Setelah panggilan berakhir Helza langsung terdiam seolah waktu pun berhenti berputar. Saat otaknya memaksa untuk kembali mengingat perkataan sang kakak barusan. Ini bukan lelucon atau Shiza tengah ngeprank kaya biasanya kan? Untuk membuat jantung adiknya itu bekerja dengan extra. Seketika gadis itu menyambar handuk, ia ingin segera menanyakan perihal pernikahan dadakan itu kepada sang oma. Surang dari satu jam Helza sudah berpenampilan cantik dengan dres selutut berwarna marun melekat di tubuhnya.
'Aku harus mendengar langsung dari oma, apa perkataan kakak tadi benar?'Adik bungsu Shiza itu menyambar tas selempang yang dia buang sembarang tadi malam. Dan memasukan ponsel serta merogoh hand sanitizer apa masih ada di dalam tas. Setelah memastikan semuanya ada, Lalu Helza segera mengenakan masker, sudah setahun dunia dilanda kecemasan. Akibat wabah covid 19 yang tidak kunjung usai begitu juga dengan Helza, harus terus proteksi dalam menjaga kesehatan dengan tetap mematuhi protokol yang sudah dilanjutkan Pemerintah. "Oma … Za mau tanya, apa benar mau nikahin aku dengan seseorang dalam waktu dekat?" Oma sonya menoleh saat mengetahui sang cucu bungsu berada tepat di belakangnya. Wanita itu menghela napas sebelum ia berucap, "Benar."Helza membelalakan mata ia sepertinya begitu terkejut. Ternyata Perkataan kakaknya tadi benar adanya, tapi kenapa kelihatan pernikahan ini begitu terburu-buru. Bahkan dia sendiri belum memiliki seorang kekasih lalu mau menikah dengan siapa, kalau begini? Helza mendekat ke arah sang oma lalu bergelayut di pundak oma Sonya tidak peduli betapa kesusahan perempuan paruh baya itu. Yang sedang mengukur kain menggunakan meteran Namun Helza, tetap menyandarkan tubuh. "Oma, bercandanya nggak lucu deh. Semua yang kakak dan Oma bilang itu nggak benar kan?"Oma sonya tetap melanjutkan pekerjaanya. Kulit tangan yang mulai mengeriput itu tetap cekatan dalam bekerja, jauh di dalam hati wanita berusia 63 tahun tersebut begitu menyanyi kedua cucunya. Terutama si bungsu yang memiliki hobi untuk menghabiskan uang dan hanya tahu meminta. Tidak peduli seperti apa oma sonya berjuang, untuk memenuhi gaya hidup Shopaholic Helza. Walau begitu Oma nya tidak pernah mengeluh, hanya saja setahun belakangan sikap Helza begitu memperhatikan. Semenjak ia diperlakukan buruk oleh Alman sang mantan. Oma sonya membawa cucunya ke sebuah sofa yang berada di ruang itu. "Za, kayanya ini sudah waktunya kamu untuk memulai hidup baru. Setelah penuh pertimbangan, Oma memang ingin segera menikahkanmu. ""Oma, sudah nggak sayang Za. Apa ini ada hubungannya dengan gaya hidup Za yang selalu ngabisin uang? Kalau memang iya, aku janji untuk merubah, tapi nggak harus nikahin aku. Oma lupa aku ini jomblo, mau nikah sama siapa, lagian nikah itu harus benar-benar dengan orang yang tepat," keluh Helza berharap Oma nya mau mengerti dengan apa yang dia inginkan. Hening. Itulah yang terjadi oma sonya terdiam, memperhatikan wajah cucunya itu secara intens. kemudian tangannya terukur untuk menggenggam tangan sang cucu. Sorot matanya seolah bernegosiasi berharap cucunya bisa mengerti. Pernikahan itu bukan untuk melepaskan tanggung jawab, melainkan agar Helza bisa kembali seperti dulu. Gadis yang penuh semangat, dan meninggalkan rutinitasnya saat ini yang hobi keluyuran. Sang oma begitu khawatir saat Helza harus menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah tanpa pengawasan. Maksud Oma sonya menikahkan Helza agar ada yang memperhatikan gadis tersebut. "Nak, pernikahan ini bukan karena Oma udah nggak sayang sama kamu. Jangan salah sangka. Bukan juga karena tidak lagi sanggup untuk membiayai hidupmu. Tapi Oma mau Za memiliki semangat hidup baru, untuk terus hidup," kata Oma sonya lembut seiring dengan senyuman yang menawan terbit dari wajahnya. Helza tersenyum getir sembari meremas ujung dres yang ia kenakan. Ucapan Oma nya tadi seperti pukulan telak, ulu hati gadis itu seperti diremas. Pernikahan macam apa ini, kenapa begitu mendadak? Helza menganggap Oma nya. Tidak mengerti dengan penderitaannya, susah payah Helza selama ini untuk menghilangkan rasa trauma kisah asmara yang kandas dengan meninggalkan rasa perih. Namun, Oma sonya malah membuat ia harus mengingat luka itu lagi. "Cukup Oma, Apapun alasannya! Za menolak pernikahan ini, tolong ngertiin perasaan aku." Helza bangkit dari ruangan tersebut meninggalkan Oma Sonya dalam kesedihan seorang diri. Kenapa Helza begitu keras kepala, egonya begitu tinggi. Oma Sonya menyadari kalau sang cucu memiliki watak yang sama yaitu mewarisi perilaku almarhumah mamanya yang tidak lain anak perempuannya sendiri. Ruangan bernuansa Serba putih itu menjadi saksi bisu pertikaian perih antara cucu dan sang oma. Dari luar beberapa pegawai hanya bisa terdiam mendengar Helza yang bersuara tinggi. Sayangnya langkah Helza berhenti, saat hendak memutar knop pintu setelah bariton oma sonya."Helza, ini keputusan akhir setuju atau tidak. Oma tetap akan menikahkanmu, dengan pria pilihan Oma titik! "Duarrr! Helza sengaja membuka pintu Kemudian membanting dengan kasar. Akibatnya menimbulkan suara benturan pintu yang begitu kuat. Beberapa pegawai yang berada di luar ruangan, hanya bisa tertunduk saat langkah kaki gadis itu kian mendekat tanpa berani bersuara walau sekedar basa-basi. "Keterlaluan Oma! Bisa-bisanya memperlakukan Za macam boneka. Kenapa sih nggak bisa ngertiin aku, kenapa?"Gamang itu kiranya yang saat itu Helza rasakan. Langkah kaki membawa adik bungsu Shiza itu kian menjauh. Membawa segenap perasaan terluka, dia merasa tidak ada lagi orang yang mengerti kondisi jiwanya. Kemarin Helza menganggap sang oma sangatlah mengerti. Nyatanya saat ini malah kebalikannya. Tidak peduli dengan terik matahari yang mulai membakar kulit Helza tetap mantap untuk melangkah tanpa tujuan. Ternyata sembilu itu mengalahkan segala rasa yang kini menerpa tubuhnya. Dari dalam sebuah mobil fortuner seorang pria memicingkan mata. Memastikan kembali siluet gadis yang berjalan di atas trotoar, wanita itu berjalan dengan langkah gontai. Entah mengapa pria tersebut merasa pernah melihat sang gadis tapi entah dimana, saat pikirannya berkenalan menimbang pertemuan. Tiba-tiba harus dipaksa berakhir saat suara klakson mobil yang berada di belakang saling bertalu. tanda lampu hijau untuk meneruskan perjalanan. 'Apa itu dia? tapi tidak mungkin ah, jam segini berjalan di trotoar begitu. Dan ya mungkin saya salah orang.' Kini Helza duduk disebuah kursi taman carlton. Disampingnya ada sebuah botol mineral, yang isinya tinggal separuh. Sedang dari wajahnya air jernih itu terus luruh begitu deras. Sampai membuat hidung gadis itu menjadi kemerahan akibat terlalu lama menangis. Mungkin sepanjang perjalanan tadi ia terus menumpahkan air matanya. "Dek, ngapain duduk disini? Ayo pulang! Kasihan Oma, dari tadi begitu mencemaskanmu." Ternyata Shiza kini berada tepat di belakang adiknya. Benar setelah mendapat telepon dari oma sonya yang mengatakan kalau Helza pergi dalam kondisi marah, dari nada suara sang oma tampaknya sangatlah khawatir. Kemudian ia memutuskan untuk mencari sang adik. Beruntung ia bisa menemukan melalui GPS, dan ia langsung ke taman carlton ini. "Ngapain sih Kak, ngajakin Za pulang? Oma itu udah nggak sayang lagi sama aku. Jadi biarin aku disini. Dan ya kakak, juga kayaknya nggak usah repot untuk terus membujuk karena semua itu sudah nggak mempan. Mendingan kakak pulang sana," kata Helza seperti berbisik nyaris tidak terdengar. "Pulang jangan ganggu aku!" Shiza merasa begitu Prihatin melihat kondisi adik bungsunya tersebut. Wajah Helza yang biasanya selalu tersenyum, tetapi kini selalu murung. Hari ini malah terlihat sangat menyediakan setelah air mata yang terus membanjiri wajah berbentuk oval itu. Shiza akhirnya menjatuhkan bokong tepat di sebelah Helza membawa adiknya kedalam pelukan berharap agar adiknya bisa merasa lebih tenang. "Menangislah Dek, kalau itu bisa ngeringanin beban hatimu. Tapi jangan ngambek lagi dan harus pulang, kasihan oma pasti sekarang lagi cemas banget mikirin kamu pulang ya," rayu Shiza berharap kali ini sang adik mau mendengarkannya. "Ogah Kak, kalau Kakak kekeh ingin aku pulang. Lebih baik sekarang kakak yang pulang, ingat bumil nggak baik keluyuran kasihan keponakanku entar kecapean."Saat keduanya hanyut dalam perdebatan tiba-tiba ponsel Shiza berdering, dan saat istri ferdi itu mengangkat telepon ternyata panggilan telepon itu dari salah satu pegawai oma sonya di butik. Ia mengatakan kalau sang oma saat ini ia sedang pisang. "De, ayo pulang Oma pingsan!"Helza membeku saat mengetahui perkataan sang kakak. Rasa bersalah segara menderanya. Ia ingat betul kalau sang oma memiliki riwayat penyakit jantung. 'Maafin Za, oma. Semoga oma nggak kenapa-napa!' Batin gadis itu berkecamuk. Sungguh rasa khawatir segera menderanya, dengan gerakan cepat keduanya mencari taksi untuk segera menemui sang Oma.Sayang, gimana kondisi Oma?" tanya Ferdi dengan nafas terengah-engah kepada istrinya, yang kebetulan sedang duduk berdampingan dengan Helza.Ketika mendengar kabar, Ferdi masih dalam keadaan meeting dan buru-buru langsung ke rumah sakit. Dengan memacu kuda besi yang tidak lagi ia sadari berapa kecepatan jarak tempuh. Sayangnya jalanan masih dengan drama yang sama setiap hari ya itu, kemacetan yang sulit diurai. Maka langkah Suami Shiza itu semakin terkendala saja."Kata Dokter Arfian, sekarang Oma udah nggak papa sih, Mas. Alhamdulillahnya tadi ada pria baik yang segera bawa Oma ke sini." Senyum menawan kembali hadir setelah sepersekian jam sirna akibat rasa takut yang mendera istri Ferdi tersebut. "Pria baik. Apa jangan-jangan calon adik ipar, yang selama ini tengah kita nantikan kehadirannya, untuk mengobati luka tak berdarah seseorang. ya kan, sayang," kata Ferdi sejurus dengan tatapannya yang mengarah ke Helza.Helza melengos seakan tidak suka. Dengan kalimat yang barusan Ferdi u
"Ada obatnya, Nak?" intonasi bernada rendah nan lembut, itu milik seorang wanita berparas cantik. Walau di usianya yang sudah memasuki kepala lima lebih, beliu adalah Rossa Linda mamanya Azam "Ada Ma," jawab Azam sembari memperlihatkan kantong plastik di genggaman tangannya. Rosalinda tersenyum, keteduhan terlihat dari manik matanya yang sayu, tutur katanya lemah lembut, karakter seorang ibu begitu melekat padanya. Rossa Linda berjalan ke arah sang putra. Kemudian duduk di sofa tangannya, menepuk-nepuk sofa seolah meminta Azam ikutan untuk bergabung. "O ya, baju yang kemarin Mama minta mana? Apa Azam, lupa ambil di butik Bu Sonya? Padahal lusa rencananya mau dipakai ke pesta pernikahan anak teman Mama lo." Putranya itu meletakan kantong plastik. kemudian berkata,"Azam udah sampai sana, tapi ibu … itu mendadak pingsan. Akhirnya Azam bawa ke rumah sakit Sentra Hospital, dan mengenai baju Mama, lupa ambil karena buru-buru ke restoran. Maaf Ma," sesal pria tampan tersebut merasa bersa
Malam kembali menyapa, kala itu sang bumantara hadir dengan warna biru cerah di atas sana. Dengan gumpalan putih, yang mengelilingi di setiap sisi. Di ufuk timur ibu bulan mulai berteger dengan setia, seraya tersenyum meskipun senyumnya belum sepenuhnya terbit. Namun, tidak mengurangi sinar teduhnya. Di sebuah bangku taman rumah sakit, seorang gadis duduk dari sorot manik cokelat kosong, seolah tersirat beban yang begitu berat . Seperti bait kalimat yang tadi diucapkan Sonya, sang Oma. Tentang perjodohannya. Sekali lagi wanita paruh baya itu tampak kekeh dengan niatnya. Tadi waktu di dalam basal Oma Sonya sekali lagi meminta Helza untuk menemui pria itu. Anggap untuk perkenalan begitu katanya. Kalau cucunya itu bersedia. Maka dia akan menelepon Ibu dari si pria membuat schedule untuk berjumpa.Dilema. Tentu Helza rasakan, haruskan dia mengikuti permintaan dari Omanya? Mengorbankan sisa hidup bebas yang selalu dijalani. Memilih jadi gadis baik lagi penurut. Atau pergi dan abai saja ke
Azam bergegas turun dari ruangannya yang berada di lantai dua. Saat mendapat notifikasi Bahwa barang yang dia pesan dari Aceh sampai setelah ba'da isya. Langkah jangkung pria itu berhenti di rest area karena mendapati dua orang gadis, tengah duduk tidak jauh tepat dimana mobil truk akan parkir. Ini sudah kali ketiga anak mama Rosa itu mencoba memanggil sang gadis nyatanya tetap bergeming. “Mbak, Maaf ya, tolong bisa pindah ke bagian dalam karena meja dan kursinya sementara mau dipindahin. Maaf untuk ketidaknyamanannya!” seru pria tersebut. tanpa sadar telapak tangannya masih belum beranjak dari bahu Helza. Agnes sontak terkesima melihat penampilan pria itu, yang masih mengenakan setelan khas habis menunaikan sholat fardhu. Ouh, tampan sekali! dalam hati gadis ayu itu berharap semoga saja pria ini masih jomblolillah. “Nes, bayar gih! Aku udah pen balik ke rumah sakit nie, kasihan oma, nanti nyariin aku kalau kelamaan di luar. Kalau ketahuan sama dokter jones itu aku salah lagi.” Hel
Malam itu Helza menenteng sebuah paper bag di tangannya. Sebelum pergi ke apartemen Alman, dia menyempatkan diri untuk berbelanja ke sebuah supermarket, membeli beberapa makanan cepat saji untuk pria pujaannya. Rona bahagia begitu terlihat dari wajah ayu dengan manik coklat cerah laksana bulan sabit. Hidungnya bangir, bibir tipis Semerah buah cerry, tidak lupa ia tambahkan lipgloss pink agar terlihat tidak pucat. Kulitnya yang putih, di padukan dengan dres berwarna maron di atas lutut membuat penampilan Gadis berperawakan sintal itu semakin terpancar aura kecantikannya. Helza begitu bersemangat menapaki lorong apartemen. Sesekali senyum menawan terbit dari wajahnya, rasa rindu membuatnya segera ingin sampai di kediaman Alman. Saat akan memutar handle pintu, tiba-tiba Helza mendengar dua orang dengan percakapan serius. Gadis itu berdiri untuk beberapa detik memastikan tentang obrolan keduanya. "Tenang Bos, orang yang kita nantikan sedang menuju kemari. Sabar sedikit dong,
"Nak, bantu Oma dong. Setiap hari kerjaannya keluyuran terus mau sampai kapan begini?" Oma Sonya menyibak bedcover bermotif bunga lili yang menyelimuti separuh tubuh Helza, Omanya itu terus berusaha membangunkan cucu kesayangannya. Ini bukan kali pertama sang Oma dibuat pusing dengan sikap si bungsu. Kalau diajak bicara selalu diam, rutinitasnya Setiap hari keluar dan pulang juga nggak tahu kapan? Setelah dua tahun belakangan Helza seperti tidak terkendali."Besok aja ya Oma, Za bantu. Sekarang biarin aku istirahat." Gadis itu kembali menarik selimutnya "Tapi Za, Oma ini kerepotan Lo. Butik lagi ramai dan Oma itu kekurangan kariawan," ucap Oma Sonya meminta pengertian dari sang cucu. Ternyata Helza telah kembali ke alam mimpi saat sang Oma berceloteh. Kemungkinan gadis itu mengira kalau Omanya tangah mendongeng sehingga ia kembali tertidur, ditambah hangatnya pulau kapuk yang saat ini tengah musim penghujan. "Za …." Panggilnya lagi. Wanita dengan jilbab pasmina berwa
Azam bergegas turun dari ruangannya yang berada di lantai dua. Saat mendapat notifikasi Bahwa barang yang dia pesan dari Aceh sampai setelah ba'da isya. Langkah jangkung pria itu berhenti di rest area karena mendapati dua orang gadis, tengah duduk tidak jauh tepat dimana mobil truk akan parkir. Ini sudah kali ketiga anak mama Rosa itu mencoba memanggil sang gadis nyatanya tetap bergeming. “Mbak, Maaf ya, tolong bisa pindah ke bagian dalam karena meja dan kursinya sementara mau dipindahin. Maaf untuk ketidaknyamanannya!” seru pria tersebut. tanpa sadar telapak tangannya masih belum beranjak dari bahu Helza. Agnes sontak terkesima melihat penampilan pria itu, yang masih mengenakan setelan khas habis menunaikan sholat fardhu. Ouh, tampan sekali! dalam hati gadis ayu itu berharap semoga saja pria ini masih jomblolillah. “Nes, bayar gih! Aku udah pen balik ke rumah sakit nie, kasihan oma, nanti nyariin aku kalau kelamaan di luar. Kalau ketahuan sama dokter jones itu aku salah lagi.” Hel
Malam kembali menyapa, kala itu sang bumantara hadir dengan warna biru cerah di atas sana. Dengan gumpalan putih, yang mengelilingi di setiap sisi. Di ufuk timur ibu bulan mulai berteger dengan setia, seraya tersenyum meskipun senyumnya belum sepenuhnya terbit. Namun, tidak mengurangi sinar teduhnya. Di sebuah bangku taman rumah sakit, seorang gadis duduk dari sorot manik cokelat kosong, seolah tersirat beban yang begitu berat . Seperti bait kalimat yang tadi diucapkan Sonya, sang Oma. Tentang perjodohannya. Sekali lagi wanita paruh baya itu tampak kekeh dengan niatnya. Tadi waktu di dalam basal Oma Sonya sekali lagi meminta Helza untuk menemui pria itu. Anggap untuk perkenalan begitu katanya. Kalau cucunya itu bersedia. Maka dia akan menelepon Ibu dari si pria membuat schedule untuk berjumpa.Dilema. Tentu Helza rasakan, haruskan dia mengikuti permintaan dari Omanya? Mengorbankan sisa hidup bebas yang selalu dijalani. Memilih jadi gadis baik lagi penurut. Atau pergi dan abai saja ke
"Ada obatnya, Nak?" intonasi bernada rendah nan lembut, itu milik seorang wanita berparas cantik. Walau di usianya yang sudah memasuki kepala lima lebih, beliu adalah Rossa Linda mamanya Azam "Ada Ma," jawab Azam sembari memperlihatkan kantong plastik di genggaman tangannya. Rosalinda tersenyum, keteduhan terlihat dari manik matanya yang sayu, tutur katanya lemah lembut, karakter seorang ibu begitu melekat padanya. Rossa Linda berjalan ke arah sang putra. Kemudian duduk di sofa tangannya, menepuk-nepuk sofa seolah meminta Azam ikutan untuk bergabung. "O ya, baju yang kemarin Mama minta mana? Apa Azam, lupa ambil di butik Bu Sonya? Padahal lusa rencananya mau dipakai ke pesta pernikahan anak teman Mama lo." Putranya itu meletakan kantong plastik. kemudian berkata,"Azam udah sampai sana, tapi ibu … itu mendadak pingsan. Akhirnya Azam bawa ke rumah sakit Sentra Hospital, dan mengenai baju Mama, lupa ambil karena buru-buru ke restoran. Maaf Ma," sesal pria tampan tersebut merasa bersa
Sayang, gimana kondisi Oma?" tanya Ferdi dengan nafas terengah-engah kepada istrinya, yang kebetulan sedang duduk berdampingan dengan Helza.Ketika mendengar kabar, Ferdi masih dalam keadaan meeting dan buru-buru langsung ke rumah sakit. Dengan memacu kuda besi yang tidak lagi ia sadari berapa kecepatan jarak tempuh. Sayangnya jalanan masih dengan drama yang sama setiap hari ya itu, kemacetan yang sulit diurai. Maka langkah Suami Shiza itu semakin terkendala saja."Kata Dokter Arfian, sekarang Oma udah nggak papa sih, Mas. Alhamdulillahnya tadi ada pria baik yang segera bawa Oma ke sini." Senyum menawan kembali hadir setelah sepersekian jam sirna akibat rasa takut yang mendera istri Ferdi tersebut. "Pria baik. Apa jangan-jangan calon adik ipar, yang selama ini tengah kita nantikan kehadirannya, untuk mengobati luka tak berdarah seseorang. ya kan, sayang," kata Ferdi sejurus dengan tatapannya yang mengarah ke Helza.Helza melengos seakan tidak suka. Dengan kalimat yang barusan Ferdi u
Setelah panggilan berakhir Helza langsung terdiam seolah waktu pun berhenti berputar. Saat otaknya memaksa untuk kembali mengingat perkataan sang kakak barusan. Ini bukan lelucon atau Shiza tengah ngeprank kaya biasanya kan? Untuk membuat jantung adiknya itu bekerja dengan extra. Seketika gadis itu menyambar handuk, ia ingin segera menanyakan perihal pernikahan dadakan itu kepada sang oma. Surang dari satu jam Helza sudah berpenampilan cantik dengan dres selutut berwarna marun melekat di tubuhnya. 'Aku harus mendengar langsung dari oma, apa perkataan kakak tadi benar?'Adik bungsu Shiza itu menyambar tas selempang yang dia buang sembarang tadi malam. Dan memasukan ponsel serta merogoh hand sanitizer apa masih ada di dalam tas. Setelah memastikan semuanya ada, Lalu Helza segera mengenakan masker, sudah setahun dunia dilanda kecemasan. Akibat wabah covid 19 yang tidak kunjung usai begitu juga dengan Helza, harus terus proteksi dalam menjaga kesehatan dengan tetap mematuhi protokol y
"Nak, bantu Oma dong. Setiap hari kerjaannya keluyuran terus mau sampai kapan begini?" Oma Sonya menyibak bedcover bermotif bunga lili yang menyelimuti separuh tubuh Helza, Omanya itu terus berusaha membangunkan cucu kesayangannya. Ini bukan kali pertama sang Oma dibuat pusing dengan sikap si bungsu. Kalau diajak bicara selalu diam, rutinitasnya Setiap hari keluar dan pulang juga nggak tahu kapan? Setelah dua tahun belakangan Helza seperti tidak terkendali."Besok aja ya Oma, Za bantu. Sekarang biarin aku istirahat." Gadis itu kembali menarik selimutnya "Tapi Za, Oma ini kerepotan Lo. Butik lagi ramai dan Oma itu kekurangan kariawan," ucap Oma Sonya meminta pengertian dari sang cucu. Ternyata Helza telah kembali ke alam mimpi saat sang Oma berceloteh. Kemungkinan gadis itu mengira kalau Omanya tangah mendongeng sehingga ia kembali tertidur, ditambah hangatnya pulau kapuk yang saat ini tengah musim penghujan. "Za …." Panggilnya lagi. Wanita dengan jilbab pasmina berwa
Malam itu Helza menenteng sebuah paper bag di tangannya. Sebelum pergi ke apartemen Alman, dia menyempatkan diri untuk berbelanja ke sebuah supermarket, membeli beberapa makanan cepat saji untuk pria pujaannya. Rona bahagia begitu terlihat dari wajah ayu dengan manik coklat cerah laksana bulan sabit. Hidungnya bangir, bibir tipis Semerah buah cerry, tidak lupa ia tambahkan lipgloss pink agar terlihat tidak pucat. Kulitnya yang putih, di padukan dengan dres berwarna maron di atas lutut membuat penampilan Gadis berperawakan sintal itu semakin terpancar aura kecantikannya. Helza begitu bersemangat menapaki lorong apartemen. Sesekali senyum menawan terbit dari wajahnya, rasa rindu membuatnya segera ingin sampai di kediaman Alman. Saat akan memutar handle pintu, tiba-tiba Helza mendengar dua orang dengan percakapan serius. Gadis itu berdiri untuk beberapa detik memastikan tentang obrolan keduanya. "Tenang Bos, orang yang kita nantikan sedang menuju kemari. Sabar sedikit dong,