"Kamu berhutang penjelasan padaku, sayang," ucap Abra pelan, suaranya terdengar begitu lembut, namun terdengar begitu mengerikan di telinga Vina. Pasalnya Abra berkata dengan tatapan dingin, yang membuat Vini ngeri seketika. Inilah saat yang paling ditakutkan Vina, kembali ke rumah mertuanya, berdua dengan saja dengan Abra. Sebenarnya mereka tidak benar-benar berdua saja, ada Maya di lantai bawah, tapi Vina tidak yakin wanita itu mau membantunya. Mengingat mertuanya itu sekarang bergantung sepenuhnya pada Abra, hutangnya pada ayah Tesa kini jadi tanggungan Abra. Vina sudah berusaha mengulur waktu, agar tidak kembali ke rumah ini dengan berbagai alasan, tapi sayangnya Abra tidak mengijinkan. "Sementara aku tinggal di rumah Mama ya, Mas? Biar bisa ngurus Mama. Boleh, ya?" Pinta Abra, kala kondisi Marni dinyatakan sudah membaik dan diijinkan pulang. Dia berharap bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk sejenak 'lari' dari Abra. Selama Marni dirawat di rumah sakit, sikap Abra sangat be
Maya terus terisak, menangisi menantunya yang belum juga siuman sejak tadi. Di atas brankar, tubuh Vina tergolek tak berdaya. Selang infus menancap di tangan kirinya. Dibantu tetangga sebelah, Maya membawa Vina ke klinik terdekat. Maya sempat bingung saat Pak Ardi, tetangga sebelahnya itu banyak bertanya. "Bagaimana ceritanya, Mbak Vina sampai babak belur begini, Bu?" "Saya sendiri nggak tahu, Pak. Saya menemukannya sudah seperti itu." Meski tahu siapa pelakunya, Maya tetap tidak mau terbuka. Tak mungkin dia membuka borok anaknya sendiri, kan? "Mas Abranya mana? Sudah tahu kalau istrinya jadi korban penganiayaan?" Tanya Pak Ardi lagi. "Abra ke luar kota, tadi sudah saya telfon." Bohong Maya, dia sendiri tidak tahu keberadaan anak sulungnya itu. Pagi-pagi sekali Abra sudah pergi tanpa pamit. "Ada barang yang hilang atau rusak, Bu?" Pak Ardi sudah mirip polisi yang tengah menginterogasi, dari tadi terus menanyai Maya. Padahal wanita itu sebenarnya malas meladeni. Laki-laki seumur
Maya menatap sendu menantunya yang terlihat begitu memprihatinkan. Wajah yang biasa terlihat cantik dan menarik itu, kini terlihat pucat dengan luka lebam di mana-mana. Entah apa salah Vina, hingga Abra kalap menghajarnya seperti orang kesetanan. Maya tak habis pikir, Abra yang dikenalnya santun dan penyayang kini berubah bak monster mengerikan. Tega-teganya menyakiti istri yang begitu dia cintai, padahal selama ini Vina begitu menurut pada Abra. Entah setan apa yang sudah merasuki Abra, sehingga dia berubah sejahat itu. Pikiran wanita menjelang enam puluh tahun itu semrawut, memikirkan masalah yang kini menimpa anak dan menantunya. Kalau laku, mungkin sudah dia jual kepalanya itu, dari pada terus-terusan sakit. Dia benar-benar pusing menghadapi masalah ini sendiri, Abra kabur entah kemana. Ditelfon gak diangkat, diWA gak dibalas. Telfon kantornya juga nihil, nggak ada hasil. "Maaf, Ibu. Pak Abra tidak berada di tempat. Ibu bisa meniggalkan pesan, nanti akan saya sampaikan pada Pak
Sepeninggal Maya, sosok yang dari tadi mengawasinya melangkah mendekat ke arah Vina, dengan langkah pelan dan hati-hati. "Vin!" Mata Vina membelalak sempurna, demi melihat siapa yang datang. Laki-laki yang jadi sumber masalah itu sekarang ada dekatnya. Vina beringsut mundur, menghindari sosok yang saat ini tidak ingin dia temui. Trauma akan rasa sakit ikut kembali muncul. Wajah Vina yang tadi sempat di cuci hingga terlihat lebih segar, kini nampak pucat pasi. Melihat sosok laki-laki ini. "Jangan mendekat! Pergi!" Vina yang merasa terdesak terus mundur, hingga menyebabkan dia hampir jatuh dari ranjang. Tapi dengan sigap Rangga meraih tubuh Vina, menahannya agar tidak terjatuh. Sepeninggal Maya, sosok yang dari tadi mengawasinya melangkah mendekat ke arah Vina, dengan langkah pelan dan hati-hati. "Vin!" Mata Vina membelalak sempurna, demi melihat siapa yang datang. Laki-laki yang jadi sumber masalah itu sekarang ada dekatnya. Vina beringsut mundur, menghindari sosok yang saat ini
Maya terkejut, mendapati laki-laki tak kenal duduk di dekat brangkar Vina. Dia menghentikan langkah, memperhatikan laki-laki itu dengan seksama, barang kali dia mengenal. Tapi nihil, dia sama sekali tak mengingat sosok menunggui Vina tersebut. Apa mungkin dia saudara Vina? Tapi kok tidak pernah lihat? Lalu dia tahu dari mana Vina dirawat di sini? Siapakah laki-laki ini? Punya hubungan apa dengan Vina? Apa dia punya maksud jahat? Maya menerka-nerka. Maya mengambil nafas, setelah berhasil menguasai diri, kemudian melanjutkan langkah mendekati sosok yang membelakanginya itu. "Hm! Maaf masnya ini siapa, ya?" Tanya Maya setelah berada di dekat brangkar. Sontak Rangga menoleh, dia nampak bernafas lega melihat siapa yang datang. Kemudian dia berdiri, mengulurkan tangan pada Maya. "Perkenalkan, saya Rangga. Sahabat Vina." Maya menyambut uluran tangan itu. "Sahabat?" Tanya Maya memastikan, disertai tatapan penuh selidik. Rasanya baru kali ini dia mendengar Vina punya sahabat laki-laki.
"Apa jaminan yang Anda berikan, andai saya menerima tawaran anda?" Tanya Maya, setelah mereka sampai di taman klinik yang nampak sepi itu. Mereka kini berdiri saling berhadapan, Maya tak lagi menghindari tatapan elang milik Rangga. Dia sudah siap dengan segala resiko atas keputusan yang dia ambil. "Jadi, anda sudah menyerah?" Tanya Rangga dengan tatapan meremehkan. "Tergantung." Rangga menganggukan kepalanya beberapa kali. Bisa dia mengerti, kalau Maya tidak menyerah begitu saja. Ini bukan masalah sepele."Jaminannya, nama anda tidak akan terseret sama sekali, jika kemudian hari Vina melaporkan perbuatan Rangga pada polisi. Dan saya pastikan Vina mendapat pengobatan di tempat yang lebih baik sampai sembuh, dengan biaya dari saya. Bagaimana? Menarik bukan?" Maya nampak menghela nafas panjang. "Bagaimana dengan Abra? Dia pasti marah besar setelah tahu istrinya anda bawa pergi." Masalahnya tidak sesimpel ucapan Rangga. Suami mana yang tak marah, istrinya dibawa kabur orang? Apalagi
"Apa jaminan yang Anda berikan, andai saya menerima tawaran anda?" Tanya Maya, setelah mereka sampai di taman klinik yang nampak sepi itu. Mereka kini berdiri saling berhadapan, Maya tak lagi menghindari tatapan elang milik Rangga. Dia sudah siap dengan segala resiko atas keputusan yang dia ambil. "Jadi, anda sudah menyerah?" Tanya Rangga dengan tatapan meremehkan. "Tergantung." Rangga menganggukan kepalanya beberapa kali. Bisa dia mengerti, kalau Maya tidak menyerah begitu saja. Ini bukan masalah sepele."Jaminannya, nama anda tidak akan terseret sama sekali, jika kemudian hari Vina melaporkan perbuatan Rangga pada polisi. Dan saya pastikan Vina mendapat pengobatan di tempat yang lebih baik sampai sembuh, dengan biaya dari saya. Bagaimana? Menarik bukan?" Maya nampak menghela nafas panjang. "Bagaimana dengan Abra? Dia pasti marah besar setelah tahu istrinya anda bawa pergi." Masalahnya tidak sesimpel ucapan Rangga. Suami mana yang tak marah, istrinya dibawa kabur orang? Apalagi
Maya menatap nanar gedung berlantai tiga di depannya. Sudah lama sekali dia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini, terakhir kali saat dia ke sini belasan tahun yang lalu. Saat mengambil tunjangan kematian untuk suaminya.Sudah seminggu ini Abra tidak pulang, juga tak memberi kabar. Susah dihubungi, bahkan saat dia menelfon ke kantornya Abra, tak ada jawaban yang memuaskan hati Maya. "Pak Abra ada meeting penting, Bu. Tidak bisa diganggu.""Pak Abra sedang di luar, Bu.""Ada pesan untuk Pak Abra? Nanti akan saya sampaikan, agar Pak Abra bisa menghubungi Ibu kalau ada waktu." Begitu jawaban sang sekretaris. Maya sudah titip pesan, dia pun sudah sabar menunggu telfon balik dari Abra. Tapi putra kesayangannya itu tak pernah menelponnya. Kini saatnya dia mendatangi kantor milik adik almarhum suaminya itu, berharap bisa bertemu Abra. Banyak pertanyaan yang kini memenuhi kepala Maya. Kemana saja Abra selama seminggu ini? Apa dia baik-baik saja setelah kejadian itu? Apa dia sudah di
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s