Senja telah sampai lebih awal di gedung Graha Pena, tempat workshop yang akan berlangsung beberapa hari. Di sana dia bertemu dengan beberapa orang yang menjadi perwakilan perusahaan tempat mereka masing-masing bekerja. "Mbak padahal lagi hamil lho. Tapi salut aku, Mbak begitu bersemangat," puji seorang wanita seumurannya yang duduk tepat di kursi sebelah kirinya. Senja tersenyum ramah."Hamil berapa bulan, Mbak?""Lima bulan, Mbak.""Alhamdulillah."Mereka berbasa-basi sambil menunggu acara di mulai. Peserta workshop kali ini terbatas, tidak seperti seminar yang mengundang banyak orang. 75% bangku telah terisi. Ini sudah memenuhi syarat untuk acara segera di mulai. Namun mereka masih harus menunggu salah satu pemateri. Seorang pria muda yang sukses di bisnis ekspor impor dan properti. Senja penasaran dengan satu orang yang belum datang.Setelah mengambil foto banner besar di hadapannya, Senja mengirimkan pada Sabda. Namun belum ada balasan dari suaminya. Mungkin dia sedang sibuk, mee
Senja selesai bicara dan mengembalikan ponsel ke dalam hand bag-nya."Kamu bahagia?" tanya Arga datar."Tentu saja aku bahagia. Mas Sabda sangat baik dan perhatian." Jawaban Senja membuat mata Arga memandang tajam dengan gigi yang mengatup rapat."Kamu yakin dia mencintaimu?"Senja mengangkat wajah saat hal itu di tanyakan padanya. Lalu mengangguk."Kamu tahu kalau lelaki nggak butuh cinta untuk bercinta." Untungnya tempat mereka duduk paling tepi, jadi tidak takut kalau pembicaraan akan terdengar oleh orang lain. Terlebih suasan sangat ramai.Senyum miris terukir dari bibir Senja. Mungkin Arga memang benar, tapi ia percaya kalau Sabda bukan pria yang memanfaatkan kesempatan. Dia selalu diperlakukan manis ketika mendaki bersama. Sabda tidak egois dengan memikirkan kenikmatannya sendiri. Dia selalu bisa membuat istrinya merasakan kepuasan yang sama. Dan pria yang disebutkan Arga tak butuh cinta untuk bercinta tadi, itu bukan Sabda. "Harusnya Mas nggak perlu bicara begini padaku. Apapu
Mobil berhenti di halaman gedung bagian depan. Tapi keadaan sudah sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja yang duduk ngobrol di beranda gedung. Sabda melihat jam tangannya, sudah jam empat. Satu jam dia terjebak macet di jalan tadi. Namun Sabda tetap turun dan menghampiri dua orang laki-laki yang tengah berbincang."Selamat sore, Mas," sapa Sabda sopan.Dua orang tadi langsung merespon. "Selamat sore juga.""Kok sudah sepi ya, Mas. Apa workshop hari ini sudah selesai""Oh, sudah Mas. Sudah jam setengah tiga tadi selesai.""Oke. Terima kasih. Saya permisi."Sabda melangkah cepat ke mobilnya. Dipasangnya bluetooth earphone di telinga bagian kiri sebelum mobilnya meninggalkan Graha Pena. Dia telat menjemput Senja.Di tengah perjalanan, ia menghubungi istrinya. Tidak di angkat juga. Sabda mengulangi hingga beberapa kali dan akhirnya di jawab oleh istrinya."Assalamu'alaikum, Mas. Maaf, aku tadi masih Salat Asar.""Wa'alaikumsalam. Kamu sudah pulang?""Iya, aku sudah di rumah.""Pulang nai
"Foto ini tampak hanya ada kami berdua. Padahal banyak orang di sekitar kami. Di lorong ini, banyak juga orang yang lewat." Senja menunjuk sebuah foto saat ia dan Arga berada di lorong tempat lukisan terpajang tadi. Senja sendiri merasa serba salah di hadapan Sabda, terlebih foto itu di ambil ketika dia dan Arga saling berhadapan dan saling pandang. Dia coba mengingat siapa orang yang berada di dekatnya dan Arga tadi. Namun ingatannya buntu, semua yang dikenalnya tadi adalah orang baru. Mana mungkin mereka tahu hubungan antara dirinya, Sabda, dan Arga.Senja menarik napas sejenak agar hatinya tenang. Dia tidak ingin suaminya curiga yang tidak-tidak, karena dirinya juga tidak melakukan apapun tadi, selain bicara tak lama. "Kalau Mas nggak suka, besok aku akan bilang ke atasanku, biar ada yang menggantikanku ke workshop untuk beberapa hari ke depan.""Kamu yakin akan di setujui?"Senja ragu. Dia sendiri tidak yakin kalau akan diterima pengajuan undur dirinya. Apalagi jika tidak menyerta
Bunyi pintu yang terbuka membuat Citra bangkit dari ranjang dan bergegas ke luar kamar. Ia melihat Arga sedang melepas sepatu dan meletakkannya di rak sebelah pintu. Suaminya tampak kusut malam itu."Apa workshop-nya sampai malam, Mas?" tanya Citra sambil menjajari langkah suaminya yang masuk kamar."Nggak. Dari workshop aku masih mampir ke kantor. Ada kerjaan yang harus aku selesaikan.""Oh." Meski kecewa, Citra lega. Suaminya jujur. Soalnya dia tahu kalau workshop di mulai jam delapan pagi dan selesai jam dua siang. Kemarin ia membaca jadwal milik Arga di meja kerjanya.Citra menunggu suaminya selesai mandi. Dia tidak sibuk menyiapkan makan malam jika Arga tidak bilang mau makan di rumah. Dirinya sendiri pun sebelum pulang akan makan lebih dulu di hotel. Atau terkadang membawa makanan untuk di makan di rumah. Citra jarang makan di atas jam tujuh malam kecuali ada undangan jamuan makan malam di luar. Berat badannya yang gampang gemuk membuatnya harus pandai-pandai mengontrol diri."K
Aroma wangi masakan tercium ketika Sabda baru saja keluar dari kamar. Dia langsung menuju dapur. Setelah selesai Salat Subuh tadi Senja langsung memasak di dapur, sedangkan dirinya sibuk dengan laptop di dalam kamar."Hmm, wanginya. Masak apa ini?" tanya Sabda sambil mendekati istrinya yang menghadap kompor dan mengaduk sesuatu di dalam panci."Aku masak opor ayam, Mas. Wangi kan baunya?""Hmm, iya. Pasti enak ini nanti."Senja tersenyum. "Aku nanti mau bawakan untuk Mbak Yuni. Biar dia nggak marah kalau aku bilang ingin mundur saja dari workshop hari ini.""Oh, ceritanya mau menyuap ini!" canda Sabda. Senja menatap suaminya sekilas sambil tersenyum. Bisa dibilang begitu. Daripada anaknya lahir prematur karena tiap cemburu, suaminya membuatnya tak berkutik sepanjang malam."Tapi Mas, jika nanti nggak di setujui bagaimana?""Nggak apa-apa. Masih tiga hari lagi, 'kan?"Senja mengangguk. "Beneran Mas nggak apa-apa?" Senja berusaha meyakinkan jawaban dari suaminya."Tak apa-apa. Asal kamu
Degup jantung Arga berdetak hebat saat melihat mobil yang tampak bagian belakangnya. Tangannya juga gemetar tiba-tiba. Arga mengikuti arahan petugas agar melaju lebih dulu, tapi setelah beberapa meter melewati lokasi kejadian dia lantas menepi dan berhenti. Arga keluar mobil dan berlari ke lokasi kejadian. Pria itu menerobos kerumunan orang-orang. "Permisi permisi permisi!" teriaknya."Citra!" panggil Arga pada seorang wanita yang sedang di bopong oleh seorang laki-laki dan akan dimasukkan ke dalam mobil petugas kepolisian. Dia melihat kening istrinya berdarah dan Citra tampak lemas. Wanita itu memandangnya sekilas lantas memejam."Pak, dia istri saya!" Arga berkata pada seorang polisi."Bener, Mas?""Iya. Biar saya yang membawanya ke rumah sakit.""Nggak usah, Mas. Korban sudah berada di mobil, kasihan kalau dipindahkan lagi. Sepertinya tangan kirinya retak. Mas, ikuti kami saja ke rumah sakit."Arga mengangguk. Kemudian dia berlari cepat ke arah mobilnya. Kemudian mengikuti mobil ap
Kecelakaan yang dialami Citra membuat Arga menjadi suami yang peduli. Dia tidak masuk kerja dan juga absen di workshop. Sejak kejadian sore waktu itu, Arga tidak pulang ke rumah. Menemani Citra di rumah sakit. Membantunya buang air kecil, menyuapi makan, dan membantu suster menyeka tubuhnya.Di hari ketiga di rawat, saat mereka sedang makan malam, pintu ruangan terkuak perlahan. Ucapan salam membuat Arga dan Citra menoleh ke arah pintu. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Sabda dan Senja muncul dari balik pintu dan tersenyum pada mereka. Sabda membawakan parcel buah yang kemudian di letakkan di atas meja. Arga menepi, memberi kesempatan pada mereka untuk duduk di sebelah sang istri."Bagaimana keadaannya, Mbak?" tanya Senja setelah duduk di kursi. Sedangkan Sabda memilih duduk di sofa bersama Arga."Sudah membaik. Besok sudah boleh pulang.""Alhamdulillah.""Dari mana kamu tahu kalau aku di rawat di sini?""Kemarin pagi panitia workshop bilang kalau Mas Arga absen karena sedang men
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba