Bisa bertemu Alvaro kembali dengan keadaannya yang lebih baik dari terakhir kali aku bertemu dengannya, membuatku senang. Itu artinya, Alvaro sudah membaik, dia sudah sehat dan mungkin saja dia bisa segera pulang. Sejujurnya, aku ingin segera memberi tahu Daniel akan hal ini. Melihat betapa Daniel mengkhawatirkan Alvaro saat mencarinya tadi. Namun, Alvaro melarangku memberi tahu keberadaannya pada semua orang yang sedang mencarinya. Dan, di sinilah kami sekarang. Berada di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu. Terletak di belakang gedung rehabilitasi ini. Bahkan, Alvaro bilang, tempat itu jarang dilewati orang, karena memang terletak sangat di belakang dan mungkin terlihat menyeramkan. "Setiap kali aku ingin menyendiri, di sinilah aku berada, Selena. Mengingatmu. Mengingat segala kenangan bersamamu. Segala waktu yang telah kita habiskan bersama. Dulu." Alvaro terlihat sangat sedih. Ia sangat terpukul dengan kenyataan yang telah menimpa kisah asmara kami. "Aku minta maaf un
Setelah aku mengantarkan Alvaro ke kamar rawatnya, aku bergegas menyusul Selena yang telah pergi lebih dulu. Aku tak mau terjadi sesuatu dengannya, apalagi dia sedang dalam mode marah. Langkahku terhenti ketika mendengarkan percakapan Selena dengan Jessica. "Sebenarnya kau mencintai siapa? Daniel? Atau Alvaro?" tanya Jessica membuatku menanti jawaban apa yang akan diberikan oleh Selena. Cukup lama, gadis yang berstatus istriku itu masih terdiam.Seolah, ia masih mengolah kata apa yang akan ia jawab. Atau justru, dia memang sedang berpikir, tentang mencintaiku atau Alvaro? Atau bahkan keduanya? Melihat beberapa hari ini kedekatan kami terasa lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Namun, jelas dalam hati Selena masih ada Alvaro. "Peduli apa kau tentang hatiku?" ketus Selena menjawab pertanyaan Jessica. Padahal, aku sudah sangat menunggu tentang jawaban Selena. Nyatanya, semua tak sesuai dengan apa yang aku kira. "Aku hanya heran melihatmu. Kau terlihat mencintai Alvaro. Padahal kau sen
Aku sedikit kesal dengan sikap Daniel. Dan mungkin juga, kecewa. Dia meninggalkan aku sendiri di pinggir jalan tanpa mengantarku ke apartemen. Meski aku tahu, aku bisa sendiri masuk tanpa Daniel. Namun, sikap Daniel tak mencerminkan dirinya yang selalu terlihat mencintaiku. Apa benar dia secinta itu padaku? Sedangkan ia tega meninggalkan aku di pelataran Apartemen sendirian?Oh, ayolah Selena. Kau bukan anak kecil yang harus bermanja-manja seperti ini. Aku kesal dan mulai melangkah hendak masuk ke apartemen. Namun, sesekali aku menoleh ke arah mobil Daniel yang meninggalkanku. Ternyata, laki-laki itu kembali dengan memutar balik mobilnya. Aku tahu, dia pasti merasa bersalah. Aku tersenyum senang dan menghentikan langkah, berniat menunggu Daniel menghampiriku. Nyatanya aku dibuat terkejut dengan kehadiran Angel yang menghadang mobil Daniel. "Dia lagi?" Lirihku merasa kesal melihat Daniel berbicara dengan Angel di sana. Bahkan, ia sudah melupakan keberadaanku di sini. Ah, baiklah. Seh
"Akan aku perlihatkan, apa yang bisa kulakukan, jika kau tak memberi tahuku di mana Nick membawa Selena."Saat ini aku membawa Angel berkendara dengan kecepatan tinggi. Keadaan lalu lintas sedang tidak ramai. Hingga aku bisa dengan mudah membawa Angel menerjang jalanan kota yang sedang lengang ini. Ah, aku yakin, jika polisi cepat atau lambat akan menyadari aktifitas mengebutku saat ini. "Daniel, hentikan! Apa kau mau buat kita mati!" teriak Angel ketakutan. Seberani-beraninya Angel, aku sangat tahu, jika dirinya sangat mencintai dirinya sendiri. Mana mungkin ia mau berakhir mati konyol dengan apa yang aku perbuat."Katakan di mana Nick membawa Selena!" teriakku lagi dengan semakin menginjak gas dan menambah kecepatan mobilku. "Club! Nick membawanya ke Club!" teriak Angel dengan berpegangan erat pada apa saja yang bisa ia genggam. Aku menginjak rem lalu menoleh ke arah Angel sebentar. Tak lama kemudian aku kembali menginjak gas memutar arah menuju Club Nick. Aku yakin, Angel tak ak
"Haruskah aku mencari waktu yang tepat, untuk menumbuhkan cinta itu di hatimu?" Aku menatap lekat ke dalam manik mata Daniel yang terlihat serius menanti jawabanku. Aku melihat betapa besar cinta yang ia berikan padaku, sejak ia menolongku keluar dari Club Nick. Betapa takutnya Daniel akan terjadi sesuatu padaku, betapa khawatirnya ia saat menantiku bangun dari ketidaksadaranku. Aku benar-benar bisa merasakannya, jika cinta yang ia berikan bukanlah omong kosong belaka. Sebenarnya, aku sudah menyadari sejak lama. Namun, aku baru tahu hari ini saat ia menampilkan sejuta cintanya untukku. "Bagaimana keadaan Alvaro, Niel?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Sorot matanya menampilkan kekecewaan, karena ia tak mendapat jawaban dariku. "Aku belum menghubunginya. Biar nanti saja aku menghubunginya, saat kau sudah baik-baik saja, Selena.""Aku sudah lebih baik, Niel.""Aku tak mau membiarkan sesuatu terjadi lagi padamu, Selena. Aku sudah menyuruh orang-orangku menjaga Alvaro di sana."Tega
Aku terdiam dan masih mengolah kata untuk membuka suara di hadapan Alvaro. Adikku itu juga masih diam dan enggan menatapku. Ia selalu melihat jendela, sedangkan aku masih menata rangkaian kalimat untuk membicarakan satu hal penting padanya. "Besok, aku harus kembali." Hening. Ruangan ini terasa semakin dingin dan mencekam. Ditambah lagi sikap Alvaro yang acuh padaku. Namun, aku rasa harus segera menyelesaikan semua ini. Karena Selena juga menungguku di depan. "Aku hanya akan mengatakan kalau...""Bisakah kau biarkan kami kembali bersama?" ucap Alvaro memotong ucapanku. Aku mengangkat kepala dan melihat ke arah Alvaro yang masih membuang muka."Kalian hanya kontrak, Niel. Kau bisa mengakhiri kontrak itu.""Tapi, nasib perusahaan, sekarang ada ditanganku, Al. Jika aku membongkar semuanya, sia-sia Kakek menutupi hal yang aku buat." Alvaro segera menatapku, tajam. "Jadi, Kakek benar-benar sudah tahu hal itu?" tanyanya tak percaya. "Aku tak tahu, sejak kapan ia tahu. Padahal aku dan
Pipiku memanas, ketika Daniel telah keluar dari kamarku. Rasanya, hawa dingin di luar saja tak mampu menghilangkan rasa gerahku. Setelah memikirkan dengan matang kemarin malam, aku bertekad menentukan pilihanku. Dan aku lebih memilih melanjutkan hubunganku dengan Daniel. Lagipula, aku harus mengambil keputusan tegas untuk jalan hidupku, serta Alvaro dan juga Daniel. Aku tak mungkin membiarkan perasaan Alvaro semakin mengharapkan hubungan diantara kami. Nyatanya, perasaanku tak lagi seperti dulu. Aku rasa semua telah cepat berubah. Meski ini semua terjadi bukan karena keinginan kami. Namun, aku berpikir bahwa apa yang terjadi sudah digariskan Tuhan untuk kami. Pun sama bagi Daniel. Aku rasa, laki-laki itu berhak mendapat balasan cinta yang setimpal atas segala sikap dan kesabarannya menghadapiku. Atas semua yang telah terjadi diantara kami, ia tak pernah berbuat kasar atau bahkan sengaja menyakitiku. Pernikahan kami terjadi juga karena sebelumnya ia tidak tahu hubunganku dengan Al
Sandy menghubungiku, dan mengatakan bahwa banyak karyawan yang tiba-tiba mengundurkan diri dari kantor. Aku bergegas pergi ke kantor dan harus meninggalkan Selena yang baru saja turun dari pesawat. "Tunggu aku, Selena. Aku akan segera pulang." **********"Bagaimana ini bisa terjadi, San?" "Joshua. Sepertinya dia mengiming-imingi para karyawan dengan gaji besar untuk masuk perusahaannya yang baru," jelas Sandy membuatku terdiam sejenak. "Joshua sampai sejauh itu? Apa karyawan tidak tahu, jika mereka hanya dibodohi saja?""Tapi, tentang perusahaan itu sepertinya memang benar-benar ada. Semua karyawan melakukan pemasaran produk dari perusahaan baru Joshua," jelas Sandy semakin membuatku kaget."Benarkah? Bagaimana bisa Joshua memiliki perusahaan? Bukankah keuangannya sedang sulit? Produk apa yang mereka pasarkan? Dalam bidang apa perusahannya?" cecarku semakin geram dan ingin tahu. "Banyak sekali pertanyaanmu? Lalu mana dulu yang harus aku jawab?" tanya Sandy dan aku meliriknya taja