Aku sedikit kesal dengan sikap Daniel. Dan mungkin juga, kecewa. Dia meninggalkan aku sendiri di pinggir jalan tanpa mengantarku ke apartemen. Meski aku tahu, aku bisa sendiri masuk tanpa Daniel. Namun, sikap Daniel tak mencerminkan dirinya yang selalu terlihat mencintaiku. Apa benar dia secinta itu padaku? Sedangkan ia tega meninggalkan aku di pelataran Apartemen sendirian?Oh, ayolah Selena. Kau bukan anak kecil yang harus bermanja-manja seperti ini. Aku kesal dan mulai melangkah hendak masuk ke apartemen. Namun, sesekali aku menoleh ke arah mobil Daniel yang meninggalkanku. Ternyata, laki-laki itu kembali dengan memutar balik mobilnya. Aku tahu, dia pasti merasa bersalah. Aku tersenyum senang dan menghentikan langkah, berniat menunggu Daniel menghampiriku. Nyatanya aku dibuat terkejut dengan kehadiran Angel yang menghadang mobil Daniel. "Dia lagi?" Lirihku merasa kesal melihat Daniel berbicara dengan Angel di sana. Bahkan, ia sudah melupakan keberadaanku di sini. Ah, baiklah. Seh
"Akan aku perlihatkan, apa yang bisa kulakukan, jika kau tak memberi tahuku di mana Nick membawa Selena."Saat ini aku membawa Angel berkendara dengan kecepatan tinggi. Keadaan lalu lintas sedang tidak ramai. Hingga aku bisa dengan mudah membawa Angel menerjang jalanan kota yang sedang lengang ini. Ah, aku yakin, jika polisi cepat atau lambat akan menyadari aktifitas mengebutku saat ini. "Daniel, hentikan! Apa kau mau buat kita mati!" teriak Angel ketakutan. Seberani-beraninya Angel, aku sangat tahu, jika dirinya sangat mencintai dirinya sendiri. Mana mungkin ia mau berakhir mati konyol dengan apa yang aku perbuat."Katakan di mana Nick membawa Selena!" teriakku lagi dengan semakin menginjak gas dan menambah kecepatan mobilku. "Club! Nick membawanya ke Club!" teriak Angel dengan berpegangan erat pada apa saja yang bisa ia genggam. Aku menginjak rem lalu menoleh ke arah Angel sebentar. Tak lama kemudian aku kembali menginjak gas memutar arah menuju Club Nick. Aku yakin, Angel tak ak
"Haruskah aku mencari waktu yang tepat, untuk menumbuhkan cinta itu di hatimu?" Aku menatap lekat ke dalam manik mata Daniel yang terlihat serius menanti jawabanku. Aku melihat betapa besar cinta yang ia berikan padaku, sejak ia menolongku keluar dari Club Nick. Betapa takutnya Daniel akan terjadi sesuatu padaku, betapa khawatirnya ia saat menantiku bangun dari ketidaksadaranku. Aku benar-benar bisa merasakannya, jika cinta yang ia berikan bukanlah omong kosong belaka. Sebenarnya, aku sudah menyadari sejak lama. Namun, aku baru tahu hari ini saat ia menampilkan sejuta cintanya untukku. "Bagaimana keadaan Alvaro, Niel?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Sorot matanya menampilkan kekecewaan, karena ia tak mendapat jawaban dariku. "Aku belum menghubunginya. Biar nanti saja aku menghubunginya, saat kau sudah baik-baik saja, Selena.""Aku sudah lebih baik, Niel.""Aku tak mau membiarkan sesuatu terjadi lagi padamu, Selena. Aku sudah menyuruh orang-orangku menjaga Alvaro di sana."Tega
Aku terdiam dan masih mengolah kata untuk membuka suara di hadapan Alvaro. Adikku itu juga masih diam dan enggan menatapku. Ia selalu melihat jendela, sedangkan aku masih menata rangkaian kalimat untuk membicarakan satu hal penting padanya. "Besok, aku harus kembali." Hening. Ruangan ini terasa semakin dingin dan mencekam. Ditambah lagi sikap Alvaro yang acuh padaku. Namun, aku rasa harus segera menyelesaikan semua ini. Karena Selena juga menungguku di depan. "Aku hanya akan mengatakan kalau...""Bisakah kau biarkan kami kembali bersama?" ucap Alvaro memotong ucapanku. Aku mengangkat kepala dan melihat ke arah Alvaro yang masih membuang muka."Kalian hanya kontrak, Niel. Kau bisa mengakhiri kontrak itu.""Tapi, nasib perusahaan, sekarang ada ditanganku, Al. Jika aku membongkar semuanya, sia-sia Kakek menutupi hal yang aku buat." Alvaro segera menatapku, tajam. "Jadi, Kakek benar-benar sudah tahu hal itu?" tanyanya tak percaya. "Aku tak tahu, sejak kapan ia tahu. Padahal aku dan
Pipiku memanas, ketika Daniel telah keluar dari kamarku. Rasanya, hawa dingin di luar saja tak mampu menghilangkan rasa gerahku. Setelah memikirkan dengan matang kemarin malam, aku bertekad menentukan pilihanku. Dan aku lebih memilih melanjutkan hubunganku dengan Daniel. Lagipula, aku harus mengambil keputusan tegas untuk jalan hidupku, serta Alvaro dan juga Daniel. Aku tak mungkin membiarkan perasaan Alvaro semakin mengharapkan hubungan diantara kami. Nyatanya, perasaanku tak lagi seperti dulu. Aku rasa semua telah cepat berubah. Meski ini semua terjadi bukan karena keinginan kami. Namun, aku berpikir bahwa apa yang terjadi sudah digariskan Tuhan untuk kami. Pun sama bagi Daniel. Aku rasa, laki-laki itu berhak mendapat balasan cinta yang setimpal atas segala sikap dan kesabarannya menghadapiku. Atas semua yang telah terjadi diantara kami, ia tak pernah berbuat kasar atau bahkan sengaja menyakitiku. Pernikahan kami terjadi juga karena sebelumnya ia tidak tahu hubunganku dengan Al
Sandy menghubungiku, dan mengatakan bahwa banyak karyawan yang tiba-tiba mengundurkan diri dari kantor. Aku bergegas pergi ke kantor dan harus meninggalkan Selena yang baru saja turun dari pesawat. "Tunggu aku, Selena. Aku akan segera pulang." **********"Bagaimana ini bisa terjadi, San?" "Joshua. Sepertinya dia mengiming-imingi para karyawan dengan gaji besar untuk masuk perusahaannya yang baru," jelas Sandy membuatku terdiam sejenak. "Joshua sampai sejauh itu? Apa karyawan tidak tahu, jika mereka hanya dibodohi saja?""Tapi, tentang perusahaan itu sepertinya memang benar-benar ada. Semua karyawan melakukan pemasaran produk dari perusahaan baru Joshua," jelas Sandy semakin membuatku kaget."Benarkah? Bagaimana bisa Joshua memiliki perusahaan? Bukankah keuangannya sedang sulit? Produk apa yang mereka pasarkan? Dalam bidang apa perusahannya?" cecarku semakin geram dan ingin tahu. "Banyak sekali pertanyaanmu? Lalu mana dulu yang harus aku jawab?" tanya Sandy dan aku meliriknya taja
Setelah mendapat kabar bahwa Daniel tak bisa pulang, hatiku merasa gelisah. Ah, bukan. Rasanya seperti tak tenang, sepi, dan membosankan. "Kenapa denganku? Apa aku berharap Daniel ada di sini? Apa aku ... Merindukannya?" gumamku semakin tak karuan. Hari pertama telah terlewati tanpa Daniel. Dan hari kedua, hatiku semakin tak terkendali. Rasanya sangat hampa, dan mungkin aku benar-benar merindukannya. Lalu, masalah apa sebenarnya yang membuat Daniel tak bisa pulang? "Telpon saja jika kau rindu?" celetuk Rani membuyarkan lamunanku. "Hah? Apa maksudmu?" kilahku. "Sedari kemarin kau tidak pernah tenang sedikitpun. Katakan saja padanya, jika kau merindukannya," tambah Rani dan aku hanya memejamkan mata. Ya, benar apa kata Rani. "Apa terlalu jelas, Ran?" tanyaku sedih. Namun, Rani tertawa melihatku. "Tak masalah, itu namanya penyakit cinta, rindu, itu sudah biasa. Dan tak akan sembuh jika kau tak bertemu dengannya. Benar kan?" cerocos Rani semakin membuatku mengerucut kesal. "Ran, l
"Jangan coba-coba cari masalah denganku!" marahku pada orang yang aku benci bertahun-tahun ini. "Calm down, Boy. Aku cuma menyapa dia. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihatnya. Apa kau baik-baik saja, Sweety?" tanyanya mencoba meraih wajah Selena, tapi aku segera menepis tangannya. "Jangan macam-macam di sini! Atau aku akan...""Akan apa? Kau akan memukul Ayahmu begitu? Baiklah, lakukanlah! Dan setelah itu semua orang membicarakan hal ini sehingga seluruh awak media tahu, dan kau bisa urung memiliki perusahaan ini seutuhnya," ucapnya lebih ke arah mengancamku sekarang. Aku mengepal tangan erat. Sungguh, jika sekarang bukan ada di kantor, mungkin aku sudah membuatnya babak belur. "Daniel, sudahlah. Ayo kita pergi," ajak Selena padaku."No no no, Sweety. Kalian tak perlu pergi. Kalian yang lebih dulu di sini. Silahkan lanjutkan aktifitas panas kalian seperti tadi. Itu... Sangat sangat menggairahkan." Aku hendak menarik kerah bajunya dan segera memukulnya hingga jera. Namun, Sel
Apa?!" Begitulah jika Selena ada maunya. Ia akan memanggil Daniel dengan sebutan 'Sayang', karena tahu suaminya itu tidak akan menolak. "Ya, baiklah. Besok aku akan mengurus semuanya," jawab Daniel meski dalam otaknya sudah pusing memikirkan segalanya. Bahkan, pagi-pagi sekali Daniel menghubungi dokter kandungan yang biasa menangani Selena. Sebenarnya, saat check up sejak sebulan yang lalu, dokter sudah bisa memprediksi jenis kelamin bayi Selena dan Daniel. Namun, Selena mengatakan agar tidak mengatakannya. Ia bilang, agar menjadi surprise saat bayinya lahir. Namun, siapa yang menyangka, jika keinginan istri Daniel mendadak berubah?Dokter sudah menuliskan jenis kelamin anak Selena dan Daniel dalam sebuah kertas yang digulung pada sebuah tabung plastik. Lalu memasukkannya ke dalam sebuah balon besar. Karena acaranya begitu mendadak, jadi Daniel tak bisa berpikir untuk melakukan ide rencana yang lebih baik. Untuk itu, ia hanya mengadakan acara seperti pada umumnya. Jika saja Dani
Waktu terus berlalu. Bahkan musim telah berganti. Segala masalah yang mereka lewati pun telah menjadi hal yang hanya bisa diingat. Kita tak akan pernah tahu dengan apa yang akan terjadi. Bahkan kesulitan yang kita alami juga datangnya dari Yang Maha Kuasa, semata hanya untuk memberi kemudahan setelah kita bisa melewatinya. Meninggalnya kedua orang tua Selena, pernikahan kontrak yang dilakukan Daniel dan Selena, bahkan harus rela berpisah dengan Alvaro yang notabene adalah kekasihnya. Kemudian meninggalnya sang kakek, kejadian Alvaro di luar negeri dengan Nick, atau kembalinya sang Mama yang membuat Alvaro dan Daniel menangis haru. Serta cinta yang perlahan tumbuh di hati Selena untuk Daniel ataupun sikap rela menerima Alvaro yang mau bertanggung jawab atas Jessica, semua sudah tak luput dari campur tangan Tuhan. Lalu, kini keluarga yang sedang berbahagia itu, sedang riuh menanti kelahiran seorang bayi yang sudah ditunggu sejak sembilan bulan lamanya. Alvaro menangis haru, saat per
Setelah drama sesenggukan Jessica di kamar rias, kini sepasang mempelai pengantin itu sedang berjalan menuju altar. Tentu saja Jessica sudah diperbaiki make upnya. Karena air matanya tentu membuat riasan Jessica sedikit rusak. Daniel mengundang semua rekan kerjanya, serta para karyawan di seluruh cabang Jaya Group. Membuat pesta pernikahan Alvaro terasa sangat meriah. "Kenapa kau memandangnya seperti itu?" tanya Daniel ketika Selena menyaksikan Alvaro dan Jessica sebagai raja dan ratu hari ini. Selena hanya memutar bola mata malas. Ia tahu, suaminya itu pasti dalam mode cemburu. "Sayang, aku punya mata. Dan kau sangat tahu apa gunanya mata, kan? Untuk apa punya mata, jika tak digunakan dengan baik?" jawab Selena sehalus mungkin. "Tapi, memandang seperti itu, apakah itu cara yang baik?" protes Daniel kembali membuat Selena menarik napas panjang. Apa salahnya melihat pasangan yang menikah itu sedang berbahagia? "Apa aku tak boleh melihatnya? Apa aku harus ke kamar saja?" kesal Sel
Selena mengeratkan pegangannya pada gelas. Ia sudah menduga bahwa Daniel akan berpikir demikian. Salahnya sendiri, kenapa ia menampilkan sikap yang aneh. "Daniel... Aku tidak...""Aku tidak apa-apa, Selena. Aku sangat tahu hatimu. Wajar saja jika kau...""Aku tidak cemburu, Daniel. Aku hanya heran saja, mereka,... Alvaro sangat cepat dekat dengan Jessica. Juga, Jessica..."Selena menggantungkan ucapannya. Ia menyadari jika maksud dari ucapannya juga masih mengandung maksud yang dikatakan Daniel. Daniel segera menangkap kegelisahan istrinya itu. Ia menghampiri Selena, dan meletakkan gelas yang dibawa olehnya. "Tak perlu kau menjelaskan, aku sudah paham. Aku tahu. Sangat tahu. Memang tidak mudah melupakan seseorang yang pernah mengisi hati kita. Namun, harus selalu kau ingat, bahwa ada aku, di sisimu," ujar Daniel meletakkan sebelah tangan Selena di dadanya. Selena tersenyum lega. Sebelumnya ia takut, jika Daniel akan salah sangka padanya. Namun, siapa yang menyangka jika suaminya s
"Daniel?! Kau?! Bagaimana kau bisa ada di sini?" pekik Alvaro yang segera beranjak dan berhadapan dengan Daniel. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Al?!""Kau pun tak menghiraukan pertanyaanku, Niel!" kesal Alvaro kemudian. Keduanya mendengkus kesal bersamaan. Membuat Daniel tersenyum geli melihatnya. Ia sadar, dirinya dan adiknya adalah dua orang yang hampir sama memiliki sifat. Yaitu tidak sabaran, dan mungkin mau menang sendiri. "Oke, fine! Tadi aku mengikutimu dari belakang karena...""Dasar penguntit!" kesal Alvaro dan Daniel tercengang mendengarnya. "Dengarkan aku dulu, Adik laknat!" maki Daniel yang terpancing kesal. Alvaro hanya mendengus kasar dan membuang muka. Ia enggan bertatap muka dengan kakaknya itu. "Aku hanya menghawatirkanmu. Jadi aku mengikutimu. Apa aku salah?" "Salah! Karena kau plin plan dengan ucapanmu!" ketus Alvaro beranjak keluar dari kamarnya. Ia tak ingin istirahat Jessica terganggu. "Plin plan? Apa maksudmu?" tanya Daniel heran. Ia mengikuti langkah a
Sejak kepergian Alvaro saat mereka berpisah di Bandara, sejak itu pula Jessica merasakan kegelisahan. Gelisah karena sepertinya perutnya mulai mengalami rasa tidak nyaman seperti beberapa terakhir yang ia alami. Namun, kembali Jessica mengingat apa yang diucapkan Alvaro tadi, ia memejamkan mata dan mengingat pelukan Alvaro serta mengingat aroma tubuh calon Ayah dari anaknya itu. Sungguh, dia bukan wanita mesum selama ini. Namun, entah kenapa pikirannya tentang Alvaro sedikit membantu mengusir rasa tidak nyaman seperti mual yang ia alami. "Huufftt. Bagus, seperti itu Jessica. Kau pasti bisa," gumam Jessica terus menerus mensugesti dirinya sendiri agar tak menuruti rasa mualnya. Setibanya di apartemen Alvaro, Jessica menemukan kamar Alvaro dengan khas aroma laki-laki itu. Membuatnya merasa senang karena sepertinya ia bisa merasakan kehadiran Alvaro di sini. "Aku akan tidur di kamar ini, Anna. Bolehkah?" tanya Jessica sedikit takut. "Tentu saja, Nona. Tuan Alvaro memberiku pesan unt
Daniel memutar tubuhnya dan memeluk erat tubuh Selena. Ia seakan siap membiarkan pisau yang dipegang Angel untuk menusuk tubuhnya. Namun, sepersekian detik, ia masih tak merasakan apapun juga."Alvaro!" histeris Selena. Sontak membuat Daniel menoleh ke belakang.Ia terkejut melihat adiknya terkulai lemas dan melihat darah dari punggungnya. Daniel tercengang. Ia masih tidak percaya bahwa Alvaro menggantikan dirinya ditikam oleh Angel. Segera ia menghampiri tubuh Alvaro dan menopangnya. "Tidak! Boy? Kau tidak apa-apa, kan?" ucap Arkanta yang juga segera menghampiri Alvaro. Darah yang terlihat di tangan Daniel membuat amarahnya mencuat. "Brengsek!" Daniel menarik kerah baju Arkanta dan...Bug"Lihat ulahmu, Brengsek!" Arkanta jatuh tersungkur akibat pukulan keras dari Daniel. Bahkan, laki-laki itu lupa akan status Arkanta yang sebagai Ayahnya. Namun, Daniel sudah tidak peduli. Bahkan, bertahun-tahun lalu ia sudah tak menganggapnya sebagai seorang Ayah.Setelah melukai dan mengurung
Dua insan yang sedang dimabuk gairah itu sedang berada dalam ruangan dan tengah memadu kasih layaknya pasangan suami istri. Lenguhan, desahan terdengar hebat menggema di ruangan yang cukup besar milik Arkanta. Untung saja, Arkanta membuat ruangan itu kedap suara, karena memang itulah tujuannya ia mendirikan kamar itu. Kegiatan panas Arkanta dan Angel terhenti ketika ketukan pintu terdengar keras dan menuntut untuk segera dibuka. Bahkan, Arkanta menggeram marah dan berjanji akan membunuh siapa saja yang mengganggu aktifitasnya. "Brengsek! Apa yang kalian lakukan!" marah Arkanta saat telah membuka pintu kamarnya. Bahkan, ia tak sempat memakai pakaiannya, hanya sehelai handuk yang menutupi bagian bawah. Arkanta benar-benar marah. Bagaimana tidak, gairahnya sedang diubun-ubun, tapi semua harus terhenti karena pengawalnya datang."Bos! Ada yang datang menyerbu markas kita!" seru salah seorang pengawal membuat Arkanta mendelikkan mata tidak percaya."Apa?!" Deru napas Arkanta makin membur
Dulu, saat Selena dan Alvaro masih menjadi sepasang kekasih, hanya dengan isyarat mata saja mereka seolah mengerti maksudnya. Seperti saat ada kuliah yang terasa membosankan, Alvaro hanya mengisyaratkan mata pada Selena dengan maksud keluar dari kelas. Mereka sangat terpingkal setelah keluar dari kelas dimana jam kuliah yang bagi mereka terasa membosankan. Kini, mungkin karena tak lagi bersama, atau mungkin cinta Selena telah hilang dan sirna dari hatinya, hingga lupa tentang isyarat mata yang sering mereka lakukan di kampus. "Baiklah, Boy! Malam ini kita istirahat dulu. Aku sudah mempersiapkan kepergian kita besok. Jadi bersiaplah. Dan jangan mengelabuhiku," ucap Arkanta yang menghentikan isyarat mata Alvaro pada Selena. Untung saja Arkanta tidak melihatnya. "Baiklah, Ayah! Aku sangat senang sekali dengan rencanamu. Sepertinya, malam ini aku akan mimpi indah karena mendapat kejutan darimu," sahut Alvaro yang diakhiri dengan tawa menggelegarnya berharap apa yang dilakukannya diperc