Share

Perhatian Dion

Author: Dyah Ayu Prabandari
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Kamu sudah sadar, Ra?"

Dion mendekat, menempelkan telapak tangannya di kening Savira. Panas saat kedua kulit itu menempel, namun tak sepanas saat Dion meninggalkannya. Demam istrinya sudah turun.

"Udah turun, tapi masih panas. Udah makan belum, Ra?"

Dion meletakkan obat di atas nakas kemudian duduk tepat di samping Savira. Hening, tak ada jawaban dari mulut istrinya. Savira masih memikirkan perkataan Nunung beberapa saat tadi.

"Ra, udah makan belum?"

"Eh, iya ... apa?"

"Kamu gak dengerin aku ngomong, Ra? Kamu dah makan belum?"

Savira tersenyum kaku kemudian menggeleng pelan. Menatap Dion membuat pikirannya kembali berkelana ke mana-mana. Bayangan Dion melepaskan pakaiannya satu-satu menari-nari di pelupuk mata. Savira bergidik ngeri.

"Tunggu sebentar, aku ambilkan makan."

Dion pun pergi menuju lantai bawah. Dengan cepat ia mengambil bubur yang tadi dimasakan Siti.

"Mau saya bawakan, Tuan?"

Siti berjalan mendekat ke arah Dion. Perempuan itu menunduk, takut melihat sorot mata tajam
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fiya Yulia
Jangan bilang sayurnya dibuang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira ke Rumah Sakit

    Regina membalikkan badan, tangan yang hendak menampar Savira terhempas di udara."Apa-apaan ini?"Dion menatap penuh tanda tanya. Savira memilih menunduk, sementara Regina tersenyum penuh kepalsuan."Apa yang terjadi, Ma? Kenapa Mama mau menampar Savira?"Dion berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di tengah Savira dan Regina. Lelaki itu menatap selidik dua perempuan yang berada di sampingnya."Tidak apa-apa. Benar begitu, kan, Ra?"Regina menatap tajam ke arah Savira. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan menantunya untuk berkata iya. Regina memang membenci Savira, namun di hadapan Dion, dia seperti domba, meski sebenarnya serigala.Perhatian Dion beberapa hari ini meyakinkan Regina, jika putranya telah memiliki rasa pada Savira. Perempuan itu mulai berhati-hati bersikap di hadapan Dion dan Hendra. Dia tak ingin kehilangan ATM berjalannya."Benar seperti itu, Ra?" tanya Dion memastikan.Savira diam beberapa saat, ingin berkata jujur tapi dia sedang malas berdebat. Tubuhnya belum sepenuhn

  • Bukan Pernikahan Impian   Kekhawatiran Dion

    Dion menepikan sembarangan kendaraan roda empatnya. Lelaki itu bergegas masuk ke rumah sakit."Dokter Bram ada di mana, Sus?"Lelaki itu bertanya pada seorang perawat yang tengah mendorong pasien dengan kursi roda. Perawat tersebut terpaksa berhenti."Dokter Bram yang ganteng itu, Mas?"Dion mencebik mendengar kata ganteng. Perutnya mendadak mual, namun ia tahan agar tak merusak citranya. Ketampanan dan pesonanya akan berkurang hanya karena sebuah kesalahan, muntah di depan pintu utama rumah sakit."Di mana, Sus?""Dokter Bram berada di IGD, Mas."Dion mengangguk, sedikit berlari menuju ruang IGD. Tak perlu bertanya, Dion sudah hafal denah rumah sakit ini. "Mas, mobilnya!" teriak seorang satpam yang memakai baju berwarna coklat.Dion terus berlari, tak ia hiraukan panggilan satpam itu. Amarah dalam dirinya harus segera dilampiaskan. Lelaki itu sudah tak sabar menghajar Bram jika terbukti bersama Savira, istrinya.Pintu IGD tertutup, namun dapat terlihat dari luar karena pintu itu ter

  • Bukan Pernikahan Impian   Dion Jatuh Cinta

    "Tidak!"Dion membuang muka, tangannya terlepas dari pundak Savira. Tarikan napas mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menelusup. Dion salah tingkah mendengar pertanyaan istrinya."Yakin? Tapi kenapa ekspresimu begitu?""Aku cuman ... Em ... gak mau disalahin kalau kamu benar-benar hilang."Dion menjawab sekenanya kemudian memilih mengalihkan pandangan."Ow ... Oke."Savira mengangguk meski tak percaya dengan jawaban Dion. Perempuan itu yakin jika Dion benar-benar mengkhawatirkannya. Meski Dion tak mengakuinya."Kenapa gak beri kabar? Kenapa juga di sini? Kamu sakit atau gimana?"Dion mencecar Savira dengan berbagai pertanyaan. Belum ada jawaban tapi dia terus bertanya. "Satu-satu, Dion. Aku pusing dengernya.""Kenapa kamu ada di sini, Ra?"Dion kembali berbicara, satu pertanyaan keluar dari mulutnya. "Ibu sakit, Dion.""Sekarang di mana? Kenapa tidak beri kabar?""Daya ponsel habis, lupa gak bawa charger."Dion dan Savira berjalan menuju kamar inap Wati. Sepanjang jalan mereka han

  • Bukan Pernikahan Impian   Dion Mabuk

    "Kamu menyukai Savira?"Regina mendekat, dia tatap penuh selidik putranya. Cepat-cepat Dion mengalihkan pandangan. Lelaki itu tak ingin Regina tahu, ada gejolak dalam hatinya. Karena Dion pun tak mengerti perasaannya seperti apa."Ingat, Dion. Savira itu musuh kita!"Dion hanya mampu menganggukkan kepala. Sejujurnya ada kebimbangan yang kini ia rasakan. Beberapa bulan tinggal satu atap bersama Savira membuat rasa benci berubah menjadi empati, bahkan benih cinta mulai bersemi. Hari demi hari yang mereka lalui mampu menyadarkan Dion, jika semua praduganya salah besar. Apa lagi darah di seprai menjadi saksi kalau Savira bukan wanita murahan. Dia mampu menjaga mahkotanya."Dia yang menghancurkan pernikahan mama dan papa, Dion! Kamu harus ingat itu!"Regina membalikkan badan, melangkah pergi dengan menghentak-hentakkan kaki. Sesekali perempuan itu memaki. Bahkan mengutuk Savira dengan kata-kata keji. Dia lupa jika ucapan itu bisa berbalik padanya.Benturan pintu menjadi tanda jika perempu

  • Bukan Pernikahan Impian   Sebuah Foto

    Dion membuka mata. Rasa ingin buang air kecil memaksanya bangun meski kantuk masih mendera. Lelaki itu menyibak selimut, seketika matanya melotot."Astaga!"Dion kembali menutup tubuhnya dengan selimut. "Kenapa bisa telanjang begini?" gumamnya lirih.Dion menoleh ke samping, matanya kembali membola kala melihat Savira tidur terlelap. Sama sepertinya, Savira tidur tanpa memakai busana. Hanya selimut yang menutupi setiap inci tubuhnya."Kenapa Savira juga sama sepertiku? Apa yang terjadi semalam?"Dion mencoba mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu."Apa aku melakukannya lagi?"Lelaki itu beranjak dari ranjang dengan hati-hati, dia punguti pakaian yang berserakan lalu menuju kamar mandi. Guyuran air hangat mampu menghilangkan rasa kantuk yang sempat mendera.Azan subuh berkumandang di masjid tak jauh dari kediaman Dion. Seperti alarm Savira pun terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia mengejapkan mata beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina."Sudah bangun!"Seket

  • Bukan Pernikahan Impian   Dion Meminta Penjelasan

    Dion melajukan kendaraan roda empatnya dengan cepat. Klakson terus saja ia tekan agar pengendaraan di depan menyingkir. Sesekali tangan kanannya mengepal di stang mobil.Beberapa pertanyaan berkecamuk meminta sebuah penjelasan. Namun logika dan hati sedang bergulat hebat. Dia tak tahu mana yang benar di antara keduanya.Dion menepikan mobilnya sembarangan. Kunci mobil ia lempar ke arah satpam yang sedari tadi berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu pun bergegas melangkah menuju ruangan Hendra.Sepanjang jalan beberapa kali karyawannya tersenyum dan menyapa. Namun Dion hanya membisu, tak ada jawaban apa lagi sebuah senyuman. Pikiran lelaki itu fokus pada sebuah pertanyaan, benarkah foto itu?Tanpa mengetuk pintu Dion dorong pintu ruangan Hendra. Namun kosong, asisten pribadinya tak ada di ruangan itu. Dion mendengus kesal lalu melangkah menuju ruangannya."Hendra mana, Lid?"Sekertaris Dion seketika berdiri."Mau saya panggilkan, Pak?""Suruh ke ruangan saya, sekarang!"Dion membuka pintu

  • Bukan Pernikahan Impian   Pertanyaan Dion

    Regina melotot kala melihat video yang diputar Dion. Perempuan itu membisu, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Video itu kembali memaksanya mengingat kejadian lima tahun silam. "Kenapa Dion memiliki video itu?" tanyanya dalam hati. "Bingung, kenapa aku punya bukti perselingkuhan mama?"Regina menelan ludah dengan susah payah, tak menyangka Dion mampu membaca pikirannya. Perlahan dia atur napas, menghilangkan rasa gugup yang sempat mendera. "I--ini tak seperti yang kamu pikirkan, Dion. Mama bisa jelaskan."Tangan Regina menyentuh telapak tangan Dion. Namun secepatnya Dion tepis kasar. Lelaki itu justru menghadiahi Regina dengan tatapan tajam dan mematikan. "Kebohongan apa yang mau mama katakan? Mama bilang ini rekaya? Setelah puluhan foto dan video di sana?""Mama gak mungkin selingkuh, Dion. Itu bohong!"Regina terus mengelak, menyangkal setiap bukti yang terlihat jelas di layar laptop. Perempuan itu dengan percaya diri mengarang berbagai cerita agar Dion kembali perc

  • Bukan Pernikahan Impian   Mabuk di Pesawat

    "Kenapa diam, Ra?""Apa kamu mencintaiku?"Savira masih diam meski dalam hati berkata iya. Namun logika menentangnya. Ibarat berdiri di tengah persimpangan dan tak tahu harus memilih yang mana. Seperti itu perasaan Savira. "Kamu masih panas, ya? Sampai ngomongnya ngelantur begitu."Savira menyentuh kening Dion. Tubuh Dion memang masih panas, tetapi tak seperti tadi. "Apa aku terlihat mengigau, Ra?" Dion menarik tangan Savira hingga terlepas dari kening. Sikap Dion menimbulkan getaran di hati Savira. Buru-buru dia mengalihkan padangan, takut Dion tahu apa yang kini ia rasakan. Beberapa saat mereka terdiam, sibuk dengan detak jantung yang kian berdebar tak menentu. "Em ... aneh saja kamu bicara seperti itu. Bukan seperti Dion yang bisanya.""Maafkan aku, Ra. Aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan."Savira melotot, mulutnya membisu. Selama tinggal bersama, baru kali ini Dion mengucapkan kata maaf. Satu kata yang mustahil diucapkan oleh Dion Adi Purnawan. "Apa ada yang konslet?" batin

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Impian   Perpisahan

    "Jangan bercanda kamu, Hen! Lahirannya masih satu bulan lagi.""Savira terjatuh, perutnya terbentur hingga pendarahan.""Apa!""Aku tunggu di bandara sekarang juga!"Belum sempat menjawab sambungan telepon sudah dimatikan sepihak oleh Hendra. Sikap itu yang membuat Dion semakin panik dan ketakutan. Sesaat Dion kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Namun pesan masuk dari Hendra kembali menyadarkan lelaki itu. Dion segera menyambar kunci mobil, dia akan pergi ke bandara. Mobil yang dikemudikan oleh supir melaju dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan Dion terus meminta sopirnya untuk mempercepat laju kendaraannya. Lelaki itu tak ingin ketinggalan pesawat. "Ngebut lagi, Man!""Tapi, Tuan ....""Kalau sampai aku ketinggalan pesawat, mati kamu!"Supir Dion yang bernama Herman menelan ludah dengan susah payah. Dia pun kian menginjak pedal gas. Hingga akhirnya sampai tepat di depan jalan masuk bandara. "Untung gak mati," ucap supir itu seraya mengelus dada. Tanpa menjawab Dion kel

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pendarahan

    “Kamu sembunyikan di mana Savira,Hen? Dia masih istriku ... aku berhak tahu!’Dion memekik seraya menarik kerah kemeja yang Hendra kenakan. Caci dan maki tak hentinya keluar dari mulut suami Savira. Dia ingin segera menemukan Savira. Lelaki itu menyesal karena telah mengusir istrinya.Hendra tersenyum sinis. Dia singkirkan tangan mantan atasannya. Tatapan muak nampak jelas di mata Hendra. Dia kesal dengan keegoisan Dion yang tak ada habisnya, bahkan kian menjadi.“Ck! Sejak kapan kamu mengakui Savira sebagai istri, Tuan Dion yang terhormat? Seorang istri itu dilindungi dan dicintai ... bukan justru kamu sia-siakan! Sejak awal menikah kamu selalu menanamkan luka padanya, bahkan saat dia memberikan segenap cinta kamu justru menancapkan belati. Harusnya aku sadar, kamu memang tak pantas untuk Savira. Harusnya aku yang menikahinya,bukan kamu!”BUUG!Sebuah tangan menyentuh keras wajah Hendra. Tinju menciptakan luka di sudut bibirnya. Namun justru senyum sinis dia berikan. Tindakannya kian

  • Bukan Pernikahan Impian   Sebuah Kebenaran

    Empat bulan kemudian. Semilir angin memainkan rambut Savira yang dibiarkan tergerai. Helai demi helai rambut hitam itu menari, terkadang berhenti di hidung, bahkan mulut. Namun perempuan itu masih diam menikmati senja dengan hamparan sawah di depan mata. "Mbak Savira wes arep magrib lho! Pamali ibu hamil masih di luar."Seorang perempuan menyapa Savira. Dia juga memintanya segera masuk ke rumah karena malam segera datang. "Nggeh, Bu. Terima kasih."Perempuan itu mengangguk, kemudian melanjutkan langkah menuju rumah. Begitu pula Savira yang memilih mengikuti permintaan tetangganya tersebut. Sudah empat bulan Savira tinggal di sebuah desa. Jauh dari hingar-bingar kota Jakarta. Setiap bulan sekali Hendra akan datang sambil membawa bahan makanan dan kebutuhan Savira selama satu bulan. Maklum, desa itu jauh dari pasar, bahkan swalayan. Pasar terdekat berjarak 10 kilometer dari rumah Savira, itu pun hanya buka satu minggu sekali. Perempuan itu hanya ke pasar jika menginginkan ikan sega

  • Bukan Pernikahan Impian   Savira Pergi

    Hujan angin menyambut perjalanan Hendra dan Savira. Keduanya saling diam, fokus menatap depan. Kejadian beberapa menit lalu menghancurkan hati mereka.Mendapatkan fitnah dari orang yang disayangi adalah lara yang tiada obatnya. Namun untuk menjelaskan kenyataan juga percuma. Dion tak akan percaya meski Savira menjelaskan sampai berbusa. Kebencian dan kekecewaan sudah tertanam dalam hatinya. Tetes demi tetes air jatuh ke bumi, semakin lama semakin deras. Hendra masih melajukan kendaraannya, tapi kini perlahan. "Kamu mau diantar pulang, Ra?"Hendra melirik ke sebelah kiri, lalu kembali fokus menatap depan. Lima menit lelaki itu menunggu jawaban dari Savira, tapi perempuan itu masih diam membisu. "Aku antar pulang, ya, Ra!"Hendra memutar stang mobil ke kiri. Kendaraan roda empat itu melaju ke rumah sederhana Nurdin. Tak tujuan lain selain tempat Savira dibesarkan. "Antar aku ke bertemu Pak Ridwan, Hen?""Untuk apa?""Kamu akan tahu tapi nanti."Tanpa menjawab Hendra mengubah arah m

  • Bukan Pernikahan Impian   Diusir Dari Rumah

    "Kamu kenapa, Dion?"Lelaki itu membisu, menerobos melewati Savira tanpa menoleh sedikit pun. Tak ada senyum apalagi kecupan hangat yang selalu ia berikan. Dion menahan amarah karena sebuah foto yang dikirim ke nomornya pagi ini. Dion kenapa sih? Sebuah tanda tanya memenuhi pikiran Savira. Perempuan itu terus menerka masalah apa yang terjadi sehingga Dion berwajah masam, bahkan mendiamkannya. Hanya masalah pekerjaan yang ada dalam pikiran Savira, dia tak tahu ada duri yang menancap di pernikahannya. Dengan hati-hati Savira melangkah mengikuti Dion. Dia ingin menghilangkan rasa penat dalam diri suaminya. "Kamu mau dibuatkan teh atau kopi, Dion?""Pergi saja kamu! Aku gak mau lihat wajah kamu!"Dion menunjuk pintu, tatapan lelaki itu tajam dan penuh kebencian. Sama seperti saat Savira datang pertama kali. Dion menjadi kasar dan angkuh. Savira menurut, berjalan pelan keluar kamar. Kakinya menginjak anak tangga dengan hati-hati. Sikap kasar Dion menghilangkan konsentrasi. Kaki kirin

  • Bukan Pernikahan Impian   Amarah Dion

    "Pergi! Jangan tunjukkan wajah Mama di hadapanku lagi. Aku muak melihat wajah penuh dusta!"Dion menunjuk pintu. Suara teriakannya menciptakan ketakutan. Nunung yang masih berada di balik pintu segera keluar meski rasa penasaran begitu besar. Asisten rumah tangga itu tak ingin dipecat hanya karena jiwa penasarannya meronta-ronta. "Jangan seperti ini, Dion."Savira menggenggam tangan kanan Dion. Perempuan itu berusaha menenangkan amarah suaminya. Namun tak menggubris "Mama minta maaf, Dion."Regina berlutut di depan Dion, tangan merangkul kedua kaki putranya. Perempuan itu berkali-kali mengucapkan kata maaf seraya menitikkan air mata. Regina berusaha meyakinkan Dion agar memaafkan kesalahannya. Melihat sikap Regina, tumbuhlah rasa iba di hati Savira. Hatinya yang tulus tak kuasa melihat Regina bersimpuh untuk mendapatkan maaf dari Dion. Bahkan perempuan itu sudah memaafkan kesalahan Regina. Savira beranjak, menarik tubuh Regina dan memeluknya erat. "Savira dan Dion sudah memaafkan

  • Bukan Pernikahan Impian   Permohonan Maaf Regina

    "Kamu gak suka aku hamil?" Savira menyilangkan kedua tangan di dada. Senyum yang semula merekah seketika lenyap. Dia kecewa dengan tanggapan Dion atas kehamilannya. "Bukan kecewa, Sayang."Dion mendekat, memeluk perempuan yang tengah merajuk. Beberapa kecupan mendarat di wajah Savira. Seketika wajahnya memerah, amarah pun perlahan mereda. Begitu mudah menghilangkan kemarahan seorang perempuan. Pelukan dan kecupan adalah obat mujarab dari besarnya amarah. "Aku masih gak percaya akan menjadi seorang papa, Ra. Maaf jika ekspresi ku tak sesuai dengan ekspetasi yang kamu harapkan."Dion melepas pelukannya, menatap Savira dengan lekat. Sesaat lelaki itu diam, menunduk dengan netra berkabut. Bulir demi bulir pun jatuh membasahi pipinya. "Kenapa kamu menangis, Dion?"Savira menempelkan kedua telapak tangan di pipi Dion. Bulir demi bulir yang menempel ia hapus dengan jemarinya. "Apa aku sanggup menjadi papa yang baik, Ra? Sementara aku tak bisa menjadi anak yang baik bagi papa hingga akh

  • Bukan Pernikahan Impian   Hamil

    "Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong

  • Bukan Pernikahan Impian   Honeymoon

    Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi

DMCA.com Protection Status