Daniel serta orang-orangnya mempercepat lari mendekati Joshua, Alvaro dan juga Selena. Mendengar Selena yang meneriakan namanya, membuatnya tahu bahwa gadis itu merasa tidak aman."Lepaskan Selena, Al!" teriak Daniel ketika sudah dekat dengannya. Namun, Joshua menghalanginya. "Aku baru tahu satu hal besar yang kau sembunyikan dari semua orang, Niel. Jika semua orang tahu, ini pasti akan jadi berita panas di Jaya Group. Hahahaha!" tawa Joshua lantang dan membuat Daniel marah."Kau tak berhak ikut campur, Jo! Minggir," ucap Daniel memperingati Joshua. Sedangkan para orang-orang Daniel dan Joshua sudah baku hantam. Keadaan semakin ribut. Bruk! Daniel mendorong Joshua hingga terjatuh. Lalu berlari menghampiri Selena yang masih ditarik paksa oleh Alvaro. "Ayo, Selena. Menurutlah!" paksa Alvaro. "Lepaskan Selena, Al!" teriak Daniel lalu menarik Selena dari tangan Alvaro. Sementara Alvaro sudah ditangkap oleh orang-orang Daniel. Bug!Sebuah pukulan mendarat di kepala Daniel membuat lak
Daniel terkejut mendengar penuturan kakeknya. Teringat ucapan Selena yang mengatakan jika Alvaro terlihat aneh. Dan juga kemarahan Alvaro akhir-akhir ini yang ia rasa tidak bisa dikontrol. Ia sangat tahu, adiknya bukanlah orang yang gegabah dan mudah emosi. Apalagi kepada dirinya sebagai kakak. "Jadi karena itu kau bersikap seperti ini, Al?" gumam Daniel sendiri. Ia menyesal karena tak bisa menjaga Alvaro dengan baik. "Apa yang telah terjadi di sana, hingga kau mengenal hal mengerikan seperti itu?" monolog Daniel lalu kembali ke pesta setelah Kakeknya tertidur. ____________"Bolehkah aku tahu, di mana kau mengenal Daniel?" tanya Arkanta mendekati Selena yang hanya berdiri memandang para tamu yang sedang menikmati pesta. Selena merasa risih didekati Arkanta. Ia pernah mendengar jika Ayah Daniel adalah pria yang suka bermain wanita. Dan ia takut akan hal itu. "Kami hanya pernah satu kampus, itu saja," jawab Selena sekenanya, ia takut bicara lebih banyak dan akan membongkar semua r
Pov Alvaro.Cintaku padamu tak pernah usai. Biarlah waktu yang memisahkan kita saat ini. Namun, waktu pulalah yang menyatukan kita nanti. Selamanya tak akan berubah. Meski aku tahu kita tak lagi bersama.Alvaro melamun di kamarnya. Sudah dua hari ini ia berada di tempat yang dikirim kakeknya untuk study. Ia masih belum melakukan hal apapun sejak kembali ke sini. Mengingat Selena, laki-laki itu terus meneteskan air mata. Kecewa karena yang dicintainya tak lagi mau bersamanya. Terluka karena sang kakak yang mengambil cintanya. Lalu, siapakah yang akan peduli lagi pada dirinya? Semua telah berubah. Mereka memikirkan hidupnya masing-masing. Alvaro merasa tak lagi ada gunanya. Ia merasa terbuang oleh keluarganya sendiri, sekaligus Selena, kekasih yang amat ia cintai. "Tuan. Saya sudah menyiapkan makanan anda. Keluarlah. Makanlah beberapa. Saya mohon," terdengar suara asisten rumah tangganya memanggil Alvaro. Sejak dua hari ini, Alvaro tak mau keluar kamar dan tak mau makan. Membuat Asis
"Maaf, Tuan. Kami kehilangan Tuan Alvaro," lapor salah satu pengawal Alvaro pada Daniel."Cari sampai dapat! Aku tidak mau tahu! Kalian harus temukan dia!" sahut Daniel kesal. Adiknya itu masih belum berhenti berulah. Sedangkan kondisi kakeknya sedang memburuk. "Luki, jangan kasih kabar apapun pada Kakek. Aku mohon!" pinta Daniel pada asisten Sanjaya. Luki mengangguk dan setuju untuk itu. Karena kondisi Sanjaya sedang tak baik-baik saja. "Pak, kami sudah menemukan lokasi dari nomer ponsel yang menghubungi suster itu," lapor anak buahnya membuat Daniel berbalik dan menatapnya. "Lalu, bagaimana?" "Sepertinya, anda harus melihat sendiri, Pak," jawab anak buah Daniel membuatnya mengernyitkan dahi heran. "Baiklah! Kita pergi sekarang juga!" titah Daniel lalu pergi dengan beberapa anak buahnya yang mengikutinya dari belakang.Daniel begitu tidak sabar ingin mengetahui dalang dari pembunuhan Ibu Selena. Lalu, hatinya saat ini pun semakin merasa resah dan bergemuruh seakan ada hal besar
Napasnya teratur, matanya lentik, bibirnya mungil, hidungnya sedikit mancung meski kecil. Daniel terus tersenyum memandangi wajah Selena yang terlelap dalam tidurnya. Kesempurnaan fisik yang dimiliki Selena bukanlah alasan bagi Daniel untuk jatuh cinta padanya. Entah kenapa, dalam hatinya seolah ada perasaan bahagia, damai dan juga nyaman jika melihat wajah Selena. Meski Selena masih bersikap acuh padanya, bahkan tidak mau mengakui pernikahan dengannya. Daniel masih tetap yakin, jika suatu saat bisa mengambil hati Selena dan meluluhkannya. Namun, mengingat hal yang baru saja ia ketahui tentang kematian Ibu Selena yang disebabkan oleh Ayahnya sendiri, membuat Daniel merasa kecil hati. "Bisakah aku meluluhkan hatimu, Selena? Dengan semua yang sudah terjadi dan jika kau tahu semuanya nanti, apa kau akan meninggalkanku?" lirih Daniel terus menatap wajah Selena."Tenang saja, Selena. Aku juga tak akan membiarkan orang yang membuat hidupmu jadi begini. Aku pastikan dia akan mendekam dal
Hari mulai malam. Daniel pulang dengan wajah lelahnya. Masalah yang terus datang dan harus ia hadapi, membuatnya benar-benar merasa lelah. Sebelum masuk ke kamarnya, Daniel ingin melihat keadaan Sanjaya. "Bagaimana keadaan Kakek, Luk?" tanya Daniel pada Luki. "Keadaannya masih tetap sama. Tapi, beliau enggan dibawa ke rumah sakit," ujar Luki padanya. Daniel berdecak kesal lalu berkata, "dalam keadaan begini saja, dia masih keras kepala," ucap Daniel yang menimbulkan senyum tipis dari Luki. "Tuan berpesan, agar anda yang menggantikan meeting dengan pemilik Flower Garden, lusa," ucap Luki membuat Daniel berbalik dan menatapnya. "Flower Garden? Perusahaan property itu? Bukankah, Kakek sudah membatalkannya?" tanya Daniel heran. "Pemilik Flower Garden sendiri yang mengajukan kerjasama lagi dengan Jaya Group.""Memang, kerjasama apa yang mereka tawarkan?" "Saya kurang paham, Tuan. Besok anda tanyakan pada Kakek anda. Atau segera menemui langsung dalam meeting nanti," ujar Luki dan Da
Daniel sampai di kantor dan sudah disambut oleh Ayahnya yang sudah lebih dulu menunggu di dalam ruangannya. Laki-laki itu mendengus kasar. Namun, ia memilih tak menghiraukan Arkanta di sana."Ada yang harus aku sampaikan, Boy. Aku...""Tak ada yang perlu dibicarakan! Tunggu saja surat penangkapan dari polisi. Sekarang pergi dari sini!" usir Daniel menatap tajam Arkanta yang hendak mengatakan sesuatu. Bahkan, Arkanta tak diberi celah sedikit pun untuk mengatakan satu hal pada putra sulungnya itu. "Aku punya alasan melakukan itu, Niel.""Aku tidak mau mendengar apapun! Pergi sekarang atau saya panggilkan security?" ancam Daniel geram menatap Arkanta. "Saya bilang per...""Selena anakku, Niel!" sela Arkanta membuat Daniel menghentikan ucapannya. Arkanta menarik napas panjang. Ia berjalan mendekat ke arah Daniel yang terus menatapnya tajam."Karina, jika dia Ibu Selena, ada kemungkinan Selena adalah anakku," ungkap Arkanta membuat Daniel menahan marah. "Jangan bicara omong kosong! Saya
Selena terdiam. Matanya sudah berkaca-kaca. Rupanya, ia salah telah melunakkan hatinya sendiri. Nyatanya, Daniel hanya terlihat baik di muka saja. "Aku telah salah menilaimu!" ucap Selena penuh penekanan. Ia bergegas pergi ke kamarnya. Ia kembali sakit hati oleh sikap Daniel. "Seharusnya aku tak termakan ucapan manisnya yang hanya di bibir saja," gumam Selena mengusap kasar air matanya yang sudah berjatuhan. Rani menatap Daniel sebentar. Lalu ia mendengus kasar menyayangkan sikap Daniel yang tiba-tiba ketus pada Selena. Sedangkan Daniel, ia hanya menghela napas berat. Dalam hati, ia tak ingin berlaku kasar apalagi menyakiti Selena. Namun, mendengar apa yang diucapkan Arkanta di kantor, membuatnya ingin marah pada dirinya sendiri. Daniel melangkah ke kamar Sanjaya. Ia ingin melihat keadaan Kakeknya yang sepertinya belum sembuh. Daniel menatap iba ke arah Kakeknya di ranjang. Sosok laki-laki senja yang biasanya terlihat kuat dan hebat itu kini hanya terbaring lemah di atas ranjan