Home / Romansa / Bukan Pernikahan Biasa / Part 6 Rintik Senja

Share

Part 6 Rintik Senja

Author: Lis Susanawati
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Senja baru selesai mandi pagi itu dan sedang berganti pakaian ketika pintu kamarnya di ketuk seseorang.

"Senja." Suara ibu kostnya memanggil.

Buru-buru Senja mengancingkan blouse dan membuka pintu. "Ya, Bu."

"Ibu bikin nasi kuning untuk di bawa bapak ke kantor. Nih bagianmu." Wanita setengah baya mengangsurkan sekotak nasi kepada Senja. Sudah jadi kebiasaan, kalau sedang masak banyak, ibu pemilik kos akan membagikan juga kepada para penghuni kos putri.

"Wah, makasih, Bu." Untungnya Senja tadi tidak jadi beli nasi uduk di warung depan kos.

"Kenapa malam kemarin kamu nelepon Ibu? Ibu tahunya udah tengah malam. Pas lagi meriang itu makanya sejak sore setelah nutup pagar ibu langsung tidur. Oh ya, Arga juga mencarimu ke sini Minggu sore."

Senja tersenyum. "Ya, Bu. Nggak apa-apa."

"Kalian berantem?"

"Enggak. Saya hanya lupa nggak ngasih tahu kalau mau pulang kampung." Tak mungkin Senja akan menceritakan perihal kemarin.

"Oh." Setelah itu ibu kos yang baik hati pergi. Senja kembali menutup pintu. Baru saja duduk hendak sarapan, ponselnya yang sedang di charge berdering. Ibunya yang menelepon.

"Assalamu'alaikum, Buk."

"W*'alaikumsalam. Kamu udah berangkat kerja?"

"Belum. Masih mau sarapan ini. Ada apa, Buk? Ibuk sehat, 'kan?"

"Alhamdulillah, sehat. Hari ini Pak Malik mau nyambung sewa sawah. Kita akan dapat tambahan uang tabungan. Kamu mau di belikan apa?"

"Nggak ada, Buk. Beberapa hari lagi aku juga gajian."

"Ya sudah, uangnya di tabung saja ya. Kalau kamu butuh apa-apa bilang ke Ibuk."

"Iya, ibuku sayang," jawab Senja. Membuat Bu Hanum terkekeh di seberang.

"Terus hubunganmu dengan Sabda gimana?"

"Ya ... ya seperti sebelumnya, Buk."

"Oh, tapi jangan dibiarkan berlarut-larut. Sebenarnya kalau ikutkan hati, Ibu ingin kalian jadi pasangan beneran. Cuman ibu nggak bisa maksain, 'kan? Udah di tolong malah nuntut yang enggak-enggak. Jujur saja Ibu kepikiran, Ja. Kalian lho beneran nikah waktu itu. Jika berpisah, statusmu juga janda."

"Iya, Buk. Aku ngerti."

"Kalian belum ngapa-ngapain, 'kan?"

Senja tertawa. "Kami nggak tinggal bersama, Buk."

"Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa kabari Ibu. Ini Ibu mau belanja. Assalamu'alaikum."

"Ya, Buk. W*'alaikumsalam."

Setelah meletakkan ponselnya Senja cepat-cepat sarapan dan berangkat kerja. Dia tidak boleh telat, karena nunggu angkot kadang juga lama.

Senja tergesa-gesa melangkah di trotoar. Dia harus berjalan dari kosan ke jalan raya untuk menunggu kendaraan umum. Rok span tiga per empat warna hitam menyulitkannya untuk melangkah cepat. Sudah seharusnya dia memikirkan saran ibunya agar merubah penampilan. Toh di tempat kerjanya para karyawan perempuan juga banyak yang berhijab.

Gadis itu tidak menyadari bahwa ada kendaraan yang mengikuti dari belakang. Dipikirnya seperti mobil lain yang sedang lewat, makanya dia tidak menoleh. Senja terus melangkah hingga menjangkau jalan besar dan berhenti di halte.

Tempat pemberhentian yang biasanya ramai orang yang menunggu angkot, saat itu sepi. Hanya ada dua siswi SMA yang sibuk dengan gadget sambil menunggu kendaraan umum.

"Senja," panggil seorang pria yang berjalan menghampiri Senja. Namun gadis itu tak mendengar karena fokus melihat arah datangnya angkot.

"Rintik Senja Maheswari." Kali ini Senja mendengar dan menoleh saat nama lengkapnya di sebut.

"Mas Sabda. Sepagi ini sudah di sini!" Senja heran. Di pandangnya pria atletis dengan setelan kerja rapih yang membalut tubuh tingginya. Aroma mint yang khas tercium ketika pria itu makin mendekat.

"Aku lewat sini. Ayo, sekalian kuantar ke kantor." Bukan sekedar lewat, Sabda memang sengaja hendak menjemput.

Senja tampak ragu. Bukan apa-apa, bagaimana jika nanti rekan-rekannya ada yang tahu kalau dia di antar pria lain. Bukan pria biasanya. Mereka akan cepat sekali menyebarkan gosip di kalangan rekan-rekannya.

"Ayolah ... istriku!" ajakan Sabda dengan nada menggoda membuat wajah Senja bersemu merah. Dua gadis SMA yang sedang menunggu angkot menoleh, kemudian saling berbisik sambil tersenyum. Senja beranjak dan mengikuti Sabda masuk mobil.

Lalu lintas sangat ramai. Aktivitas para pekerja dan anak-anak yang berangkat ke sekolah, saling berebut cepat agar tidak telat. Senja sudah terbiasa dengan pemandangan di kota ini sejak dia kuliah dulu. Dia juga bisa mempercepat masa studinya sehingga dapat lulus kuliah dalam waktu 3,5 tahun. Lulus lebih cepat menjadi harapan banyak mahasiswa sejak pertama masuk kuliah. Sebab jika bisa menempuh kelulusan lebih cepat bisa menghemat biaya kuliah dan biaya hidup. Juga lebih cepat terjun ke dunia kerja.

Di kota ini juga, dia mengenal Arga. Pria yang menemukan dompetnya saat benda itu jatuh di parkiran sebuah mall. Waktu itu Senja baru saja lulus kuliah dan masih menjadi karyawan magang di perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Kenangan yang manis saat jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Kamu mikirin apa?" tanya Sabda membuyarkan lamunan Senja. Gadis itu menoleh dan tersenyum. "Nggak ada."

"Nggak usah bohong. Kamu lagi mikirin Arga?"

Senja tak menjawab. Pandangannya lurus ke depan lantas tersenyum. Dia menunjukkan tulisan di belakang truk molen pada Sabda. Pria itu pun ikut tersenyum saat membaca tulisan yang begitu jelas di depannya.

TERIMA JASA NGE-COR MANTAN

"Kamu mau pakai jasa mereka?" tanya Sabda. Senja tertawa. Sabda juga ikut tersenyum. Bukan tersenyum melihat tulisan itu, tapi tersenyum karena melihat Senja bisa tertawa.

"Aku ingin mengajakmu dinner malam ini di dekat pelabuhan. Nanti kujemput jam tujuh malam."

Senja terkejut dengan ajakan Sabda. Gadis itu tak lantas menjawab, karena bingung harus menolak atau mengiyakan. Entah kenapa yang ada perasaan tak enak hati. Dia takut tanpa sadar akan menyakiti hati gadis lain, perempuan yang mungkin sekarang sedang dekat dengan Sabda. Tunggu, andai pria di sebelahnya ini tengah dekat dengan seseorang, tak mungkin akan mengajaknya. Ia yakin, Sabda bukan tipe pria seperti itu.

"Bagaimana?"

Senja mengangguk pelan. "Baiklah."

Sabda tersenyum. "Oke, kujemput habis Salat Magrib.

Mungkin ini kesempatan untuk membicarakan mengenai pernikahan mereka. Ibunya juga menyarankan agar segera membicarakan tentang hubungan itu.

💦 💦 💦

Setelah seharian berkutat dengan setumpuk pekerjaan, Senja bisa bernapas lega saat jarum jam menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh menit sore. Setengah jam lagi pulang. Gadis itu mengemas mejanya.

Netranya memandang kalender di meja. Dua hari lagi tanggal dua puluh tujuh, dia akan gajian. Senyum terukir di bibirnya yang ranum.

"Hei, ngapain senyum-senyum sendiri!" tegur Nina yang duduk di kursi depannya.

"Nggak ada apa-apa," jawab Senja sambil mengemas pena dan perlengkapan tulis lainnya.

"Seneng ya, mau di ajak kencan?" Nina masih terus menggoda.

Senja tersenyum tapi tidak bersuara. Di rapikannya file di filling cabinet dan membiarkan Nina menunggu sambil mencermati ponselnya. Sore itu mereka bisa santai karena beberapa kepala divisi sedang ada urusan keluar dengan big bos.

Ponsel yang sudah dimasukkan ke dalam tas berdenting. Senja masih sibuk memeriksa beberapa berkas sebelum di simpan dalam map.

"Ja, ayang Sabda telepon tuh!" Dengan dagunya, Nina menunjuk tas Senja di meja kerja.

Sontak senjak melotot pada Nina, suara gadis itu cukup keras hingga membuat salah seorang rekan di sebelah mereka yang hanya tersekat papan pendek memandang heran. "Hayo, Senja. Punya gebetan baru, ya?" seloroh rekan di sebelah yang usianya jauh di atas mereka. Senja tersenyum sambil menggeleng. "Jangan dengerin Nina, Mbak."

Senja membuka tasnya. Mengambil benda pipih yang nyalanya belum padam. Ada satu pesan masuk, bukan dari Sabda tapi dari Arga.

[Senja, aku tunggu di dekat Halte.] Bunyi pesan yang dikirim pria itu.

Tanpa membalas, Senja memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Sebenarnya dia hanya ingin diam dan tidak ingin ditemui. Menenangkan diri agar bisa memberikan maaf dan melupakan tentang peristiwa kemarin. Arga yang selama ini begitu perhatian dan manis, membuat Senja nyaman bersamanya. Mereka juga tak pernah cekcok selama menjalani hubungan. Bahkan Senja juga baru tahu kalau keluarga Arga menentang hubungan mereka sewaktu di vila. Ucapan kakaknya sangat tajam dan mempermalukan Senja di hadapan tamu undangan di sana. Dipikirnya selama ini semua baik-baik saja.

Beberapa kali bertemu, mamanya Arga sangat baik. Senyum ramah menghiasi bibirnya ketika mengajak Senja bicara. Hanya kakak perempuannya yang memang sinis dan tak pernah bicara apapun dengan Senja. Arga juga selalu meyakinkan, bahwa keluarganya tidak mempermasalahkan hubungan mereka.

Ternyata terjawab sudah semuanya. Senja bukan kriteria yang pantas untuk Arga. Standar yang mereka tetapkan tak ada pada Senja.

"Ja, ayo kita pulang. Sudah jam empat ini." Nina menyentuh bahu temannya yang menyusun file sambil melamun. Senja mengangguk, kemudian melangkah menyusul Nina.

"Aku di jemput di depan," kata Senja saat keluar dari pintu kaca.

"Siapa yang jemput? Mas Sabda?"

"Bukan. Arga yang nunggu di halte."

"Untuk apa menemuimu lagi?"

"Entahlah!"

"Nggak usahlah kamu pedulikan lagi. Dia sudah jadi tunangan orang. Kamu juga sudah jadi istri orang. Menurutku lebih baik kalau kamu membangun hubungan yang lebih intens dengan Mas Sabda." Nina terus bicara sambil menuju gerbang utama.

Senja tak menanggapi ucapan sahabatnya. Keluarga Sabda malah belum di kenalnya. Apa mungkin mereka mau menerima gadis yang pernah di pacari keponakannya? Bukankah mereka satu keluarga yang bisa saja punya standard yang sama untuk calon menantu.

Nina berhenti di depan pintu pagar. Dia membiarkan Senja menghampiri Arga yang berdiri tak jauh dari halte. Sebenarnya mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Sayang orang tua Arga menginginkan menantu yang sama-sama kaya. Oh, mereka belum tahu saja kalau sebenarnya Senja juga cucu dari tuan tanah di desa itu. Nina berhenti memandang Senja saat dia harus menyeberang dan menunggu bis kota.

"Kenapa menungguku di sini?" tanya Senja tanpa menatap pria yang tak mengalihkan pandangan dari wajah cantik yang kelelahan di hadapannya.

"Kita bisa bicara sebentar. Please!"

Senja akur. Dia mengikuti dan masuk mobil Arga. Pria itu membawanya ke sebuah kafe tempat biasa Arga dan Senja menghabiskan waktu bersama di sela kesibukan mereka. Kafe minimalis dengan nuansa rustic. Mereka mengambil tempat duduk yang menghadap langsung ke taman. Ada kaca besar sebagai dinding di hadapan. Material bata pada bagian lain dinding cafe membuat suasana ruangan terasa hangat. Desain lampunya juga unik sebagai pelengkap interior kafe.

Ada kenangan jejak kebersamaan mereka di sana. Membuat Senja terlempar pada beberapa waktu yang lalu sebelum segalanya hancur di Minggu pagi. Andai tempat ini bisa bicara, pasti sudah mengungkapkan banyak hal tentang rancangan masa depan mereka yang pernah di diskusikan di bangku itu.

Arga memesan dua moctail. Minuman favorit mereka. Sejenis minuman dengan karakteristik sama seperti Cocktail, hanya saja Mocktail tidak mengandung alkohol. Kadang hanya berupa soda yang dicampur sirup atau jus buah. Dan dilengkapi dengan potongan daun mint sebagai penyegar. Lemonade menjadi menu moctail pilihan Arga.

"Benarkah hari Minggu itu kamu di antar Sabda pulang?" Arga membuka pertanyaan setelah cukup lama mereka saling diam.

Senja mengangguk. Walaupun dalam hati kaget dan bertanya-tanya. Sabda telah cerita sapa saja. Tapi melihat sikap Arga yang masih tenang, pasti Sabda belum memberitahu sepupunya tentang pernikahan siri mereka.

"Kapan kamu punya waktu untuk mengantarku bertemu Ibu. Aku ingin minta maaf."

"Ibu nggak mempermasalahkan hal itu lagi. Semua telah selesai."

Hening sejenak. Arga menyesap minumannya. "Aku hanya ingin kamu yakin, bahwa aku terpaksa dengan perjodohan ini. Aku nggak ingin memberitahumu karena aku akan tetap datang kepada ibu untuk minta waktu sampai selesai urusanku dengan Citra. Percayalah, kalau perasaanku nggak pernah berubah."

"Mas, ingin aku seperti apa? Menunggu dan melukai perempuan itu? Aku nggak bisa."

Arga mengeluarkan ponselnya. Dia menunjukkan semua chat-nya dengan Citra. "Nggak ada satu pun percakapan yang kuhapus."

Senja membaca percakapan itu dengan hati berdebar. Ada satu kalimat yang berulang kali di bacanya. "Semoga gadis itu masih menunggumu, Mas. Sampai hubungan ini selesai. Jangan khawatir, aku akan membantumu. Maafkan jika papaku yang membuat papamu memaksakan perjodohan kita."

Di gesernya ponsel itu di depan Arga. "Sudah hampir Magrib, Mas. Aku mau pulang." Lebih baik dia pergi sebelum rasa itu kembali kokoh bertahta. Permasalahan mereka tak sesederhana itu. Ada Sabda yang sudah menjadi suaminya, walaupun mungkin karena terpaksa. Ada gadis itu juga. Ada keluarga besar yang terlibat dalam hubungan itu sekarang.

"Kabari jika kamu ada kesempatan mengantarkan aku pada Ibu," pinta Arga ketika mereka melangkah ke luar kafe. Saat itu langit barat sudah merona jingga. Dan Senja tidak memberikan jawaban.

💦 💦 💦

[Aku sudah di depan.] Pesan masuk dari Sabda. Senja yang telah rapi dengan pakaian kasual segera berdiri dan mengambil sling bag di atas kasur.

Sabda membukakan pintu depan. Wangi parfum beraroma mint kesukaan pria itu tercium saat Senja masuk dan duduk.

"Pakai seatbelt, kita akan lewat kota untuk ke pelabuhan." Sabda membantu Senja memakai sabuk pengaman. Pria itu tersenyum saat bersitatap dengan Senja. Bahkan menggoda gadis itu dengan menatapnya cukup lama.

Next ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
lanjut....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 7 Malam Di Pelabuhan

    Senja bernapas lega setelah Sabda menarik diri dan kembali menghadap ke depan. Pria itu merasa puas saat melihat wajah malunya Senja. Rintik Senja. Nama yang unik dan menarik.Mobil memasuki pusat kota dan melaju di jalan tol. Kerlip lampu-lampu kota terlihat dari ketinggian. Senja memandang ke samping, debar di dadanya belum juga reda. Dulu, dia akan menikmati suasana seperti ini bersama Arga saat mereka punya kesempatan untuk makan malam di luar. "Namamu bagus ya. Rintik Senja. Kamu dilahirkan waktu senja?" tanya Sabda setelah beberapa saat mereka saling diam.Senja memandang pria di sebelahnya. "Iya. Aku lahir menjelang senja, pada saat hujan gerimis, kata Ibuku.""Kamu tahu, waktu aku harus nikahi kamu. Nina lah yang kutanyai nama lengkapmu. Untungnya aku langsung ingat. Lucu, mau nikah tapi tidak tahu nama lengkap perempuan yang akan dinikahi.""Orang cerdas pasti mudah menghapal," puji Senja yang membuat Sabda tersenyum."Darimana kamu tahu kalau aku cerdas?""Seorang akuntan p

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 8

    Senja mengangkat wajah dan memandang ke sekeliling. Anak-anak kecil duduk bergerombol sambil bermain gadget, ada juga yang sedang menikmati steak dan beberapa cemilan mahal. Sungguh kontras dengan pemandangan di bawah sana tadi. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. Di sini anak orang berada dengan pakaian mahal dan bagus, sedangkan yang di bawah tadi anak-anak perantauan berpakaian sederhana yang mungkin belum di ganti selama menunggu hingga kapal datang. Mengikuti orang tuanya yang hendak mengadu nasib ke tanah seberang. Banyak sekali pelajaran kehidupan dari yang di jumpai dan bisa dicermati di perjalanan. Baik yang kita lihat secara sengaja maupun tidak. Senja termenung. Dia tidak sadar kalau sedang diperhatikan pria di sebelahnya.Umur delapan tahun Senja kehilangan bapaknya karena sakit. Ibunya yang masih muda memutuskan tidak menikah lagi setelah pernah sekali di pinang seorang duda, tapi akhirnya ketahuan kalau laki-laki itu telah beristri. Sejak itu Bu Hanum f

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 9 Setelah dari Dermaga

    "Oh ya?""Kamu nggak percaya?"Senja tersenyum. Pria tampan, sukses, dari keluarga berada mustahil tidak punya kekasih. Tentu banyak perempuan yang ingin mendekatinya."Kalau aku punya pacar, tak mungkin nikahi kamu meski itu cuma pura-pura. Tentu aku akan memprioritaskan dia dan aku akan cari penjelasan lain untuk keluargamu."Senja terpaku oleh ucapan Sabda. Punya kekasih yang menjaga perasaan pasangannya seperti ini tentu akan membahagiakan bagi tiap perempuan. Tak ada kata terluka dan kecewa pastinya. Tapi setiap insan punya kelebihan dan kekurangan. Setiap hubungan pasti ada ujian. Jalan tak akan selamanya lurus tanpa rintangan."Aku pernah punya pacar, pernah merancang masa depan bersama, pernah sangat serius. Tapi sayangnya setahun yang lalu telah selesai.""Kenapa, Mas?""Karena kami tak berjodoh," jawab Sabda sambil tersenyum. Itu saja jawaban yang tepat, untuk apa mengorek luka lama yang baginya amat menyakiti.Senja pun tak ingin bertanya banyak, tentu ada sesuatu yang tida

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 10

    Senja mengangguk. Sabda beranjak hendak pergi, tapi panggilan Senja membuatnya yang hampir menjangkau pintu berhenti. "Mas."Sabda menoleh. "Apa perlu kutemani di sini?""Bu-bukan, aku belum Salat Isya. Apa ada sarung yang bisa kupakai untuk Salat.""Buka lemari ini. Di dalam ada mukena milik istrinya Mas Chandra.""Aku pinjamnya ya, Mas?""Pakai saja. Habis itu kamu istirahat." Sabda tersenyum lantas menutup pintu. Sejenak pintu kembali terbuka. "Besok pagi-pagi sekali aku antar pulang. Jangan kayak kemarin, main hilang gitu aja." Pintu kembali di tutup.Senja yang kaget masih mematung sesaat, lantas mengunci pintu.Sambil melangkah ke kamar satunya, diambilnya ponsel di saku celana. Sedari tadi benda itu bergetar berkali-kali, tapi diabaikannya. Ada beberapa panggilan dari mamanya, juga ada pesan masuk yang di kirimkan sekitar beberapa saat yang lalu.[Kamu pulang jam berapa? Ada Bela dan Om Pras di rumah.] Pukul 19.30[Sabda, Sayang. Kamu di mana sih?] Pukul 19.45[Kami sudah dapa

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 11 Peristiwa di Ujung Jalan

    "Mas, berhenti dulu. Ada Mas Arga di depan." Senja bicara pada Sabda ketika mereka baru berbelok dari jalan raya. Dadanya berdegup kencang, takut terjadi kegaduhan antar sepupu. Senja tidak suka kekerasan, alangkah baiknya jika semua dibicarakan dengan duduk bersama. Sabda mengurangi laju kendaraan dan menepi. Benar, sekitar seratus meter di hadapan, ada mobil berhenti di depan pagar kosan. "Sekarang atau nanti Arga pada akhirnya akan tahu, Senja."Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Ponsel di sling bag-nya juga bergetar berulang kali. Tentu Arga yang menghubungi. "Aku nggak ingin ada keributan di sini, Mas. Apalagi jika ibu kosku tahu, aku yang nggak enak sama beliau. Aku nyaman di kosan itu, karena aku juga masih kerja. Kerjaan ini sangat penting buatku. Biar aku berhenti di sini saja." Senja memang takut kalau terjadi baku hantam di sini yang akan jadi tontonan warga. Dia sangat mengenal karakter kerasnya Arga. Sementara dia juga belum tahu bagaimana Sabda. Bisa jadi mereka sama-

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 12

    Pagi ini hati Senja keruh, larut dalam pusaran rasa yang campur aduk. Matanya pun mulai berkabut. Antara perasaan cinta Arga dan Sabda yang menikahinya. Walaupun dia berpikir kalau yang dilakukan Sabda hanya berdasarkan rasa iba.Akhirnya kaki itu menjejak di pertigaan. Arga masih mengikuti dengan mobilnya. Senja berhenti, menarik napas dalam-dalam untuk menghalau kaca-kaca yang memenuhi kelopak mata. Di sebelah kiri dekat dengan halte, ada mobil Sabda yang terparkir di sana. Bahkan pria itu keluar setelah melihat Senja berdiri di trotoar.Arga yang masih di dalam mobil memandang heran karena melihat sepupunya ada di sana. Perasaannya mulai tak enak. Hatinya merasa kalau ada sesuatu yang terjadi. Dia mencari-cari tempat agar bisa memarkir mobil. Akhirnya tak sabar pria itu keluar dari mobil dan membiarkan kendaraannya terparkir begitu saja.Senja mulai panik ketika Arga melangkah mendekati Sabda yang juga melangkah ke arahnya. Satu angkot lewat tidak dihentikan, dia harus tahu apa yan

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 13 Kisah Sepagi Itu

    Jemari Sabda memegang dagu Senja, wajahnya menunduk tepat di atas wajah gadis yang tangannya kini gemetar. Satu kecupan saja tidak cukup hingga membuatnya melumat bibir mungil itu untuk beberapa lama.Sesaat itu detak jantung Senja serasa berhenti. Napasnya juga tersekat di tenggorokan. Tidak tahu harus merespon bagaimana dengan tindakan spontan Sabda. Gadis itu membeku. Jujur ini kali pertama seorang pria mencium bibirnya. Pria yang telah halal baginya.Sabda melihat wajah gadis di depannya yang memucat dan diam bak patung. "Maaf!" ucap Sabda sambil tersenyum, jemarinya mengusap bibir yang telah di ciumnya.Senja jadi salah tingkah dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Pipinya yang putih merona merah. Seandainya Sabda tidak ingat ada Mbak Nur yang sedang beres-beres di dalam, mungkin dia bisa melakukan lebih sepagi itu."Kamu pasti belum sarapan. Aku pesankan makanan ya. Kamu mau makan apa?" Sabda mengambil ponsel di saku celananya. Membuka aplikasi dan menunjukkan layar

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 14

    Bagaimana kabarnya Arga? Dia terlihat sangat kecewa tadi. Senja bisa melihat kehancuran dalam kilatan amarahnya. Apalagi yang kini bersama mantan kekasihnya adalah sepupunya sendiri. Sudah pasti dia tidak akan terima begitu saja. Apa yang akan terjadi esok hari?"Hai, kenapa melamun di situ?" Sabda memanggil Senja yang bengong di depan sebuah lukisan. Gadis itu menoleh dan kembali menghampiri Sabda."Kamu mikirin apa?" tanya Sabda lagi setelah Senja duduk di sebelahnya."Bagaimana jika Mas Arga menceritakan tentang kita pada keluarga, Mas?""Kita lihat saja nanti. Kita tunggu, dia cerita atau nggak."Senja menunduk. Banyak kemungkinan yang bakal terjadi setelah ini. Bagaimana jika keluarga Sabda tak menyukai hubungan mereka? Tentu pada akhirnya harus berpisah juga. Tak mengapa? Hubungannya dengan Sabda juga belum terlanjur jauh. Gadis itu kembali memandang pria di depannya. "Rahang Mas, kelihatan lebam gitu. Sakit nggak? Gimana ngobatinnya?" Senja baru menyadari kalau rahang Sabda ba

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 158

    Two weeks later ....Sepulang kerja, Sabda mengajak istrinya langsung ke tempat praktek dokter Eli. Sabda tidak sabar menunggu hasil dari pemeriksaan dokter mengenai kehamilan istrinya yang ketiga.Dikarenakan mereka datang lebih awal dan telah membuat appointment sehari sebelumnya, makanya seorang perawat yang berjaga segera mempersilakan mereka berdua untuk masuk ruang praktek."Selamat sore, Dok," sapa Senja dengan ramah."Selamat sore juga. Wah, pasti ini mau program hamil atau sudah mau ngasih kejutan ke saya ini." Dokter Eli bicara sambil tersenyum.Setelah duduk, Senja langsung mengeluarkan hasil testpack keduanya tadi pagi. Meski ini pemeriksaan kehamilannya yang ketiga, tetap saja Senja merasakan berdebar-debar. Pengalaman kehamilan kedua yang berujung kuret membuatnya cemas. Sementara Sabda sendiri malah lebih optimis, bahwa semua pasti baik-baik saja. Sampai ia rela berpuasa tidak menyentuh istrinya sejak pertama kali Senja memberikan hasil testpack di kantor waktu itu."Hmm

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 157 Senja yang Indah

    Meeting kali ini di adakan di sebuah kafe yang tidak jauh dari kantornya Sabda. Pria itu ingin menghadirkan suasana baru, yang berbeda supaya rapat tidak terasa kaku dan membosankan.Meskipun ini rapat internal kantor yang hanya dihadiri oleh satu tim kerja Candra dan Sabda, tapi pria itu sengaja mencarikan tempat lain selain di ruangan meeting kantor seperti biasanya. Namun dia juga memperhatikan tempat yang di gunakan untuk meeting tetap kondusif dan nyaman.Itulah kenapa mereka sangat disukai oleh para bawahannya. Meski tegas, mereka berdua terutama Sabda cukup fleksibel menjadi seorang pemimpin. Rapat tidak pernah bertele-tele dan selalu efektif. Apa yang dibahas selalu on point, tapi materi yang disampaikan juga jelas.Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan istrinya. Mengajaknya ke dokter kandungan meski hanya untuk melihat kantung janin yang semoga saja sudah terisi. Ah, berlebihan sekali Sabda. Enggak juga, istri dan anaknya adalah dunia baginya. Dia tidak

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 156

    Sabda tidak peduli jika di katakan sok suci. Satu hal ini yang akan di jaga sampai mati, yaitu kehormatan. Papanya selalu menasehati agar menjauhi zina, karena sang papa tahu dunia dalam lingkup pekerjaan mereka. "Istrimu lebih higienis daripada cewek yang sering di ajak bersenang-senang beberapa rekan kerjamu. Itu dosa besar yang bisa membawa penyakit untukmu dan istrimu. Bagaimanapun kondisi istrimu, dialah yang terbaik dari perempuan yang bisa kamu bayar untuk kamu tiduri semalam. Ingat itu, Sabda." Nasehat sang papa masih teringat jelas dalam benaknya.Sabda membuka mata, dan angannya seketika sirna tatkala sang istri menghentikan pijatannya, kemudian ganti memeluknya dari belakang. Mereka menikmati momen itu sambil diam. Banyak pasangan yang sama-sama sibuk bekerja, akhirnya mengurangi waktu bersama. Mempengaruhi hubungan mereka hingga terkadang menjadi berjarak, terlebih jika pekerjaan mereka menuntut untuk sering lembur. Sementara Sabda selalu mengajak Senja untuk selalu peduli

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 155 Pregnancy Test

    Sabda tersenyum lebar. Apa yang akan dilakukan seorang laki-laki jika melihat istrinya seseksi itu di depan matanya dan di saat yang tepat pula? Tentunya tidak butuh waktu lama untuk segera bertindak.Rasa letih karena perjalanan panjang sudah tak lagi diingatnya. Sabda turun dari ranjang dan berhadapan dengan istrinya. Mereka saling pandang dalam jarak yang sangat dekat. Menikmati momen itu hingga mereka menghabiskan beberapa waktu di ranjang hotel.Radja yang terlelap tidak terganggu oleh suara apapun di kamar. Dia tidur dengan nyenyaknya dan membiarkan kedua orang tuanya menikmati malam milik mereka.Sabda membangunkan istrinya ketika azan subuh berkumandang. Di kecupnya kening Senja yang masih pulas di bawah selimut. "Bangun, Sayang. Sudah pagi," bisiknya pelan.Senja membuka mata, pemandangan yang pertama dilihatnya adalah sang suami yang tersenyum dengan jarak beberapa senti di atasnya. Rambutnya sudah basah. "Sudah subuh, ayo mandi dulu. Bak mandinya sudah Mas isi air hangat."

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 154

    Setelah meletakkan undangan begitu saja di atas meja, Sabda mengambil ponsel yang tadi ia tinggalkan di ruangan. Ada beberapa pesan dari istrinya.[Mas, bisa pulang cepat hari ini?] Isi pesan dari Senja.[Usahakan pulang sore aja ya.] Pesan selanjutnya seperti sebuah permintaan. Apa karena sakitnya bertambah. Tadi dia bilang hanya agak meriang, bisa jadi hanya masuk angin saja. Sabda cemas dan akhirnya melakukan panggilan. Beberapa kali di telepon tidak di angkat. Senja mengirimkan pesan memang sudah satu jam yang lalu. Sabda kemudian menghubungi Mbak Nur. Panggilannya langsung di jawab. "Halo.""Mbak Senja mana, Mbak?" tanya Sabda tidak sabar."O, masih nyuapin Radja di depan, Mas. Mau saya panggilkan?""Tidak perlu, Mbak. Bagaimana kondisi Mbak Senja hari ini?""Mbak Senja baik-baik saja sejak pagi tadi, Mas. Malah Mbak Senja yang jagain Radja sejak pagi.""Oh ya sudah, Mbak." Sabda mengakhiri panggilan. Dia lega karena istrinya baik-baik saja. Mungkin hanya tidak enak badan saja

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 153 Kejutan Buat Sabda

    Rumah itu sepi di jam setengah satu malam. Hanya lampu yang tidak begitu terang masih menyala di teras rumah. Sabda menyuruh pengasuh putranya turun. Meski dalam perjalanan tadi gadis itu sudah meminta maaf, tapi tidak mengurungkan niat Sabda dan Senja untuk memulangkan Hesti ke rumah orang tuanya.Sabda turun, sedangkan Senja bertahan di dalam mobil memangku Radja yang tertidur pulas. Hesti mengetuk pintu rumah ibunya. Jarak dua meter di belakangnya, Sabda berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku jaket menunggu pintu di buka.Seorang wanita memakai daster yang panjangnya di atas paha keluar. Dia tidak kaget melihat kedatangan mereka, karena sudah di kirimi pesan oleh anaknya ketika Hesti dalam perjalanan tadi.Sabda menolak di persilakan masuk oleh ibunya Hesti. Di teras itu juga ia minta maaf karena harus memulangkan Hesti tengah malam. Sabda juga memberikan gaji Hesti yang belum genap kerja sebulan. Sabda juga menjelaskan kenapa harus mengantar pengasuh anaknya kembali k

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 152

    Di antara kesibukan mereka bekerja, selalu meluangkan waktunya untuk Radja. Apalagi setelah Mbak Yekti berhenti kerja dua bulan yang lalu karena menikah lagi, Radja tidak begitu menyukai pengasuh barunya. Hesti, gadis yang masih berusia dua puluh tahun. Sebenarnya dia sabar juga mengasuh Radja, tapi entah kenapa bocah kecil itu tidak suka. "Kemarin Mbak Nur bilang, Radja nggak mau makan kalau Hesti yang nyuapi. Terus kalau mau buang air kecil juga nyari Mbak Nur. Tapi kalau mau susu atau tidur sudah mau sama Hesti. Biasanya juga sama Mbak Nur." Senja mengajak suaminya membahas pengasuh baru Radja."Apa perlu kita carikan pengasuh baru?" saran Sabda. Sebenarnya Sabda sendiri tidak menyukai gadis itu. Dia punya alasan tersendiri kenapa tidak menyukai pengasuh anaknya. Apalagi di tambah setelah ia tahu latar belakang gadis itu."Nanti kalau Radja juga nggak mau gimana?""Sayang, yang resign." Sabda menarik lengan istrinya agar lebih mendekat padanya. "Jadi meski ada pengasuh, tapi Radja

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 151 Cobaan Seorang Suami

    Bu Yola duduk di depan di samping suaminya yang mengemudi, sedangkan Arga duduk menemani Citra."Perutmu terasa sakit nggak?" tanya Bu Yola sambil menoleh pada sang menantu."Cuman terasa nggak nyaman aja, Ma. Tapi aku nggak ngerasain sakit ini."Sesampainya di klinik, mereka di sambut oleh dua orang perawat yang jaga malam. Citra di bawa ke ruang pemeriksaan. Mendengar penjelasan dari Citra maupun Bu Yola, akhirnya dokter langsung memutuskan untuk melakukan USG. Benar dugaan Bu Yola tadi, rupanya air ketuban sudah pecah sebelum adanya pembukaan. "Terus gimana, Dok?" tanya Bu Yola."Ada dua pilihan, Bu. Kalau air ketuban pecah sebelum kontraksi, bisa dilakukan induksi untuk merangsang kontraksi atau pulang ke rumah sambil menunggu adanya kontraksi secara alami. Tapi melihat dari pemeriksaan tadi, volume air ketuban nyaris habis. Makanya saya kasih pilihan kedua yaitu Cesar." "Cesar saja, Dok," sahut Arga cepat. "Sekarang juga kami akan mempersiapkan untuk operasi Cesar. Kasian baby

  • Bukan Pernikahan Biasa    Part 150

    Nindy tersenyum getir. "Harus baik dan kami sudah jadi bestie sekarang. Demi anak-anak. Aku juga nggak mau lama-lama nyimpan sakit hati. Lebih baik melanjutkan hidup dengan hati bahagia. Toh sekarang mereka sudah menerima karmanya. Usaha Mas Fatih mulai surut, anak yang di kandung bininya terpaksa harus di operasi karena meninggal di dalam kandungan. Bukan aku bahagia dengan penderitaan mereka, aku juga bukan istri yang baik. Tapi setiap perbuatan pasti ada balasannya. Aku menyadari itu, Ja. Beda istri beda rezeki."Senja mendengar cerita Nindy dengan seksama. Musibah itu membuat Nindy menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melihatnya begitu murka ketika pertama kali ia mengetahui kalau suaminya selingkuh, siapa mengira kalau Nindy akhirnya bisa selegowo itu. Bahkan katanya sekarang menjadi bestie-nya sang mantan demi anak-anak. Tak semua orang bisa melakukan itu.Sikap Tata dan Nindy menyadarkan Senja, bahwa tak boleh menghakimi seseorang karena sikapnya. Sebab bisa saja mereka beruba

DMCA.com Protection Status