Waktu berjalan dengan cepat, tidak terasa hari ini adalah resepsi pernikahan Savira dan Dion. Ratusan orang sudah memenuhi hotel bintang lima tersebut.Tak hanya saudara dan rekan bisnis, para pemburu berita pun sudah siap di sana. Mereka tengah menunggu kedatangan dua mempelai yang mencuri perhatian di acara ini. Bunga mawar merah dan putih tertata rapi di ruangan nan luas. Sengaja kebanyakan bunga adalah jenis mawar. Bukan tanpa alasan, Savira menyukai bunga itu. Sehingga Hendra memutuskan bunga mawar menjadi mayoritas hiasan di acara resepsi pernikahan Savira dan Dion. "Mbak, udah siap?" tanya MUA yang bernama Janet. Savira menoleh, tersenyum manis pada wanita di hadapannya. Senyum yang kian mempercantik dirinya. "Cantik banget, Mbak."Janet terus memandang klien di depannya. Bukan karena cantik alami, tapi karena lemah lembut dalam bertutur kata. Dia satu-satunya klien yang tidak menuntut ini dan itu. Pasrah dan mempercayakan semuanya pada Janet karena Savira pun tak mengerti t
"Hamil kamu bilang?"Dion mengepalkan tangan di samping. Pundaknya naik turun, dengan mata menatap tajam perempuan di hadapan. Sebuah tespek ia buang tanpa melihat hasilnya. "A-aku hamil anak kamu, Dion. Kamu harus bertanggung jawab," ucap Julia seraya menjatuhkan air mata. Perempuan berambut pirang itu terus mengeluarkan air mata buaya. Mengatakan hal yang sama berulang kali, hingga akhirnya dia menjadi pusat perhatian, bahkan menarik simpati para pemburu berita. Pesta yang semula meriah menjadi gaduh akibat ulah perempuan itu. Bisik-bisik di antara tamu undangan tak terelakkan. Kini bukan pujian yang diberikan untuk Dion dan Savira. Melainkan hujatan yang menyakitkan hati. "Kamu beneran hamil, Jul?" tanya salah seorang teman. Julia tak menjawab, hanya tangis yang keluar dari mulutnya. Tangis penuh sandiwara lebih tepatnya. Simpati terus diberikan pada Julia. Semua menilai hanya dari sebelah pihak saja. Apa lagi ada bukti nyata jika Julia benar-benar hamil. Meski entah dengan s
Dion gelagapan, matanya membola sempurna. Tanpa diminta jantungnya berlomba-lomba berdetak. Seketika ia betulkan posisi tubuh. "Sorry ... sorry, gak sengaja.""Cari kesempatan kamu, ya! Jangan-jangan kamu mau ngapa-ngapain aku!"Savira terduduk, menatap tajam lelaki yang berdiri di samping ranjang. Tatapan mengintimidasi terlihat jelas di sana. Dion hanya diam seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Lelaki itu bingung harus bagiamana. Sungguh itu kejadian memalukan bagi putra tunggal pemilik perusahaan ternama. Mencium wanita yang menjadi musuh besarnya adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Bukan, lebih tepatnya sebuah kutukan. Namun justru kebencian membuat mereka semaki dekat. "Ngaku kamu, Dion!""Siapa juga yang mau cium wanita seperti kamu. Hii... jijik."Dion mengusap kasar bibir berulang kali. Membuang jejak bibir Savira yang sempat menempel di sana. Sialnya tak bisa membatalkan apa yang terlanjur terjadi. "Jijik tapi nyosor!"Savira mencebik, menatap kesal hingga membuat D
"Mundur, Dion! Jangan deket-dekat!""Kenapa, Ra? Bukankah kita suami istri?"Dion semakin mendekat, tiap langkah kaki lelaki itu membuat nyali Savira kian menciut. Bayangan pemaksaan terlintas di kepala Savira, ia ketakutan. Semua wanita mendambakan bulan madu indah bersama pasangannya. Sama seperti impian Savira, tak perlu ke luar negri atau pun hotel mewah. Perempuan itu hanya menginginkan indahnya malam pertama dengan orang yang ia cintai. Bukan justru bulan madu bersama orang yang sangat membencinya. "Benar, kan, Ra? Kita suami istri, tubuh kamu milik aku."Dion tersenyum menyeringai seraya mengusap pipi Savira. Perempuan yang masih mengenakan gaun pengantin itu hanya diam. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin pun mulai membasahi dahinya. "Kenapa, Sayang? Kamu takut?"Savira terdiam, entah mengapa mulutnya membisu. Dia hanya mempererat pakaian ganti yang ia bawa. Nyali yang sempat melambung terhempas begitu saja.Dion menahan tawa melihat ekspresi wajah Savira. Belum la
"Kenapa menatapku seperti itu?"Dion menatapku tajam, sorot mata bak singa yang siap menerkam mangsa. Tapi sayang, aku tidak takut. Sudah terlalu sering mendapatkan perlakuan seperti itu, hingga akhirnya aku pun terbiasa. "Kamu kecewa tak jadi menginap di hotel? Bukankah kamu sudah terbiasa menginap bersama tua bangka itu? Sudah berapa hotel yang kamu kunjungi?"Aku menghela napas, mengalihkan pandangan agar tak bertatap muka dengan lelaki itu. Jujur ucapan Dion bak belati yang menusuk tepat di jantung, menyakitkan. Namun menjelaskan juga percuma, dia tak akan percaya. Mobil yang kami naiki melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah. Kamar hotel yang sudah kami booking terpaksa kami tinggalkan. Semua karena pergulatan yang terjadi antara Dion dan dua perempuan itu. Hening, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kami seperti orang asing yang duduk dalam satu mobil. Ah, bukankah kami memang orang asing. Bahkan pernikahan hanya sebuah status agar warisan jatuh di tangannya.
Pov Savira"Ada apa, Nung?" Aku bertanya saat Nunung sudah berdiri di hadapanku. Napas perempuan itu tersengal, sudah seperti berlari mengelilingi satu komplek. "A-ada orang di luar, Nyah.""Siapa?""I--itu, wanita edan.""Siapa sih, Nung!""Lihat sendiri saja, Nyah!"Nunung manarik tangan ini hingga membuatku berjalan mengikuti setiap langkah kakinya. Kemudian kami berhenti tepat di depan pintu utama. "Buka, Nyah!"Perempuan yang semula berada di depanku kini berpindah tempat, ia berdiri di belakang tubuh langsingku. Percuma bersembunyi, tubuhnya saja jauh lebih besar dariku. "Lha, harusnya kamu yang buka, Nung. Bukan aku!"Nunung menggeleng, perempuan yang tadinya bersemangat kini menciut seperti kerupuk tersiram air, melempem. Pintu segera kubuka, seorang wanita berambut pirang berdiri tepat di depan pintu. Kedua tangannya menyilang di dada, belum lagi tatapan sinis yang ia layangkan padaku. Julia, dia tamuku malam ini. "Ada perlu apa, Mbak?"Aku bertanya tanpa mempersilakan
Savira terdiam di sudut ranjang, bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Bibir bawah ia gigit seraya menahan suara yang keluar dari mulutnya. Perlahan ia berjalan menuju kamar mandi seraya menahan nyeri yang terasa di bawah perut. Kembali ia teteskan air mata kala mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Bukan karena ia tak mau memenuhi haknya sebagai seorang istri. Namun cara memintanya yang salah, hingga membuat Savira kecewa. Tetes demi tetes air shower jatuh membasahi tubuh Savira. Perempuan itu menangis terisak. Bahkan dadanya kian teras sesak. "Kenapa harus seperti ini, Tuhan?"Savira luruh di lantai, baju dan tubuh yang ia kenakan telah basah oleh air. Namun ia masih diam dengan posisi yang sama. Sekali pun dingin menusuk tulang. Dinding kamar mandi menjadi saksi kekecewaan yang Savira alami. Dingin, tubuh perempuan itu mulai menggigil. Savira pun segera menyelesaikan mandi besar. Setelah memakai pakaian ia pun melangkah gontai menuju ranjang. Lebih tepatnya sofa pan
Hendra meremas surat kabar yang baru saja ia baca. Kemudian melempar kumpulan kertas berisi berita kemarin di atas meja. Helaan napas keluar dari mulut lelaki itu. "Dugaanku benar, kejadian kemarin akan menjadi topik pembicaraan. Aku tak peduli bagaimana nasib Dion, perasaan Savira yang kini aku pikirkan."Pengakuan Julia di acara pernikahan Dion tak ubahnya bom yang meledak. Menghancurkan semua orang yang ada di sekitarnya. Bukan hanya nama Dion yang tercoreng tapi perusahaan Purnawan menjadi sorotan. Para investor pun mulai ragu dengan kinerja putra tunggal Purnawan."Apa mungkin Dion melakukan hal gila itu? Tak menutup kemungkinan janin yang dikandung Julia merupakan anak Dion. Bukankah mereka berdua menjalin hubungan lebih dari satu tahun?" Pikiran Hendra terus berkecamuk. Bahkan kopi yang ada di atas meja nyaris dingin karena terlalu lama diabaikan. Lelaki itu masih fokus memikirkan cara menghentikan kabar tersebut.Memberi uang bukan lagi menjadi solusi. Bukan hanya para pembu