Napasnya teratur, matanya lentik, bibirnya mungil, hidungnya sedikit mancung meski kecil. Daniel terus tersenyum memandangi wajah Selena yang terlelap dalam tidurnya. Kesempurnaan fisik yang dimiliki Selena bukanlah alasan bagi Daniel untuk jatuh cinta padanya. Entah kenapa, dalam hatinya seolah ada perasaan bahagia, damai dan juga nyaman jika melihat wajah Selena. Meski Selena masih bersikap acuh padanya, bahkan tidak mau mengakui pernikahan dengannya. Daniel masih tetap yakin, jika suatu saat bisa mengambil hati Selena dan meluluhkannya. Namun, mengingat hal yang baru saja ia ketahui tentang kematian Ibu Selena yang disebabkan oleh Ayahnya sendiri, membuat Daniel merasa kecil hati. "Bisakah aku meluluhkan hatimu, Selena? Dengan semua yang sudah terjadi dan jika kau tahu semuanya nanti, apa kau akan meninggalkanku?" lirih Daniel terus menatap wajah Selena."Tenang saja, Selena. Aku juga tak akan membiarkan orang yang membuat hidupmu jadi begini. Aku pastikan dia akan mendekam dal
Hari mulai malam. Daniel pulang dengan wajah lelahnya. Masalah yang terus datang dan harus ia hadapi, membuatnya benar-benar merasa lelah. Sebelum masuk ke kamarnya, Daniel ingin melihat keadaan Sanjaya. "Bagaimana keadaan Kakek, Luk?" tanya Daniel pada Luki. "Keadaannya masih tetap sama. Tapi, beliau enggan dibawa ke rumah sakit," ujar Luki padanya. Daniel berdecak kesal lalu berkata, "dalam keadaan begini saja, dia masih keras kepala," ucap Daniel yang menimbulkan senyum tipis dari Luki. "Tuan berpesan, agar anda yang menggantikan meeting dengan pemilik Flower Garden, lusa," ucap Luki membuat Daniel berbalik dan menatapnya. "Flower Garden? Perusahaan property itu? Bukankah, Kakek sudah membatalkannya?" tanya Daniel heran. "Pemilik Flower Garden sendiri yang mengajukan kerjasama lagi dengan Jaya Group.""Memang, kerjasama apa yang mereka tawarkan?" "Saya kurang paham, Tuan. Besok anda tanyakan pada Kakek anda. Atau segera menemui langsung dalam meeting nanti," ujar Luki dan Da
Daniel sampai di kantor dan sudah disambut oleh Ayahnya yang sudah lebih dulu menunggu di dalam ruangannya. Laki-laki itu mendengus kasar. Namun, ia memilih tak menghiraukan Arkanta di sana."Ada yang harus aku sampaikan, Boy. Aku...""Tak ada yang perlu dibicarakan! Tunggu saja surat penangkapan dari polisi. Sekarang pergi dari sini!" usir Daniel menatap tajam Arkanta yang hendak mengatakan sesuatu. Bahkan, Arkanta tak diberi celah sedikit pun untuk mengatakan satu hal pada putra sulungnya itu. "Aku punya alasan melakukan itu, Niel.""Aku tidak mau mendengar apapun! Pergi sekarang atau saya panggilkan security?" ancam Daniel geram menatap Arkanta. "Saya bilang per...""Selena anakku, Niel!" sela Arkanta membuat Daniel menghentikan ucapannya. Arkanta menarik napas panjang. Ia berjalan mendekat ke arah Daniel yang terus menatapnya tajam."Karina, jika dia Ibu Selena, ada kemungkinan Selena adalah anakku," ungkap Arkanta membuat Daniel menahan marah. "Jangan bicara omong kosong! Saya
Selena terdiam. Matanya sudah berkaca-kaca. Rupanya, ia salah telah melunakkan hatinya sendiri. Nyatanya, Daniel hanya terlihat baik di muka saja. "Aku telah salah menilaimu!" ucap Selena penuh penekanan. Ia bergegas pergi ke kamarnya. Ia kembali sakit hati oleh sikap Daniel. "Seharusnya aku tak termakan ucapan manisnya yang hanya di bibir saja," gumam Selena mengusap kasar air matanya yang sudah berjatuhan. Rani menatap Daniel sebentar. Lalu ia mendengus kasar menyayangkan sikap Daniel yang tiba-tiba ketus pada Selena. Sedangkan Daniel, ia hanya menghela napas berat. Dalam hati, ia tak ingin berlaku kasar apalagi menyakiti Selena. Namun, mendengar apa yang diucapkan Arkanta di kantor, membuatnya ingin marah pada dirinya sendiri. Daniel melangkah ke kamar Sanjaya. Ia ingin melihat keadaan Kakeknya yang sepertinya belum sembuh. Daniel menatap iba ke arah Kakeknya di ranjang. Sosok laki-laki senja yang biasanya terlihat kuat dan hebat itu kini hanya terbaring lemah di atas ranjan
Selena menoleh ke arah Rani, bingung. Sedangkan Rani hanya mengedikkan bahunya, tidak mengerti. "Pantas saja, saat melihatmu aku seperti mengenalmu," ucap Arkanta mendekat ke arah Selena. Sementara gadis itu reflek memundurkan langkah ke belakang, perlahan. "Ma... Maksud anda apa?" tanya Selena terbata. "Karina. Kau anaknya, kan? Itu berarti kau anakku," ucap Arkanta semakin mendekat dan hendak meraih Selena. Namun, dengan cepat Selena menepisnya. "Apa maksud perkataan anda? Jangan bicara omong kosong!" pekik Selena dengan perasaan yang tidak menentu. "Ini! Lihat ini! Berapa tahun silam, saat mudaku, akulah kekasih Karina. Dan ini, lihat surat ini," ucap Arkanta menunjukkan beberapa foto dan selembar surat dalam genggamannya.Dengan gemetar, Selena meraihnya. Lalu membaca isi surat itu. Dear you, my love.Cinta yang kita rajut memang seindah bunga yang bermekaran di taman. Aku pikir, cinta memang begitu selalu indah dirasa, tapi nyatanya aku salah. Kau pergi meninggalkan janji m
Suara derit roda berdecit dengan lantai rumah sakit. Semua orang berlari mengikuti para perawat yang membawa Sanjaya menuju ruang periksa. "Mohon tunggu di luar, Tuan. Biarkan kami memeriksanya," ucap salah satu perawat membuat Daniel mundur dan membiarkan para perawat masuk membawa kakeknya. "Kakek anda akan baik-baik saja, Daniel," ucap Luki padanya. Daniel menghela napas berat. Ia menoleh dan menatap tajam Arkanta yang ikut ke rumah sakit. "Kau...""Daniel, ini rumah sakit. Jangan membuat keributan," ucap Selena yang membuat Daniel terhenti. Cukup lama Daniel memandang gadis itu. Harapannya hanya satu, semoga perkiraan Arkanta tentang Selena adalah salah. Hingga ia tak lagi perlu merasa benci pada orang yang ia cintai sekarang. "Kita sudah berada di rumah sakit. Lebih baik lakukan tes DNA sekarang juga," ucap Arkanta memantik emosi Daniel. "Tapi yang diucapkan Tuan Sanjaya adalah benar. Anak anda dengan Karina itu sudah meninggal. Sedangkan Nona Selena ini, dia anak Harry deng
Selena mengunyah makanannya dengan perlahan. Sikap Daniel yang seperti ini serta perhatiannya yang begini, membuat Selena mengingat tentang perlakuan Alvaro dulu padanya. Selena tidak menyangka, jika hubungannya bersama dengan Alvaro akan menjadi seperti ini. "Makanlah sekarang. Jangan memikirkan apapun dulu. Makanmu akan terasa tidak enak, jika kau hanya mengunyahnya tapi tidak merasakannya," ucap Daniel sembari mengunyah makanannya. "Apa kabar Alvaro sekarang? Apa dia baik-baik saja? Apa dia makan dengan baik? Dulu, saat aku makan, Alvaro selalu menyuapiku di kampus," lirih Selena membuat Daniel terhenti. Laki-laki itu jadi hilang nafsu makan mengingat tentang adiknya. Ia merasa bersalah karena punya andil yang menyebabkan Alvaro dikirim ke luar negeri. "Jika situasi sudah membaik, kita akan pergi mengunjunginya." Daniel menyudahi makannya. "Tidak perlu berjanji apapun padaku, Niel. Semua janjimu hanya sekedar janji. Aku tak akan lagi tertipu dengan semua ucapanmu!" kesal Sele
Gerombolan orang berpakaian hitam terlihat meninggalkan pemakaman. Menyisakan beberapa orang yang hanya termasuk keluarganya. Termasuk Daniel, Arkanta, Selena, Rani dan seluruh orang yang bekerja di rumah Sanjaya. Daniel masih terlihat sedih. Air matanya tak mengalir. Namun, kesedihan mendalam tersirat dalam hatinya. Betapa tidak. Selama ini yang menjadi orang tua bagi Daniel adalah Sanjaya. Kakeknya itu yang merawat dan membesarkannya. Meskipun orang tuanya masih ada, tapi Daniel tak pernah melihat mereka dalam satu atap bersamanya. "Kau belum mengatakan di mana Mama, Kek. Kau pergi meninggalkan semuanya. Meninggalkan aku yang masih membutuhkanmu," lirih Daniel. Ucapannya didengar semua orang. Membuat para pekerja di rumahnya menunduk sedih yang mengetahui hidup Daniel selama ini."Dia ke luar negeri, dengan hidupnya yang baru," ucap Arkanta dan Daniel segera menoleh."Omong kosong! Kau tak tahu apa-apa. Kau pikir selama ini aku diam? Tidak! Aku mencarinya, dan seperti yang di de
Apa?!" Begitulah jika Selena ada maunya. Ia akan memanggil Daniel dengan sebutan 'Sayang', karena tahu suaminya itu tidak akan menolak. "Ya, baiklah. Besok aku akan mengurus semuanya," jawab Daniel meski dalam otaknya sudah pusing memikirkan segalanya. Bahkan, pagi-pagi sekali Daniel menghubungi dokter kandungan yang biasa menangani Selena. Sebenarnya, saat check up sejak sebulan yang lalu, dokter sudah bisa memprediksi jenis kelamin bayi Selena dan Daniel. Namun, Selena mengatakan agar tidak mengatakannya. Ia bilang, agar menjadi surprise saat bayinya lahir. Namun, siapa yang menyangka, jika keinginan istri Daniel mendadak berubah?Dokter sudah menuliskan jenis kelamin anak Selena dan Daniel dalam sebuah kertas yang digulung pada sebuah tabung plastik. Lalu memasukkannya ke dalam sebuah balon besar. Karena acaranya begitu mendadak, jadi Daniel tak bisa berpikir untuk melakukan ide rencana yang lebih baik. Untuk itu, ia hanya mengadakan acara seperti pada umumnya. Jika saja Dani
Waktu terus berlalu. Bahkan musim telah berganti. Segala masalah yang mereka lewati pun telah menjadi hal yang hanya bisa diingat. Kita tak akan pernah tahu dengan apa yang akan terjadi. Bahkan kesulitan yang kita alami juga datangnya dari Yang Maha Kuasa, semata hanya untuk memberi kemudahan setelah kita bisa melewatinya. Meninggalnya kedua orang tua Selena, pernikahan kontrak yang dilakukan Daniel dan Selena, bahkan harus rela berpisah dengan Alvaro yang notabene adalah kekasihnya. Kemudian meninggalnya sang kakek, kejadian Alvaro di luar negeri dengan Nick, atau kembalinya sang Mama yang membuat Alvaro dan Daniel menangis haru. Serta cinta yang perlahan tumbuh di hati Selena untuk Daniel ataupun sikap rela menerima Alvaro yang mau bertanggung jawab atas Jessica, semua sudah tak luput dari campur tangan Tuhan. Lalu, kini keluarga yang sedang berbahagia itu, sedang riuh menanti kelahiran seorang bayi yang sudah ditunggu sejak sembilan bulan lamanya. Alvaro menangis haru, saat per
Setelah drama sesenggukan Jessica di kamar rias, kini sepasang mempelai pengantin itu sedang berjalan menuju altar. Tentu saja Jessica sudah diperbaiki make upnya. Karena air matanya tentu membuat riasan Jessica sedikit rusak. Daniel mengundang semua rekan kerjanya, serta para karyawan di seluruh cabang Jaya Group. Membuat pesta pernikahan Alvaro terasa sangat meriah. "Kenapa kau memandangnya seperti itu?" tanya Daniel ketika Selena menyaksikan Alvaro dan Jessica sebagai raja dan ratu hari ini. Selena hanya memutar bola mata malas. Ia tahu, suaminya itu pasti dalam mode cemburu. "Sayang, aku punya mata. Dan kau sangat tahu apa gunanya mata, kan? Untuk apa punya mata, jika tak digunakan dengan baik?" jawab Selena sehalus mungkin. "Tapi, memandang seperti itu, apakah itu cara yang baik?" protes Daniel kembali membuat Selena menarik napas panjang. Apa salahnya melihat pasangan yang menikah itu sedang berbahagia? "Apa aku tak boleh melihatnya? Apa aku harus ke kamar saja?" kesal Sel
Selena mengeratkan pegangannya pada gelas. Ia sudah menduga bahwa Daniel akan berpikir demikian. Salahnya sendiri, kenapa ia menampilkan sikap yang aneh. "Daniel... Aku tidak...""Aku tidak apa-apa, Selena. Aku sangat tahu hatimu. Wajar saja jika kau...""Aku tidak cemburu, Daniel. Aku hanya heran saja, mereka,... Alvaro sangat cepat dekat dengan Jessica. Juga, Jessica..."Selena menggantungkan ucapannya. Ia menyadari jika maksud dari ucapannya juga masih mengandung maksud yang dikatakan Daniel. Daniel segera menangkap kegelisahan istrinya itu. Ia menghampiri Selena, dan meletakkan gelas yang dibawa olehnya. "Tak perlu kau menjelaskan, aku sudah paham. Aku tahu. Sangat tahu. Memang tidak mudah melupakan seseorang yang pernah mengisi hati kita. Namun, harus selalu kau ingat, bahwa ada aku, di sisimu," ujar Daniel meletakkan sebelah tangan Selena di dadanya. Selena tersenyum lega. Sebelumnya ia takut, jika Daniel akan salah sangka padanya. Namun, siapa yang menyangka jika suaminya s
"Daniel?! Kau?! Bagaimana kau bisa ada di sini?" pekik Alvaro yang segera beranjak dan berhadapan dengan Daniel. "Kau belum menjawab pertanyaanku, Al?!""Kau pun tak menghiraukan pertanyaanku, Niel!" kesal Alvaro kemudian. Keduanya mendengkus kesal bersamaan. Membuat Daniel tersenyum geli melihatnya. Ia sadar, dirinya dan adiknya adalah dua orang yang hampir sama memiliki sifat. Yaitu tidak sabaran, dan mungkin mau menang sendiri. "Oke, fine! Tadi aku mengikutimu dari belakang karena...""Dasar penguntit!" kesal Alvaro dan Daniel tercengang mendengarnya. "Dengarkan aku dulu, Adik laknat!" maki Daniel yang terpancing kesal. Alvaro hanya mendengus kasar dan membuang muka. Ia enggan bertatap muka dengan kakaknya itu. "Aku hanya menghawatirkanmu. Jadi aku mengikutimu. Apa aku salah?" "Salah! Karena kau plin plan dengan ucapanmu!" ketus Alvaro beranjak keluar dari kamarnya. Ia tak ingin istirahat Jessica terganggu. "Plin plan? Apa maksudmu?" tanya Daniel heran. Ia mengikuti langkah a
Sejak kepergian Alvaro saat mereka berpisah di Bandara, sejak itu pula Jessica merasakan kegelisahan. Gelisah karena sepertinya perutnya mulai mengalami rasa tidak nyaman seperti beberapa terakhir yang ia alami. Namun, kembali Jessica mengingat apa yang diucapkan Alvaro tadi, ia memejamkan mata dan mengingat pelukan Alvaro serta mengingat aroma tubuh calon Ayah dari anaknya itu. Sungguh, dia bukan wanita mesum selama ini. Namun, entah kenapa pikirannya tentang Alvaro sedikit membantu mengusir rasa tidak nyaman seperti mual yang ia alami. "Huufftt. Bagus, seperti itu Jessica. Kau pasti bisa," gumam Jessica terus menerus mensugesti dirinya sendiri agar tak menuruti rasa mualnya. Setibanya di apartemen Alvaro, Jessica menemukan kamar Alvaro dengan khas aroma laki-laki itu. Membuatnya merasa senang karena sepertinya ia bisa merasakan kehadiran Alvaro di sini. "Aku akan tidur di kamar ini, Anna. Bolehkah?" tanya Jessica sedikit takut. "Tentu saja, Nona. Tuan Alvaro memberiku pesan unt
Daniel memutar tubuhnya dan memeluk erat tubuh Selena. Ia seakan siap membiarkan pisau yang dipegang Angel untuk menusuk tubuhnya. Namun, sepersekian detik, ia masih tak merasakan apapun juga."Alvaro!" histeris Selena. Sontak membuat Daniel menoleh ke belakang.Ia terkejut melihat adiknya terkulai lemas dan melihat darah dari punggungnya. Daniel tercengang. Ia masih tidak percaya bahwa Alvaro menggantikan dirinya ditikam oleh Angel. Segera ia menghampiri tubuh Alvaro dan menopangnya. "Tidak! Boy? Kau tidak apa-apa, kan?" ucap Arkanta yang juga segera menghampiri Alvaro. Darah yang terlihat di tangan Daniel membuat amarahnya mencuat. "Brengsek!" Daniel menarik kerah baju Arkanta dan...Bug"Lihat ulahmu, Brengsek!" Arkanta jatuh tersungkur akibat pukulan keras dari Daniel. Bahkan, laki-laki itu lupa akan status Arkanta yang sebagai Ayahnya. Namun, Daniel sudah tidak peduli. Bahkan, bertahun-tahun lalu ia sudah tak menganggapnya sebagai seorang Ayah.Setelah melukai dan mengurung
Dua insan yang sedang dimabuk gairah itu sedang berada dalam ruangan dan tengah memadu kasih layaknya pasangan suami istri. Lenguhan, desahan terdengar hebat menggema di ruangan yang cukup besar milik Arkanta. Untung saja, Arkanta membuat ruangan itu kedap suara, karena memang itulah tujuannya ia mendirikan kamar itu. Kegiatan panas Arkanta dan Angel terhenti ketika ketukan pintu terdengar keras dan menuntut untuk segera dibuka. Bahkan, Arkanta menggeram marah dan berjanji akan membunuh siapa saja yang mengganggu aktifitasnya. "Brengsek! Apa yang kalian lakukan!" marah Arkanta saat telah membuka pintu kamarnya. Bahkan, ia tak sempat memakai pakaiannya, hanya sehelai handuk yang menutupi bagian bawah. Arkanta benar-benar marah. Bagaimana tidak, gairahnya sedang diubun-ubun, tapi semua harus terhenti karena pengawalnya datang."Bos! Ada yang datang menyerbu markas kita!" seru salah seorang pengawal membuat Arkanta mendelikkan mata tidak percaya."Apa?!" Deru napas Arkanta makin membur
Dulu, saat Selena dan Alvaro masih menjadi sepasang kekasih, hanya dengan isyarat mata saja mereka seolah mengerti maksudnya. Seperti saat ada kuliah yang terasa membosankan, Alvaro hanya mengisyaratkan mata pada Selena dengan maksud keluar dari kelas. Mereka sangat terpingkal setelah keluar dari kelas dimana jam kuliah yang bagi mereka terasa membosankan. Kini, mungkin karena tak lagi bersama, atau mungkin cinta Selena telah hilang dan sirna dari hatinya, hingga lupa tentang isyarat mata yang sering mereka lakukan di kampus. "Baiklah, Boy! Malam ini kita istirahat dulu. Aku sudah mempersiapkan kepergian kita besok. Jadi bersiaplah. Dan jangan mengelabuhiku," ucap Arkanta yang menghentikan isyarat mata Alvaro pada Selena. Untung saja Arkanta tidak melihatnya. "Baiklah, Ayah! Aku sangat senang sekali dengan rencanamu. Sepertinya, malam ini aku akan mimpi indah karena mendapat kejutan darimu," sahut Alvaro yang diakhiri dengan tawa menggelegarnya berharap apa yang dilakukannya diperc