"Savira!" teriak Dion lantang. Savira segera berlari, menuruni anak tangga menuju keberadaan Dion. Pernah bekerja di rumah sakit membuat langkahnya cepat dan tepat. Meski napasnya sempat tersengal akibat berlari dari lantai atas. Belum lagi dia jarang berolahraga. Dion duduk di sofa ruang tamu, menyeruput kopi yang masih mengepul. Matanya asyik menatap layar smartphone miliknya. Dia abaikan Savira yang berdiri seraya mengatur napas beberapa kali. Lebih tepatnya pura-pura tak melihat. "Aku buru-buru, lari sampai ngos-ngosan. Tapi kamu masih santai ngopi, Dion?" Savira menghembuskan napas kasar, kesal pada lelaki yang masih duduk santai di hadapannya. Dion hanya diam, melirik Savira kemudian kembali menyeruput kopinya. Perempuan yang mengenakan setelan kaos dan celana jeans itu pun ikut menjatuhkan bobot di sofa, tepat di hadapan Dion. Meja dari kaca sebagai pembatas di antara mereka. "Ayo! Ngapain kamu duduk di situ!"Dion berdiri, berjalan keluar rumah. "Benar-benar menyebalkan
Dion masih melotot dengan mulut terbuka lebar. Lelaki itu terkejut melihat perempuan yang berdiri di hadapannya. Tak dipungkiri ia mengakui kecantikan Savira. Gaun putih tulang dengan lengan pendek menempel indah di tubuh putih Savira. Belum lagi desain gaun yang mewah kian menambah kecantikan perempuan itu. Waktu seolah berhenti sesaat kala netra keduanya bertemu. Ada getaran yang tiba-tiba hadir di hati Dion dan Savira. Namun mereka tepis karena kebencian yang sering kali muncul, terutama di hati Dion. "Gimana, Dion?""Gimana apanya? Biasa aja, gak ada cantik-cantiknya.""Yakin? Kenapa mangap dari tadi?""Mangap kek gini?"Dion membuka mulut lebar, mencontohkan ucapan Savira baru saja. Uhuuk... Uhuuk.... "Kenapa?" Savira menautkan dua alis, menatap heran lelaki yang duduk di sofa. Dion batuk beberapa kali, mengeluarkan sesuatu yang tiba-tiba masuk di mulutnya. Seekor nyamuk salah memilih jalur, masuk ke gua yang ternyata mulut Dion. "Nyamuknya pakai masuk ke mulut. Howeek ...
"Ini Dion ke mana?" Savira menoleh ke kanan kiri, mencari mobil mewah berwarna hitam. Namun nihil, kendaraan roda empat itu sudah menghilang dari pandangan. Dion meninggalkan istrinya di pom bensin. "Aku pulang apa ke kantor Pak Ridwan? Mana laper lagi," ucap Savira pelan. Savira diam sesaat di depan minimarket. Perempuan itu kebingungan memilih pergi ke mana, rumah atau kantor pengacara. Dia melangkah meninggalkan pom bensin seraya berpikir ke mana kaki harus berhenti. Istri Dion Adi Purnawan berdiri di pinggir jalan, menunggu sebuah taksi lewat di jalan itu. Sudah sepuluh menit perempuan itu menunggu tapi belum juga mendapatkan taksi atau ojek. Teknologi yang semakin maju menjadikan taksi biasa berkurang, mereka kalah dengan taksi online yang beredar di aplikasi. Sialnya ponsel Savira tertinggal di dalam mobil. Dia tak bisa memesan taksi melalui aplikasi. Menunggu adalah jawaban terbaik dari masalah yang ia alami. "Lama-lama berdiri di sini bisa kering sekujur tubuh. Dion mema
"Kamu enak-enak tidur di sini, sementara aku sibuk mencari kamu." Dion menyilangkan kedua tangan di dada, menatap penuh amarah kepada wanita yang masih merebahkan tubuh di atas kasur. Savira beranjak, berjalan mendekat seraya mengikat rambut sekenanya. Rambut cepol itu semakin memperjelas leher jenjangnya. Savira nampak cantik meski berpenampilan seadanya. Tak heran Bram masih menaruh hati kepadanya. Perempuan itu menghela napas, sedikit kesal dengan ucapan Dion. Apa lagi lelaki itu terus berbicara dan menuduh Savira yang tidak-tidak. Namun bukan amarah yang ia perlihatkan, justru lengkungan indah yang muncul di wajah itu. "Senyum-senyum, minta maaf kek. Dasar istri tak punya akhlak!" maki Dion kesal. Sebuah lengkungan tergambar jelas di wajah Savira. Ucapan Dion sama sekali tak membuatnya merasa bersalah. Dia justru tertawa saat melihat ekspresi wajah suaminya. Belum lagi debaran dalam dada kembali terasa kala mendengar Dion menyebutnya istri. Savira bahagia meski tak ia tunjukk
Waktu berjalan dengan cepat, tidak terasa hari ini adalah resepsi pernikahan Savira dan Dion. Ratusan orang sudah memenuhi hotel bintang lima tersebut.Tak hanya saudara dan rekan bisnis, para pemburu berita pun sudah siap di sana. Mereka tengah menunggu kedatangan dua mempelai yang mencuri perhatian di acara ini. Bunga mawar merah dan putih tertata rapi di ruangan nan luas. Sengaja kebanyakan bunga adalah jenis mawar. Bukan tanpa alasan, Savira menyukai bunga itu. Sehingga Hendra memutuskan bunga mawar menjadi mayoritas hiasan di acara resepsi pernikahan Savira dan Dion. "Mbak, udah siap?" tanya MUA yang bernama Janet. Savira menoleh, tersenyum manis pada wanita di hadapannya. Senyum yang kian mempercantik dirinya. "Cantik banget, Mbak."Janet terus memandang klien di depannya. Bukan karena cantik alami, tapi karena lemah lembut dalam bertutur kata. Dia satu-satunya klien yang tidak menuntut ini dan itu. Pasrah dan mempercayakan semuanya pada Janet karena Savira pun tak mengerti t
"Hamil kamu bilang?"Dion mengepalkan tangan di samping. Pundaknya naik turun, dengan mata menatap tajam perempuan di hadapan. Sebuah tespek ia buang tanpa melihat hasilnya. "A-aku hamil anak kamu, Dion. Kamu harus bertanggung jawab," ucap Julia seraya menjatuhkan air mata. Perempuan berambut pirang itu terus mengeluarkan air mata buaya. Mengatakan hal yang sama berulang kali, hingga akhirnya dia menjadi pusat perhatian, bahkan menarik simpati para pemburu berita. Pesta yang semula meriah menjadi gaduh akibat ulah perempuan itu. Bisik-bisik di antara tamu undangan tak terelakkan. Kini bukan pujian yang diberikan untuk Dion dan Savira. Melainkan hujatan yang menyakitkan hati. "Kamu beneran hamil, Jul?" tanya salah seorang teman. Julia tak menjawab, hanya tangis yang keluar dari mulutnya. Tangis penuh sandiwara lebih tepatnya. Simpati terus diberikan pada Julia. Semua menilai hanya dari sebelah pihak saja. Apa lagi ada bukti nyata jika Julia benar-benar hamil. Meski entah dengan s
Dion gelagapan, matanya membola sempurna. Tanpa diminta jantungnya berlomba-lomba berdetak. Seketika ia betulkan posisi tubuh. "Sorry ... sorry, gak sengaja.""Cari kesempatan kamu, ya! Jangan-jangan kamu mau ngapa-ngapain aku!"Savira terduduk, menatap tajam lelaki yang berdiri di samping ranjang. Tatapan mengintimidasi terlihat jelas di sana. Dion hanya diam seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Lelaki itu bingung harus bagiamana. Sungguh itu kejadian memalukan bagi putra tunggal pemilik perusahaan ternama. Mencium wanita yang menjadi musuh besarnya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Bukan, lebih tepatnya sebuah kutukan. Namun justru kebencian membuat mereka semaki dekat. "Ngaku kamu, Dion!""Siapa juga yang mau cium wanita seperti kamu. Hii... jijik."Dion mengusap kasar bibir berulang kali. Membuang jejak bibir Savira yang sempat menempel di sana. Sialnya tak bisa membatalkan apa yang terlanjur terjadi. "Jijik tapi nyosor!"Savira mencebik, menatap kesal hingga membuat D
"Mundur, Dion! Jangan deket-dekat!""Kenapa, Ra? Bukankah kita suami istri?"Dion semakin mendekat, tiap langkah kaki lelaki itu membuat nyali Savira kian menciut. Bayangan pemaksaan terlintas di kepala Savira, ia ketakutan. Semua wanita mendambakan bulan madu indah bersama pasangannya. Sama seperti impian Savira, tak perlu ke luar negri atau pun hotel mewah. Perempuan itu hanya menginginkan indahnya malam pertama dengan orang yang ia cintai. Bukan justru bulan madu bersama orang yang sangat membencinya. "Benar, kan, Ra? Kita suami istri, tubuh kamu milik aku."Dion tersenyum menyeringai seraya mengusap pipi Savira. Perempuan yang masih mengenakan gaun pengantin itu hanya diam. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin pun mulai membasahi dahinya. "Kenapa, Sayang? Kamu takut?"Savira terdiam, entah mengapa mulutnya membisu. Dia hanya mempererat pakaian ganti yang ia bawa. Nyali yang sempat melambung terhempas begitu saja.Dion menahan tawa melihat ekspresi wajah Savira. Belum la
"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega
Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m
"Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin
"Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan
"Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh
"Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong
Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi