Habis Salat Isya di rumah Senja penuh dengan para kerabat dan tetangga. Ini di luar perkiraan Senja, bahkan Sabda. Di pikirnya suasana seperti di kota, para kerabat akan datang tepat pada saat acara saja.
Mereka duduk lesehan di tikar dan karpet yang di bentang di ruang tamu yang berukuran lima kali enam meter. Di atas piring yang di taruh melingkar ada kue bolu, mendut, pisang goreng, dan kacang rebus. Jajanan khas pedesaan. Ada juga satu teko kopi dan teh. Sabda duduk berjajar dengan kaum lelaki kerabat Senja dan para tetangga. Sementara Senja, Nina, dan Bu Hanum duduk di sisi lain bersama ibu-ibu.Senja merasa tak enak hati menempatkan Sabda dalam situasi yang seperti ini. Apalagi pria itu berniat untuk menolongnya, tapi malah terperangkap dalam kesalah pahaman yang tidak tahu dari mana harus di luruskan. Senja duduk dengan gelisah, meski Sabda terlihat santai saat diajak ngobrol Pakdhe dan Pakliknya Senja.Nina juga merasa cemas. Rasanya sayang saja jika rasa kekeluargaan dan kebersamaan ini rusak oleh kenyataan yang sebenarnya.Sabda sendiri tidak punya pilihan selain mengikuti alur yang berjalan. Jika dia bersuara dengan mengatakan hal yang sebenarnya, akan menimbulkan kekacauan dan tentu saja membuat malu Senja dan keluarganya. Sabda tidak sampai hati merusak suasana penuh kehangatan seperti ini. Keluarga besarnya pun kalau berkumpul tidak seakrab ini. Bukan saling bertanya kabar dan simpati yang mereka tunjukkan, melainkan tentang bisnis dan segala pencapaiannya. Di tengah-tengah mereka, Sabda menemukan keakraban tulus yang sungguh berbeda."Mas Sabda sudah kenal lama dengan Senja?" tanya seorang bapak berpeci putih, tetangga sebelah rumahnya Senja.Sabda mengangguk sambil tersenyum."Satu kerjaan dengan Senja?""Nggak, Pak. Kami bekerja di tempat yang berbeda.""Mas Sabda kerja di mana?" ganti seorang bapak yang berbadan kurus bertanya."Saya akuntan di sebuah perusahaan ekspor impor, Pak."Laki-laki kurus tadi mengangguk-angguk. Walaupun sebenarnya dia tak paham apa itu akuntan. Apa itu ekspor impor. Tapi beliau melihat penampilan Sabda yang keren dan bersih, pasti itu pekerjaan hebat dengan gaji besar."Keluarga Nak Sabda besok datang pukul berapa?" Kini yang bertanya salah seorang kerabat ibunya Senja. Pertanyaan yang membuat Senja, Nina, dan Bu Hanum tercekat."Siang, Pak," jawab Sabda tenang. Ketenangan yang membuat hati senja tambah kebat-kebit. Antara bingung dan tak enak hati. Kesalah pahaman ini makin berlarut-larut."Syukurlah kalau agak siang. Karena sepupunya Senja bisanya datang juga agak siangan."Sabda tersenyum dan mengangguk.Mereka berbincang hingga jam sembilan malam. Kemudian satu per satu para tetangga pamitan dan kerabat senja sebagian pulang."Nak Sabda, ayo tidur di rumah Pakdhe saja. Biar nggak timbul fitnah. Kalian kan belum menjadi suami istri." Pakdhenya Senja yang bernama Harto bicara pada Sabda. Kemudian laki-laki itu bangkit berdiri. Sabda mengikuti. Tidak ada kesempatan Senja mengajak bicara Sabda."Pakdhe, bisakah Mas Sabda saya ajak bicara sebentar." Senja berkata hati-hati pada laki-laki bertubuh gemuk, beliau kakak dari almarhum bapaknya Senja."Besok bicara lagi, Nduk. Ini sudah malam. Nggak enak diperhatikan tetangga." Pakdhe Harto mengajak Sabda keluar. Dan menyuruh Senja menutup pintu.Setelah kedua laki-laki itu pergi, Senja, ibunya, dan Nina kembali duduk di karpet. "Gimana, Nduk? Kenapa Nak Sabda malah jawab santai seperti tadi. Kalau Pakdhemu tahu yang sebenarnya, malah makin ngamuk besok." Bu Hanum bingung dan cemas."Tapi kamu nggak ada hubungan apa-apa dengan Nak Sabda, 'kan?"Senja menggeleng cepat. Nina juga turut menjelaskan kalau Sabda itu sepupunya Arga. Membicarakan lagi apa yang sebenarnya terjadi tadi pagi.Setelah terdiam beberapa saat, Senja mengambil ponsel di kamarnya. Ingin mengirimkan pesan dan membicarakan permasalahan yang semakin berlarut ini dengan Sabda. Namun signal tak ada sama sekali. Senja memakai kartu yang tidak menjangkau dengan baik tempat tinggalnya.Mereka bertiga berbincang hingga larut malam. Senja dan Nina memilih tidur di kasur lantai depan televisi. Nina yang kelelahan telah terlelap, tapi Senja tidak merasakan kantuk sama sekali.Di tempat lain, di sebuah kamar rumah milik Pakdhe Harto. Sabda masih duduk di tepi pembaringan setelah bicara cukup lama dengan laki-laki itu di ruang tamu.Bagaimana sekarang, dia jujur akan menghancurkan harga diri dan kehormatan Senja serta ibunya. Bahkan harga dirinya sendiri. Jika di lanjutkan, sungguh ini di luar jangkauannya. Dia tidak kepikiran akan menikah secepat ini meski usianya sudah dua puluh delapan tahun. Apalagi menikahi Senja. Mantan kekasih sepupunya.Jika besok dia jujur, satu desa akan heboh dengan kabar ini. Lantas bagaimana dengan Senja? Bagaimana dengan Bu Hanum? Bagaimana mereka sanggup bertatap muka dengan kerabat, terutama dengan warga desa.Sabda menarik napas berat. Terlebih tadi Pakdhe Harto baru saja cerita tentang kehidupan masa kecilnya Senja tanpa kehadiran sosok ayahnya. Gadis sederhana dan penurut."Sewaktu Senja pamit hendak kerja di kota. Pakdhe sudah mewanti-wanti agar dia berhati-hati dan bisa jaga diri. Pakdhe pesan agar jangan pulang bawa laki-laki kalau hanya sekedar teman. Kecuali pria itu serius untuk mengajaknya berumah tangga. Kehormatan anak gadis bagi kami adalah segalanya, Nak Andra. Kami nggak ingin anak-anak perawan kami masuk dalam pergaulan bebas bahkan jangan sampai hamil di luar nikah. Alhamdulillah, Senja nurut. Baru kali ini dia pulang bersama seorang laki-laki yang serius dengannya." Kata-kata Pakdhenya Senja makin membuat Sabda merasa tidak enak hati jika harus mengatakan kebenaranya. Perlahan pria itu merebahkan tubuhnya di dipan.Di raihnya ponsel di atas meja kecil samping tempat tidur. Tak ada signal. Namun dia masih bisa melihat beberapa panggilan masuk tadi siang. Dari Mamanya, dari Papa juga kakaknya. Ada juga sejumlah pesan yang dikirim berjam-jam yang lalu, saat signal masih terjangkau sebelum dia masuk desanya Senja. Pesan dari keluarga dan Arga.Di letakannya kembali ponsel, karena percuma juga di jawab kalau signal sama sekali kosong.Semalaman Sabda tidak bisa tidur. Dia berpikir keras bagaimana mencari solusi untuk besok. Di rumahnya pun senja juga begitu, dia sama sekali tidak bisa memejam meski sejenak.💦 💦 💦Jam tujuh pagi, Senja bergegas keluar rumah saat melihat Sabda berjalan ke arah rumahnya. Gadis itu mengajak duduk pria itu di teras depan."Mas, sebelum para kerabat datang, sebaiknya aku datang satu per satu ke rumah mereka. Antar aku ke dekat pasar yang kita lewati kemarin, biar aku telepon kerabat yang jauh. Biar mereka nggak jadi berangkat ke sini.""Iya, Nak Sabda. Pagi ini kita harus menyelesaikan masalah ini," tambah Bu Hanum yang muncul dari dalam dan ikut duduk di balai-balai."Aku nggak ingin Mas terlibat lebih jauh lagi dengan permasalahanku. Lagian Mas Sabda tadi malam bilang kalau keluarga Mas Sabda akan datang siang nanti. Aku nggak nyalahin Mas bilang seperti itu, karena situasinya memang nggak memberi kesempatan kita bicara. Biar aku dan ibu keliling rumah saudara untuk mengabari kalau pertunangan hari ini batal. Memang kerabat akan berkumpul saat aku tunangan, Mas. Jadi nggak heran kalau semalam sudah banyak orang."Sabda masih diam. Dia juga bingung dengan kepanikan Senja dan ibunya. Belum sempat bicara, dari depan masuk sebuah mobil warna putih. Mereka semua menoleh.Wajah Senja pias melihat siapa yang datang. "Bulek Yati sudah sampai, Buk," ucap lirih Senja dengan suara bergetar."Dia Bulekku, Mas. Adiknya almarhum Bapak. Orangnya sangat cerewet." Senja memberitahu Sabda.Beberapa orang keluar dari mobil sambil membawakan barang bawaan yang tak sedikit. Bulek Yati datang bersama suami dan kedua anak, menantu, dan cucunya.Senja dan Ibunya berdiri untuk menyambut mereka. Sabda juga ikut berdiri. Benar saja, wanita berpakaian syar'i itu orangnya sangat ramah, bahkan terkesan ramai. Namun begitu dia tidak mau bersalaman dengan Sabda. Tangannya hanya di tangkupkan di depan dada. Begitu juga yang di lakukan dua menantu perempuannya.Bu Hanum mengajak iparnya masuk ke dalam rumah. Sedangkan Senja masih mematung di luar bersama Sabda."Bisa panggilkan Nina keluar. Aku mau bicara dengannya."Senja mengangguk. Segera gadis itu melangkah ke belakang lewat samping rumah. Tak lama kemudian kembali bersama Nina yang bajunya bau bumbu dapur, karena membantu memasak di belakang. Bu Hanum tetap memasak seperti rencana sebelumnya, di bantu beberapa saudara dan tetangga. Setidaknya jika acara ini batal, mereka yang datang diajak makan-makan."Nin, kamu ikut aku?""Ke mana?""Ke kota sebentar. Nggak mungkin acara ini di batalkan. Ikut aku ....""Ya, nggak apa-apa. Sebaiknya Mas Sabda dan Nina segera pergi saja. Nanti aku yang akan menyelesaikan masalah ini. Maaf, sudah merepotkan Mas Sabda," ucap Senja cepat dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu sudah pasrah."Aku tidak pergi. Aku tak akan kabur gitu aja. Aku ngajak Nina untuk membeli beberapa perlengkapan untuk acara lamaran."Senja dan Nina kaget dan saling pandang."Kita bisa pikirkan lagi setelah ini. Yang penting acara hari ini berjalan lancar. Ini baru acara tunangan saja, kan?"Senja yang cemas mengangguk pelan. Sabda mengeluarkan dompet dari saku celananya. Di ambilnya satu kartu ATM. Kemudian dompet di berikan pada Senja. "Di dalam sini banyak kartu penting, ini jaminan kalau aku nggak akan kabur." Setelah bicara Sabda mengajak Nina pergi. Meninggalkan Senja yang berdiri kebingungan.💦 💦 💦"Jam berapa rombongan Sabda datang?" tanya Pakdhe Harto pada Senja yang duduk dengan gelisah. Dia memakai gamis brokat warna pastel. Untungnya ada baju yang tertinggal di rumah."Mungkin sebentar lagi, Pakdhe," jawab Senja sambil menunduk. Padahal dia tidak tahu apakah Sabda akan datang apa tidak. Sudah empat jam Sabda pergi dari pagi tadi. Andai pria itu langsung pulang pun bukan salahnya. Senja harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan ini sendiri. Rasa sesak makin terasa sakit di dadanya. Perutnya juga mulas memikirkan hal terburuk yang mungkin saja terjadi.Rumah Bu Hanum sudah penuh oleh kerabat dan tetangga. Membuat Senja dan ibunya bernyali ciut. Namun wanita yang sudah biasa menghadapi tantangan hidup dan membesarkan putrinya seorang diri telah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.Sementara Senja iba dan merasa bersalah jika harus membuat malu ibunya. Wanita yang sangat berjasa dan di cintai segenap jiwa raga. Makanya Senja sangat berharap agar Sabda bisa datang dan pura-pura melamarnya. Setelah itu akan menjadi urusannya dengan Sabda. Mereka akan kembali menjalani hidup masing-masing sebagai orang yang bebas. Sabda juga bebas menentukan pilihannya, entah dengan siapa dia akan bersama. Begitu juga dengan Senja, mudah saja dia nanti akan mencari alasan putus tunang.Lima belas menit kemudian mobil Sabda datang, di ikuti oleh dua mobil lainnya. Namun membuat Senja makin gemetar. Siapa orang-orang yang di ajak Sabda itu?Senja juga melihat Nina tak lagi memakai baju tadi. Gadis itu sudah rapi dengan kebaya dan sanggulnya. Seluruh rombongan Sabda ada dua belas orang. Mereka berpakaian rapi layaknya mau menghadiri resepsi. Senja seolah terpaku dan tidak bisa bergerak dari duduknya. Tak percaya dengan apa yang dilihat.Barang-barang yang di bawa Sabda juga tidak sedikit. Apa-apaan ini? Senja makin bingung. Beberapa kerabat menyambut rombongan Sabda. Dan Senja tidak mengenali satu pun dari mereka.Tidak ada backdrop seperti pertunangannya Arga. Sabda dan Senja duduk berbaur dengan para kerabat. Sabda bilang kalau orang tuanya yang sedang ke luar kota tidak bisa datang. Namun ada Om dan Tantenya yang mewakili. Keluarga Senja tidak mempermasalahkan itu.Acara di buka oleh seorang ustadz, yang memang sejak awal sudah di mintai tolong oleh Bu Hanum. Karena hari sudah siang, langsung saja ke acara inti. Seorang wanita setengah baya yang dikenalkan sebagai Tantenya Sabda menyematkan sebuah cincin solitair di jari manis Senja. Jemari gadis itu gemetar hebat, terlebih saat tahu bahwa cincin itu bukan barang biasa. Ada berlian kecil tersemat di sana.Suasana makin tegang bagi Sabda dan Senja ketika Pakdhe Harto dan para kerabat yang lain meminta agar di laksanakan nikah siri dulu. Mengingat mereka sering bertemu dan untuk menghindari zina.Senja menolak mentah-mentah saran mereka. Namun suaranya tetap kalah ketika anggota keluarga sepakat agar dirinya dan Sabda menikah siri."Kalian akan menikah sehabis lebaran. Dan itu sekitar lima bulan lagi. Nikah siri ini hanya untuk menjaga agar kalian nggak berzina meski hanya bersentuhan tangan atau saling pandang. Tapi bukan berarti kalian juga bisa bebas. Karena menikah siri itu yang dirugikan pasti pihak perempuan jika pihak laki-laki lepas tangan. Tapi Pakdhe percaya pada Nak Sabda yang nggak mungkin mempermainkan Senja. Pakdhe yakin kalau Nak Sabda adalah pria yang bertanggung jawab."Sabda terdiam tanpa kata. Napasnya seolah berhenti di tenggorokan.Sekeras apapun Senja menolak dan penolakannya di dukung oleh sang ibu, tapi suara terbanyak tetap kerabat dan mereka yang hadir. Sabda pun diam dan pasrah, karena rombongan yang dibawanya hanya orang bayaran yang tidak bisa membela. Nina juga tak bisa berbuat apa-apa. Sebab di mata keluarga Senja, pertunangan ini tidak main-main. Terlebih mereka melihat Sabda adalah pria baik dan bertanggung jawab.Seorang petugas KUA yang menjadi rekan baik Pakdhe Harto yang menikahkan mereka. Pakdhe Harto yang menjadi walinya Senja. Sabda memberikan uang tiga ratus ribu sebagai mahar. Itu uang cash yang ada di dompetnya.Gadis itu menangis tergugu sesaat setelah Sabda berhasil mengucap ijab qobul. Rasanya bagai mimpi semua ini terjadi. Walaupun awalnya Sabda hanya berniat menolong, tapi lafaz akad nikah tadi tidak main-main. Mereka sah sebagai suami istri di mata agama. Bu Hanum memeluk erat putrinya. Para undangan tak mengira kalau Senja sedang berduka, bagi mereka itu adalah tangis bahagia.Senja tak sabar menunggu acara ini berakhir. Dia harus bicara dengan Sabda. Karena sekarang bukan Senja lagi yang jadi korban, tapi Sabda. Pria baik yang berniat menolong malah terperangkap dalam pernikahan dengannya.Next ....Jam tiga sore semua acara baru selesai. Di rumahnya Bu Hanum tinggal mereka berempat yang duduk di ruang keluarga. "Nak Sabda, maafkan kami telah membawamu ke situasi yang sulit ini. Tentu semua yang terjadi tadi di luar dugaan Nak Sabda, juga bagi kami sendiri. Ibu jadi merasa bersalah pada Nak Sabda, niatnya membantu malah terbelenggu seperti ini. Sekarang terserah Nak Sabda, Ibu nggak akan melarang Nak Sabda untuk menceraikan Senja. Tentu pernikahan ini juga bukan keinginan Nak Sabda." Bu Hanum bicara dengan suara lirih. Beliau merasa tidak enak hati dengan pria muda yang telah menolong mereka dari rasa malu. Walaupun jujur dalam hati, akan sangat bersyukur kalau memiliki menantu seperti Sabda. Siapa orang tua yang tidak menyukai punya menantu beradab dan sopan seperti pria muda itu. Sabda memandang Senja. Yang di pandang juga menatapnya sejenak. Pertunangan dan pernikahan tadi bagai mimpi. Wanita yang duduk di dekatnya itu telah menjadi istrinya. Bagaimanapun pernikahan tadi, a
Sabda terbangun tengah malam. Pria itu duduk dan melihat ke arah jam dinding, pukul satu. Tubuhnya terasa sakit semua, perjalanan dua hari ini seperti sedang membawanya masuk tantangan uji nyali. Di akui atau tidak, sekarang dia bergelar suami. Perjalanan macam apa ini. Niatnya hanya ingin memberitahu Senja akan pertunangan Arga. Justru membawanya pada peristiwa yang sulit dielakkan. Bisa saja Sabda menolak, tapi dengan situasi seperti kemarin dan pagi tadi, rasanya tidak tega mempermalukan Senja dan Ibunya.Sebagai pengantin baru, harusnya malam ini akan menjadi malam pertamanya. Malam yang diimpikan bagi pasangan yang baru menjalin ikatan pernikahan. Sabda tersenyum kecut sambil menggeleng untuk menepis angan sialan yang hinggap di kepalanya. Ah, wajar saja dia berpikiran seperti itu. Dia pria normal dan sudah cukup umur untuk menikah. Tapi sayangnya, tragedi tadi membuatnya harus menikah tanpa persiapan.Sabda bangkit dan membuka pintu kamar, kemudian melangkah ke ruang makan. Me
Bela. Gadis cantik yang telah mematahkan hatinya setahun yang lalu tanpa alasan yang jelas. Sayatannya masih terasakan hingga sekarang. Kalau ikutkan hati, dia tidak ingin turun menemui. Tapi seperti biasanya, Bela pasti datang bersama kedua orang tuanya yang memang rekan bisnis papanya Sabda. Tidak hanya sekedar rekan bisnis, mereka telah berteman baik sejak lama. Melebihi kedekatan dengan saudara sendiri. Sering juga keluarga mereka menghabiskan liburan bersama-sama.Dikarenakan hubungan itulah yang membuat Sabda dan Bela makin dekat hingga menjalin asmara selama hampir dua tahun. Dia wanita pertama yang di seriusin Sabda. Bahkan sudah ada impian sebuah pernikahan bersama Bela. Sayangnya, gadis itu memutuskan sepihak karena ingin berkarir di luar negeri. Dan sekarang kembali. Kembali sementara atau selamanya. Entah. Harusnya tak perlu lagi dia mencari tahu hal itu. Baru saja hendak berdiri, ponsel Sabda berdenting. Di pikirnya balasan pesan dari Senja. Ternyata pesan masuk dari Ar
Senja baru selesai mandi pagi itu dan sedang berganti pakaian ketika pintu kamarnya di ketuk seseorang."Senja." Suara ibu kostnya memanggil.Buru-buru Senja mengancingkan blouse dan membuka pintu. "Ya, Bu.""Ibu bikin nasi kuning untuk di bawa bapak ke kantor. Nih bagianmu." Wanita setengah baya mengangsurkan sekotak nasi kepada Senja. Sudah jadi kebiasaan, kalau sedang masak banyak, ibu pemilik kos akan membagikan juga kepada para penghuni kos putri."Wah, makasih, Bu." Untungnya Senja tadi tidak jadi beli nasi uduk di warung depan kos."Kenapa malam kemarin kamu nelepon Ibu? Ibu tahunya udah tengah malam. Pas lagi meriang itu makanya sejak sore setelah nutup pagar ibu langsung tidur. Oh ya, Arga juga mencarimu ke sini Minggu sore."Senja tersenyum. "Ya, Bu. Nggak apa-apa.""Kalian berantem?""Enggak. Saya hanya lupa nggak ngasih tahu kalau mau pulang kampung." Tak mungkin Senja akan menceritakan perihal kemarin."Oh." Setelah itu ibu kos yang baik hati pergi. Senja kembali menutup
Senja bernapas lega setelah Sabda menarik diri dan kembali menghadap ke depan. Pria itu merasa puas saat melihat wajah malunya Senja. Rintik Senja. Nama yang unik dan menarik.Mobil memasuki pusat kota dan melaju di jalan tol. Kerlip lampu-lampu kota terlihat dari ketinggian. Senja memandang ke samping, debar di dadanya belum juga reda. Dulu, dia akan menikmati suasana seperti ini bersama Arga saat mereka punya kesempatan untuk makan malam di luar. "Namamu bagus ya. Rintik Senja. Kamu dilahirkan waktu senja?" tanya Sabda setelah beberapa saat mereka saling diam.Senja memandang pria di sebelahnya. "Iya. Aku lahir menjelang senja, pada saat hujan gerimis, kata Ibuku.""Kamu tahu, waktu aku harus nikahi kamu. Nina lah yang kutanyai nama lengkapmu. Untungnya aku langsung ingat. Lucu, mau nikah tapi tidak tahu nama lengkap perempuan yang akan dinikahi.""Orang cerdas pasti mudah menghapal," puji Senja yang membuat Sabda tersenyum."Darimana kamu tahu kalau aku cerdas?""Seorang akuntan p
Senja mengangkat wajah dan memandang ke sekeliling. Anak-anak kecil duduk bergerombol sambil bermain gadget, ada juga yang sedang menikmati steak dan beberapa cemilan mahal. Sungguh kontras dengan pemandangan di bawah sana tadi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Di sini anak orang berada dengan pakaian mahal dan bagus, sedangkan yang di bawah tadi anak-anak perantauan berpakaian sederhana yang mungkin belum di ganti selama menunggu hingga kapal datang. Mengikuti orang tuanya yang hendak mengadu nasib ke tanah seberang. Banyak sekali pelajaran kehidupan dari yang di jumpai dan bisa dicermati di perjalanan. Baik yang kita lihat secara sengaja maupun tidak. Senja termenung. Dia tidak sadar kalau sedang diperhatikan pria di sebelahnya.Umur delapan tahun Senja kehilangan bapaknya karena sakit. Ibunya yang masih muda memutuskan tidak menikah lagi setelah pernah sekali di pinang seorang duda, tapi akhirnya ketahuan kalau laki-laki itu telah beristri. Sejak itu Bu Hanum f
"Oh ya?""Kamu nggak percaya?"Senja tersenyum. Pria tampan, sukses, dari keluarga berada mustahil tidak punya kekasih. Tentu banyak perempuan yang ingin mendekatinya."Kalau aku punya pacar, tak mungkin nikahi kamu meski itu cuma pura-pura. Tentu aku akan memprioritaskan dia dan aku akan cari penjelasan lain untuk keluargamu."Senja terpaku oleh ucapan Sabda. Punya kekasih yang menjaga perasaan pasangannya seperti ini tentu akan membahagiakan bagi tiap perempuan. Tak ada kata terluka dan kecewa pastinya. Tapi setiap insan punya kelebihan dan kekurangan. Setiap hubungan pasti ada ujian. Jalan tak akan selamanya lurus tanpa rintangan."Aku pernah punya pacar, pernah merancang masa depan bersama, pernah sangat serius. Tapi sayangnya setahun yang lalu telah selesai.""Kenapa, Mas?""Karena kami tak berjodoh," jawab Sabda sambil tersenyum. Itu saja jawaban yang tepat, untuk apa mengorek luka lama yang baginya amat menyakiti.Senja pun tak ingin bertanya banyak, tentu ada sesuatu yang tida
Senja mengangguk. Sabda beranjak hendak pergi, tapi panggilan Senja membuatnya yang hampir menjangkau pintu berhenti. "Mas."Sabda menoleh. "Apa perlu kutemani di sini?""Bu-bukan, aku belum Salat Isya. Apa ada sarung yang bisa kupakai untuk Salat.""Buka lemari ini. Di dalam ada mukena milik istrinya Mas Chandra.""Aku pinjamnya ya, Mas?""Pakai saja. Habis itu kamu istirahat." Sabda tersenyum lantas menutup pintu. Sejenak pintu kembali terbuka. "Besok pagi-pagi sekali aku antar pulang. Jangan kayak kemarin, main hilang gitu aja." Pintu kembali di tutup.Senja yang kaget masih mematung sesaat, lantas mengunci pintu.Sambil melangkah ke kamar satunya, diambilnya ponsel di saku celana. Sedari tadi benda itu bergetar berkali-kali, tapi diabaikannya. Ada beberapa panggilan dari mamanya, juga ada pesan masuk yang di kirimkan sekitar beberapa saat yang lalu.[Kamu pulang jam berapa? Ada Bela dan Om Pras di rumah.] Pukul 19.30[Sabda, Sayang. Kamu di mana sih?] Pukul 19.45[Kami sudah dapa
Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm
Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak
Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli
Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."
Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja
Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k
Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja
Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby
Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba