"Kamu mau membawaku ke mana?" tanya Senja cemas pada pria yang sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi. Gadis yang semula diam saja, kini cemas saat mobil telah jauh meninggalkan kota.Laki-laki bernama Sabda menoleh sejenak. Tidak menjawab."Mas, kita mau ke mana?" pekik Senja mulai geram sambil memukul bahu laki-laki itu. Sabda tetap bergeming dan fokus pada jalanan yang menanjak. Senja terlihat mulai panik. Mobil terus melaju di jalan berkelok dan makin menanjak. Di kiri kanannya hutan pinus dan jurang."Jawablah kamu mau membawaku ke mana?" suara senja tetap meninggi sambil menatap Sabda dengan mata memerah, antara marah dan hendak menangis. "Kamu mau apa?"Sabda tetap fokus pada jalanan. "Kamu akan tau setelah kita sampai nanti," jawab tenang pria muda itu."Awas kalau Mas macem-macem sama aku," ancam Senja dengan sengit. Sabda membuka dasbor dengan tangan kiri. Di keluarkannya sangkur dari sana dan meletakkan di pangkuan Senja. "Pegang ini! Jika kamu takut aku akan macam-macam.
Habis Salat Isya di rumah Senja penuh dengan para kerabat dan tetangga. Ini di luar perkiraan Senja, bahkan Sabda. Di pikirnya suasana seperti di kota, para kerabat akan datang tepat pada saat acara saja.Mereka duduk lesehan di tikar dan karpet yang di bentang di ruang tamu yang berukuran lima kali enam meter. Di atas piring yang di taruh melingkar ada kue bolu, mendut, pisang goreng, dan kacang rebus. Jajanan khas pedesaan. Ada juga satu teko kopi dan teh. Sabda duduk berjajar dengan kaum lelaki kerabat Senja dan para tetangga. Sementara Senja, Nina, dan Bu Hanum duduk di sisi lain bersama ibu-ibu.Senja merasa tak enak hati menempatkan Sabda dalam situasi yang seperti ini. Apalagi pria itu berniat untuk menolongnya, tapi malah terperangkap dalam kesalah pahaman yang tidak tahu dari mana harus di luruskan. Senja duduk dengan gelisah, meski Sabda terlihat santai saat diajak ngobrol Pakdhe dan Pakliknya Senja.Nina juga merasa cemas. Rasanya sayang saja jika rasa kekeluargaan dan kebe
Jam tiga sore semua acara baru selesai. Di rumahnya Bu Hanum tinggal mereka berempat yang duduk di ruang keluarga. "Nak Sabda, maafkan kami telah membawamu ke situasi yang sulit ini. Tentu semua yang terjadi tadi di luar dugaan Nak Sabda, juga bagi kami sendiri. Ibu jadi merasa bersalah pada Nak Sabda, niatnya membantu malah terbelenggu seperti ini. Sekarang terserah Nak Sabda, Ibu nggak akan melarang Nak Sabda untuk menceraikan Senja. Tentu pernikahan ini juga bukan keinginan Nak Sabda." Bu Hanum bicara dengan suara lirih. Beliau merasa tidak enak hati dengan pria muda yang telah menolong mereka dari rasa malu. Walaupun jujur dalam hati, akan sangat bersyukur kalau memiliki menantu seperti Sabda. Siapa orang tua yang tidak menyukai punya menantu beradab dan sopan seperti pria muda itu. Sabda memandang Senja. Yang di pandang juga menatapnya sejenak. Pertunangan dan pernikahan tadi bagai mimpi. Wanita yang duduk di dekatnya itu telah menjadi istrinya. Bagaimanapun pernikahan tadi, a
Sabda terbangun tengah malam. Pria itu duduk dan melihat ke arah jam dinding, pukul satu. Tubuhnya terasa sakit semua, perjalanan dua hari ini seperti sedang membawanya masuk tantangan uji nyali. Di akui atau tidak, sekarang dia bergelar suami. Perjalanan macam apa ini. Niatnya hanya ingin memberitahu Senja akan pertunangan Arga. Justru membawanya pada peristiwa yang sulit dielakkan. Bisa saja Sabda menolak, tapi dengan situasi seperti kemarin dan pagi tadi, rasanya tidak tega mempermalukan Senja dan Ibunya.Sebagai pengantin baru, harusnya malam ini akan menjadi malam pertamanya. Malam yang diimpikan bagi pasangan yang baru menjalin ikatan pernikahan. Sabda tersenyum kecut sambil menggeleng untuk menepis angan sialan yang hinggap di kepalanya. Ah, wajar saja dia berpikiran seperti itu. Dia pria normal dan sudah cukup umur untuk menikah. Tapi sayangnya, tragedi tadi membuatnya harus menikah tanpa persiapan.Sabda bangkit dan membuka pintu kamar, kemudian melangkah ke ruang makan. Me
Bela. Gadis cantik yang telah mematahkan hatinya setahun yang lalu tanpa alasan yang jelas. Sayatannya masih terasakan hingga sekarang. Kalau ikutkan hati, dia tidak ingin turun menemui. Tapi seperti biasanya, Bela pasti datang bersama kedua orang tuanya yang memang rekan bisnis papanya Sabda. Tidak hanya sekedar rekan bisnis, mereka telah berteman baik sejak lama. Melebihi kedekatan dengan saudara sendiri. Sering juga keluarga mereka menghabiskan liburan bersama-sama.Dikarenakan hubungan itulah yang membuat Sabda dan Bela makin dekat hingga menjalin asmara selama hampir dua tahun. Dia wanita pertama yang di seriusin Sabda. Bahkan sudah ada impian sebuah pernikahan bersama Bela. Sayangnya, gadis itu memutuskan sepihak karena ingin berkarir di luar negeri. Dan sekarang kembali. Kembali sementara atau selamanya. Entah. Harusnya tak perlu lagi dia mencari tahu hal itu. Baru saja hendak berdiri, ponsel Sabda berdenting. Di pikirnya balasan pesan dari Senja. Ternyata pesan masuk dari Ar
Senja baru selesai mandi pagi itu dan sedang berganti pakaian ketika pintu kamarnya di ketuk seseorang."Senja." Suara ibu kostnya memanggil.Buru-buru Senja mengancingkan blouse dan membuka pintu. "Ya, Bu.""Ibu bikin nasi kuning untuk di bawa bapak ke kantor. Nih bagianmu." Wanita setengah baya mengangsurkan sekotak nasi kepada Senja. Sudah jadi kebiasaan, kalau sedang masak banyak, ibu pemilik kos akan membagikan juga kepada para penghuni kos putri."Wah, makasih, Bu." Untungnya Senja tadi tidak jadi beli nasi uduk di warung depan kos."Kenapa malam kemarin kamu nelepon Ibu? Ibu tahunya udah tengah malam. Pas lagi meriang itu makanya sejak sore setelah nutup pagar ibu langsung tidur. Oh ya, Arga juga mencarimu ke sini Minggu sore."Senja tersenyum. "Ya, Bu. Nggak apa-apa.""Kalian berantem?""Enggak. Saya hanya lupa nggak ngasih tahu kalau mau pulang kampung." Tak mungkin Senja akan menceritakan perihal kemarin."Oh." Setelah itu ibu kos yang baik hati pergi. Senja kembali menutup
Senja bernapas lega setelah Sabda menarik diri dan kembali menghadap ke depan. Pria itu merasa puas saat melihat wajah malunya Senja. Rintik Senja. Nama yang unik dan menarik.Mobil memasuki pusat kota dan melaju di jalan tol. Kerlip lampu-lampu kota terlihat dari ketinggian. Senja memandang ke samping, debar di dadanya belum juga reda. Dulu, dia akan menikmati suasana seperti ini bersama Arga saat mereka punya kesempatan untuk makan malam di luar. "Namamu bagus ya. Rintik Senja. Kamu dilahirkan waktu senja?" tanya Sabda setelah beberapa saat mereka saling diam.Senja memandang pria di sebelahnya. "Iya. Aku lahir menjelang senja, pada saat hujan gerimis, kata Ibuku.""Kamu tahu, waktu aku harus nikahi kamu. Nina lah yang kutanyai nama lengkapmu. Untungnya aku langsung ingat. Lucu, mau nikah tapi tidak tahu nama lengkap perempuan yang akan dinikahi.""Orang cerdas pasti mudah menghapal," puji Senja yang membuat Sabda tersenyum."Darimana kamu tahu kalau aku cerdas?""Seorang akuntan p
Senja mengangkat wajah dan memandang ke sekeliling. Anak-anak kecil duduk bergerombol sambil bermain gadget, ada juga yang sedang menikmati steak dan beberapa cemilan mahal. Sungguh kontras dengan pemandangan di bawah sana tadi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Di sini anak orang berada dengan pakaian mahal dan bagus, sedangkan yang di bawah tadi anak-anak perantauan berpakaian sederhana yang mungkin belum di ganti selama menunggu hingga kapal datang. Mengikuti orang tuanya yang hendak mengadu nasib ke tanah seberang. Banyak sekali pelajaran kehidupan dari yang di jumpai dan bisa dicermati di perjalanan. Baik yang kita lihat secara sengaja maupun tidak. Senja termenung. Dia tidak sadar kalau sedang diperhatikan pria di sebelahnya.Umur delapan tahun Senja kehilangan bapaknya karena sakit. Ibunya yang masih muda memutuskan tidak menikah lagi setelah pernah sekali di pinang seorang duda, tapi akhirnya ketahuan kalau laki-laki itu telah beristri. Sejak itu Bu Hanum f
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba