"Hamil kamu bilang?"Dion mengepalkan tangan di samping. Pundaknya naik turun, dengan mata menatap tajam perempuan di hadapan. Sebuah tespek ia buang tanpa melihat hasilnya. "A-aku hamil anak kamu, Dion. Kamu harus bertanggung jawab," ucap Julia seraya menjatuhkan air mata. Perempuan berambut pirang itu terus mengeluarkan air mata buaya. Mengatakan hal yang sama berulang kali, hingga akhirnya dia menjadi pusat perhatian, bahkan menarik simpati para pemburu berita. Pesta yang semula meriah menjadi gaduh akibat ulah perempuan itu. Bisik-bisik di antara tamu undangan tak terelakkan. Kini bukan pujian yang diberikan untuk Dion dan Savira. Melainkan hujatan yang menyakitkan hati. "Kamu beneran hamil, Jul?" tanya salah seorang teman. Julia tak menjawab, hanya tangis yang keluar dari mulutnya. Tangis penuh sandiwara lebih tepatnya. Simpati terus diberikan pada Julia. Semua menilai hanya dari sebelah pihak saja. Apa lagi ada bukti nyata jika Julia benar-benar hamil. Meski entah dengan s
Dion gelagapan, matanya membola sempurna. Tanpa diminta jantungnya berlomba-lomba berdetak. Seketika ia betulkan posisi tubuh. "Sorry ... sorry, gak sengaja.""Cari kesempatan kamu, ya! Jangan-jangan kamu mau ngapa-ngapain aku!"Savira terduduk, menatap tajam lelaki yang berdiri di samping ranjang. Tatapan mengintimidasi terlihat jelas di sana. Dion hanya diam seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Lelaki itu bingung harus bagiamana. Sungguh itu kejadian memalukan bagi putra tunggal pemilik perusahaan ternama. Mencium wanita yang menjadi musuh besarnya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Bukan, lebih tepatnya sebuah kutukan. Namun justru kebencian membuat mereka semaki dekat. "Ngaku kamu, Dion!""Siapa juga yang mau cium wanita seperti kamu. Hii... jijik."Dion mengusap kasar bibir berulang kali. Membuang jejak bibir Savira yang sempat menempel di sana. Sialnya tak bisa membatalkan apa yang terlanjur terjadi. "Jijik tapi nyosor!"Savira mencebik, menatap kesal hingga membuat D
"Mundur, Dion! Jangan deket-dekat!""Kenapa, Ra? Bukankah kita suami istri?"Dion semakin mendekat, tiap langkah kaki lelaki itu membuat nyali Savira kian menciut. Bayangan pemaksaan terlintas di kepala Savira, ia ketakutan. Semua wanita mendambakan bulan madu indah bersama pasangannya. Sama seperti impian Savira, tak perlu ke luar negri atau pun hotel mewah. Perempuan itu hanya menginginkan indahnya malam pertama dengan orang yang ia cintai. Bukan justru bulan madu bersama orang yang sangat membencinya. "Benar, kan, Ra? Kita suami istri, tubuh kamu milik aku."Dion tersenyum menyeringai seraya mengusap pipi Savira. Perempuan yang masih mengenakan gaun pengantin itu hanya diam. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin pun mulai membasahi dahinya. "Kenapa, Sayang? Kamu takut?"Savira terdiam, entah mengapa mulutnya membisu. Dia hanya mempererat pakaian ganti yang ia bawa. Nyali yang sempat melambung terhempas begitu saja.Dion menahan tawa melihat ekspresi wajah Savira. Belum la
"Kenapa menatapku seperti itu?"Dion menatapku tajam, sorot mata bak singa yang siap menerkam mangsa. Tapi sayang, aku tidak takut. Sudah terlalu sering mendapatkan perlakuan seperti itu, hingga akhirnya aku pun terbiasa. "Kamu kecewa tak jadi menginap di hotel? Bukankah kamu sudah terbiasa menginap bersama tua bangka itu? Sudah berapa hotel yang kamu kunjungi?"Aku menghela napas, mengalihkan pandangan agar tak bertatap muka dengan lelaki itu. Jujur ucapan Dion bak belati yang menusuk tepat di jantung, menyakitkan. Namun menjelaskan juga percuma, dia tak akan percaya. Mobil yang kami naiki melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah. Kamar hotel yang sudah kami booking terpaksa kami tinggalkan. Semua karena pergulatan yang terjadi antara Dion dan dua perempuan itu. Hening, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kami seperti orang asing yang duduk dalam satu mobil. Ah, bukankah kami memang orang asing. Bahkan pernikahan hanya sebuah status agar warisan jatuh di tangannya.
Pov Savira"Ada apa, Nung?" Aku bertanya saat Nunung sudah berdiri di hadapanku. Napas perempuan itu tersengal, sudah seperti berlari mengelilingi satu komplek. "A-ada orang di luar, Nyah.""Siapa?""I--itu, wanita edan.""Siapa sih, Nung!""Lihat sendiri saja, Nyah!"Nunung manarik tangan ini hingga membuatku berjalan mengikuti setiap langkah kakinya. Kemudian kami berhenti tepat di depan pintu utama. "Buka, Nyah!"Perempuan yang semula berada di depanku kini berpindah tempat, ia berdiri di belakang tubuh langsingku. Percuma bersembunyi, tubuhnya saja jauh lebih besar dariku. "Lha, harusnya kamu yang buka, Nung. Bukan aku!"Nunung menggeleng, perempuan yang tadinya bersemangat kini menciut seperti kerupuk tersiram air, melempem. Pintu segera kubuka, seorang wanita berambut pirang berdiri tepat di depan pintu. Kedua tangannya menyilang di dada, belum lagi tatapan sinis yang ia layangkan padaku. Julia, dia tamuku malam ini. "Ada perlu apa, Mbak?"Aku bertanya tanpa mempersilakan
Savira terdiam di sudut ranjang, bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Bibir bawah ia gigit seraya menahan suara yang keluar dari mulutnya. Perlahan ia berjalan menuju kamar mandi seraya menahan nyeri yang terasa di bawah perut. Kembali ia teteskan air mata kala mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Bukan karena ia tak mau memenuhi haknya sebagai seorang istri. Namun cara memintanya yang salah, hingga membuat Savira kecewa. Tetes demi tetes air shower jatuh membasahi tubuh Savira. Perempuan itu menangis terisak. Bahkan dadanya kian teras sesak. "Kenapa harus seperti ini, Tuhan?"Savira luruh di lantai, baju dan tubuh yang ia kenakan telah basah oleh air. Namun ia masih diam dengan posisi yang sama. Sekali pun dingin menusuk tulang. Dinding kamar mandi menjadi saksi kekecewaan yang Savira alami. Dingin, tubuh perempuan itu mulai menggigil. Savira pun segera menyelesaikan mandi besar. Setelah memakai pakaian ia pun melangkah gontai menuju ranjang. Lebih tepatnya sofa pan
Hendra meremas surat kabar yang baru saja ia baca. Kemudian melempar kumpulan kertas berisi berita kemarin di atas meja. Helaan napas keluar dari mulut lelaki itu. "Dugaanku benar, kejadian kemarin akan menjadi topik pembicaraan. Aku tak peduli bagaimana nasib Dion, perasaan Savira yang kini aku pikirkan."Pengakuan Julia di acara pernikahan Dion tak ubahnya bom yang meledak. Menghancurkan semua orang yang ada di sekitarnya. Bukan hanya nama Dion yang tercoreng tapi perusahaan Purnawan menjadi sorotan. Para investor pun mulai ragu dengan kinerja putra tunggal Purnawan."Apa mungkin Dion melakukan hal gila itu? Tak menutup kemungkinan janin yang dikandung Julia merupakan anak Dion. Bukankah mereka berdua menjalin hubungan lebih dari satu tahun?" Pikiran Hendra terus berkecamuk. Bahkan kopi yang ada di atas meja nyaris dingin karena terlalu lama diabaikan. Lelaki itu masih fokus memikirkan cara menghentikan kabar tersebut.Memberi uang bukan lagi menjadi solusi. Bukan hanya para pembu
Beberapa hari Dion dan Savira saling diam. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Kejadian tempo hari semakin membuat hubungan keduanya merenggang, mereka benar-benar seperti orang asing. Ah, bukankah mereka orang asing yang terpaksa menjadi suami istri karena surat wasiat?Hari ini Dion mulai bekerja di kantor. Libur honey moon telah usai, kini ia harus di hadapkan dengan tumpukan berkas yang perlu diperiksa dan ditanda tangani. Bagi lelaki itu tumpukan pekerjaan dan laporan adalah neraka."Kenapa harus ke kantor? Tak bisakah jalan sendiri? Males banget."Dion menggerutu seraya mengenakan kemeja berwarna putih. Sebuah jas berwarna cream melengkapi penampilannya kali ini. Lelaki dengan tubuh atletis itu nampak semakin menawan. Tidak heran banyak perempuan yang tergila-gila padanya."Belum be..." Savira menutup mulutnya. Keinginan bertanya dia lupakan."Kenapa tutup mulut"Dion menatap Savira dari pantulan cermin yang ada di hadapannya. Seketika Savira membalikkan bad
"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega
Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m
"Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin
"Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan
"Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh
"Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong
Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi