali tidak bisa fokus. Setelah percakapannya dengan Regan malam itu, hatinya selalu merasa gelisah. Kalimat-kalimat Regan seakan berputar terus-menerus bagai kaset rusak di kepalanya.Roseline hanyalah anak yang dibesarkan di panti sejak ia masih bayi. Itu memang benar. Dan Jovan melampiaskan amarahnya pada orang yang tidak bersalah, apakah itu benar? Jovan tahu kalau itu tidak benar. Tapi entah mengapa, dendam dalam dirinya cukup sulit untuk ia hilangkan. Apalagi mengingat kalau Roseline adalah satu-satunya keturunan pembunuh itu.Jo
Sepersekian detik Roseline memejamkan mata, ia tidak merasakan ada benda apapun yang menyentuh tubuhnya. Bukankah tadi Jovan hendak melukainya? Kenapa Roseline tidak merasakan apapun? Atau mungkin sekarang Roseline tidak lagi ada di dunia? Makanya rasanya hampa. Apa Jovan langsung menghabisinya?Namun seluruh bayangan itu mendadak hilang ketika ia mendengar bunyi nyari dari benda yang terjatuh. Sontak alam bawah sadar Roseline kembali bekerja. Wanita itu membuka matanya perlahan. Tatapannya jatuh pada belati yang teronggok di lantai. Kemudian beralih menatap Jovan. Lelaki itu terdiam dengan tatapan lurus ke depan. Tatapan kosong, hampa, dan tak bergairah. Entahlah, Roseline sendiri tidak tahu dengan apa yang terjadi pada Jovan. Lelaki itu seperti memiliki kepribadian ganda. Terkadang bersikap lembut, kadang bersikap kasar. Membuat Roseline merasa bimbang.“Kenapa kau mencintaiku?”Pertanyaan lirih itu hampir tak terdengar oleh Roseline jika saja ia tidak menajamkan pendengarannya. Ro
Jantung Roseline semakin berdetak tak karuan saat ia menyadari bahwa Jovan tidak membawanya pulang ke rumah Abraham. Melainkan pulang ke rumah mereka. Roseline bahkan tak berani menatap Jovan sedikitpun. Ia selalu mengalihkan pandangannya ke arah lain asal tidak bertatapan dengan Jovan. Jovan pun tampak fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Namun bisa Roseline rasakan kalau lelaki itu sebenarnya tengah menahan amarah. Ia hanya takut kalau Jovan akan melampiaskan amarahnya nanti di rumah.Telepon Jovan yang berada di kotak dekat kursinya sejak tadi berdering tanpa henti. Roseline meliriknya sedikit kemudian mendapati nama Deluna di sana. Ah, iya. Bukankah tadi Jovan pergi bersama Deluna? Apa mungkin dia meninggalkan Deluna begitu saja hanya demi membawanya pulang? Apa mungkin amarah Jovan kali ini karena ia cemburu dengan Dylan?Roseline memejamkan matanya kemudian merutuki dirinya dalam hati. Bodoh! Mana mungkin Jovan cemburu karenanya? Pasti ada alasan lain kenapa Jovan sangat m
Dylan dan Roseline berjalan beriringan dengan dua kantong plastik di tangan mengitari pusat perbelanjaan. Setelah membeli barang yang diminta Abraham, kini Roseline menemani Dylan menuju toko jam tangan branded untuk membeli hadiah untuk Abraham. Roseline tentu saja tidak tahu tentang hal itu karena meskipun dulu saat ia masih bekerja ia juga suka memberi barang seperti tas dan sepatu.Roseline hanya melihat Dylan yang tengah sibuk memilih. Sesekali lelaki itu menanyakan pendapatnya tentang mana yang lebih bagus di antara dua pilihan. Roseline pun memilih yang menurutnya elegan dan cocok untuk Abraham.“Sepertinya yang ini lebih cocok untuk Papa,” ujar Roseline sembari menunjuk sebuah jam berantai silver dengan paduan warna hitam di dalamnya. Terlihat elegan dan berwibawa. Sangat cocok dengan karakter Abraham.Dylan tersenyum senang kala Roseline membantunya memilih. Tanpa banyak kata, ia langsung membawa jam itu menuju kasir untuk dibungkus. Setelah selesai, mereka pun keluar dari to
“Aku bahagia,” jawab Roseline sembari kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.Dylan mendesah palan. Roseline kira dia anak TK yang bisa di bohongi? Siapapun akan tahu bagaimana wajah Roseline setiap hari. Tidak pernah ada senyum di bibirnya. Tidak pernah ada binar terang di matanya. Pernikahan yang ia jalani tidaklah indah seperti bayangannya.Terlebih lagi dengan Jovan yang selalu sibuk dengan urusan Deluna. Sebenarnya mulut Dylan sangat gatal dan ingin memberitahu semua kebusukan Jovan di depan pamannya. Namun dengan karakter Roseline yang sangat melindungi suaminya itu tentu malah akan membencinya kalau ia sampai membongkar rahasia Jovan. Tapi melihat situasi ini, sungguh membuat Dylan tak tahan. Ingin rasanya ia menonjok wajah Jovan hingga tak berbentuk. Membuat wajah tampannya itu hilang. Lihat, apa yang bisa ia sombongkan selain kekayaan dan wajah tampannya itu?“Menikahi lelaki yang memiliki kekasih lain, apa itu definisi bahagiamu?”“Jaga bicaramu,” peringat Roseline s
“Jovan, aku ingin bicara.”Jovan yang tengah membuka kancing tangan kemejanya itu menoleh ke arah Roseline sebentar kemudian berdehem. “Bicaralah.”Roseline terdiam. Ia merasa bimbang apakah ini harus ditanyakan atau tidak. Tapi sungguh mengganggu pikirannya sejak tadi. Melihat Roseline yang tak kunjung bicara membuat Jovan mendengus kesal.“Kau ingin bicara atau tidak?” tanya Jovan dengan wajah kesalnya itu.“Tentang ucapanmu tadi di kamar Papa...”Jovan menaikkan sebelah alisnya saat Roseline menggantungkan kalimatnya. Ah, dia paham apa maksud wanita itu. Sontak Jovan tertawa mengejek kemudian berjalan mendekati Roseline yang tengah duduk di ranjang. Roseline yang melihat Jovan mendekat segera memasang sikap waspada.Melihat itu, Jovan semakin lucu dibuatnya. “Apa kau pikir aku akan menyakitimu di sini?”Roseline terdiam. Benar juga, ini di rumah Abraham. Mana mungkin Jovan akan menyakitinya.“Dengarkan aku, Rose. Apa yang ku katakan di kamar Papa tadi memang benar. Aku akan memberi
Jovan menatap ke arah jam yang menggantung. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Roseline belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemana wanita itu? Apa mungkin dia kabur dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini? Jovan menunggu di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Sementara Deluna, wanita itu sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu dengan taksi. Jovan beralasan mengantuk dan ingin segera tidur sehingga tidak bisa mengantar Deluna. Padahal kenyataannya ia cemas karena Roseline belum juga pulang.Berkali-kali Jovan mengecek keadaan diluar melalui jendela. Barang kali tampak Roseline berjalan pulang, namun nihil. Sejak tadi tidak ada siapapun yang datang. Merasa tak tenang, Jovan pun memutuskan untuk pergi mencari Roseline. Lelaki itu menyambar jaket kulit berwarna cokelat yang dibelinya saat sehari sebelum hari pernikahannya dengan Roseline lalu memakainya. Baru saja Jovan keluar hendak menuju garasi mobil, ia melihat Roseline berjalan dengan riang sembari menenteng satu