Aku terdiam dan masih mengolah kata untuk membuka suara di hadapan Alvaro. Adikku itu juga masih diam dan enggan menatapku. Ia selalu melihat jendela, sedangkan aku masih menata rangkaian kalimat untuk membicarakan satu hal penting padanya. "Besok, aku harus kembali." Hening. Ruangan ini terasa semakin dingin dan mencekam. Ditambah lagi sikap Alvaro yang acuh padaku. Namun, aku rasa harus segera menyelesaikan semua ini. Karena Selena juga menungguku di depan. "Aku hanya akan mengatakan kalau...""Bisakah kau biarkan kami kembali bersama?" ucap Alvaro memotong ucapanku. Aku mengangkat kepala dan melihat ke arah Alvaro yang masih membuang muka."Kalian hanya kontrak, Niel. Kau bisa mengakhiri kontrak itu.""Tapi, nasib perusahaan, sekarang ada ditanganku, Al. Jika aku membongkar semuanya, sia-sia Kakek menutupi hal yang aku buat." Alvaro segera menatapku, tajam. "Jadi, Kakek benar-benar sudah tahu hal itu?" tanyanya tak percaya. "Aku tak tahu, sejak kapan ia tahu. Padahal aku dan
Pipiku memanas, ketika Daniel telah keluar dari kamarku. Rasanya, hawa dingin di luar saja tak mampu menghilangkan rasa gerahku. Setelah memikirkan dengan matang kemarin malam, aku bertekad menentukan pilihanku. Dan aku lebih memilih melanjutkan hubunganku dengan Daniel. Lagipula, aku harus mengambil keputusan tegas untuk jalan hidupku, serta Alvaro dan juga Daniel. Aku tak mungkin membiarkan perasaan Alvaro semakin mengharapkan hubungan diantara kami. Nyatanya, perasaanku tak lagi seperti dulu. Aku rasa semua telah cepat berubah. Meski ini semua terjadi bukan karena keinginan kami. Namun, aku berpikir bahwa apa yang terjadi sudah digariskan Tuhan untuk kami. Pun sama bagi Daniel. Aku rasa, laki-laki itu berhak mendapat balasan cinta yang setimpal atas segala sikap dan kesabarannya menghadapiku. Atas semua yang telah terjadi diantara kami, ia tak pernah berbuat kasar atau bahkan sengaja menyakitiku. Pernikahan kami terjadi juga karena sebelumnya ia tidak tahu hubunganku dengan Al
Sandy menghubungiku, dan mengatakan bahwa banyak karyawan yang tiba-tiba mengundurkan diri dari kantor. Aku bergegas pergi ke kantor dan harus meninggalkan Selena yang baru saja turun dari pesawat. "Tunggu aku, Selena. Aku akan segera pulang." **********"Bagaimana ini bisa terjadi, San?" "Joshua. Sepertinya dia mengiming-imingi para karyawan dengan gaji besar untuk masuk perusahaannya yang baru," jelas Sandy membuatku terdiam sejenak. "Joshua sampai sejauh itu? Apa karyawan tidak tahu, jika mereka hanya dibodohi saja?""Tapi, tentang perusahaan itu sepertinya memang benar-benar ada. Semua karyawan melakukan pemasaran produk dari perusahaan baru Joshua," jelas Sandy semakin membuatku kaget."Benarkah? Bagaimana bisa Joshua memiliki perusahaan? Bukankah keuangannya sedang sulit? Produk apa yang mereka pasarkan? Dalam bidang apa perusahannya?" cecarku semakin geram dan ingin tahu. "Banyak sekali pertanyaanmu? Lalu mana dulu yang harus aku jawab?" tanya Sandy dan aku meliriknya taja
Setelah mendapat kabar bahwa Daniel tak bisa pulang, hatiku merasa gelisah. Ah, bukan. Rasanya seperti tak tenang, sepi, dan membosankan. "Kenapa denganku? Apa aku berharap Daniel ada di sini? Apa aku ... Merindukannya?" gumamku semakin tak karuan. Hari pertama telah terlewati tanpa Daniel. Dan hari kedua, hatiku semakin tak terkendali. Rasanya sangat hampa, dan mungkin aku benar-benar merindukannya. Lalu, masalah apa sebenarnya yang membuat Daniel tak bisa pulang? "Telpon saja jika kau rindu?" celetuk Rani membuyarkan lamunanku. "Hah? Apa maksudmu?" kilahku. "Sedari kemarin kau tidak pernah tenang sedikitpun. Katakan saja padanya, jika kau merindukannya," tambah Rani dan aku hanya memejamkan mata. Ya, benar apa kata Rani. "Apa terlalu jelas, Ran?" tanyaku sedih. Namun, Rani tertawa melihatku. "Tak masalah, itu namanya penyakit cinta, rindu, itu sudah biasa. Dan tak akan sembuh jika kau tak bertemu dengannya. Benar kan?" cerocos Rani semakin membuatku mengerucut kesal. "Ran, l
"Jangan coba-coba cari masalah denganku!" marahku pada orang yang aku benci bertahun-tahun ini. "Calm down, Boy. Aku cuma menyapa dia. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihatnya. Apa kau baik-baik saja, Sweety?" tanyanya mencoba meraih wajah Selena, tapi aku segera menepis tangannya. "Jangan macam-macam di sini! Atau aku akan...""Akan apa? Kau akan memukul Ayahmu begitu? Baiklah, lakukanlah! Dan setelah itu semua orang membicarakan hal ini sehingga seluruh awak media tahu, dan kau bisa urung memiliki perusahaan ini seutuhnya," ucapnya lebih ke arah mengancamku sekarang. Aku mengepal tangan erat. Sungguh, jika sekarang bukan ada di kantor, mungkin aku sudah membuatnya babak belur. "Daniel, sudahlah. Ayo kita pergi," ajak Selena padaku."No no no, Sweety. Kalian tak perlu pergi. Kalian yang lebih dulu di sini. Silahkan lanjutkan aktifitas panas kalian seperti tadi. Itu... Sangat sangat menggairahkan." Aku hendak menarik kerah bajunya dan segera memukulnya hingga jera. Namun, Sel
Beberapa hari telah berlalu. Sekarang aku benar-benar seperti wanita karir sesungguhnya. Bahkan, waktuku lebih banyak di kantor dari pada di rumah. Dan tentu saja aku sering bersama Daniel karena sekarang aku menjabat sebagai asisten pribadinya. Karena Daniel sudah menempatkan Sandy sebagai manajer di kantor. Saat-saat sekarang adalah perjuangan keras kami dalam memperjuangkan perusahaan agar tidak jatuh. Dan kembali bangkit, setelah banyak karyawan yang dirampok oleh Joshua dan Ayah Daniel. Ah, ralat. Maksudku Arkanta. Daniel berulang kali memarahiku, saat aku menyebut laki-laki itu sebagai Ayahnya. Jadi, mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati jika membicarakan nama laki-laki paruh baya itu. Lebih anehnya lagi, Daniel sekarang semakin intim padaku. Dia tak akan segan-segan menciumku di mana pun kita berada. Bahkan, Sandy sudah sangat sering melihat kami berciuman. Seolah hal itu sudah menjadi hal lumrah untuk dilihat. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Terakhir kali aku m
Terhitung sejak kami pulang dari luar negeri, hari ini adalah genap sebulan aku dan Selena berkutat dengan pekerjaan kantor. Memang masih belum mendapatkan hasil yang maksimal, dan keadaan perusahaan belum seratus persen normal. Namun, sedikit aku yakini bahwa semua mulai baik-baik saja dan aku bisa mengatasinya. Tentu saja bukan hanya dari kerja kerasku. Melainkan aku juga mendapatkan bantuan dari Sandy, Rani, beberapa teman dan rekan kerjaku. Serta yang paling utama adalah, Selena. Entah kenapa, aku memprioritaskan istriku itu. Dan sejak sekarang, aku seperti punya mimpi membangun rumah tangga yang sesungguhnya bersama dirinya. Saling mencintai, saling memadu kasih dan mempunyai anak. Seulas senyum selalu menghiasi wajahku kala mengingat mimpi yang seakan konyol bagiku. Bagaimana tidak. Selena masih enggan mengakui perasaannya padaku. Dia bilang masih tidak yakin perasaannya padaku. Padahal jelas-jelas setiap malam pulang bekerja, saat ia tertidur, dalam bawah sadarnya dia selal
Kejadian semalam selalu terpikirkan olehku. Bagaimana tidak, aku sangat melihat kekecewaan di wajah Daniel. Padahal, aku belum menjawab apapun pertanyaannya. Namun, dia menyimpulkan bahwa aku tidak mau melakukan hal itu dengannya. Aku sudah meyakinkan diriku berulang kali, bahwa aku benar-benar sudah jatuh hati pada Daniel. Meski aku selalu mengelaknya saat Daniel bertanya. Namun, jika suatu saat Daniel meminta haknya sebagai seorang suami, aku sudah siap sebenarnya. Namun, aku hanya masih takut. Dan kemudian, sikap Daniel menjadi dingin dan berubah padaku. Seperti seharian ini di kantor. Tiba-tiba saja ia meminta Sandy yang menemaninya untuk meeting. Padahal biasanya selalu bersamaku. Aku semakin bersalah dibuatnya. Wajar saja, jika Daniel marah. Dia lelaki normal, yang juga bisa khilaf jika melihat keadaanku seperti semalam. Tapi, aku malah..."Kalau begitu, jujur saja padanya kalau kau mencintainya." Rani berkata padaku saat aku melamun dan meletakkan kepala di atas meja. Aku h