Erlita memijat keningnya. Ternyata Vina yang secara fisik terlihat sempurna, mempunyai kisah yang rumit dan pahit. "Ah, aku ada ide. Kita buat suamimu tidak berkutik," cetus Erlita tiba-tiba. Vina mengangkat kedua alisnya, keningnya berkerut tanda dia penasaran dengan ide dari sahabatnya tersebut. "Kamu laporin aja suamimu itu ke polisi, dengan tuduhan KDRT. Pasti suamimu langsung mendekam di penjara, dan kalau kamu menggugat cerai langsung dikabulkan." Vina menggeleng. Sejak awal kejadian, tak pernah terlintas sekalipun dalam benak Vina untuk memenjarakannya Abra. Meski apa yang dilakukan Abra sudah diluar batas, menurut Vina penjara bukan solusi yang tepat. Ada perasaan orang tuanya yang harus dijaga, ada mertuanya yang pasti akan sedih kalau anaknya mendekam di balik jeruji besi. Dan yang paling membuat Vina malas membawa masalah ini ke meja hijau, adalah urusannya bakal panjang dan berbelit-belit. "Kenapa?" "Kejadiannya seminggu yang lalu, Er. Bekasnya sudah hilang, aku ngga
"Vi---Vina? Ini beneran Vina, kan?" Rangga tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, melihat gadis yang sebulan ini mengganggu pikirannya, kini berdiri di depannya memakai seragam karyawan kafe miliknya. Sama, Vina pun tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Selama ini dia selalu berhasil 'melarikan diri' setiap melihat Rangga datang, tapi kini dia terpaksa bertatap muka dengan kakaknya Erlita itu. 'Mau bagaimana lagi? Kafe ini miliknya, cepat atau lambat pasti kami bertemu' kata batin Vina. Vina hanya nyengir lebar, menanggapi kekagetan Rangga. "Kamu kerja di sini? Sejak kapan? Kok, Erlita nggak ada ngasih tahu aku?" Cerca Rangga, karena tak kunjung mendapat jawaban dari Vina. Gadis itu justru celingak celinguk menatap kanan kiri, di mana karyawan lainnya sibuk mempersiapkan acara. Andai tidak mendapat mandat dari Erlita, agar acara ini dihandle Vina. Hampir bisa dipastikan Vina bakal kabur dari depan Rangga. Dia belum siap memberi penjelasan apapun pada laki-laki ini. "Vin!
"Aku akan berusaha menolongmu semampuku. Aku akan sangat merasa bersalah, kalau kamu harus menanggung semuanya sendiri. Sementara aku yang menjadi penyebabnya," lanjut Rangga. Vina mendorong pelan dada Rangga, hingga pelukan itu melonggar. Kini dia balas menatap ke dalam mata Rangga. "Mas, boleh aku minta satu hal?""Tentu saja. Jangankan hanya satu, kamu minta banyak saja pasti aku kabulkan, selagi aku mampu." Rangga berkata sambil mengangkat sebelah alisnya. Setelah memeluk Vina, Rangga jadi sedikit berani melemparkan kalimat menggoda. Dia merasa mendapat lampu hijau, Vina tak lagi menghindari dia. Digoda seperti itu pipi Vina merona seketika. Dia lalu menunduk tak berani membalas tatapan Rangga. Sebagai wanita dewasa, Vina tahu arti tatapan Rangga. Tatapan memuja dan penuh harap. Bukannya Vina GR, tapi Rangga sendiri pernah berterus terang padanya, kalau sampai saat ini hanya Vina yang bertahta di hatinya. Hal ini yang membuat Vina ragu untuk minta tolong pada Rangga. Tak etis
Usai mematikan mesin, Rangga membuka seat belt dan buru-buru keluar dari mobil. Vina baru saja pingsan, dia ingin membantu gadis pujaannya itu. Selain karena rasa sayang, dia ingin membuat Vina terkesan, dengan membukakan pintu. Rangga berusaha menggandeng tangen Vina saat mereka berjalan menuju kafe, tapi istri Abra itu menolak. "Aku hanya tidak mau kami jatuh, Vin." Vina tak menjawab, dia hanya mengangguk dan tersenyum sekilas. Mereka terus melangkah beriringan, hingga terhenti demi melihat siapa yang berdiri di depan pintu masuk. "Ma---Mas .... " Wajah Vina berubah pucat, dengan gemetaran dia bersembunyi di belakang punggung Rangga. Tidak salah kalau Vina gemetaran seperti itu, yang berdiri di depan mereka itu adalah Abra. Suami Vina. Orang yang sudah tega menghajar Vina hingga babak belur. Rasa sakit dan trauma itu masih membekas begitu dalam di diri Vina, wajar kalau dia sampai ketakutan begitu. Dia takut Abra kembali murka, dan menyiksanya lagi. Meski ada Rangga sekalipun.
Tangis Vina pecah, melihat tubuh ringkih tak berdaya Marni tergolek di brangkat dengan selang di beberapa bagian. Rasa bersalah semakin menyiksa Vina. Andai dia tak pergi, pasti Mama tidak begini. Begitu rintih batin Vina. "Mama nggak pa-pa, Sayang. Beliau hanya tidur, bukan koma. Kita do'akan saja semoga Mama cepat pulih." Abra berkata sambil memeluk pundak Vina. Vina mengusap air matanya, lalu berjalan mendekat ke brankar. Diraihnya tangan sang Mama. Netra tua itu terpejam rapat, membuat sesal di dada Vina semakin menggunung. 'Andai aku tidak pergi, pasti Mama tidak seperti ini.' Vina membatin. Dulu, sebelum Vina menikah dengan Abra. Marni sering sakit-sakitan, karena kelelahan mencari nafkah untuk anak-anaknya. Jadi orang tua tunggal dengan dua anak yang masih sekolah, mau tak mau memaksa Marni kerja lebih keras. Suaminya meninggal hangat meninggalkan uang pensiun yang tak seberapa, masih dipotong membayar cicilan rumah yang mereka tempati. Tapi sejak Abra datang, kehidupan Ma
Infertil 47Tentu Vina tidak lupa dengan syarat yang diajukan Abra, kalau dirinya nekat menggugat cerai. Mengembalikan semua pemberian Abra, bukan perkara mudah untuk Vina dan keluarganya. Dari mana uang sebanyak itu? "Tapi kamu harus bercerai dengan Abra, Nak. Dia tidak hanya temperamen, tapi juga sakit jiwa." Vina terhenyak mendengar ucapan mamanya. "Sakit jiwa? Maksud Mama apa?" Setahu Vina Abra memang dominan dan otoriter, tapi dia penyayang. Selama menjadi istrinya, Vina diperlakukan bak ratu. Hanya saja sejak dinyatakan mandul, Abra banyak berubah. Sikapnya semakin posesif, dan cemburunya makin menjadi-jadi. Dan puncaknya dia ngamuk, Vina dihajar hingga babak belur, hingga akhirnya Vina memutuskan melarikan diri. Vina pikir lebih baik mengakhiri pernikahan yang tidak sehat ini, tapi mengingat kondisi Marni, Vina jadi berfikir dua kali untuk menggugat cerai Abra. Tapi bukan berarti itu mengindikasikan Abra sakit jiwa, kan? Dan sekarang Marni meminta Vina berpisah dari Abra? Ua
"Kamu berhutang penjelasan padaku, sayang," ucap Abra pelan, suaranya terdengar begitu lembut, namun terdengar begitu mengerikan di telinga Vina. Pasalnya Abra berkata dengan tatapan dingin, yang membuat Vini ngeri seketika. Inilah saat yang paling ditakutkan Vina, kembali ke rumah mertuanya, berdua dengan saja dengan Abra. Sebenarnya mereka tidak benar-benar berdua saja, ada Maya di lantai bawah, tapi Vina tidak yakin wanita itu mau membantunya. Mengingat mertuanya itu sekarang bergantung sepenuhnya pada Abra, hutangnya pada ayah Tesa kini jadi tanggungan Abra. Vina sudah berusaha mengulur waktu, agar tidak kembali ke rumah ini dengan berbagai alasan, tapi sayangnya Abra tidak mengijinkan. "Sementara aku tinggal di rumah Mama ya, Mas? Biar bisa ngurus Mama. Boleh, ya?" Pinta Abra, kala kondisi Marni dinyatakan sudah membaik dan diijinkan pulang. Dia berharap bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk sejenak 'lari' dari Abra. Selama Marni dirawat di rumah sakit, sikap Abra sangat be
Maya terus terisak, menangisi menantunya yang belum juga siuman sejak tadi. Di atas brankar, tubuh Vina tergolek tak berdaya. Selang infus menancap di tangan kirinya. Dibantu tetangga sebelah, Maya membawa Vina ke klinik terdekat. Maya sempat bingung saat Pak Ardi, tetangga sebelahnya itu banyak bertanya. "Bagaimana ceritanya, Mbak Vina sampai babak belur begini, Bu?" "Saya sendiri nggak tahu, Pak. Saya menemukannya sudah seperti itu." Meski tahu siapa pelakunya, Maya tetap tidak mau terbuka. Tak mungkin dia membuka borok anaknya sendiri, kan? "Mas Abranya mana? Sudah tahu kalau istrinya jadi korban penganiayaan?" Tanya Pak Ardi lagi. "Abra ke luar kota, tadi sudah saya telfon." Bohong Maya, dia sendiri tidak tahu keberadaan anak sulungnya itu. Pagi-pagi sekali Abra sudah pergi tanpa pamit. "Ada barang yang hilang atau rusak, Bu?" Pak Ardi sudah mirip polisi yang tengah menginterogasi, dari tadi terus menanyai Maya. Padahal wanita itu sebenarnya malas meladeni. Laki-laki seumur
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s