Beberapa hari Dion dan Savira saling diam. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Kejadian tempo hari semakin membuat hubungan keduanya merenggang, mereka benar-benar seperti orang asing. Ah, bukankah mereka orang asing yang terpaksa menjadi suami istri karena surat wasiat?Hari ini Dion mulai bekerja di kantor. Libur honey moon telah usai, kini ia harus di hadapkan dengan tumpukan berkas yang perlu diperiksa dan ditanda tangani. Bagi lelaki itu tumpukan pekerjaan dan laporan adalah neraka."Kenapa harus ke kantor? Tak bisakah jalan sendiri? Males banget."Dion menggerutu seraya mengenakan kemeja berwarna putih. Sebuah jas berwarna cream melengkapi penampilannya kali ini. Lelaki dengan tubuh atletis itu nampak semakin menawan. Tidak heran banyak perempuan yang tergila-gila padanya."Belum be..." Savira menutup mulutnya. Keinginan bertanya dia lupakan."Kenapa tutup mulut"Dion menatap Savira dari pantulan cermin yang ada di hadapannya. Seketika Savira membalikkan bad
"Aduh, kenapa harus begini?" rutuk Savira seraya mengusap wajah kasar."Bener, kan? Mbak ini istri Dion Adi Purnawan, anak pengusaha tambang itu, kan?""Mbak salah orang. Ya kali istri pengusaha pakai motor butut gini."Savira menjawab sambil menahan gugup yang mendera. Bahkan butir-butir keringat menempel di keningnya. Ragu, ia langkahkan kaki mendekat ke arah penjual es kelapa muda."Balik badan pasti ketahuan. Ah, ini nih akibat enggak nurut sama suami. Baru juga keluar sudah mendengar ucapan tak enak. Emang bener ... susah punya suami tampan dan kaya. Fansnya berceceran di jalan."Savira terus berbicara dalam hati. Berbagai argumen menari dalam kepala. Pernikahan mereka memang bermula dari keterpaksaan, namun tanpa disadari ada rasa yang tumbuh di hati keduanya. Meski tertutup dengan ego masing-masing.Seorang perempuan menatap lekat netra Savira. Bahkan wajahnya kian mendekat hingga tinggal tiga jari jarak keduanya. Savira menelan ludah dengan susah payah. Tatapan itu membuat ia
"Kapan kelarnya?" Dion mengusap wajah kasar. Kepalanya bersandar di kursi. Sesekali ia pijit kepala yang terasa berdenyut, pusing.Dokumen yang harus Dion periksa masih menumpuk di atas meja. Dia hanya menatap tapi enggan menyentuh. Sudah setengah hari ia berkutat dengan laporan dan dokumen. Namun tumpukan berkas itu tak kunjung berkurang. Lelah, Dion pun menyerah."Gak kuat gue lama-lama!"Dion memejamkan mata, mengabaikan dokumen penting yang terus meronta. Ingin menghilang, tapi lelaki itu tak memiliki kekuatan. Ancaman Hendra mengikatnya untuk tetap duduk di sana."Kalau Mas Dion gak sanggup mengurus aset biar Savira yang akan turun tangan. Tapi jangan salahkan saya jika Mas Dion tak memiliki banyak uang untuk bersenang-senang."Kalimat yang keluar dari Hendra terus terngiang di telinganya. Memaksa lelaki itu untuk bertahan dengan tumpukan laporan demi sebuah warisan."Aku kira memiliki perusahaan ... aku bebas menikmati kekayaan. Tapi ternyata salah, hidupku justru seperti di ne
Dion segera membopong Savira ke lantai atas, di ikuti Nunung di belakangnya. Dengan sigap Nunung membuka pintu kamar agar majikannya dapat masuk."Telepon dokter Hans, Nung!"Dion merebahkan Savira di atas ranjang. Perlahan ia buka pakaian Savira yang telah basah agar demamnya tak semakin parah."Tuan mau ngapain?" "Kamu gak denger? Telepon dokter Hans, sekarang!""Ba--baik, Tuan."Nunung membalikkan badan, belum sampai pintu gerakan kakinya terhenti."Nomor teleponnya berapa, Tuan?""Ada dibuku telepon,Nung!" Nunung segera keluar sebelum Dion semakin marah. Mengerikan jika atasannya mengeluarkan taring.Dion tertegun melihat Savira, seketika menelan ludah dengan susah payah. Sebagai lelaki normal, ia tergoda saat menatap setiap inci tubuh Savira. Namun segera ia buang pikiran kotor yang memenuhi isi kepalanya. Sadar, istrinya tengah tak sadarkan diri."Sial, pikiranku jadi ke mana-mana!"Dion mengusap wajar kasar. Perlahan ia memakaikan baju Savira. Kembali ia diam kala pikiran ko
"Kamu sudah sadar, Ra?" Dion mendekat, menempelkan telapak tangannya di kening Savira. Panas saat kedua kulit itu menempel, namun tak sepanas saat Dion meninggalkannya. Demam istrinya sudah turun."Udah turun, tapi masih panas. Udah makan belum, Ra?"Dion meletakkan obat di atas nakas kemudian duduk tepat di samping Savira. Hening, tak ada jawaban dari mulut istrinya. Savira masih memikirkan perkataan Nunung beberapa saat tadi."Ra, udah makan belum?""Eh, iya ... apa?""Kamu gak dengerin aku ngomong, Ra? Kamu dah makan belum?"Savira tersenyum kaku kemudian menggeleng pelan. Menatap Dion membuat pikirannya kembali berkelana ke mana-mana. Bayangan Dion melepaskan pakaiannya satu-satu menari-nari di pelupuk mata. Savira bergidik ngeri."Tunggu sebentar, aku ambilkan makan."Dion pun pergi menuju lantai bawah. Dengan cepat ia mengambil bubur yang tadi dimasakan Siti."Mau saya bawakan, Tuan?" Siti berjalan mendekat ke arah Dion. Perempuan itu menunduk, takut melihat sorot mata tajam
Regina membalikkan badan, tangan yang hendak menampar Savira terhempas di udara."Apa-apaan ini?"Dion menatap penuh tanda tanya. Savira memilih menunduk, sementara Regina tersenyum penuh kepalsuan."Apa yang terjadi, Ma? Kenapa Mama mau menampar Savira?"Dion berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di tengah Savira dan Regina. Lelaki itu menatap selidik dua perempuan yang berada di sampingnya."Tidak apa-apa. Benar begitu, kan, Ra?"Regina menatap tajam ke arah Savira. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan menantunya untuk berkata iya. Regina memang membenci Savira, namun di hadapan Dion, dia seperti domba, meski sebenarnya serigala.Perhatian Dion beberapa hari ini meyakinkan Regina, jika putranya telah memiliki rasa pada Savira. Perempuan itu mulai berhati-hati bersikap di hadapan Dion dan Hendra. Dia tak ingin kehilangan ATM berjalannya."Benar seperti itu, Ra?" tanya Dion memastikan.Savira diam beberapa saat, ingin berkata jujur tapi dia sedang malas berdebat. Tubuhnya belum sepenuhn
Dion menepikan sembarangan kendaraan roda empatnya. Lelaki itu bergegas masuk ke rumah sakit."Dokter Bram ada di mana, Sus?"Lelaki itu bertanya pada seorang perawat yang tengah mendorong pasien dengan kursi roda. Perawat tersebut terpaksa berhenti."Dokter Bram yang ganteng itu, Mas?"Dion mencebik mendengar kata ganteng. Perutnya mendadak mual, namun ia tahan agar tak merusak citranya. Ketampanan dan pesonanya akan berkurang hanya karena sebuah kesalahan, muntah di depan pintu utama rumah sakit."Di mana, Sus?""Dokter Bram berada di IGD, Mas."Dion mengangguk, sedikit berlari menuju ruang IGD. Tak perlu bertanya, Dion sudah hafal denah rumah sakit ini. "Mas, mobilnya!" teriak seorang satpam yang memakai baju berwarna coklat.Dion terus berlari, tak ia hiraukan panggilan satpam itu. Amarah dalam dirinya harus segera dilampiaskan. Lelaki itu sudah tak sabar menghajar Bram jika terbukti bersama Savira, istrinya.Pintu IGD tertutup, namun dapat terlihat dari luar karena pintu itu ter
"Tidak!"Dion membuang muka, tangannya terlepas dari pundak Savira. Tarikan napas mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menelusup. Dion salah tingkah mendengar pertanyaan istrinya."Yakin? Tapi kenapa ekspresimu begitu?""Aku cuman ... Em ... gak mau disalahin kalau kamu benar-benar hilang."Dion menjawab sekenanya kemudian memilih mengalihkan pandangan."Ow ... Oke."Savira mengangguk meski tak percaya dengan jawaban Dion. Perempuan itu yakin jika Dion benar-benar mengkhawatirkannya. Meski Dion tak mengakuinya."Kenapa gak beri kabar? Kenapa juga di sini? Kamu sakit atau gimana?"Dion mencecar Savira dengan berbagai pertanyaan. Belum ada jawaban tapi dia terus bertanya. "Satu-satu, Dion. Aku pusing dengernya.""Kenapa kamu ada di sini, Ra?"Dion kembali berbicara, satu pertanyaan keluar dari mulutnya. "Ibu sakit, Dion.""Sekarang di mana? Kenapa tidak beri kabar?""Daya ponsel habis, lupa gak bawa charger."Dion dan Savira berjalan menuju kamar inap Wati. Sepanjang jalan mereka han
"Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel
“Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian
Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega
Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m
"Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin
"Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan
"Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh
"Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong
Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi